reproduktif ditandai dengan berkurangnya jumlah anakan, munculnya daun bendera, bunting dan pembungaan
4.2. Komponen
Hasil
Komponen hasil terdiri dari jumlah batang produktif per 100 m2, panjang malai, jumlah gabah per malai, jumlah gabah hampa, jumlah gabah bernas, bobot
1000 butir, Gabah Kering Panen GKP dan Gabah Kering Giling GKG. Pengaruh budidaya konvensional dan S.R.I. terhadap jumlah batang total per 100
m2 dan jumlah batang produktif per 100 m2 dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Pengaruh budidaya konvensional dan S.R.I. terhadap jumlah batang
produktif per 100 m2
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut DMRT 5
Pada saat panen tidak semua batang pada setiap rumpun menghasilkan malai. Batang yang menghasilkan malai disebut batang produktif. Jumlah batang
produktif dipengaruhi oleh jarak tanam, jumlah bibit, dan umur bibit tanam. Jarak tanam yang relatif sempit dapat menyebabkan stres pada tanaman, selain itu umur
persemaian yang mencapai usia 30 hari tua menyebabkan sistem perakaran bersaing dengan banyak sistem perakaran disekitarnya sehingga tanaman
kesulitan dalam mencukupi kebutuhan haranya. Hal tersebut yang menyebabkan jumlah batang produktif pada budidaya konvensional lebih rendah dibanding
dengan budidaya S.R.I anorganik dan S.R.I. semi-organik Tabel Lampiran 9, namun jika jumlah batang produktif dikonversikan ke dalam luasan 100 m2 maka
berdasarkan analisis statistik maka akan diperoleh data bahwa jumlah batang produktif per 100 m2 konvensional lebih tinggi dibandingkan dengan semua
perlakuan S.R.I. Tabel 2. Hal ini dikarenakan perlakuan budidaya konvensional
Sistem Budidaya Jumlah Batang Total per 100
m2 14 MST
Jumlah Batang Produktif per 100 m2 14 MST
Konvensional 55,875b 50,625b
S.R.I Anorganik 34,107a
25,053a S.R.I Organik
27,997a 22,386a
S.R.I Semi-organik 30,385a
24,053a
memiliki jumlah rumpun per 100 m2 yang lebih tinggi dibandingkan seluruh perlakuan budidaya S.R.I.
Perlakuan S.R.I. organik memiliki jumlah batang per 100 m2 terendah dibanding semua perlakuan budidaya S.R.I. Hal ini dikarenakan pupuk yang
diberikan pada perlakuan tersebut adalah pupuk kompos yang memiliki kandungan nitrogen yang rendah sehingga pertumbuhan batang pada setiap
rumpunnya menjadi terhambat atau kurang maksimal karena menurut Badan Peneliti dan Pengembangan Pertanian 2008, unsur N dan P mempunyai
pengaruh yang jelas terhadap pembentukan anakan. Selain itu menurut Siregar 1981, pemberian nitrogen yang cukup akan meningkatkan jumlah batang
produktif tanaman, karena nitrogen berperan penting sebagai penyusun protein yang akan digunakan oleh tanaman untuk meningkatkan jumlah malairumpun.
Metode tanam muda pada budidaya S.R.I. tidak menyebabkan tanaman stres karena ukuran perakaran saat akan dipindahlapangkan masih relatif pendek dan
tanaman masih mempunyai cadangan makanan sehingga tidak akan mengalami kekurangan hara. Umur bibit yang ditanam juga dapat mempengaruhi jumlah
batang produktif per rumpun. Menurut Masdar et al. 2006, pindah lapang yang dilakukan pada umur antara 7-14 hari akan menghasilkan batang produktif per
rumpun lebih banyak. Hal ini diduga karena kondisi awal bibit umur 7-14 hari tidak mengalami stres saat pindah lapang yang akan berlanjut selama
pertumbuhan vegetatif dan reproduktif. Semakin banyak bibit yang ditanam menyebabkan semakin sedikitnya
jumlah batang produktif per rumpun karena persaingan sejak awal antar daun diduga menurunkan kebugaran anakan. Petakan konvensional yang ditanam
dengan bibit awal sebanyak 8 buah memperlihatkan jumlah batang produktif per rumpun lebih rendah dibanding dengan S.R.I. anorganik dan S.R.I. semi-organik,
sedangkan jumlah batang produktif per rumpun S.R.I. organik tidak melebihi jumlah batang produktif per rumpun konvensional karena pupuk yang diberikan
pada perlakuan S.R.I. organik menggunakan pupuk kompos yang memiliki kadar N-total yang lebih rendah dibanding perlakuan konvensional Tabel Lampiran 9.
