Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Definisi Konsep

13

I.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas , maka dalam penelitian ini perumusan masalahnya adalah sebagai “Bagaimana Implementasi Kebijakan UU No. 37 Tahun 2008 dalam Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik Studi Pada Lembaga Ombudsman Perwakilan Provinsi Sumatera Utara? ”

I.3. Tujuan Penelitian

Penelitian yang dilakukan terhadap suatu masalah pada dasarnya memiliki tujuan penelitian dengan maksud untuk memberikan arahan ataupun jakur tertentu terhadap penelitian itu sendiri. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui implementasi kebijakan UU No.37 Tahun 2008 dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik di Indonesia khususnya dalam menangani pengaduan dari masyarakat dan cara-cara penyelesaiannya. 2. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi Lembaga Ombudsman Republik Indonesia dalam menjalankan perannya.

I.4. Manfaat Penelitian

Dari kegiatan penelitian tentunya akan diperoleh hasil yang diharapkan dapat memberikan manfaat bagi peneliti maupun pihak lain yang memerlukannya. Adapun manfaat penelitian ini adalah : Universitas Sumatera Utara 14 1. Sebagai sumber informasi bagi siapa saja terkait fungsi serta peran yang ditawarkan Lembaga Ombudsman dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan publik. 2. Untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan study di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Departemen Ilmu Administrasi Negara, Universitas Sumatera Utara.

