sembahlah dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada- Nyalah kamu akan dikembalikan.
18. Dan jika kamu orang kafir mendustakan, Maka umat yang sebelum kamu juga Telah mendustakan. dan kewajiban Rasul itu, tidak lain hanyalah
menyampaikan agama Allah dengan seterang-terangnya. 19. Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan
manusia dari permulaannya, Kemudian mengulanginya kembali. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
20. Katakanlah: Berjalanlah di muka bumi, Maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan manusia dari permulaannya, Kemudian Allah
menjadikannya sekali lagi]. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
21. Allah mengazab siapa yang dikehendaki-Nya, dan memberi rahmat kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Hanya kepada-Nya-lah kamu akan
dikembalikan. 22. Dan kamu sekali-kali tidak dapat melepaskan diri dari azab Allah di bumi
dan tidak pula di langit dan sekali-kali tiadalah bagimu pelindung dan penolong selain Allah.
23. Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah dan pertemuan dengan Dia, mereka putus asa dari rahmat-Ku, dan mereka itu mendapat azab yang
pedih. 24. Maka tidak adalah jawaban kaum Ibrahim, selain mengatakan: Bunuhlah
atau bakarlah dia, lalu Allah menyelamatkannya dari api. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-
orang yang beriman. Q.S. al-Ankabut [29] : 16-24
2. Tafsir Mufrodat
a.
=
Berhala yang berupa batu atau yang terbuat dari kayu dan memiliki bentuk seperti manusia atau
hewan yang mereka pilih untuk disembah
2
b. = walau sedikit rizki
c.
=
Meminta atau menuntut sesuatu melebihi batas moderasi.
3
d.
=
Melihat dengan mata kepala atau mata hati
e. = Memulai sesuatu
f. ☺
=
Mereka putus asa dari rahmat-Ku
g.
=
Penciptaan dan pengadaan.
4
2
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2002, h. 461
3
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, h. 462
h. = Kalian dihidupkan kembali setelah
mati.
5
i. ☺
= Menjadikan Allah lemah
Ayat 16
☺ ﻌﻟا
ڪ تﻮﺑ
٩ :
Artinya: Dan ingatlah Ibrahim, ketika ia berkata kepada kaumnya: Sembahlah olehmu Allah dan bertakwalah kepada-Nya. yang demikian itu adalah lebih baik
bagimu, jika kamu mengetahui. Q.S. al-Ankabut [29] : 16
Allah Ta’ala memberi tahukan tentang hamba, rasul, dan kekasih-Nya, Ibrahim a,s sebagai pemimpin umat yang hanif bahwa dia mengajak kaumnya
untuk menyembah Allah yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya, serta memurnikan ketakwaan dan permintaan rezeki hanya kepada-Nya semata, tanpa sekutu bagi-
Nya. Nabi Ibrahim mengajak mereka dengan dakwah yang sederhana dan jelas, yang tak komples dan misterius. Dakwah itu disampaikan secara teratur dengan
cermat, sehingga sangat baik jika diteladani oleh para pembawa dakwah. Ia memulai dengan menjelaskan hakikat dakwah yang ia ajak mereka kapadanya,
”sembahlah olehmu Allah dan bertakwalah kepada-Nya... Mustafa al-Maragi menafsirkan: “ingatkanlah kepada kaummu kisah
Ibrahim setelah akalnya sempurna, mampu mengadakan penelitian, meningkat dari martabat kesempurnaan ke martabat memberi petunjuk kepada manusi, dan
melaksanakan dakwah ke jalan yang haq, maka ia menyeru kaumnya untuk menyembah Allah semata, yang tidak mempunyai sekutu, memurnikan ibadah
kepada-Nya, baik dalam keadaan sembinyi-sembunyi maupun dalam keadaan
4
Ahmad Mustafa al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi, Semarang: Toha Putra 1989, h. 221
5
Ahmad Mustafa al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi, h. 221
terang-terangan, dan menjauhi kemurkaan-Nya dengan melaksanakan segala kewajiban-Nya dan menjauhi kemaksiatan kepada-Nya”.
6
Allah memerintahkan Nabi Muhammad agar menceritakan kepada kaumnya kisah Nabi Ibrahim. Setelah dewasa sempurna pertumbuhan akalnya,
sanggup untuk berfikir dan menganalisa sesuatu dengan objektif dan telah memungkinkan untuk mencapai derajat kenabian yang sempurna, maka Ibrahim
mulai mencurahkan perhatiannya menyeru manusia untuk menerima kebenaran yang di bawanya. Ia mengajak mereka untuk mengesakan Allah dalam ibadah dan
membersihkan diri dari segala bentuk kemusyrikan. Ia juga menyerukan agar mereka ikhlas mengabdi kepada Allah baik ketika seorang diri atau dihadapan
orang banyak, serta menjauhi murka Allah dengan melaksanakan segala tugas dan kewajiban yang diperintahkan-Nya, serta menjauhi segala larangan-Nya.