Tabel 3. Pengaruh budidaya padi terhadap panjang malai, jumlah gabah per malai, jumlah gabah isi dan jumlah gabah hampa
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut DMRT 5
Perlakuan budidaya S.R.I anorganik dan semi-oganik dapat meningkatkan panjang malai secara nyata dibanding perlakuan konvensional, perlakuan S.R.I.
organik juga cenderung meningkatkan panjang malai. Hasil biji dipengaruhi pada jumlah pati yang terakumulasi dalam spikelet dan sangat ditentukan selama fase
pengisian biji. Ada tiga faktor yang penting selama proses pengisian biji, yaitu produksi fotosintat yang dihasilkan oleh organ tanaman yang berperan sebagai
source, sistem translokasi dari source ke sink dan akumulasi fotosintat pada sink. Hasil dari proses pengisian pada biji padi adalah keseimbangan dari ketiganya
Sumardi et al., 2007. Selain itu kandungan unsur N, P dan K tersedia juga mempengaruhi jumlah gabah per malai. Unsur nitrogen berperan meningkatkan
jumlah bulir per rumpun Rauf et al., 2000, unsur fosfor juga berperan memacu terbentuknya bunga dan bulir pada malai Rauf et al., 2000 dan unsur kalium
juga dapat meningkatkan jumlah bulir per malai Badan Peneliti dan Pengembangan Pertanian, 2008.
Pada Tabel 3, dapat dilihat bahwa perlakuan budidaya S.R.I. anorganik memiliki jumlah gabah bernas tertinggi walaupun secara statistik tidak terlihat
secara nyata. Menurut Badan Peneliti dan Pengembangan Pertanian 2008, unsur kalium dapat meningkatkan persentase gabah isi. Jumlah gabah hampa pada
seluruh perlakuan S.R.I. diduga sebagai akibat dari terlambatnya inisiasi biji menurut waktu yang semestinya karena pada minggu ke-2 tanaman terkena hama
lalat bibit sehingga pertumbuhanya terganggu selain itu adanya hama walang sangit juga menyebabkan tingginya jumlah gabah hampa.
Berdasarkan hasil penelitian terbukti bahwa S.R.I. anorganik dan semi- organik dapat meningkatkan produksi padi dibandingkan dengan budidaya
Sistem Budidaya Panjang
Malai Jumlah
Gabah Malai
Jumlah Gabah Hampa per
Malai Jumlah Gabah Isi
per Malai Kenaikan
Gabah Isi per Malai
Konvensional 21.50a 91.05a
33.43a 57.62a - S.R.I Anorganik
23.42b 122.12c
50.29b 68.19a
18.34 S.R.I Organik
22.02a 105.75b
55.97b 55.25a
-4.11 S.R.I Semi-organik
23.34b 119.29c
60.55b 63.81a
19.42
konvensional walau secara statistik perbedaannya tidak nyata. Hal ini karena S.R.I. memiliki beberapa keunggulan seperti tanam bibit saat masih muda dan
secara hati-hati. Hal ini dapat mengurangi guncangan dan meningkatkan kemampuan tanaman dalam memproduksi batang dan akar selama tahap
pertumbuhan vegetatif, sehingga lebih banyak batang yang muncul dalam satu rumpun, dan lebih banyak bulir padi yang dihasilkan oleh malai.
