Titik Impas Analisis Finansial Kepiting Bakau (Scylla Serrata) (Studi Kasus : Desa Pantai Gading, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat)

penambahan biaya sebanyak Rp100 maka terjadi penambahan penerimaan sebanyak Rp 123. Nilai RC pada analisis Biaya Riil selalu lebih besar daripada Biaya Opportunitas. Hal ini disebabkan karena analisis biaya riil tidak diperhitungkan biaya tenaga kerja dalam keluarga TKDK dan semua petani tidak dianggap menyewa dan penerimaan dianggap sama. Pada biaya riil rata-rata biaya tenaga kerja di daerah penelitian adalah sebesar Rp56.250 dan rata-rata sewa lahan di daerah penelitian adalah sebesar Rp243.177,08ha sedangkan pada analisis biaya opportunitas rata- rata biaya tenaga kerja di daerah penelitian adalah sebesar Rp1.584.966,32 ha dan rata-rata sewa lahan di daerah penelitian adalah sebesar Rp655.329,86ha. Dari hasil perhitungan ini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa usaha tambak kepiting di Desa Pantai Gading, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat memperoleh keuntungan dan layak untuk diusahakan dan hipotesis pertama diterima.

5.6 Titik Impas

Suatu usaha dikatakan berada pada titik impas adalah pada saat besarnya penerimaan sama dengan biaya yang dikeluarkan, dimana pada saat BEP terjadi maka saat itu usaha tidak mengalami kerugian dan tidak pula memperoleh keuntungan. Pada analisis BEP juga dilakukan dua perhitungan, yaitu dengan biaya secara riil dan biaya opportunitas. Adapun nilai BEP produksi rata-rata dan BEP harga rata- rata dapat dilihat pada tabel berikut: Universitas Sumatera Utara Tabel 5.10 Nilai BEP Produksi dan BEP Harga Usaha Tambak Kepiting di Daerah Penelitian Per Per periode No. Analisis BEP Produksi kg BEP Harga RpKg 1 Riil 194,30 44.396,97 2 Opportunitas 226,65 51.553,62 Sumber : Lampiran 32 dan 34 BEP produksi diperoleh dengan membagi total biaya denga harga jual rata-rata, sedangkan BEP harga diperoleh dengan membagi total biaya dengan produksi rata-rata yang dihasilkan petani. Harga jual rata-rata yaitu sebesar Rp60.000kg dan produksi rata-rata yang dihasilakan petani adalah sebesar 275,38 kg. Dari Tabel 5.10 diperoleh BEP produksi rata-rata sebesar 194,30 kg pada analisis riil dan 226,65 kg pada analisis opportunitas, sedangkan biaya produksi rata-rata adalah sebesar 275,38 kg. Nilai produksi rata-rata ini lebih besar dari nilai BEP produksi pada analisis riil dan opportunitas, hal ini menunjukkan bahwa skala usaha rata-rata petani telah melewati skala usaha minimal untuk memperoleh keuntungan. Pada BEP harga rata-rata sebesar Rp44.396,97kg pada analisis riil dan Rp51.553,62kg pada analisis opportunitas, sedangkan biaya produksi rata-rata adalah sebesar Rp60.000kg. Harga rata-rata ini lebih besar dari nilai BEP harga pada analisis riil dan opportunitas, hal ini menunjukkan bahwa skala usaha rata- rata petani telah melewati skala usaha minimal untuk memperoleh keuntungan. Perbedaan antara nilai BEP harga dan BEP produksi pada analisis Biaya Opportunitas lebih besar daripada Biaya Riil karena bersumber dari biaya tenaga kerja dalam keluargaTKDK dan sewa lahan. Pada biaya riil rata-rata biaya tenaga kerja di daerah penelitian adalah sebesar Rp56.250 dan rata-rata sewa Universitas Sumatera Utara lahan di daerah penelitian adalah sebesar Rp243.177,08ha sedangkan pada analisis biaya opportunitas rata-rata biaya tenaga kerja di daerah penelitian adalah sebesar Rp1.584.966,32 ha dan rata-rata sewa lahan di daerah penelitian adalah sebesar Rp655.329,86ha. Dengan jumlah produksi yang sama yaitu sebesar 275,38 kg dan harga jual yang sama yaitu sebesar Rp60.000, BEP produksi biaya riil lebih kecil dibandingakan biaya opportunitas. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa petani tambak kepiting di daerah penelitian telah emmperoleh keuntungan baik dari segi BEP harga maupun BEP produksi.

5.7. Analisis Sensitivitas