I.5. Kerangka Teori

Menurut Kerlinger Singarimbun, 2008: 37, teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstrak, defenisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep. Untuk memudahkan penulis dalam menyusun penelitian ini, maka dibutuhkan teori-teori sebagai pedoman kerangka berpikir untuk menggambarkan dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang dipilih. Pedoman tersebut disebut kerangka teori. Kerangka teori merupakan bagian dari penelitian, tempat peneliti memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan variabel pokok, subvariabel atau masalah pokok yang ada dalam penelitian Arikunto, 2002: 92. Adapun yang menjadi kerangka teori dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: I.5.1.Kebijakan Publik I.5.1.1.Pengertian Kebijakan Publik Menurut Parsons dalam Wayne Parsons, 2005:3 kata “publik” berisi kegiatan aktivitas manusia yang dipandang perlu untuk diatur dan diintervensi Universitas Sumatera Utara 15 oleh pemerintah atau aturan sosial, atau setidaknya oleh tindakan bersama. Publik itu dipandang sebagai suatu ruang atau domain dalam kehidupan yang bukan privat atau murni milik individual, tetapi milik bersama atau milik umum. Sedangkan kata “kebijakan” menurut Heclo dalam Wayne Parsons, 2005:14 adalah istilah yang banyak disepakati bersama. Dalam penggunaan yang umum, istilah kebijakan dianggap berlaku untuk sesuatu yang “lebih besar” ketimbang keputusan tertentu, tetapi “lebih kecil” ketimbang gerakan sosial. Jadi, kebijakan policy adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Heclo mengatakan bahwa ada perbedaan pendapat mengenai apakah kebijakan itu merupakan tindakan yang diniatkan intended atau tidak. Sebuah kebijakan mungkin saja merupakan sesuatu yang tidak disengaja, tetapi ia tetap dilaksanakan dalam implementasi atau praktik administrasi. Pengertian konsep publik dan kebijakan diatas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah tindakan maupun keputusan yang pemerintah lakukan atau tidak dengan tujuan untuk mengatur masyarakat di suatu wilayah. Ini sama seperti pendapat Thomas R. Dye dalam Indiahono, 2009:17, yang menyatakan bahwa kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan. Maknanya adalah Dye hendak menyatakan bahwa apapun kegiatan pemerintah baik yang eksplisit maupun implisit merupakan kebijakan. Interpretasi dari kebijakan menurut Dye harus dimaknai dengan dua hal penting, yaitu: pertama, kebijakan haruslah dilakukan oleh badan pemerintah, dan kedua, kebijakan tersebut mengandung pilihan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Selain Dye, James E. Anderson mendefenisikan kebijakan publik sebagai Universitas Sumatera Utara 16 suatu arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. Kebijakan publik dalam kerangka substantif adalah segala aktifitas yang dilakukan oleh pemerintah untuk memecahkan masalah publik yang dihadapi. Kebijakan publik haruslah diarahkan untuk memecahkan masalah publik untuk memenuhi kepentingan dan penyelenggaraan urusan-urusan publik. Menurut Charles O. Jones dalam Tangkilisan, 2003:3 kebijakan publik terdiri dari komponen-komponen sebagai berikut: 1. Goals atau tujuan yang diinginkan, 2. Plans atau rancangan yang spesifik untuk mencapai tujuan, 3. Program yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan, 4. Decision atau keputusan yaitu tindakan untuk menentukan tujuan, membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program, dan 5. Efect yaitu dampak dari program baik disengaja maupun tidak dan primer maupun sekunder. I.5.1.2.Bentuk dan Macam Kebijakan Keputusan yang dihasilkan oleh aktor kebijakan tersebut diturunkan dalam berbagai bentuk variasi. Adapun bentuk-bentuk kebijakan tersebut adalah sebagai berikut : Bentuk kebijakan ditinjau berdasarkan pembuatnya: 1. Pusat: dibuat oleh pemerintah atau lembaga pemerintahan yang berkedudukan di pusat dan digunakan untuk mengatur seluruh warga negara dan wilayah Indonesia. Universitas Sumatera Utara 17 2. Daerah: dibuat oleh pemerintah atau lembaga pemerintahan yang berkedudukan di daerah dan digunakan untuk mengatur daerahnya masing-masing. Bentuk kebijakan ditinjau berdasarkan tujuannya: 1. Law Order adalah Kebijakan mengenai hukum dan tatanan hukum. Adapun bentuk kebijakan ini umumnya berupa undang-undang atau peraturan-peraturan yang diumumkan oleh pemerintah. 2. Distributive Order adalah kebijakan yang bersifat mengarahkan penguasa dalam mendistribusikan sumber daya yang dimilikinya dalam rangka pencapaian tujuan yang diinginkan oleh negara. Misalnya perijinan usaha, kekuasaan kepada kepolisian, kejaksaan, dan lain-lain. 3. Re-Distributive Order adalah kebijakan yang bersifat mengarahkan masyarakat untuk ikut berpartisipasi terhadap pelaksanaan tata pemerintahan dalam rangka pencapaian tujuan negara secara umum. Bentuk kebijakan ini umumnya berupa kewajiban pembayaran pajak bagi warga negara. Bentuk kebijakan ditinjau berdasarkan wujud nyata nya: 1. Gerakan contohnya: Gerakan Orang Tua Asuh GNOTA, Gerakan Penghijauan. 2. Peraturan perundangan: Peraturan Walikota No 23 Tahun 2011 Tentang Perizinan Usaha Warung Internet. 3. Pidato atau pernyataan pejabat publik: Pidato Presiden 4. Program: Program KB 5. Proyek: Proyek Padat Karya Universitas Sumatera Utara 18 I.5.1.3.Proses Kebijakan Publik Dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh kebijakan publik, Dunn Tangkilisan, 2003:7 mengemukakan bahwa ada beberapa tahap analisis yang harus dilakukan, yaitu: 1. Agenda setting: adalah proses pengumpulan isu-isu dan masalah publik yang mencuat ke permukaan melalui proses problem structuring. Menurut Dunn problem structuring memiliki empat fase yaitu: pencarian masalah, pendefenisian masalah, spesifikasi masalah, dan pengenalan masalah. Woll mengatakan bahwa suatu isu kebijakan dapat berkembang menjadi agenda kebijakan apabila memenuhi syarat sebagai berikut: a Memiliki efek yang besar terhadap kepentingan masyarakat, b Membuat analog dengan cara memancing dengan kebijakan publik yang pernah dilakukan, c Isu tersebut mampu dikaitkan dengan simbol-simbol nasional atau politik yang ada, d Terjadinya kegagalan pasar, dan e Tersedianya teknologi atau dana untuk menyelesaikan masalah publik. 2. Policy formulation: adalah mekanisme proses untuk menyelesaikan masalah publik, dimana pada tahap ini para analis mulai menerapkan beberapa teknik untuk menentukan sebuah pilihan yang terbaik yang akan dijadikan kebijakan. Dalam menentukan kebijakan tersebut, aktor kebijakan dapat menggunakan analisis biaya dan manfaat dan analisis keputusan, dimana keputusan yang harus diambil tidak ditentukan dengan Universitas Sumatera Utara 19 informasi yang serba terbatas. Para aktor kebijakan tersebut harus mengidentifikasi kemungkinan kebijakan yang dapat digunakan melalui psoses peramalan forecastinguntuk memecahkan masalah yang didalamnya terkandung konsekuensi dari setiap pilihan kebijakan yang akan dipilih. 3. Policy adoption: adalah penetapan keputusan yang sudah ditetapkan untuk menjadi solusi dari masalah publik tersebut. Tahap ini dilakukan setelah mendapatkan rekomendasi melalui langkah-langkah sebagai berikut: a Mengidentifikasi alternatif kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk merealisasikan masa depan yang diinginkan dan merupakan langkah terbaik dalam mencapai tujuan tertentu bagi kemajuan masyarakat luas. b Pengidentifikasian kriteria-kriteria tertentu dan dipilih untuk menilai alternatif yang akan direkomendasikan. c Mengevaluasi alternatif-alternatif tersebut dengan menggunakan kriteria yang relevan agar efek posisi alernatif lebih besar dari efek yang terjadi. 4. Policy implementation: adalah proses pelaksanaan kebijakan yang sudah ditetapkan tersebut oleh unit-unit eksekutor tertentu dengan memobilisasi sumber dana dan sumber daya lainnya dan pada tahap ini proses monitoring sudah dapat dilakukan. Tahapan implementasi kebijakan merupakan kegiatan yang berhubungan dengan apa yang terjadi setelah suatu kebijakan ditetapkan dengan menghasilkan output yang jelas dan dapat diukur. Universitas Sumatera Utara 20 5. Policy assessment atau penilaian kebijakan: pada tahap ini semua proses implementasi dinilai apakah sudah sesuai dengan rencana dalam program kebijakan dengan ukuran kriteria-kriteria yang telah ditentukan. Proses penilaian tersebut dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu monitoring dan evaluasi. Monitoring dilakukan sewaktu proses pelaksanaan kebijakan masih berjalan dan bertujuan untuk melihat bagaimana program tersebut berjalan, biasanya dalam bentuk penelitian riset dan rekomendasi. dan evaluasi dilakukan setelah kebijakan tersebut telah selesai dilakukan. Evaluasi dilakukan terhadap program yang sudah selesai dan bertujuan untuk mengetahui bagaimana hasil dari program tersebut apakah mencapai sasaran. I.5.2.Implementasi Kebijakan I.5.2.1.Pengertian Implementasi Kebijakan Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang krusial dalam proses kebijakan publik. Jika suatu kebijakan telah ditetapkan, kebijakan tersebut tidak akan berhasil dan terwujud bilamana tidak diimplementasikan. Suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan. Implementasi kebijakan dalam arti luas dapat diartikan sebagai alat administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan. Sementara itu, Van Meter dan Van Horn dalam Winarno, 2002: 102 menyebutkan implementasi kebijakan sebagai tindakan- tindakan yang dilakukan oleh individu-individu atau kelompok-kelompok Universitas Sumatera Utara 21 pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya. Tindakan- tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan yang besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan. Jadi implementasi merupakan suatu proses dinamis yang melibatkan secara terus menerus usaha-usaha untuk mencari apa yang akan dan dapat dilakukan. Dengan demikian implementasi mengatur kegiatan-kegiatan yang mengarah pada penempatan suatu program pada tujuan kebijakan yang diinginkan. Menurut Jones Tangkilisan, 2003:17 terdapat tiga kegiatan utama yang paling penting dalam implementasi, yaitu: 1. Penafsiran: yaitu kegiatan yang menerjemahkan makna program kedalam pengaturan yang dapat diterima dan dapat dijalankan. 2. Organisasi: merupakan unit atau wadah untuk menempatkan program kedalam tujuan kebijakan. 3. Penerapan: berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan, upah dan lainnya. I.5.2.2.Model-Model Implementasi Kebijakan Untuk melihat bagaimana proses implementasi kebijakan itu berlangsung secara efektif, maka dapat dilihat dari berbagai model, yaitu: Universitas Sumatera Utara 22