Budidaya S.R.I. menggunakan bibit yang ditanam tunggal yang dapat menyebabkan tanaman memiliki ruang untuk menyebar dan memperdalam
perakaran. Tanaman tidak bersaing terlalu ketat untuk memperoleh ruang tumbuh, cahaya, atau nutrisi dalam tanah sehingga sistem perakaran menjadi sangat baik.
Jarak tanam yang lebar memberi kemungkinan lebih besar kepada akar untuk tumbuh leluasa, tanaman juga akan menyerap lebih banyak sinar matahari, udara
dan nutrisi. Hasilnya akar dan batang akan tumbuh lebih baik juga penyerapan nutrisi serta jumlah anakan akan lebih banyak dibanding sistem konvensional
seperti pendapat Sumardi et al. 2007, yang mengatakan bahwa kondisi perakaran yang baik tidak hanya tampak pada morfologi akar saja akan tetapi juga
terekspresi pada bagian atas tanaman, seperti jumlah anakan, tinggi tanaman dan persentase anakan produktif, ketiga parameter tersebut merupakan indikator yang
paling kuat untuk melihat hasil gabah per rumpun. Kondisi tanah yang lembab kapasitas lapang pada masa vegetatif
memungkinkan lebih banyak oksigen yang masuk di zona perakaran. Perakaran yang teroksidasi akan meningkatkan kesuburan tanah dan mendapatkan akar
tanaman yang panjang dan lebat Berkelaar, 2001, selain itu menurut Sumardi et al. 2007, pemberian air pada kapasitas lapang juga dapat mempertahankan tanah
pada kondisi aerobik. Pori-pori tanah khususnya pori makro tidak terjenuhi air sehingga memungkinkan lalu lintas CO
2
dan O
2
dapat berjalan tanpa hambatan. Kondisi demikian juga menguntungkan untuk pertumbuhan dan perkembangan
mikroorganisme tanah aerobik yang berperan dalam proses dekomposisi bahan organik. Tingginya jumlah dan aktivitas mikroorganisme tanah berpengaruh
positif terhadap sifat fisik struktur tanah dan kimia tanah. Pada akhirnya akan memberikan lingkungan tumbuh yang baik untuk pertumbuhan dan
perkembangan akar. Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian Hakim 2009, pada
lokasi yang sama yang mengatakan bahwa budidaya S.R.I. memiliki populasi dan keragaman organisme yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan budidaya
konvensional. Tanah tergenang menyebabkan suasana tanah menjadi anaerob. Pada
suasana anaerob akar padi membentuk jaringan aerenchym. Semakin lama digenangi jumlah aerenchym semakin banyak dan semakin besar, sehingga porsi
sel yang dimanfaatkan untuk menyerap air dan unsur hara menjadi semakin terbatas. Akibatnya proses metabolisme menjadi tergangggu sehingga bahan
kering yang dihasilkan tidak mampu mengisi spikelet yang telah terbentuk secara optimal Sumardi et al., 2007.
Tabel 4. Produksi gabah kering dengan budidaya konvensional dan S.R.I.