Sedangkan prof. Dr. Hamka dalam kitabnya menafsirkan: “disini Tuhan menceritakan pula perjuangan hamba-Nya yang disebut juga khalil Allah, artinya
sahabat karib Tuhan, karena dari sangat usahanya mandekatkan dirinya kepada Allah. ketika beliau masih berdiam di kampung halamannya telah diserunya
kaumnya agar menyembah kepada Allah saja dan bertakwa kepada Allah saja. Karena Allahlah, tiada yang lain, yang menciptakan alam ini. Allahlah tidak
bersekutu yang lain dengan Dia di dalam memberikan jaminan hidup bagi seluruh yang bernyawa di muka bumi ini, terutama manusia. Maka tidaklah patut kalau
manusia menyembah pula kepada yang lain”.
Ayat 17
☺
☺
ﻌﻟا ڪ
تﻮﺑ ٩
:
6
Ahmad Mustafa al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi, h. 218
Artinya: Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu adalah berhala, dan kamu membuat dusta. Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak
mampu memberikan rezki kepadamu; Maka mintalah rezki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. hanya kepada- Nyalah kamu akan
dikembalikan. Q.S. al-Ankabut [29] : 17
Kata autsân adalah “bentuk jama’ dari kata
watsan, yaitu berhala yang berupa batu atau yang dari kayu dan memiliki bentuk seperti manusia atau hewan yang mereka pilih atau buat untuk disembah. Kata ini
lebih khusus dari pada kata ashnâm, karena yang ini adalah berhala yang disembah walau hanya batu yang tidak berbentuk”.
7
Kata autsân dalam ayat ini berbentuk nakirah sehingga mengisyaratkan bahwa kepercayaan tentang ketuhanan berhala-berhala itu adalah kepercayaan
sesat yang tidak berdasar serta berupa kebohongan dan pemutar balikan fakta karena berhala-berhala itu tidak mampu memberikan manfaat kepada
penyembahnya.
8
Ahmad Mustafa al-Maragi menegaskan bahwa pada ayat ini “Allah memberitahukan kepada orang kafir bahwa apa yang mereka sembah selain Allah
itu tidak lain hanyalah berhala-berhala yang mereka buat dengan tangan mereka sendiri, dan mereka berdusta ketika menamakannya sebagai tuhan-tuhan serta
mengakuinya dapat memberikan syafaat bagi mereka di sisi Tuhan”.
9
Dalam tafsir Fi Zhilal al-Qur’an, di jelaskan bahwa “Nabi Ibrahim menjelaskan kepada mereka kerusakan kepercayaan mereka selama ini ditinjau
dari beberapa segi. Pertama, mereka menyembah berhala-berhala selain Allah, dan itu adalah penyembahan yang amat bodoh, apalagi jika karena itu mereka
menghindar untuk menyembah Allah. Kedua, dengan penyembahan itu, mereka tidak bersandar kepada bukti maupun dalil. Berhala itu hanyalah buatan mereka
dengan penuh misi dusta dan kebatilan mereka menciptakannya sebagai suatu ciptaan yang tak ada ceritanya sebelumnya, karena mereka membuat sesuai
7
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2002, h. 461
8
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Tafsirannya, Jakarta: Departemen Agama RI, 2007 , cet, I, h. 377.
9
Ahmad Mustafa al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi, Semarang: Toha Putra 1989, h. 218
dengan dorongan diri mereka tanpa ada dasar dan kaidah yang menjadi pijakan mereka. Ketiga, berhala-berhala ini tak memberikan manfaat bagi mereka
sedikitpun”.
10
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa yang mereka sembah selama ini hanyalah berhala. Berhala itu adalah buatan tangan mereka
sendiri, lalu mereka beriman. Padahal berhala mereka buat dari pada batu atau dari pada kayu. Mereka yang membuatnya sendiri, lalu mereka sembah dan
mereka muliakan, mereka beri nama dan mereka Tuhankan, perbuatan mereka sudah nyata dusta. Bukankah suatu dusta dengan disadari atau tidak disadari,
kalau buatan tangan sendiri lalu dianggap lebih berkuasa dari yang membuatnya. Kata
rizqan terambil dari asal kata razaqa yarzuqu rizqon yang artinya “tiap-tiap rizki yang memberi manfaat”
11
, rizqan, yang berbentuk nakiroh dalam konteks menafikan kemampuan berhala-berhala untuk
memberi rizki, bentuk nakiroh itu mengandung makna sedikit, yakni ”walau sedikit rizki”. “Sedangkan penggunaan bentuk ma’rifat al-rizqu ketika berbicara
tentang rizki yang ada pada Allah, mengandung makna keumuman sehingga mencakup segala macam dan jenis rizki, banyak atau sedikit”.
