10
2.4 Sistem Penghantaran Obat Gastroretentif
Penyampaian obat secara oral merupakan rute pemberian obat yang paling banyak digunakan dikarenakan penggunaan yang mudah, pasien lebih patuh,
formulasi yang mudah, dan lebih murah. Akan tetapi, bentuk sediaaan oral memiliki beberapa kekurangan yaitu proses absorbsi yang cepat, degradasi oleh
asam lambung, dan waktu paruh yang pendek. Oleh karena hal tersebut, peneliti mengembangkan sediaan oral dengan pelepasan berkelanjutan yang dapat
mencapai efek yang diinginkan Neetika dan Manish, 2012.
Salah satu sediaan oral yang telah dikembangkan adalah sistem penyampaian obat yang bertahan dilambung atau gastroretentive drug delivery
system. Sistem ini dapat mempertahankan obat tetap berada di dalam lambung selama beberapa jam dan karenanya dapat memperpanjang waktu tinggal obat di
lambung secara signifikan. Peningkatan waktu tinggal di lambung dapat meningkatkan bioavailabilitas atau ketersediaan hayati, mengurangi residu obat,
dan meningkatkan kelarutan obat yang kurang larut dalam lingkungan pH tinggi. Sistem ini juga diaplikasikan dalam pengobatan lokal untuk bagian perut dan
bagian atas usus kecil. Motilitas saluran cerna yang melambat dengan pemberiaan bersamaan dengan obat ini juga meningkatkan waktu tinggal obat didalam
lambung Neetika dan Manish, 2012.
Gambar 2.2 Sistem penghantaran obat di lambung
Gambar diatas merupakan berbagai sistem penghantaran obat di lambung, yaitu sistem mukoadesif, sistem mengapung, mengembang, dan sistem high
Universitas Sumatera Utara
11
density yang dikembangkan untuk meningkatkan lama tinggal sediaan di dalam lambung Neetika dan Manish, 2012.
2.5 Sistem Penghantaran Obat Mengapung Floating Drug Delivery
System
Sediaan dengan sistem penghantaran mengapung floating drug delivery system memiliki berat jenis yang jauh lebih kecil dari cairan lambung, hal ini
menyebabkan sediaan dapat tetap mengapung dalam waktu yang lama. Disaat sediaan mengapung, maka obat akan terlepas lambat, kemudian residual akan
dikosongkan dari lambung. Hal ini menyebabkan lama tinggal sediaan dilambung meningkat dan kontrol pelepasan konsentrasi obat lebih baik Shah, 2009.
Sistem penghantaran obat mengapung dibagi ke dalam dua variabel formulasi yaitu sistem effervescent dan sistem non-effervescent.
a. Bentuk Sediaan Floating Effervescent Merupakan sistem yang menggunakan polimer agar dapat mengapung
seperti HPMC, senyawa polisakarida polisakarida lain, kitosan, dan effervescent seperti sodium bikarbonat, kalsium karbonat, asam sitrat, dan asam tartat. Sediaan
diformulasikan sedemikian rupa sehingga saat kontak dengan asam lambung CO2 akan dilepaskan dan terperangkap dalam hidrokoloid yang telah mengembang, hal
ini menyebabkan sediaan mengapung Narang, 2010. b. Bentuk Sediaan Floating Non-Effervescent
Menggunkan bahan pembentuk gel dan dapat mengembang seperti hidrokoloid hidroksi etil selulosa, hidroksi propil selulosa, hidroksipropil metil
selulosa, dan sodium karboksi metil selulosa, polisakarida, dan matriks pembentuk polimer polikarbopol, poliakrilat, dan polistiren. Pada proses
Universitas Sumatera Utara
12
formulasinya, obat dan hidrokoloid pembentuk gel dicampurkan secara merata. Setelah diberikan secara oral, sediaan akan mengembang setelah kontak dengan
asam lambung dengan massa jenis lebih kecil dari satu, daya apung sediaan disebabkan oleh udara yang terjerap didalam matriks Narang, 2010.
