Sejarah Partai Keadilan Sejahtera

menjadi ketua MPR RI periode 2004-2009 setelah mengalahkan Sutjipto, pesaing kuatnya dari PDIP. 2 Oleh karena ini, penulis berusaha untuk membahas dalam bab ini tentang sejarah PKS, bagaimana proses kelahirannya sampai kepada visi dan misi PKS juga sejauh mana tentang konsep tatbiq syariat Islam yang diimpikan PKS.

1. Sejarah Partai Keadilan Sejahtera

Kemunculannya pada dekade 1980-1990 merupakan hasil dari sebuah proses yang panjang, berangkat dari musyawarah yang panjang, yang membahas tentang penyikapan era reformasi yang membuka peluang kebebasan berekspresi yang diantaranya adalah mendirikan partai poltik. Agenda ini hangat dibicarakan sehingga sebagian mengatakan tidak perlu mendirikan sebuah partai dan sebagian lagi mengatakan sangat perlu untuk mendirikan partai politik. Terjadi juga perlawanan latens dari gerakan politik Islam terhadap Orde Baru yang pada saat itu dinilai represif dalam melahirkan kebijakan dan menjadikan Islam sebagai ancaman. Dan beberapa bentuk perlawanan diantaranya melalui peristiwa. 3 Dan antara beberapa kejadian yang menimpa umat Islam pada periode tersebut adalah; Pertama, Peristiwa Berdarah Tanjung Periok pada dekade 1980. Peristiwa ini bisa dikatakan peristiwa yang terbesar di antara peristiwa-peistiwa yang menimpa 2 Untung Wahono, dkk, Profil Singkat Partai Keadilan Sejahtera, Jakarta: Sekjen Bidang Arsip dan Sejarah DPP PKS, 2007, h 18-20. 3 Furkon, Partai Keadilan Sejahtera Ideologi dan praksis Politik Kaum Muda Muslim Indonesia Kontemporer, h 117-121 umat Islam saat itu. Ini karena jumlah korban yang meninggal dunia, siapa saja mereka dan dimakamkan dimana sampai saat ini belum jelas. Peristiwa ini terjadi setelah presiden Soeharto menyampaikan pidato kenegaraan 16 Agustus 1982, di mana presiden meminta agar Pancasila menjadi satu-satunya asas bagi partai politik dan organisasi kemasyarakatan yang mendapat tanggapan pro dan kontra dari umat Islam. Pada saat itu kondisi Jakarta cukup memanas, Para da’i dan muballigh mengkritik keras kebijakan tersebut. Kebijakan yang dianggap pemaksaan negara terhadap kehidupan private warga negara sehingga akhirnya membawa para da’i dan muballigh ini dicekal setiap selesai menyampaikan ceramah. Dalam pembangkangan kalangan Islam politik terhadap pemerintah ini sesungguhnya yang mereka tentang bukan Pancasila, namun kediktatoran penguasa Orde Baru karena Pancasila dianggap tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Kedua, takanan terhadap para mubaligh pada tanggal 13 Septembar 1984. empat orang mubaligh yang dianggap selalu mengkritik pemerintah ditangkap. Mereka adalah Abdul Qadir Djaelani, Tony Arfi, A. Rani Yunsih dan Mawardi Noor. Penangkapan ini terjadi berterusan dan umumnya mereka yang ditangkap adalah pimpinan korps Mubaligh Indonesia. Sejak itu pemerintah telah memberlakukan sensor terhadap para mubaligh yang kebanyakannya dari orang-orang yang menandatangani deklarasi yang berjudul “Pernyataan Umat Islam Jakarta” yang isinya “meminta pemerintah untuk tidak memaksa organisasi politik dan sosial menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal organisasi” dengan cara harus menyerahkan teks khutbahnya sebelum naik ke atas mimbar. Ketiga, Kasus usrah. Kasus ini terjadi di Jawa Tengah, khususnya di Solo,di mana seorang yang bernama Tubagus Muhammad Jiddan, petani dari desa Banaran- Kulon Progo-Yogyakarta dijatuhi hikuman 6 tahun penjara karena aktif mengikuti kagiatan usroh pada tahun 1986. Gerakan usroh pada saat itu masih jarang ditemukan. Kegiatan yang biasanya terdiri dari tujuh hingga lima belas orang yang melakukan kajian keagamaan yang bersifat ibadah mahdhah langsung ini dituduh sebagai antek PKI oleh Jenderal Harsudiono yang saat itu menjabat sebagai Pangdam Diponogoro. Gerakan ini tidak diketahui sejak kapan mulai tumbuh dan berkembang di masyarakat, namun Jenderal Hursudiono menduga gerakan ini berasal dari Solo, sebab para terdakwa yang diadili menyebut nama Abu Bakar Ba’asyir sebagai imam mereka. Keempat, kasus jilbab. Kasus