12
Berkata Zamakhsyari sebagamana dikutip Fakhrur Razi rizqon yaitu “nakiroh pada mu’rid
nafi artinya semata-mata tiada rizki disisi mereka”.
13
Prof. Hamka menafsirkan: “alangkah bodoh orang-orang menyangka bahwa berhala memberinya rizki, padahal berhala itu di buat oleh yang meminta
rizki kepadanya itu sendiri? dia tidak dapat menggerakkan tangannya dan melangkahkan kakinya. Dia baru termulia karena dimuliakan orang yang
mengatakan dia mulia, bagaiman dia akan dapat memberikan rizki? Padahal dia
10
Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an Di Bawah Naungan Al-Q ur’an, Jakarta: Gema Insani Press, 2004, h. 95
11
Muhammad Idris Abdul Rauf al-Marbawi, Kamus Arab Melayu, tt, Darul Ihya, tt, h. 235
12
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, h.461- 462
13
Muhammad al-Razi Fakhruddin, Tafsir Fakhru Al-Razi, Daar Al-Fikr, 604 H, juz, 25, h. 45
adalah makhluk Allah, sama juga keadaannya dengan orang yang meminta itu sendiri”.
14
Penulis menarik kesimpulan bahwa: rizki itu adalah wewenang mutlak yang hanya dimiliki Allah. Oleh karena itu, dianjurkan kepada mereka supaya
memohon rizki dan penghasilan hanya kepada Allah, kemudian mensyukuri jika yang diminta itu telah dikabulkan-Nya, hanya Allah yang mendatangkan rizki
bagi manusia serta semua kenikmatan hamba-Nya. Selanjutnya kata fabtaghû terambil dari kata baghâ yang antara lain berarti
meminta atau menuntut sesuatu melebihi batas moderasi, baik dalam kuantitas maupun kualitas.
Ahmad Mustafa al-Maragi menjelaskan, maka carilah rizki dari Allah, bukan dari berhala-berhala kalian, niscaya kalian memperoleh apa yang kalian
cari itu, dan beribadah kepada-Nya semata dan bersyukurlah atas segala nikmat yang dilimpahkan-Nya kepada kalian seraya memohon tambahan dan karunia-
Nya. Rizki itu menjadi pikiran utama banyak orang, terutama jiwa yang tak
dipenuhi dengan keimanan. Namun mencari rizki dari Allah semata adalah hakikat yang bukan sekedar untuk mendorong kecenderungan yang tersimpan
dalam jiwa. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa sesembahan selain Allah
hanyalah hasil rekaan manusia belaka, tidak mungkin mendatangkan keuntungan ataupun kerugian di dunia maupun di akhirat.
Ayat 18
☺ ﻌﻟا
ڪ تﻮﺑ
٩ :
Artinya: Dan jika kamu orang kafir mendustakan, Maka umat yang sebelum kamu juga telah mendustakan. dan kewajiban Rasul itu, tidak lain hanyalah
menyampaikan agama Allah dengan seterang-terangnya. Q.S. al-Ankabut [29] : 18
14
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jakarta, PT Pustaka Panji Mas, 1982, juz XX, h. 161
Ayat 18 di atas merupakan lanjutan nasihat Nabi Ibrahim a.s, kepada kaumnya, setelah beliau melihat tanda-tanda penolakan mereka, atau nasihat
tersebut beliau sampaikan setelah sebelumnya beliau telah menyampaikan nasihat lalu mereka menolak. Bisa juga ayat di atas adalah komentar sekaligus teguran
dari Allah SWT. Kepada kaum musyrikin untuk menggaris bawahi bahwa tugas rasul, siapapun dia, hanyalah menyampaikan ajaran dan mengajak kepada
kebenaran. Ayat di atas dapat juga merupakan penjelasan tentang pendustaan dan
akibatnya yang akan dialami oleh mitra bicara yang menolak kehadiran rasul. Seakan-akan ia menyatakan kepada kaum musyrikin bahwa keadaan kamu dalam
menolak ajakan rasul, serupa dengan keadaan umat-umat yang lalu. Mereka juga mendustakan rasul-Nya. Sikap itu mengundang jatuhnya siksa Allah. Mereka
tidak mampu menolaknya dan tidak juga ada yang menolong mereka, begitu juga kamu, jika kamu terus-menerus mendustakan ajaran Allah yang disampaikan oleh
rasul. Di dalam tafsir Fakhr al-Razi dikatakan, dalam ayat ini terdapat dua
khitab, pertama, khitab tehadap kaum Nabi Ibrahim dan ayat ini menceritakan tentang kaum Ibrahim, sebagaimana Ibrahim berkata kepada kaumnya, ”jika kamu
mendustakan, maka umat-umat sebelum kamu telah mendustakan, kedua, bahwasannya khitab itu adalah khitab terhadap kaum Nabi Muhammad dan
penjelasannya bahwasannya hikayat-hikayat yang terbanyak itu untuk tujuan- tujuan tertentu, tetapi hikayat itu melupakan hikayat yang baik, oleh karena itu
banyak sekali penghikayat mengatakan untuk apa aku menghilangkan hikayat ini. Nabi Muhammad bermaksud memberi peringatan kepada kaumnya mengenai
umat-umat terdahulu, sehingga mereka mencegah dirinya dari berbohong dan mereka menggigil gemetar karena takut siksaan, lalu Nabi Muhammad bersabda
pada pertengahan hikayatnya: hai kaumku jika kamu mendustakan aku, maka aku takut akan datang sesuatu siksaan yang datang pada umat-umat selain kamu
15
.