A. Model Van Meter dan Van Horn 1975

Teori ini beranjak dari suatu argumen bahwa perbedaan-perbedaan dalam proses implementasi akan dipengaruhi oleh sifat kebijakan yang akan dilaksanakan. Selanjutnya Van Meter dan Van Horn menawarkan suatu pendekatan yang mencoba untuk menghubungkan antara isu kebijakan dengan implementasi dan suatu model konseptual yang menghubungkan kebijakan dengan kinerja kebijakan. Mereka menegaskan bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep yang penting dalam prosedur- prosedur implementasi. Dengan memanfaatkan konsep-konsep tersebut maka permasalahan yang perlu dikaji dalam hubungan ini adalah: a. Hambatan-hambatan apakah yang terjadi dalam mengenalkan perubahan dalam organisasi. b. Seberapa jauhkah tingkat efektifitas mekanisme-mekanisme kontrol pada setiapjenjang struktur, masalah ini menyangkut kekuasaan dari pihak yang paling rendah dalam organisasi yang bersangkutan. c. Seberapa pentingkah rasa keterikatan masing-masing orang dalam organisasi masalah kepatuhan. Dari pandangan tersebut maka Van Meter dan Van Horn membuat tipologi kebijakan menurut: a. Jumlah masing-masing perubahan yang akan terjadi. b. Jangkauan atau lingkup kesepakatan terhadap tujuan diantara pihak-pihak yang terlibat dalam proses implementasi. Alasan dikemukakannya hal ini adalah bahwa proses implementasi itu akan dipengaruhi oleh dimensi-dimensi kebijakan semacam itu, dalam artian Universitas Sumatera Utara 23 bahwa implementasi akan berhasil apabila perubahan yang dikehendaki relatif sedikit sementara kesepakatan terhadap tujuan terutama dari para implementor dolapangan relatif tinggi. Hal lain yang dikemukakan mereka bahwa yang menghubungkan kebijakan dan kinerja dipisahkan oleh sejumlah variabel bebas yang saling berkaitan. Variabel bebas itu adalah: 1. Standar dan Sasaran Kebijakan Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisasikan. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi multi interpretasi dan mudah menimbulkan konflik diantara agen implementasi. 2. Sumber Daya Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya non manusia seperti dana yang digunakan untuk mendukung implementasi kebijakan. 3. Komunikasi dan Penguatan Aktivitas Dalam implementasi program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain agar tujuan kebijakan dapat tercapai. 4. Karakteristik Agen Pelaksana Karakteristik agen pelaksana mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semua hal tersebut akan mempengaruhi implementasi suatu program. 5. Kondisi Sosial, Ekonomi dan Politik Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi, lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana kelompok- Universitas Sumatera Utara 24 kelompok kepentingan dapat memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan, karaktersitik para partisipan yakni menolak atau mendukung, bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan dan apakah elit politik mendukung implementasi kebijakan. 6. Disposisi Implementor Ini mencakup tiga hal, yakni: a respon implementor terhadap kebijakan yang akan dipengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan, b kognisi, pemahaman para agen pelaksana terhadap kebijakan, dan c intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan berikut: Bagan 1: model implementasi van meter dan van horn

B. Model Merilee S. Grindle 1980

Merilee menyatakan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut. Keunikan model Universitas Sumatera Utara 25 Grindle terletak pada pemahaman yang komprehensif akan konteks kebijakan, khususnya yang menyangkut dengan implementor, penerima implementasi, dan arena konflik yang mungkin akan terjadi serta sumber daya yang akan diperlukan selama proses implementasi. Secara konsep dijelaskan bahwa model implementasi kebijakan yang dikemukakan Grindle menuturkan bahwa keberhasilan proses implementasi kebijakan sampai kepada tercapainya hasil tergantung kepada kegiatan program yang telah dirancang dan pembiayaan cukup, selain dipengaruhi oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Isi kebijakan yang dimaksud meliputi: 1. Kepentingan yang terpenuhi oleh kebijakan interest affected. 2. Jenis manfaat yang dihasilkan tipe of benefit. 3. Derajat perubahan yang diinginkan extent of change envisioned. 4. Kedudukan pembuat kebijakan site of decision making. 5. Para pelaksana program program emplementation. 6. Sumber daya yang dikerahkan resources commited. Sedangkan konteks implementasi yang dimaksud meliputi: 1. Kekuasaan power. 2. Kepentingan strategi aktor yang terlibat interest strategies of actors involved. 3. Karakteristik lembaga dan penguasa institution and regime characteristics. 4. Kepatuhan dan daya tanggap pelaksana compliance and responsiveness. Universitas Sumatera Utara 26