ini muncul pada tahun 1980-an, yang merupakan imbas revolusi Iran melalui media-media nasional dan Internasional. Semangat serta kesadaran pemakaian jilbab juga simbol perlawanan terhadap budaya yang hedonis di kalangan remaja. Akan tetapi pemakaian jilbab ini justru dilarang oleh pemerintah. Pemakaina jilbab yang semula hanya menjadi identitas anak pesantren malah menjadi marak di kalangan siswi SMAN. Namun anehnya semakin dilarang, justru pemakaian jilbab ini semakin tumbuh perlawanan yang dilakukan siswi-siswi berjilbab. Namun kemudian perlawanan ini membuat sekolah berang hingga membawa kasus ini sampai ke meja hijau seperti halnya SMAN 68 jakarta yang sebelumnya mengeluarkan 6 siswinya. Penindasan ini setidaknya berlangsung sampai dekade 1982-1991. Kelima, kasus Lampung yang dikenal dari versi pemerintah dengan “Gerakan Pengacau Kemanan GPK Warsidi’, namun dari kalangan LSM menyebut sebagai peristiwa Talangsari atau peristiwa Cihideung. Peristiwa berdarah yang terjadi 6 Februari 1989 berawal dari disharmonisasi hubungan antara komunitas Cihideung sebagai jamaah Warsidi dengan pihak Koramil Way Jepara. Peristiwa ini oleh kalangan LSM dinilai sebagai konspirasi politik antara pelaku, pihak pemerintahan sipil, bahkan intelijen. 4 Jika melihat kondisi di atas, bisa dipastikan hampir semua ruang lingkup Islam ditutup oleh pemerintah. Namun justru perlawanan Islam terhadap tindakan represif pemerintah Orde Baru bukan berakhir, tapi malah menjadi kekuatan politik. Hal ini disebabkan karena agama mempunyai vitalitas daya hidup yang berbeda dengan politik. Jika tidak di permukaan, agama akan ‘bergerilya’ di bawah. 5 Perlawanan yang dilakukan oleh umat Islam ini dimulai dengan transformasi gerakan tarbiyah secara pribadi melalui M. Natsir dan secara kelembagaan melalui Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia DDII yang dibentuk pada 26 Februari 1967 untuk melakukan tugas-tugas dakwah yang akhirnya diperbolehkan memiliki 4 Ibid. h 116-121 5 Kuntuwijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Jakarta; Mizan, 1997, h 198. perwakilan di daerah-daerah. Dengan ini M. Natsir kemudian membentuk poros ‘pesantren-masjid-kampus’, sebuah jaringan yang integral antara satu sama lain. Karena itu, Natsir kemudian mendirikan pesantren yang berdekatan dengan kampus. Di antaranya Pesantren Darul Falah di Bogor yang dekat dengan Institut Pertanian Bogor IPB dan Pesantren Ulil Albab di lingkungan kampus Ibnu Khaldun Bogor yang dibina oleh Dr. Didin Hafidudin. 6 Apa yang digagas oleh Natsir waktu itu dengan membentuk poros ‘pesantren- masjid-kampus ternyata berhasil. Hal ini terlihat dari semakin membesarnya kader Tarbiyah yang kemudian menamakan diri sebagai Lembaga Dakwah Kampus LDK di setiap kampus. Dari LDK-LDK ini lah kemudian mereka sepakat untuk membentuk forum Silaturrahim Lembaga Dakwah Kampus FS-LDK dan melalui wadah inilah para aktivis masjid berkumpul dan berdiskusi tentang berbagai hal yang menyangkut dakwah. Forum ini mengadakan pertemuan dua tahun sekali di berbagai kampus. Pada pertemuan ke X, di universitas Muhammadiyah Malang UMM, tanggal 25-29 Maret 1998, seusai acara silaturrahim dan diskusi, mereka mendeklarasikan sebuah lembaga aksi yang diberi nama KAMMI Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia. Berdirinya KAMMI bukan tanpa alasan, namun karena ketika tekad KAMMI didirikan tentu para aktivis dakwah ini memiliki tujuan yang jelas. 6 Furkon, Partai Keadilan Sejahtera Ideologi dan praksis Politik Kaum Muda Muslim Indonesia Kontemporer, h 124-125 Setelah lahirnya KAMMI yang meunjukkan prestasi dalam kancah perpolitikan Indonesia, mulailah proses pembuatan partai di kalangan Aktvis Dakwah Kampus ADK dan musyawarah untuk membentuk partai pada jamaah tarbiyah terjadi setelah dewan dakwah ‘gagal’ membuat satu partai politik yang berazaskan Islam. Lahirnya Partai Bulan Bintang dengan Azas Pancasila membuat sebagian anggota Dewan Dakwah yang terlibat merumuskan partai Islam merasa kecewa. 