15
Muhammad al-Razi Fakhruddin, Tafsir Fakhru Al-Razi, h. 46
Menurut Qurais Shihab ayat tersebut di atas merupakan bentuk pendustaan kaum Nabi Ibrahim dan akibat dari pendustaan tersebut, yang menyatakan:
Kalau kamu wahai kaum musyrikin dan pendurhaka, siapapun kamu membenarkan tuntunan Allah, maka itu adalah untuk keuntungan kamu dalam
kehidupan dunia dan akhirat, dan jika kamu terus menerus mendustakan ajaran Allah yang disampaikan oleh para rasul, maka kamu tidak merugikan kecuali diri
kamu sendiri, dan cukuplah kamu katahui bahwa umat-umat yang sebelum kamu seperti umat Nabi Nuh, Ad, dan Tsamud telah mendustakan juga para rasul
mereka, lalu Allah membinasakan yang durhaka dan menyelamatkan yang taat. Demikian mereka merugikan diri mereka sendiri, dan sedikitpun tidak merugikan
Allah atau para rasulnya. Dan tiada kewajiban atas rasul siapapun dia, apakah Nabi Ibrahim atau Nabi Muhammad, atau selain mereka kecuali penyampaian,
dengan uraian serta praktek dan contoh pengamalan tuntunan Allah yang jelas dan dengan cara seterang-terangnya.
16
Nabi Ibrahim kembali memperingatkan kaumnya bahwa jika mereka membenarkan apa yang telah disampaikan kepada mereka, pasti mereka akan
bahagia. Sebaliknya, mereka akan mendapat mudarat dan kesengsaraan jika tetap mendustakan seruan nabi seperti yang dialami orang-orang sebelum mereka yang
mendustakan para utusan Tuhan. Di antaranya seperti yang telah dialami umat Nabi Nuh, Nabi Hud, dan Nabi Saleh. Mereka semua telah disiksa Allah akibat
kedurhakaan mereka. Di sisi lain, Allah menyelamatkan orang-orang yang beriman beserta para rasul-Nya.
17
Al-Maragi menjelaskan, “jika kalian membenarkan aku, maka sesungguhnya kalian telah beruntung memperoleh kebahagiaan di dunia dan di
akhirat, tetapi jika kalian mendustakan aku tentang apa yang aku beritakan kepada kalian, maka sesungguhnya kalian tidak akan mendatangkan kemudharatan
pendustaan kalian itu, karena umat-umat sebelum kalian telah pernah mendustakan para rasulnya, seperti kaum Idris, Nuh, Hud, dan Salih a.s, lalu
berlakulah apa yang telah menjadi sunnah Allah pada makhluk-Nya, yaitu keselamatan orang-orang yang membenarkan para rasul dan kenabian orang-orang
yang mendurhakai mereka”.
16
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, h. 462- 463
17
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Tafsirannya, Jakarta: Departemen Agama RI, 2007 , cet, I, h 378
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tugas rasul hanya menyampaikan dakwah mengesakan Allah. Bila seseorang tidak mau beriman dan
tetap mendurhakai rasul, tidak akan mendatangkan kerugian kepada rasul itu, tetapi justru menimbulkan kecelakaan bagi orang Itu sendiri.