C. Model Mazmanian dan Sabatier 1983

Model ini disebut sebagai model kerangka analisis implementasi. Mazmanian dan Sabatier mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan kedalam tiga variabel, yaitu: 1. Karakteristik dari masalah tractability of the problems sering disebut dengan variabel independen. Indikatornya adalah: a. Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan. b. Tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran. c. Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi. d. Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan. 2. Karakteristik kebijakan undang-undang ability of statute to structure implementation sering disebut dengan istilah variabel intervening, indikatornya adalah: a. Kejelasan isi kebijakan. b. Seberapa jauh kebijakan tersebut memiliki dukungan teoritis. c. Besarnya alokasi sumberdaya finansial terhadap kebijakan tersebut. d. Seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan antar berbagai institusi pelaksana. e. Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana. f. Tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan. g. Seberapa luas akses kelompok-kelompok luar untuk berpartisipasi dalam implementasi kebijakan. 3. Variabel lingkungan nonstatutory variables affecting implementation sering disebut dengan istilah dependen. Indikatornya adalah: Universitas Sumatera Utara 27 a. Kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan teknologi. b. Dukungan publik terhadap sebuah kebijakan. c. Sikap dari kelompok pemilih constituency groups. d. Tingkat komitmen dan keterampilan dari aparat dan implementor.

D. Model George C. Edward III 1980

George Edward III dalam Winarno, 2002: 126 melihat implementasi kebijakan sebagai suatu proses yang dinamis, dimana terdapat banyak faktor yang saling berinteraksi dan mempengaruhi implementasi kebijakan. Faktor-faktor tersebut ditampilkan guna mengetahui bagaimana pengaruhnya terhadap implementasi kebijakan. Menurut George Edward III, dalam pendekatan studi implementasi harus dimulai dengan suatu pernyataan abstrak seperti yang dikemukakan sebagai berikut: a. Apakah yang menjadi prasyarat bagi implementasi kebijakan? b. Apakah yang menjadi faktor penghambat utama bagi keberhasilan implementasi kebijakan? Guna menjawab pertanyaan tersebut, George Edward III mengajukan empat faktor yang berperan penting dalam keberhasilan implementasi, yaitu: 1. Komunikasi communication. Implementasi kebijakan akan berjalan efektif apabila ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan kebijakan dipahami oleh individu-individu yang bertanggungjawab dalam pencapaian tujuan kebijakan. Kejelasan ukuran dan tujuan kebijakan dengan demikian perlu dikomunikasikan secara tepat dengan para pelaksana. Universitas Sumatera Utara 28 Konsistensi atau keseragaman dari ukuran dasar dan tujuan perlu dikomunikasikan sehingga pelaku kebijakan mengetahui secara tepat apa yang menjadi isi, tujuan, kelompok sasaran kebijakan, sehingga pelaku kebijakan dapat menyiapkan hal-hal apa saja yang berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan, agar proses implementasi kebijakan bisa berjalan secara efektif dan sesuai dengan tujuan kebijakan itu. Komunikasi dalam organisasi merupakan suatu proses yang amat kompleks dan rumit. Seseorang bisa menahannya hanya untuk kepentingan tertentu, atau menyebarluaskannya. Di samping itu sumber informasi yang berbeda juga akan melahirkan interpretasi yang berbeda pula. Agar implementasi berjalan efektif, siapa yang bertanggungjawab melaksanakan sebuah keputusan harus mengetahui apakah mereka dapat melakukannya. Sesungguhnya implementasi kebijakan harus diterima oleh semua personel dan harus mengerti secara jelas dan akurat mengenahi maksud dan tujuan kebijakan. Jika para aktor pembuat kebijakan telah melihat ketidakjelasan spesifikasi kebijakan sebenarnya mereka tidak mengerti apa sesunguhnya yang akan diarahkan. Para implemetor kebijakan bingung dengan apa yang akan mereka lakukan sehingga jika dipaksakan tidak akan mendapatkan hasil yang optimal. Tidak cukupnya komunikasi kepada para implementor secara serius mempengaruhi implementasi kebijakan. Komunikasi implementasi mencakup beberapa hal yaitu: a transformasi informasi, b kejelasan informasi, dan c konsistensi informasi. 2. Sumber Daya resource Bukan hanya isi sebuah kebijakan saja yang dikomunikasi secara jelas, sumber daya juga harus tetap dipersiapkan untuk dapat melaksanakan implementasi kebijakan. Ketersediaan sumber daya dalam implementasi kebijakan Universitas Sumatera Utara 29 memegang peranan penting, karena implementasi kebijakan tidak akan efektif bilamana saumber-sumber pendukungnya tidak memadai. Komponen sumber daya ini meliputi jumlah staf, keahlian dari para pelaksana, informasi yang relevan dan cukup untuk mengimplementasikan kebijakan dan pemenuhan sumber- sumber terkait dalam pelaksanaan program, adanya kewenangan yang menjamin bahwa program dapat diarahkan sebagaimana yang diharapkan, serta adanya fasilitas-fasilitas pendukung yang dapat dipakai untuk melakukan kegiatan program seperti dana dan sarana prasarana. Sumberdaya manusia yang tidak memadahi jumlah dan kemampuan berakibat tidak dapat dilaksanakannya program secara sempurna karena mereka tidak bisa melakukan pengawasan dengan baik. Jika jumlah staf pelaksana kebijakan terbatas maka hal yang harus dilakukan meningkatkan skillkemampuan para pelaksana untuk melakukan program. Untuk itu perlu adanya manajemen SDM yang baik agar dapat meningkatkan kinerja program. Ketidakmampuan pelaksana program ini disebabkan karena kebijakan konservasi energi merupakan hal yang baru bagi mereka dimana dalam melaksanakan program ini membutuhkan kemampuan yang khusus, paling tidak mereka harus menguasai teknik-teknik kelistrikan. Informasi merupakan sumberdaya penting bagi pelaksanaan kebijakan. Ada dua bentuk informasi yaitu informasi mengenai bagaimana cara menyelesaikan kebijakanprogram serta bagi pelaksana harus mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan dan informasi tentang data pendukung kepetuhan kepada peraturan pemerintah dan undang-undang. Kenyataan dilapangan bahwa tingkat pusat tidak tahu kebutuhan yang diperlukan para pelaksana dilapangan. Kekurangan informasipengetahuan bagaimana melaksanakan kebijakan memiliki Universitas Sumatera Utara 30 konsekuensi langsung seperti pelaksana tidak bertanggungjawab, atau pelaksana tidak ada di tempat kerja sehingga menimbulkan inefisien. Implementasi kebijakan membutuhkan kepatuhan organisasi dan individu terhadap peraturan pemerintah yang ada. Sumberdaya lain yang juga penting adalah kewenangan untuk menentukan bagaimana program dilakukan, kewenangan untuk membelanjakanmengatur keuangan, baik penyediaan uang, pengadaan staf, maupun pengadaan supervisor. Fasilitas yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakanprogram harus terpenuhi seperti kantor, peralatan, serta dana yang mencukupi. Tanpa fasilitas ini mustahil program dapat berjalan. 3. Disposisi sikap Salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas implementasi kebijakan adalah sikap implementor. Jika implemetor setuju dengan bagian-bagian isi dari kebijakan maka mereka akan melaksanakan dengan senang hati tetapi jika pandangan mereka berbeda dengan pembuat kebijakan maka proses implementasi akan mengalami banyak masalah. Ada tiga bentuk sikaprespon implementor terhadap kebijakan ; kesadaran pelaksana, petunjukarahan pelaksana untuk merespon program kearah penerimaan atau penolakan, dan intensitas dari respon tersebut. Para pelaksana mungkin memahami maksud dan sasaran program namun seringkali mengalami kegagalan dalam melaksanakan program secara tepat karena mereka menolak tujuan yang ada didalamnya sehingga secara sembunyi mengalihkan dan menghindari implementasi program. Disamping itu dukungan para pejabat pelaksana sangat dibutuhkan dalam mencapai sasaran program. Dukungan dari pimpinan sangat mempengaruhi pelaksanaan program dapat mencapai tujuan Universitas Sumatera Utara 31 secara efektif dan efisien. Wujud dari dukungan pimpinan ini adalah Menempatkan kebijakan menjadi prioritas program, penempatan pelaksana dengan orang-orang yang mendukung program, memperhatikan keseimbangan daerah, agama, suku, jenis kelamin dan karakteristik demografi yang lain. Disamping itu penyediaan dana yang cukup guna memberikan insentif bagi para pelaksana program agar mereka mendukung dan bekerja secara total dalam melaksanakan kebijakanprogram. 4. Struktur Birokrasi bereaucratic structure Membahas badan pelaksana suatu kebijakan, tidak dapat dilepaskan dari struktur birokrasi. Struktur birokrasi adalah karakteristik, norma-norma, dan pola- pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dalam menjalankan kebijakan. Bagan 2: model implementasi george edward III Universitas Sumatera Utara 32