7 Pada saat itu, menurut Abu Ridha, jamaah yang kini menjadi Partai Keadilan Sejahtera sesungguhnya sedang menunggu dan memerhatikan Dewan Dakwah yang akan menyambut lahirnya partai politik Islam. Namun ketika lahir tidak dengan azas Islam, maka mereka kamudian mengadakan musyawarah tersendiri. Dari musyawarah yang telah dilakukan, terjadi berbagai perbedaan pendapat sehingga musyawarah diperbesarkan lagi dengan mengadakan servei dan jejak pendapat berupa polling yang diharapkan mendapat masukan yang lebih objektif. Respondennya adalah dari kalngan aktivis dakwah dari kalangan aktivis kampus dan non kampus. Petanyaan servei lebih terfokus untuk mengetahui sejauh mana keinginan para aktivis ini dalam menyikapi arus perubahan reformasi. Salah satu diantara soalan yang ditanyakan adalah perlu atau tidak mendirikan sebuah partai. Dari 6000 responden yang telah ditanyakan, sebanyak 5800 pertanyaan kembali. Dan dari 5800 responden yang kembali ini 86 lebih menginginkan untuk mendirikan partai politik. 27 persen sisanya meninginkan untuk mendirikan 7 Di antara anggota dewan dakwah yang ikut merumuskan partai Islam adalah Abu Ridha dan Abdullah Hehamahua ketua Umum Partai Politik Islam Masyumi. organisasi masyarakat, dan sisanya menginginkan mempertahankan habitat semula yaitu dalam bentuk yayasan, LSM, kampus, pesantren dan berbagai lembaga lainnya amzah, SE, 9 Dr, H. Daud Rasyid Sitorus, MA, 10 H. ewan Pendiri emba dakwah dalam bentuk kepartaian dalam konteks formalitas politik yang ada sekarang. Survey ini mencerminkan tumbuhnya kesamaan sikap dikalangan sebagian besar aktivitas dakwah yang dapat . 8 Berangkat dari temuan ini, maka berkumpullah 52 aktivis untuk membicarakan hasil polling tersebut dan akhirnya musyawarah memutuskan untuk membentuk Partai Politik. Musyawarah ini diketuai oleh Dr. H.M. Hidayat Nur Wahid, MA. Dan sekretarisnya adalah H. Luthfi Hasan Ishaq, MA. Dikukuhkan lagi dengan dewan pendiri partai, di antaranya adalah: 1 Dr. Salim Segaf Aljufri, MA, 2 Mulyanto , Meng, 3 Dr. Ir H. Nurmahmudi Isma’il, Msc, 4 Drs. Abu Ridho, A.S, 5 H. Mutammimul Ula, SH, 6 Dr. H.M. Hidayat Nurwahid, MA, 7 K.H. Abdul Hasib Hasan, Lc, 8 Fahri H Luthfi Hasan Ishaaq, MA. Hasil dari musyawarah tersebut dinyatakan dalam konferensi pers di Auditorium Masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, yang dihadiri oleh 50.000 massa dan Dr. H.M. Hidayat Nur Wahid sebagai Ketua D m cakan pernyataan yang dikenal dengan Piagam Deklarasi, iaitu; “partai Keadilan didirikan bukan atas inisiatif seseorang atau beberapa orang aktivisnya, namun merupakan perwujudan dari kesepakatan yang di ambil dari musyawarah yang aspiratif dan demokratis. Sebuah survey yang melingkupi cakupan luas dari para aktivis dakwah., terutama yang tersebar di masjid-masjid kampus di Indonesia dilakukan beberapa bulan sebelumnya untuk melihat respon umum dari kondisi politik yang berkembang di Indonesia. Survey ini menunjukkan bahwa sebagian besar mereka menyatakan bahwa saat inilah waktu yang tepat untuk meneguhkan aktivitas 8 Furqon, Aay muhamad, Partai Keadilan Sejahtera, ideology dan Praksis Politik Kaum Muda Muslim Indonesia Kontemporer, Jakarta, PT. Mizan Publika, cet I, Mei 2004 hal. 151 menjadi sebuah pola dinamis bagi pengendalian partai di kemudian hari. Terbukti setelah tekad mendirikan sebuah partai diputuskan maka kesatuan sikap secara menyeluruh menjadi kenyataan. 9 Dalam waktu yang singkat partai ini mengkonsolidasikan diri dan ikut meraih simpati dalam gelanggang politik yang dilakoninya termasuk 3 partai politik yang muncul di Orde Baru. 10 Dengan nomor 24 partai ini berhasil menempatkan kader- kadernya di 7 kursi DPR, 26 kursi DPRD Propinsi, 153 kursi DPRD Kabupaten. Bahkan Koran Kompas menilai bahwa PK adalah partai pemenang pemilu 1999 dikarenakan prestasi yang diraihnya tersebut. Bersama 41 partai lainnya PK memelopori tuntutan perubahan ketentuan UU Pemilu tentang electoral threshold. Upaya ini mengalami kebuntuan karena dihadang oleh kekuatan partai besar yang khawatir akan rivalitas dari kekuatan yang baru tumbuh.

1. Dari PK ke PKS