Ayat 19-20
⌧ ⌦
ﻌﻟا ڪ
تﻮﺑ ٩
: -
٩
Artinya: dan Apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan manusia dari permulaannya, kemudian mengulanginya kembali.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Katakanlah: Berjalanlah di muka bumi, Maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan
manusia dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Q.S. al-Ankabut [29] :
19-20
Kata yarau terambil dari kata “ra’â yang dapat berarti
melihat atau memandang”.
18
Thaba’thaba’i sebagaimana dikutip oleh Quraih Shihab memahami kata tersebut dalam arti melihat dengan mata hati atau memikirkan bukan melihat
dengan mata kepala, sedangkan Thahir Ibn Asyur memahami kata tersebut dalam kedua makna di atas, yaitu melihat dengan mata kepala dan melihat dengan mata
hati.
18
Muhammad Idris Abdul Rauf al-Marbawi, Kamus Arab Melayu, h. 222
Sebagian ulama memandang ayat ini ditujukan kepada penduduk Makkah yang tidak mau beriman kepada Rasulullah. Tetapi jumhur mufassir berpendapat
bahwa ayat ini masih merupakan rangkaian dari peringatan Nabi Ibrahim kepada kaumnya.
Menurut Sayyid Quthb, “ini adalah khitab yang ditujukan kepada orang- orang yang mengingkari Allah dan pertemuan dengan-Nya. Khitab melalui cara
al-Qur’an dalam menjadikan seluruhnya sebagai media pemaparan ayat-ayat keimanan dan petunjuk-Nya dan lembaran yang terbuka bagi indra dan hati, yang
mencari ayat-ayat Allah di dalamnya, dan melihat bukti-bukti wujud-Nya dan wihdaniyah-Nya. Maha benar janji dan ancamannya”.
19
Di sini Allah menegaskan bila mana orang-orang kafir tetap tidak juga percaya kepada Allah Yang Maha Esa seperti apa yang disampaikan oleh para
Rasul-Nya, maka mereka diajak untuk melihat dan memikirkan tentang proses kejadian dari mereka sendiri sejak dari permulaan sampai akhir. Allah
menciptakan manusia mulai dari proses di rahim ibu selama enam atau sembilan bulan, atau lebih. Setelah lahir manusia dilengkapi dengan kemampuan
pendengaran, penglihatan, dan akal pikiran. Untuk menjamin kehidupannya, Allah memudahkan sumber-sumber rizki guna menunjang kelestarian hidupnya. Apabila
telah datang takdir, Allah mewafatkannya melalui malaikat yang ditugaskan. Bagi Allah membangkitkan manusia adalah mudah seperti mudahnya menciptakan
mereka.
20
Kata yubdi’u terambil dari kata bada’a berkisar
maknanya pada memulai sesuatu. Dalam al-munjid kata bada’a diartikan “iftahuhu qoddamuhu fil amal atau memulai, mendahulukan dalam perbuatan”.
21
Maksudnya, Allah yang memulai penciptaan dipahami dalam arti ”Dia yang menciptakan segala sesuatu pertama kali dan tanpa contoh sebelumnya”. Ini
mengandung arti bahwa Allah ada sebelum adanya sesuatu. Dia yang menciptakan dari tiada, maka wujudlah segala sesuatu yang dikehendaki-Nya
22
.
19
Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an Di Bawah Naungan Al-Qur’an, h. 96
20
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Tafsirannya, h. 380
21
Luis Ma’luf, al-Munjid, Beirut, Dar el- Machreq, 1986, h. 28
22
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, h. 464
Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini: “Allah memberitahukan tentang al-Khalil a.s. bahwasannya dia menegaskan hari kiamat kepada kaumnya yang
mengingkarinya. Penegasannya itu melalui hasil penciptaan Allah yang dapat mereka liat pada diri mereka sendiri, setelah sebelumnya mereka bukan apa-apa.
Zat yang memulai penciptaan dari tiada adalah pula untuk mengembalikannya. Dan itu mudah bagi-Nya. Penegasan itu juga dilakukan dengan mengambil
pelajaran dari penciptaan langit dan bumi, makhluk-makhluk yang ada pada keduanya, dan benda-benda yang ada diantara keduanya yang menunjukkan
kepada adanya pembuat sebagai Pencipta Yang Mutlak, yang mengatakan pada sesuatu ”jadilah”, maka ia pun menjadi”.
23
Karena itu Allah berfirman yang artinya, ”Dan Dialah yang memulai penciptaan, kemudian mengulanginya kembali, dan
itu lebih mudah bagi-Nya. Dia memilii sifat yang Maha Tinggi di langit dan di bumi. Dan Dialah yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana”.