I.5.3. Peran Lembaga Ombudsman Republik Indonesia 1.5.3.1 Pengertian Peran

Peranan merupakan aspek dinamis dari suatu status kedudukan. Apabila seseorang melaksanakan hak-hak dan kewajibannya sesuai dengan status yang dimilikinya, maka ia elah menjalankan peranannya. Peranan adalah tingkah laku yang diharapkan dari orang yang memiliki kedudukan atau status. Antara kedudukan dan peranan tidak dapat dipisahkan. Tidak ada peranan tanpa kedudukan dan sebaliknya kedudukan tidak berfungsi tanpa peranan Soekanto, 2001: 212

I.5.3.2. Pengertian Lembaga Ombudsman Republik Indonesia

Lembaga Ombudsman Republik Indonesia adalah Lembaga Negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara Negara dan pemerintah termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu, yang dilakukan oleh swasta atau perseorangan tersebut, antara lain pekerjaan yang dilakukan oleh swasta atau perseorangan berdasarkan kontrak yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Universitas Sumatera Utara 33

I.5.3.3. Sifat, Asas, dan Tujuan

Ombudsman Republik Indonesia merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga Negara dan instansi pemerintah lainnya, serta menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya. Berdasarkan Undang-Undang Ombudsman Republik Indonesia pasal 3, Lembaga Ombudsman Republik Indonesia dalam menjalankan tugas dan wewenangnya berasaskan : a. Kepatuhan; b. Keadilan; c. Non-diskriminasi; d. Tidak memihak; e. Akuntabilitas; f. Keseimbangan; g. Keterbukaan; dan h. Kerahasiaan. Berdasarkan Undang-Undang Ombudsman Republik Indonesia pasal 4, tujuan pembentukan Lembaga Lembaga Ombudsman Republik Indonesia adalah sebagai berikut : a. Mewujudkan Negara hukum yang demokratis, adil, dan sejahtera; b. Mendorong penyelenggaraan Negara dan pemerintahan yang efektif dan efisien, jujur, terbuka, bersih, serta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme; Universitas Sumatera Utara 34 c. Meningkatkan mutu pelayanan Negara di segala bidang agar setiap warga negara dan penduduk memperoleh keadilan, rasa aman, dan kesejahteraan yang semakin baik; d. Membantu menciptakan dan meningkatkan upaya untuk pemberantasan dan pencegahan praktek-praktek Maladministrasi , diskriminasi, kolusi, korupsi, serta nepotisme; e. Meningkatkan budaya hukum nasional, kesadaran hukum masyarakat, dan supremasi hukum yang berintikan kebenaran serta keadilan.