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut DMRT 5
: Bobot GKG pada kadar air gabah 14
Terlihat dari Tabel 4, bahwa Gabah Kering Panen GKP antara keempat perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Gabah Kering Panen GKP
yang dihasilkan S.R.I. anorganik sebesar 4.35 tonha sedangkan konvensional hanya 3.59 tonha, berarti terjadi peningkatan sebesar 21.17 akibat penerapan
budidaya S.R.I. anorganik. Nilai Gabah Kering Giling GKG S.R.I. anorganik mencapai 3.05 tonha sedangkan konvensional hanya mencapai 2.35 tonha, yang
berarti terjadi peningkatan sebesar 29.79. Nilai Gabah Kering Giling GKG juga tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara keempat perlakuan. Jika
antar perlakuan diurutkan berdasarkan produksi GKP, urutannya adalah sebagai berikut: S.R.I. anorganik 4.35 tonha, S.R.I semi-organik 3.96 tonha,
konvensional 3.59 tonha dan terakhir S.R.I. organik dengan GKP 3.55 tonha, sedangkan berdasarkan bobot GKG dengan urutan: S.R.I. anorganik 3.05 tonha,
S.R.I semi-organik 2.43 tonha, konvensional 2.35 tonha dan terakhir S.R.I. organik dengan GKG 2.33 tonha
Sistem Budidaya GKP
tonha Kenaikan
GKP GKG
tonha Kenaikan
GKG Bobot 1000 Butir
Konvensional 3.59a
- 2.35a
- 23.40a
S.R.I Anorganik 4.35a
21.17 3.05a
29.79 22.82a
S.R.I Organik 3.55a
-1.11 2.33a
-1.58 23.03a
S.R.I Semi-organik 3.96a
10.31 2.43a
3.40 23.29a
Bobot 1000 butir pada budidaya konvensional dan budidaya S.R.I. tidak menunjukan perbedaan yang nyata, bobot 1000 butir paling tinggi pada perlakuan
konvensional, hal ini dikarenakan pada saat masa pengisian bulir padi S.R.I. hama seperti walang sangit muncul dan mengisap bulir yang masih matang susu
sehingga pengisian bulir pada budidaya S.R.I. tidak optimal, sedangkan pada saat itu padi konvensional sudah mulai matang penuh sehingga hama-hama tadi tidak
terlalu mempengaruhi bobot bulir tersebut Tabel 4. Selain itu unsur hara yang tinggi juga mempengaruhi bobot 1000 butir. Menurut Rauf et al. 2000, unsur
nitrogen berperan untk merangsang pertumbuhan vegetatif, meningkatkan jumlah anakan, dan meningkatkan jumlah bulir per rumpun; unsur fosfor berperan
memacu terbentuknya bunga, bulir pada malai, menurunkan arborsitas, perkembangan akar halus dan akar rambut, memperkuat jerami sehingga tidak
mudah rebah, dan memperbaiki kualitas gabah meningkatkan ukuran berat gabah; sedangkan unsur kalium dapat meningkatkan jumlah bulir per malai,
persentase gabah isi, dan bobot 1000 butir Badan Peneliti dan Pengembangan Pertanian, 2008. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Kusumawardhany 2009,
yang menyatakan bahwa bobot 1000 butir pada perlakuan konvensional memiliki nilai tertinggi dibandingkan perlakuan yang lain karena dipengaruhi oleh suplai
hara N, P dan K bagi tanaman. Dimana gabungan dari ketiga unsur tersebut jika tersedia secara berimbang pada tanaman akan menghasilkan bobot 1000 butir
yang lebih tinggi. Dari ketiga budidaya S.R.I. yang diterapkan, perlakuan S.R.I. semi-
organiklah yang memiliki bobot 1000 butir tertinggi karena penambahan pupuk urea, SP-18 dan KCl yang disertai penambahan biofertilizer yang mengandung
Mikrob Pelarut Fosfat MPF dan Azotobacter dapat mempercepat proses terjadinya unsur hara nitrogen dan fosfor bagi tanaman Tabel 4. Menurut
Suwena 2002, pemanfaatan biofertilizer yang dikombinasikan dengan pupuk anorganik dan organik memberikan prospek cukup baik untuk memperbaiki dan
meningkatkan produktivitas tanah, selain itu mikroba yang terkandung pada biofertilizer dapat mempercepat tersedianya unsur hara bagi tanaman. Hal tersebut
sangat menguntungkan karena produktifitas tanah yang baik dan tersedianya unsur
hara seperti nitrogen dan fosfor bagi tanaman dapat meningkatkan hasil produksi tanaman.