Tegasnya, ayat ini memperingatkan bahwa manusia seharusnya dapat mamahami betapa mudahnya bagi Allah menciptakan manusia. Akan tetapi,
mengapa mereka tidak mempercayai akan adanya hari kebangkitan padahal itu justru lebih mudah bagi Allah.
Sementara ulama membatasi kata “ al-khalq pada
ayat ini dalam pengertian manusia”. Ini karena mereka memahami kata “yu’iduhu yakni mengembalikan manusia hidup kembali di akhirat setelah kematiannya di
dunia ini”.
24
Kata an-nasy’ah terambil dari kata nasya’a yaitu
menjadikan kejadian, pada ayat ini maksudnya Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk mengatakan kepada orang-orang musyrik, kalau mereka belum
juga mempercayai keterangan-keterangan di atas antara lain yang disampaikan oleh leluhur mereka dan bapak para nabi yakni Nabi Ibrahim, Allah menganjurkan
supaya mereka berjalan mengunjungi tempat-tempat lain seraya memperhatikan dan memikirkan betapa Allah kuasa menciptakan makhluk-Nya.
23
Muhammad Nasib al-Rifa’i, Kemudahan Dari Allah: Ringkasana Tafsir Ibn Katsir, Terj, Syihabuddin, Jakarta: Gema Insani Press, 1999, cet ke-I, h. 723
24
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, h. 465
Al-Maragi menafsirkan ayat ini: “Berjalanlah dimuka bumi ini dan saksikanlah langit-langit dengan segala bintangnya yang terang, baik bintang yang
tetap maupun yang beredar, saksikanlah pula bumi dengan segala isinya, seperti gunung, tanah rata, gurun pasir dan padang tandus, pepohanan dan buah-buahan,
serta sungai-sungai dan lautan. Semua itu menjadi saksi atas kebaruannya sendiri dan atas adanya pembuatnya yang apabila berkata kepada sesuatu, ”jadilah”, maka
terjadilah ia”.
25
Perintah berjalan kemudian dirangkai dengan perintah melihat seperti
firman-Nya siiru fi al-ardhi fandhuru ditemukan dalam al Qur’an sebanyak
tujuh kali, ini mengisyaratkan perlunya melakukan apa yang diistilahkan dengan wisata ziarah. Dengan perjalan itu manusia dapat memperoleh suatu pelajaran dan
pengetahuan dalam jiwanya yang menjadikannya menjadi manusia terdidik dan terbina, seperti dia menemui orang-orang terkemuka sehingga dapat memperoleh
manfaat dari pertemuannya dan yang lebih terpenting lagi ia dapat menyaksikan aneka ragam ciptaan Allah.
26
Dengan melakukan perjalanan di bumi seperti yang telah diperintahkan dalam ayat ini, seseorang akan menemukan banyak pelajaran yang berharga baik
melalui ciptaan Allah yang terhampar dan beraneka ragam maupaun dari peninggalan-peninggalan lama yang masih tersisa puing-puingnya.
Ayat di atas adalah pengarahan Allah untuk melakukan riset tentang asal usul kehidupan lalu kemudian menjadikannya bukti.
Sebagai tambahan perjuangan mencari ilmu pengetahuan merupakan tugas atau kewajiban bagi setiap muslim baik bagi laki-laki maupun wanita. Menurut
Nabi, tinta para pelajar nilainya setara dengan darah para syuhada’ pada hari pembalasan, dengan demikian, para pelaku dalam proses belajar mengajar, yaitu
guru dan murid dipandang sebagai ‘‘orang-orang terpilih’’ dalam masyarakat yang telah termotivasi secara kuat oleh agama untuk mengembangkan dan
mengamalkan ilmu pengetahuan mereka. hal ini sejalan dengan ayat al-Qur’an surat al-Taubah ayat 122 yang berbunyi:
25
Ahmad Mustafa al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi, h. 222
26
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, h. 468
⌧ ☺
⌧ ⌧
⌧
⌧ ﺑﻮﺘﻟا
ۃ ٩
:
Artinya : Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya ke medan perang. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang
untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya
mereka itu dapat menjaga dirinya.Q.S.9.122 .