2.5.1 Kandidat obat untuk sediaan mengapung
Pada sistem penghantaran obat ini dimaksudkan untuk obat-obat dengan tujuan pemakaian tertentu, dengan maksud untuk penghantaran, dan aktivitas
kerja obat yang lebih baik. Berbagai macam kandidat obat yang tepat untuk diformulasikan pada sistem penghantaran obat mengapung diantaranya:
a. Obat-obat yang aktif bekerja secara lokal di lambung, contoh: misoprostol dan antasida.
b. Obat-obat yang memiliki rentang absorpsi sempit dalam saluran pencernaan, contoh: Levodopa, asam p-amino benzoat, furosemid, dan riboflavin.
c. Obat-obat yang tidak stabil pada lingkungan basa di bagian usus atau kolon, contoh: Captopril, ranitidine HCl, dan metronidazol.
d. Obat-obat yang mengganggu aktivitas kerja mikroba di kolon, contoh: antibiotik yang digunakan pada pengobatan Helicobacter Pylori, diantaranya
tetrasiklin, klaritomisin, metronidazol, dan amoksisilin. e. Obat-obat yang menunjukkan kelarutan yang rendah pada pH yang tinggi,
contoh: diazepam, klordiazeposid, dan verapamil Bharathi, et al., 2015.
2.5.2 Keuntungan bentuk sediaan mengapung
Bentuk sediaan floating memiliki beberapa keuntungan, yaitu: a. Peningkatan penyerapan obat karena peningkatan waktu tinggal di lambung dan
peningkatan waktu kontak obat dengan daerah penyerapan. b. Penghantaran obat dapat dikendalikan.
Universitas Sumatera Utara
13
c. Penghantaran obat secara lokal untuk daerah kerja di lambung. d. Meminimalkan terjadinya iritasi pada mukosa lambung karena obat-obatan
tertentu dengan cara melepaskan obat secara lambat pada tingkat terkendali. e. Digunakan untuk pengobatan gangguan pencernaan.
f. Menggunakan peralatan yang sederhana dan konvensional. g. Kemudahan dalam penggunaannya dan meningkatkan faktor kepatuhan pasien
menjadi lebih baik. h. Penghantaran obat pada daerah tertentu Sharma, et al., 2011.
Berbagai keuntungan ini menjadikan sistem lebih dikembangkan lagi untuk menghasilkan sistem penghantaran yang ideal Sharma, et al., 2011.
2.5.3 Kekurangan sistem penyampaian obat mengapung
Selain keuntungan, bentuk sediaan ini juga memiliki beberapa kekurangang, diantaranya:
a. Retensi lambung yang dipengaruhi oleh banyak faktor seperti makanan, pH, dan motilitas lambung. Faktor-faktor ini tidak pernah tetap dan karenanya daya
apung sediaan tidak dapat diprediksi. b. Obat-obatan yang menyebabkan iritasi dan lesi pada mukosa lambung tidak
cocok untuk sistem pemberian obat ini. c. Variabilitas tinggi dalam waktu pengosongan lambung.
d. Pengosongan lambung untuk pasien pada posisi tidur telentang yang terjadi secara acak tidak dapat diprediksi dan bergantung pada diameter dan ukuran
sediaan mengapung. Oleh karena itu sebaiknya tidak diberikan sediaan ini saat pasien akan tidur Sharma, et al., 2011.
Universitas Sumatera Utara
14
2.6 Sistem Dispersi Padat
2.6.1 Definisi dispersi padat
Istilah dispersi padat mengacu kepada sekelompok produk padatan yang terdiri setidaknya dari dua komponen yang berbeda, umumnya matriks hidrofilik
dan obat hidrofobik. Matriks ini dapat berupa kristal atau amorf. Obat ini dapat terdispersi secara molekuler, dalam partikel amorphous kluster atau dalam
partikel kristal Chiou dan Reigelman, 1971. Dispersi padat dapat didefenisikan sebagai sistem dispersi satu atau lebih
bahan aktif ke dalam suatu pembawa atau matriks inert dalam kondisi padat, yang dibuat dengan cara peleburan, pelarutan, atau kombinasi dari peleburan dan
pelarutan, dimana masing-masing metode ini memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing dan disesuaikan dengan sifat bahan dan matriks yang akan
didispersikan. Keuntungan dari formulasi dispersi padat dibandingkan tabletkapsul konvensional untuk peningkatan disolusi dan biovailabilitas dari
obat yang sukar larut dalam air Chiou dan Rielgeman, 1971.