I.5.3.4. Fungsi, Tugas, dan Wewenang

Ombudsman Republik Indonesia adalah lembaga negara yang berfungsi mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Penyelenggara negara dan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas untuk menyelenggarakan pelayanan publik tertentu. Berdasarkan Undang-Undang Ombudsman Republik Indonesia pasal 7, yang menjadi tugas pokok Lembaga Ombudsman Republik Indonesia adalah sebagai berikut : a. Menerima laporan atas dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; b. Melakukan pemeriksaan substansi atas laporan; Universitas Sumatera Utara 35 c. Menindaklanjuti laporan yang tecakup dalam ruang lingkup kewenangan Ombudsman; d. Melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; e. Melakukan koordinasi dan kerjasama dengan lembaga negara atau lembaga pemerintahan lainnya serta lembaga kemasyarakatan dan perseorangan; f. Membangun jaringan kerja; g. Melakukan upaya pencegahan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; h. Melakukan tugas lain yang diberikan oleh Undang-Undang. Berdasarkan Undang-Undang Ombudsman Republik Indonesia pasal 8, dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, Lembaga Ombudsman Republik Indonesia berwenang : a. Meminta keterangan secara lisan danatau tertulis dari pelapor, Terlapor, atau pihak lain yang terkait mengenai laporan yang disampaikan kepada Lembaga Ombudsman; b. Memeriksa keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain yang ada pada pelapor ataupun terlapor untuk mendapatkan kebenaran suatu laporan; Universitas Sumatera Utara 36 c. Meminta klarifikasi danatau salinan atau fotokopi dokumen yang diperlukan dari instansi manapun untuk pemeriksaan laporan dari instansi terlapor; d. Melakukan pemanggilan terhadap pelapor, terlapor, dan pihak lain yang terkait dengan laporan; e. Menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak; f. Membuat rekomendasi mengenai penyelesaian laporan, termasuk rekomendasi untuk membayar ganti rugi danatau rehabilitas kepada pihak yang dirugikan; g. Demi kepentingan umum, mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan Rekomendasi. Selain wewenang tersebut di atas, Lembaga Ombudsman Republik Indonesia juga berwenang : a. Menyampaikan saran kepada Presiden, Kepala Daerah, atau pimpinan Penyelenggara Negara lainnya guna perbaikan dan penyempurnaan organisasi danatau prosedur pelayanan publik; b. Menyampaikan saran kepada Dewan Perwakilan Rakyat danatau Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah danatau Kepala Daerah agar terhadap undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya diadakan perubahan dalam rangka mencegah Maladministrasi. Universitas Sumatera Utara 37 Selain hal tersebut di atas, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Lembaga Ombudsman Republik Indonesia dilarang mencampuri kebebasan hakim dalam memberikan keputusan. Dalam rangka pelaksanaan tugas dan kewenangannya, Lembaga Ombudsman juga tidak dapat ditangkap, ditahan, diinterogasi, dituntut, atau digugat di muka pengadilan.

I.5.3.5. Susunan dan Keanggotaan Lembaga Ombudsman Republik Indonesia

Lembaga Ombudsman Republik Indonesia terdiri atas 1 satu orang ketua merangkap anggota, 1 satu orang wakil ketua merangkap anggota, 7 orang anggota. Dalam hal ketua Ombudsman berhalangan, Wakil ketua Ombudsman Republik Indonesia menjalankan tugas dan kewenangan Ketua Ombudsman Republik Indonesia. Dalam melaksakan tugas dan wewenangnya, anggota Lembaga Ombudsman Republik Indonesia dibantu oleh asisten Ombudsman. Asisten Ombudsman diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Ombudsman Republik Indonesia berdasarkan persetujuan rapat anggota Ombudsman Republik Indonesia.