Sungguh dalam Islam mereka yang tekun mencari ilmu lebih dihargai dari pada mereka yang beribadah sepanjang masa. Kelebihan ahli ilmu, al-‘alim dari
pada ahli ibadah, al-‘abid, adalah seperti kelebihan Muhammad atas orang Islam seluruhnya. Di kalangan kaum muslimin hadits ini sangat popular sehingga
mereka memandang bahwa mencari ilmu merupakan bagian integral dari ibadah. Dalam Islam, nilai keutamaan dari pengetahuan keagamaan berikut
penyebarannya tidak pernah diragukan lagi. Nabi menjamin bahwa orang yang berjuang dalam rangka menuntut ilmu akan diberikan banyak kemudahan oleh
Tuhan menuju surga. Para pengikut atau murid Nabi telah berhasil meneruskan dan menerapkan ajaran tentang semangat menuntut dan mencari ilmu. Motivasi
religius ini juga bisa ditemukan dalam tradisi Rihla. Suatu tradisi ulama yang disebut al-rihla fi talab al-‘ilm. Suatu perjalanan dalam rangka mencari ilmu’
adalah bukti sedemikian besarnya rasa keingintahuan dikalangan para ulama. Rihla, tidak hanya merupakan tradisi ulama, tapi juga merupakan kebutuhan
untuk menuntut ilmu dan mencari ilmu yang didorong oleh nilai-nilai religius. Hadits-hadits Nabi mebuktikan suatu hubungan tertentu: ”Seseorang yang pergi
mencari ilmu dijalan Allah hingga ia kembali, ia memperoleh pahala seperti orang yang berperang menegakkan agama. Para malaikat membentangkan sayap
kepadanya dan semua makhluk berdoa untuknya termasuk ikan dan air”.
Islam secara mutlak mendorong para pengikutnya untuk menuntut ilmu sejauh mungkin, bahkan sampai ke negeri Cina. Nabi menyatakan bahwa
“jauhnya letak suatu Negara tidaklah menjadi masalah, sebagai ilustrasi unik terhadap kemuliaan nilai ilmu pengetahuan”
27
. Siapapun sepakat hadits Nabi yang berbunyi Utlub al-‘ilm walau kana bi al-shin, menekankan betapa pentingnya
mencari ilmu lebih-lebih ilmu agama yang dikategorikan Imam Ghozali sebagai fardlu ‘ain.
Ayat 21
ﻌﻟا ڪ
تﻮﺑ ٩
:
Artinya: Allah mengazab siapa yang dikehendaki-Nya, dan memberi rahmat kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan hanya kepada-Nya-lah kamu akan
dikembalikan. Q.S. al-Ankabut [29] : 21
Ayat tersebut di atas menyebutkan hal yang terpenting dalam kehidupan dihari kemudian kiamat. Kata “
” terambil dari kata “qalaba-yaqlibu-qolban yang berarti membalik”.
28
Hati manusia dinamai qalb karena ia sering kali berbolak balik, al- Maragi menafsirkan kata tuqlabûn yaitu kalian dihidupkan kembali setelah mati,
maksudnya ialah sekalipun pengembalian itu ditangguhkan, namun kalian jangan mengira bahwa Dia akan luput dari kalian.
Didahulukannya kata “ilaihi atas tuqlabûn untuk mengisyaratkan
kekhususan Allah dalam hal pengembalian itu. Yakni hanya kepada-Nya, tidak kepada siapapun selain-Nya. Ketika itu amat jelas kekuasaan Allah, tidak ada satu
pun yang terlihat memiliki walau sekecil apapun tanda-tanda kekuasaan. Ketika itu faktor-faktor yang dapat memberi manfaat dan menampik mudharat yang
27
Abdurrahman Mas’ud. Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik. Yogyakarta: Gama Media
.
2002. hlm.24 -27
28
Muhammad Idris Abdul Rauf al-Marbawi, Kamus Arab Melayu, h. 150
pernah diketahui dalam kehidupan dunia, semuanya hilang, sirna dan punah karena memang penentu dan pemberi manfaat dan mudharat, rahmat dan siksa
hanya Allah semata-mata”.
29
Dengan demikian, berdasar pada pengertian sebagaimana telah tersebut, maka menurut hemat penulis bahwa yang dimaksud tuqlabûn yaitu semua
manusia akan dikembalikan kepada Allah. Oleh sebab itu, jangan ada diantara manusia yang mengira akan luput dari perhitungan amalnya di hadapan Allah.
Allah yang akan memperhitungkan amal perbuatan setiap manusia dan dia pula yang menentukan pahala atau azab sebagai imbalannya.
Menurut Qurais Shihab, ayat di atas menyebut hal yang terpenting dalam kehidupan dihari kemudian itu, yaitu bahwa:
“Dia menyiksa dengan sangat adil dan setimpal siapa yang Dia kehendaki untuk disiksa setelah terlebih dahulu menetapkan dan memaparkan dengan
sangat jelas hukum-hukum yang berlaku umum sehingga diketahui oleh semua pihak dan merahmati serta melimpahkan aneka kebahagian berdasar
anugerah-Nya semata siapa yang Dia kehendaki untuk dirahmati di antara hamba-hamba-Nya, yaitu yang taat dan patuh melaksanakan tuntunan-Nya
dan hanya kepada-Nya-lah setelah kematian kamu akan dikembalikan untuk disiksa atau dirahmati”.