Jumlah batang produktif per 100 m2 berbanding terbalik dengan jumlah gabah per malai dan jumlah gabah bernas. Walaupun jumlah batang produktif per
100 m2 lebih banyak pada budidaya konvensional, akan tetapi dengan tingginya komponen hasil yang lain seperti panjang malai, jumlah batang per rumpun,
jumlah gabah per malai dan jumlah gabah bernas dapat meningkatkan hasil lebih besar dengan budidaya S.R.I. Hal ini sejalan dengan penelitian Kusumawardhany
2009, yang menyatakan bahwa budidaya S.R.I. memiliki kecenderungan dapat meningkatkan komponen hasil seperti jumlah gabah per malai dan jumlah gabah
isi. Sehingga walaupun pada budidaya S.R.I. jumlah batang per 100 m2 dan jumlah batang produktif per 100 m2 memiliki hasil yang lebih rendah, tetapi pada
GKP dan GKG budidaya S.R.I. memiliki hasil yang lebih tinggi dari konvensional. Selain itu menurut Masdar 2006, jarak tanam yang lebih lebar
memberi hasil terbaik dibanding jarak tanam yang sempit. Walaupun jumlah rumpun per m2 pada jarak tanam lebar lebih sedikit, namun dua variabel, yaitu
jumlah anakan produktif per rumpun dan jumlah bulir per malai berperan nyata pada harapan produksi.
Hasil dari semua perlakuan pada penelitian ini tidak melebihi produksi padi nasional yang mencapai 4.87 tonha. Hal ini disebabkan karena padi terserang
beberapa hama, selain itu waktu tanam yang tidak serempak dengan daerah sekitarnya juga menjadi salah satu sebab tanaman diserang hama sehingga
produksi padi menurun. Selain kadar unsur hara yang rendah dibandingkan dengan perlakuan lain
dan unsur hara tersedia secara perlahan-lahan slow release, pertumbuhan dan hasil yang rendah pada perlakuan budidaya S.R.I. organik disebabkan pula oleh
pemberian bahan organik berupa kompos yang belum terbiasa dilakukan pada lokasi ini. Produksi padi pada budidaya S.R.I. organik yang cukup rendah
dibanding perlakuan S.R.I. organik yang pernah dilakukan, karena pada umumnya S.R.I. organik yang dilakukan ditambah dengan mikroorganisme lokal MOL
yang dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan padi. Pemberian MOL yang tidak dilakukan karena dalam penelitian ini tidak hanya melihat pengaruh
terhadap pertumbuhan dan produksi padi semata namun juga dilakukan untuk melihat perbedaan jumlah dan keragaman mikroorganisme antara sistem budidaya
S.R.I. organik dan S.R.I. semi-organik yang menggunakan biofertilizer. Hasil ini serupa dengan penelitian di Kecamatan Kebon Pedes, Sukabumi.
Kusumawardhany 2009, melaporkan hasil panen yang kurang baik dengan hasil GKP sebagai berikut S.R.I anorganik 5.32 tonha, S.R.I. semi-organik 4.97tonha,
S.R.I. organik 4.72 tonha dan konvensional sebesar 4.58 tonha. Hasil yang rendah tersebut disebabkan oleh gangguan hama dan penyakit terutama hama
walang sangit yang menyerang padi pada saat masa pengisian bulir sehingga bulir padi tidak terisi penuh.
Berdasarkan penelitian Nurwitasari 2009, di Kecamatan Limo, Depok, faktor lain yang dapat menyebabkan hasil panen S.R.I. rendah adalah akibat
cekaman air yang terjadi pada saat fase pembentukan malai. Cekaman air pada penelitian tersebut menyerang padi S.R.I. pada usia 64 hari. Hasil GKP padi yang
diperoleh pada perlakuan S.R.I. sebagai berikut S.R.I.anorganik 2.75 tonha, S.R.I. semi-organik 2.4 tonha dan S.R.I. organik sebesar 1.83 tonha, GKP padi
pada perlakuan konvensional memiliki bobot yang lebih tinggi yaitu sebesar 3.38 tonha karena pada saat terjadi cekaman air perlakuan konvensional berumur lebih
tua dan tanaman padi tersebut telah melewati tahap pembentukan malai sehinggga waktu cekaman air yang dialami sistem budidaya konvensional lebih pendek
daripada sistem budidaya lainnya.
4.3. pH dan Eh