I.5.3.6. Pedoman Dasar dan Etika

Dalam melaksanakan mandatnya Lembaga Ombudsman Republik Indonesia berpedoman pada kode etik yang telah ditetapkan pada tahun 2000. Pedoman Dasar dan Etika Kode Etik Lembaga Ombudsman Republik Indonesia adalah sebagai berikut : Universitas Sumatera Utara 38 1. Integritas; bersifat mendiri, tidak memihak, adil, tulus dan penuh komitmen, menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan budi pekerti, serta melaksanakan kewajiban agama yang baik. 2. Pelayanan Kepada Masyarakat; memberikan pelayanan kepada masyarakat secara cepat dan efektif, agar mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai institusi public yang benar-benar membantu peningkatan penyelenggaraan kepentingan masyarakat sehari-hari. 3. Saling menghargai; kesejajaran penghargaan dalam perlakuan, baik kepada masyarakat maupun antara sesama anggotastaf Lembaga Ombudsman Republik Indonesia. 4. Kepemimpinan; menjadi teladan dan panutan dalam keadilan, persamaan hak, transparasi, inovasi dan konsistensi. 5. Persamaan Hak; memberikan perlakuan yang sama dalam pelayanan kepada masyarakat dengan tidak membedakan umur, jenis kelamin, status perkawinan, kondisi fisik maupun mental, suku, etnik, agama, bahasa maupun status sosial keluarga. 6. Sosialisasi Tugas Lembaga Ombudsman; menganjurkan dan membantu masyarakat memanfaatkan pelayanan public secara optimal untuk penyelsaian persoalan. 7. Pendidikan Yang Berkesinambungan; melaksanakan pelatihan serta pendidikan terus menerus untuk meningkatkan keterampilan. Universitas Sumatera Utara 39 8. Kerjasama; melaksanakan kerjasama yang baik dengan semua pihak, emmiliki ketegasan dan saling menghargai dalam bertindak untuk mendapatkan hasil yang efektif dalam menangani keluhan masyarakat. 9. Bekerja Secara Kelompok; penggabungan kemampuan serta pengalaman yang berbeda-beda dari anggota dan Tim yang mempunyai tujuan yang sama serta komitmen demi keberhasilan Lembaga Ombudsman secara keseluruhan. I.5.4. Pelayanan Publik I.5.4.1. Pengertian Pelayanan Publik Produk suatu organisasi dapat berupa pelayanan dan produk fisik. Produk birokrasi publik, sebagai suatu organisasi publik adalah pelayanan publik yang diterima oleh warga pengguna maupun masyarakat secara luas. Kotler dan Anderson dalam Dwiyanto 2005: 182 menyatakan pada level yang sangat dasar atau pelayanan dasar, sebagian besar pelayanan publik yang dibutuhkan oleh masyarakat lebih mengarah pada pelayanan publik berupa jasa daripada produk yang terlihat secara fisik berupa benda barang-barang yang diproduksi oleh pemerintah. Menurut Dwiyanto 2005: 141 mendefenisikan pelayanan publik sebagai rangkaian aktivitas yang dilakukan oleh birokrasi publik untuk memenuhi kebutuhan warga penggunaan. Pengguna atau pelanggan yang dimaksudkan disini adalah warga negara yang membutuhkan pelayanan publik. Universitas Sumatera Utara 40 Laing dalam Dwiyanto 2005: 182-183 menyebutkan ada beberapa karakteristik yang dapat dipakai untuk mendefenisikan apa yang dapat dikategorikan sebagai pelayanan publik secara terperinci, yaitu : 1. Dalam kegiatan penyediaan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat, pelayanan publik dicirikan oleh addanya pertimbangan untuk mencapai tujuan politik yang lebih besar dibanding dengan upaya untuk mewujudkan tujuan ekonomis. Penyediaan pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah tidak didasarkan pada pertimbangan untuk memperoleh keuntungan ekonomi semata, melainkan lebih banyak didasarkan pada pertimbangan untuk mewujudkan keadilan sosial social justice bagi masyarakat. 2. Pelayanan publik juga dicirikan oleh adanya asumsi bahwa pengguna layanan lebih dilihat posisinya sebagai warga negara daripada hanya dilihat sebagai pengguna layanan customer semata. 3. Pelayanan publik juga dicirikan oleh karakter pengguna layanan customer yang kompleks dan multi dimensional. Multidimensional tersebut tercermin dari level pemanfaat layanan yang bisa bersifat individu, keluarga, maupun komunitas. Dari berbagai penjelasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pelayanan publik adalah produk dari birokrasi pemerintahan berupa jasa publik pelayanan publik yang dimaksudkan bagi dan diberikan oleh masyarakat luas dalam hal pemenuhan kebutuhannya. Universitas Sumatera Utara 41

I.5.4.2. Sendi-Sendi Penyelenggaraan Publik

Adapun bentuk dan sifat penyelenggaraan pelayanan publik menurut Boediono 2003: 68-70 harus mengandung sendi-sendi; kesederhanaan, kejelasan, kepastian, keamanan, keterbukaan, efisiensi, ekonomis, keadilan, dan ketepatan waktu. 1. Keserhanaan Yang dimaksudkan dengan bersendikan kesederhanaan meliputi mudah, lancar, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami, dan mudah dilaksanakan 2. Kejelasan dan Kepastian Arti adanya kejelasan dan kepastian disini adalah hal-hal yang berkaitan dengan : a. Prosedur atau tatacara pelayanan publik; b. Persyaratan pelayanan publik, baik teknis maupun adminstratif; c. Unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan publik; d. Rincian biayatarif pelayanan publik dan tata cara pembayarannya; e. Jadwal waktu penyelesaian pelayanan publik; f. Hak dan kewajiban, baik bagi pemberi pelayanan maupun penerima pelayanan publik berdasarkan bukti-bukti penerimaan permohonankelengkapan, sebagai alat untuk memastikan pemrosesan pelayanan publik; g. Pejabat yang menerima keluhan masyarakat 3. Keamanan Universitas Sumatera Utara 42 Artinya bahwa dalam proses dan hasil pelayanan publik dapat memberikan keamanan dan kenyamanan serta dapat memberikan kepastian hukum. 4. Keterbukaan Dengan memperhatikan prosedurtatacara, persyaratan, satuan kerjapejabat penanggng jawab pemberi pelayanan publik, waktu penyelesaiannya dan rincian biayatarif dan hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan publik wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta. 5. Efisien Yang dimaksud dengan efisien disini adalah : a. Persyaratan pelayanan publik hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan publik yang diberikan; b. Dicegah adanya pengulangan pemenuhan kelengkapan, persyaratan dalam hal proses pelayanannyamempersyaratkan kelengkapan persyaratan dari satuan kerjainstansi pemerintah lain yang terkait. 6. Ekonomis Dalam arti pengenaan biaya pelayanan publik harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan : a. Nilai barang dan atau jasa pelayanan publik dan tidak menuntut biaya yang tinggi d luar kewajaran; b. Kondisi dan kemampuan masyarakat untuk membayar secara publik; c. Ketentuan peraturan peundang-undangan yang berlaku Universitas Sumatera Utara 43 7. Keadilan Dimaksud dengan sendi keadilan di sini adalah keadilan merata, dalam arti cakupanjangkauan publik harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diperlakukan secara adil. 8. Ketepatan Waktu Yang dimaksud dengan ketepatan waktu disini adalah pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.