2.6.2 Metode pembuatan sistem dispersi padat 2.6.2.1 Metode pelelehan
Metode ini pertama kali diusulkan Sekiguchi dan Obi tahun 1961. Untuk membuat bentuk sediaan dispersi padat. Campuran obat dan pembawa yang larut
air dilebur secara langsung sampai meleleh. Campuran tersebut didinginkan dan dibekukan pada penangas berisi es ice bath dengan pengadukan kuat. Massa
padat dihancurkan, diserbuk dan diayak Goldberg, et al., 1966. Massa padat tersebut biasanya membutuhkan penyimpanan satu hari atau lebih dalam desikator
pada suhu kamar untuk pengerasan dan kemudahan diserbuk Levy, 1963.
Universitas Sumatera Utara
15
Keuntungan utama metode ini adalah sederhana dan ekonomis. Sebagai tambahan dapat dicapai supersaturasi zat terlarut atau obat pada sistem dengan
mengkristalkan lelehan langsung secara cepat dari temperatur tinggi Dibawah kondisi seperti itu, molekul zat terlarut tertahan pada matriks pelarut dengan
proses pemadatan langsung. Sehingga didapat dispersi kristalit yang lebih halus dari sistem campuran eutetis sederhana bila metode ini digunakan.
Kekurangannya adalah banyak zat baik obat atau pembawa, dapat terurai atau menguap selama proses peleburan pada suhu tinggi Chiou dan Riegelman, 1971.
2.6.2.2 Metode pelarutan
Metode ini telah lama digunakan dalam pembuatan dispersi padat atau kristal campuran senyawa organik dan anorganik Chiou dan Riegelman, 1971.
Dispersi padat dibuat dengan melarutkan campuran dua komponen padat dalam suatu pelarut umum, diikuti dengan penguapan pelarut. Metode ini digunakan
untuk membuat dispersi padat ß- karoten-polivinilpirolidon Tachibana dan Nakamura, 1965, sulfathiazol-polivinilpirolidon Simonelli, et al., 1969.
Keuntungan utama dari metode ini adalah penguraian obat atau pembawa dapat dicegah karena penguapan pelarut terjadi pada suhu rendah. Kekurangannya
adalah biaya mahal, kesukaran memisahkan pelarut secara sempurna, kemungkinan efek merugikan dari pelarut yang jumlahnya dapat diabaikan
terhadap stabilitas obat, pemilihan pelarut umum yang mudah menguap, dan kesukaran menghasilkan kembali bentuk kristal Chiou dan Riegelman, 1971.
2.6.2.3 Metode pelarutan-pelelehan
Sistem dispersi padat dibuat dengan melarutkan dahulu obat dalam pelarut yang sesuai dan mencampurnya dengan lelehan polietilen glikol, dapat dicapai
dibawah suhu 70º C, tanpa memisahkan pelarut. Metode ini terbatas untuk obat
Universitas Sumatera Utara
16
dengan dosis terapetik yang rendah, misalnya dibawah 50 mg Chiou dan Riegelman, 1971.
2.6.3 Pembawa dispersi padat
Pembentukan sistem dispersi padat dalam pembawa yang mudah larut telah luas digunakan diantaranya: polivinilpirolidon PVP, polietilen glikol
PEG, polivinilalkohol PVA, derivat selulosa, poliakrilat dan polimethakrilat,
urea, gula, poliol dan polimernya, dan emulsifier Leuner dan Dressman, 2000. Polivinilpirolidon merupakan homopolimer dari N-vinilpirolidon dengan
berat molekul 2500-3000 yang digunakan sebagai agen pensuspensi dan dispersi, pengikat tablet dan agen granulasi, dan sebagai pembawa untuk obat-obat seperti
penisilin, kortison, prokain, dan insulin. PVP tersedia dengan range angka dari K15 sampai K90 Attwood, 2008. Oleh karena kelarutan yang bagus dalam
pelarut organik, PVP cocok digunakan untuk pembuatan dispersi padat dengan metode pelarutan. Peningkatan laju disolusi dari dispersi padat dengan PVP telah
dilakukan pada asam fufenamat Itai et al., 1985.
2.7 Natrium Alginat
Alginat sangatlah berlimpah di alam indonesia karena alginat ini sebagai komponen struktural yang terdapat dalam alga coklat Phaeophyceae, yang
komponennya mencapai 40 dari bahan keringnya Draget, et al., 2005 Natrium Alginat merupakan produk pemurnian karbohidrat yang
diekstraksi dari alga coklat Phaeophyceae dengan menggunakan basa lemah. Natrium alginat larut dengan lambat dalam air, membentuk larutan kental, tidak
larut dalam etanol dan eter. Alginat ini diperoleh dari spesies Macrocystis pyrifera, Laminaria, Aschophyllum dan Sargassum Belitz, et. al., 2009.
