Hubungan Antara Syariat dan Taknin Undang-Undang

4. Stabil dan tidak berubah-ubah Mengalami perubahan seiring dengan tuntutan ruang dan waktu 5. Idealistis Realistis Dengan demkian syariat maupun fiqih merupakan istilah hukum Islam yang kedudukannya sangat penting dan menentukan pandangan hidup serta tingkah laku manusia, bahkan akan berdampak pada baik buruknya peradaban satu bangsa. Sebab dalam kaitannya dengan sosiologi hukum, hukum memainkan dua peranan penting. Pertama, hukum dapat dijadikan sebagai alat untuk mengubah masyarakat social engineering menuju arah yang lebih baik dan sesuai tatanan yang berlaku. Kedua, hukum dapat dijadikan sebagai alat pengatur perilaku sosial social control. 17

2. Hubungan Antara Syariat dan Taknin Undang-Undang

Qanun lazimnya diterjemahkan undang-undang adalah kata serapan. Dalam Mu’jam al-Wasith, kata qanun merujuk pada makna yang mencakup segala sesuatu yang telah menjadi ketetapan hukum. Para ulama salaf mendefinisi kata ini dengan “kaidah umum yang berisi hukum-hukum.’ Apabila kata qanun dihubungkan atau disandingkan dengan syariat, maka maksudnya adalah hukum-hukum buatan manusia untuk mengatur kehidupan individu, masyarakat, dan negara. Syariat bersendikan wahyu sedangkan undang- undang adalah ciptaan manusia. Oleh karena itu undang-undang sering disebut al- 17 Fahmi, Nashir, Menegakkan Syariat Islam Ala PKS, Era IntErmedia, Cet Pertama; September 2006 hal. 146 qanun al-wadh’i undang-undang buatan manusia. Istilah qanun atau undang-undang sering juga digunakan untuk menyebut kitab hukum tertentu seperti kitab hukum pidana atau kitab-kitab hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan berbagai kasus. Undang-undang pertama yang dikenal oleh manusia adalah kitab undang- undang Hamurabi. Kitab hukum klasik pertama yang terkenal adalah kitab hukum Romawi yang sangat berpengaruh terhadap hukum-hukum Barat modern, hukum- hukum negara-negara muslim di masa kemerdekaan, dan menurut segelintir orang- orang berpengaruh juga terhadap fiqih Islam. Menurut Dr. Yusuf Qardhawi, keyakinan ini sangat keliru karena fikih Islam memiliki pertumbuhan, sumber, falsafah, dan tujuan yang khas. 18 Perbedaan antara undang-undang dan syariat adalah bahwa fokus perhatian undang-undang hanya sekadar bagaimana menghimpun kesepakatan-kesepakatan, adat istiadat, dan kebudayaan manusia dalam bentuk perundang-undangan, sekalipun dalam kesepakatan-kesepakatan itu terdapat penyimpangan dan kehancuran yang dapat membahayakan masyarakat dan kemanusiaan. Undang-undang adalah cermin baik dan buruk, bangkit dan tenggelam, serta kosisten dan penyelewangan dalam sebuah tatanan masyarakat. Sementara itu, syariat berkepentingan untuk mengangkat derajat umat, menggenggam tangan mereka, dan membantu mereka terbebas dari tekanan egoisme dan hawa nafsu, serta belenggu 18 Yusuf al-Qardhawi, Membumikan Syari’at Islam, terj Abdul Hayy Katani, Surabaya: Darul ulum, 1997,h 29. kebudayaan yang merusak pengetahuan yang menyesatkan. Fokus perhatian syariat adalah meluruskan penyelewengan sebuah masyarakat dan memperbaiki kerusakan, bukan mendukung kelemahan dan penyelewengan yang dilakukan masyarakat, lalu dilegalkan dengan perangkat hukum dan perundang-undangan. Syariat hanya mengakui kesepakatan masyarakat yang maslahat dan baik. 19 Dalam hal ini, kita menemukan perbedaan nyata antara syariat Islam dan undang-undang Romawi. Syariat muncul sebagai “legislasi moral” yang menjadikan perintah dan norma-norma moral sebagai undang-undang, sedangkan undang-undang Romawi berpegang pada prinsip “legislasi adat” yang menghimpun kesepakatan- kesepakatan dan adat kebiasaan manusia dalam bentuk perundang-undangan. Fokus perhatian syariat Islam setelah berusaha mewujudkan legislasi moral- adalah menjaga dan memperkukuh legislasi ini, serta memberikan sanksi kepada orang-orang yang melanggarnya. Untuk kejahatan-kejahatan moral seperti perbuatan zina dan minuman keras, syariat Islam sendiri yang langsung menetapkan sanksi- sanksinya. Sementara untuk menentukan sanksi yang pantas untuk perjudian dan pelanggaran etika umum lainnya, Islam menyerahkan kewenangannya kepada penguasa yang sah secara syariat. 19 Yusuf al-Qardhawi, Membumikan Syari’at Islam, terj Abdul Hayy Katani, Surabaya: Darul ulum, 1997,h 113.

BAB III PARTAI KEADILAN SEJAHTERA PKS