I.5.4.3. Indikator Kualitas Pelayanan Publik

Dalam pandangan Albrecht dalam Dwiyanto 2005: 145 kualitas pelayanan publik merupakan hasil interaksi dari berbagai aspek yaitu sistem pelayanan, sumberdaya manusia pemberi pelayanan, strategi dan pelanggan customer. Dalam perkembangannya kualitas pelayanan publik yang mampu memberikan kepuasan pada orang yang diberikan pelayanan atau pelanggan customermenjadi fokus pada pelayanan publik saat ini. Untuk mengukur kualitas produk pelayanan publik Lenvine dalam Dwiyanto 2005: 147 memberikan tiga indikator yang harus dipenuhi dari pelayanan publik tersebut, yaitu : 1. Responsiveness atau responsivitas adalah daya tanggap penyedia layanan terhadap harapan, keinginan, aspirasi, maupun tuntutan pengguna layanan. 2. Responsibility atau responsibilitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan seberapa jauh proses pemberian pelayanan publik itu dilakukan sesuai dengan Universitas Sumatera Utara 44 prinsip-prinsip atau ketentuan-ketentuan administrasi dan organisasi yang benar dan telah ditetapkan 3. Accountability atau akuntabilitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan seberapa besar proses penyelenggaraan pelayanan sesuai dengan kepentingan stakeholder dan norma-norma yang berkembangdalam masyarakat. Sementara itu Zeithaml dalam Dwiyanto 2005: 148 menggunakan ukuran-ukuran sebagai berikut dalam melihat kualitas pelayanan publik : a. Bukti Langsung tangable, yaitu meliputi fasilitas fisik, pegawai, perlengkapan dan sarana komunikasi; b. Daya tanggap responsiveness, yaitu suatu karakeristik kecocokan dalam pelayanan manusia yaitu keinginan para staff untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggapan; c. Keadilan reliability, yaitu kemampuan memberikan pelayanan yang menjanjikan dengan segera dan memuaskan; d. Jaminan assurance, yaitu mancakup kemampuan, kesopanan, dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki staf, bebas dari bahaya, resiko atau keragu- raguan; e. Empati emphaty, yaitu meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan para pelanggan. Berdasarkan ulasan mengenai kualitas pelayanan publik di atas maka dapat diketahui bahwa untuk mengukur kualitas pelayanan publik tidak cukup hanya menggunakan indikator tunggal, tetapi harus menggunakan multi-indicator atau Universitas Sumatera Utara 45 indikator ganda. Kualitas pelayana publik dapat dilihat dari aspek proses pelayanan dan dari aspek output ataupun hasil pelayanan.

I.6. Definisi Konsep

Konsep adalah istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak mengenai kejadian, kelompok, atau individu yang menjadi perhatian ilmu sosial Singarimbun, 1995:37. 1. Implementasi Kebijakan adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam kebijakan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan- tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu. Adapun indikator yang digunakan untuk menganalisis implementasi kebijakan dalam penelitian ini adalah implementasi yang menggunakan model Van Meter dan Van Horn yang didasarkan pada variabel-variabel berikut : 1. Standar dan Sasaran Kebijakan 2. Sumber Daya 3. Komunikasi dan Penguatan Aktivitas 4. Karakteristik Agen Pelaksana 5. Kondisi Sosial, Ekonomi dan Politik 6. Disposisi Implementor Universitas Sumatera Utara 46 2. Kualitas pelayanan publik, yaitu kesesuaian antara harapan dan keinginan dengan kenyataan dalam pelayanan publik. Pelayanan publik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pelayanan publik yang dipakai Zeithaml dalam Dwiyanto 2005: 148 dalam melihat indikator kualitas pelayanan publik seperti : 1. Bukti Langsung tangable 2. Daya tanggap responsiveness 3. Keadilan reliability 4. Jaminan assurance 5. Empati emphaty

1.7 Sistematika Penulisan Bab I :

Dokumen yang terkait

Peranan Badan Amil Zakat Berdasarkan Undang - Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Sosial Masyarakat Sumatera Utara (Studi Pada Badan Amil Zakat Daerah Sumatera Utara)

0 37 186

Kewenangan Gubernur Dalam Rangka Pembinaan Dan Pengawasan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Di Provinsi Sumatera Utara Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

0 69 174

Peranan Lembaga Ombudsman Dalam Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik (Studi Pada Lembaga Ombudsman Perwakilan Sumatera Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam)

20 168 112

EKSISTENSI LEMBAGA OMBUDSMAN DALAM PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK DI PROVINSI LAMPUNG

0 15 73

Analisis Hukum Terhadap Tanggung Jawab Penilai Kerugian Asuransi Dalam Industri Asuransi di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2014

0 0 3

Analisis Hukum Terhadap Tanggung Jawab Penilai Kerugian Asuransi Dalam Industri Asuransi di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2014

0 0 23

Analisis Hukum Terhadap Tanggung Jawab Penilai Kerugian Asuransi Dalam Industri Asuransi di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2014

0 0 12

Analisis Hukum Terhadap Tanggung Jawab Penilai Kerugian Asuransi Dalam Industri Asuransi di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2014

0 0 1

Analisis Hukum Terhadap Tanggung Jawab Penilai Kerugian Asuransi Dalam Industri Asuransi di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2014

0 0 7

KEWENANGAN LEMBAGA OMBUDSMAN DALAM MENGAWASI TINDAKAN PENYALAHGUNAAN WEWENANG OLEH PEMERINTAH DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2008 TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA | ALHAM | Legal Opinion 9295 30373 1 PB

0 1 18