Universitas Sumatera Utara
17
Alginate komersil umumnya diproduksi dari Laminaria hyperborean, Macrocystis pyrifera, Laminaria digitata, Ascophyllum nodosum, Laminaria
japonica, Edonia maxima, Lessonia nigrescens, Durvillea Antarctica, dan Sargassum sp Draget, et al., 2005.
Asam alginat merupakan kopolimer biner yang terdiri dari residu β-D- mannuronat M dan α-L-asam guluronat G yang tersusun dalam blok-blok yang
membentuk rantai linier Grasdalen, et. al., 1979. Kedua unit tersebut berikatan pada atom C1 dan C4 dengan susunan homopolimer dari masing-masing residu
MM dan GG dan suatu blok heteropolimer dari dua residu MG Thom, et al., 1980.
Asam alginat tidak larut dalam air, karena itu yang digunakan dalam industri adalah dalam bentuk garam natrium dan garam kalium. Salah satu sifat
dari natrium alginat adalah mempunyai kemampuan membentuk gel dengan penambahan larutan garam-garam kalsium seperti kalsium glukonat, kalsium
tartrat dan kalsium sitrat. Pembentukan gel dengan ion kalsium, disebabkan oleh adanya ikatan silang membentuk khelat antara ion kalsium dan anion karboksilat
pada blok G-G melalui mekanisme antar rantai. Natrium alginat mempunyai rantai poliguluronat yang menunjukkan sifat pengikatan ion kalsium yang lebih
besar Morris, et al., 1980.
Universitas Sumatera Utara
18
Gambar 2.3 Struktur Alginat a monomer alginat b ikatan antar monomer
c gambaran blok monomer alginat Asam alginat bersifat asam, dan sering digunakan dalam granulasi asam
atau netral. Jika digunakan dalam garam basa atau garam asam organik, zat ini cenderung membentuk alginat yang larut atau tidak larut yang mempunyai sifat
gel dan memperlambat desintegrasi. Asam alginat biasa digunakan pada konsentrasi 1 sampai 5, sedangkan natrium alginat digunakan antara 2,5
sampai 10. Asam alginat dan garamnya merupakan suatu kombinasi yang baik dengan pengembangan yang cukup dengan kelekatan minimal dan konsentrasi
serendah mungkin antara 4 sampai 5 sudah memadai dalam memberikan sifat pengembangan tersebut Siregar dan Wikarsa, 2010.
Kelarutan alginat dalam air ditentukan dan dibatasi oleh tiga parameter berikut, antara lain:
Universitas Sumatera Utara
19
i pH pelarut merupakan parameter penting karena akan menentukan adanya
muatan elektrostatik pada residu asam uronat. ii
Kekuatan ionik total zat terlarut juga berperan penting terutama efek salting- out kation-kation non-gelling, dan
iii Kandungan dari ion-ion pembentuk gel dalam pelarut membatasi kelarutan
Draget, et al., 2005. Kegunaan alginat dan kemampuannya mengikat air bergantung pada
jumlah ion karboksilat, berat molekul dan pH. Kemampuan mengikat air meningkat bila jumlah ion karboksilat semakin banyak dan jumlah residu kalsium
alginat kurang dari 500, sedangkan pH dibawah 3 terjadi pengendapan. Secara umum, alginat dapat mengabsorpsi air dan dapat digunakan sebagai pengemulsi
dengan viskositas yang rendah Zhanjiang, 1990. Dilaboratorium Farmasi Fisik Fakultas Farmasi USU dalam beberapa
tahun terakhir telah dikembangkan kapsul yang tahan terhadap asam lambung. Dimana cangkang kapsul tersebut dibuat dengan bahan dasar berupa natrium
alginat dengan kalsium klorida menggunakan cetakan. Telah terbukti bahwa cangkang kapsul alginat tahan atau tidak pecah dalam cairan lambung buatan
pH 1,2. Utuhnya cangkang kapsul alginat didalam medium lambung buatan pH 1,2 disebabkan komponen penyusun cangkang kapsul alginat yaitu kalsium
guluronat masih utuh Bangun, dkk., 2005.
2.8 Kapsul