30
Potongan ayat ini menjelaskan kekuasaan mutlak Allah, Dia akan mengazab siapa yang dikehendaki-Nya di antara orang-orang yang tidak mau beriman dan
orang beriman yang mengerjakan dosa. Azab tersebut tidak hanya terbatas di akhirat saja, tetapi juga di dunia. Sebaliknya Allah akan memberi rahmat kepada
siapa yang dikehendaki dengan ni’mat dan keutamaan-Nya. Allah yang menetapkan sesuatu menurut apa yang diinginkan-Nya. Allah tidak bertanggung
jawab kepada manusia, tetapi manusia yang wajib mempertanggung jawabkan perbuatannya kepada Allah.
Kemudian Ibn Katsir lebih lanjut mengatakan bahwa: “Allah mengazab siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi rahmat kepada
siapa yang dikehendaki-Nya. Dia tidak berkehendak kecuali berdasarkan keadilan. Maka dia tidak berbuat zalim seberat dzarrah pun, karena
kezaliman itu diharamkan atas diri-Nya sendiri juga dalam pergaulan
29
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, h. 471
30
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, h. 470
diantara kita. Dan hanya kepada-Nyalah kamu akan dikembalikan pada hari kiamat”.
31
Azab dan rahmat mengikuti kehendak Allah. Karena dia telah menjelaskan jalan petunjuk dan jalan kesesatan, serta menciptakan kesiapan dalam diri manusia
untuk memilih ini atau itu. Allah juga memudahkan baginya untuk memilih salah satu dari dua jalan itu, dan manusia setelah itu menanggung konsekuensi atas apa
yang dia pilih. Namun, jika ia memilih jalan kepada Allah dan mengharap dan mendapatkan petunjuk-Nya, maka kedua hal itu akan mengantarkannya kepada
pertolongan Allah baginya. Sementara itu, “jika ia berpaling dari dalil-dalil petunjuk dan menghalangi orang dari petunjuk itu, niscaya perbuatannya itu akan
mengantarkannya kepada keterputusan dan kesesatan. Dan dari situlah ditentukan apakah ia mendapatkan rahmat atau azab”.
32
Dari beberapa penjelasan sebagaiman telah dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa Allah mencipatakan permulaan hidup dalam segala sesuatu
adalah semata-mata kekuasaan-Nya, niscaya menjatuhkan azab dan siksaan kepada yang Dia kehendaki adalah kekuasaan-Nya sendiri pula. Demikian juga
jika Dia hendak menurunkan rahmat-Nya. Mengazab atau memberi rahmat, semata bergantung kepada kehendak Allah. Dia terletak di antara dua jalan, yaitu
jalan yang diberi petunjuk dan jalan yang tersesat. Manusia diberi alat buat menempuh jalan itu, yaitu akal dan fikirannya. Dia boleh memilih, yang ini atau
yang itu, tetapi Allah sendiri selalu menganjurkan, memanggil, membujuk supaya jalan selamatlah yang ditempuh dan dekatilah Allah. Asal jalan itu yang ditempuh,
Dia berjanji akan menolong. Sebagaimana firmannya dalam surat al-An’am ayat 12:
☺ ☺
⌧ ☺
☺ ☺
31
Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Kemudahan Dari Allah : Ringkasan Tafsir Ibn Katsir, Jakarta: Gema Insani Press , cet. 1, h. 723
32
Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an Di Bawah Naungan Al-Qur’an, h. 98
Artinya: Katakanlah: Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi. Katakanlah: Kepunyaan Allah. dia Telah menetapkan atas Diri-Nya kasih
sayang. dia sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan padanya. orang-orang yang meragukan dirinya mereka itu tidak
beriman. Q.S. al-An’am [6] : 21
Akhir ayat ini menyebutkan bahwa semua manusia akan dikembalikan kepada Allah. Maksudnya sekalipun pengembalian itu ditangguhkan, namun
kalian jangan mengira bahwa Dia akan luput dari kalian, karena hanya kepada- Nyalah kalian kembali, Dialah yang menghisab kalian dan pada-Nyalah tersimpan
pahala serta siksa kalian.
Ayat 22
☺ ☺
ﻌﻟا ڪ
تﻮﺑ ٩
:
Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak dapat melepaskan diri dari azab Allah di bumi dan tidak pula di langit dan sekali-kali tiadalah bagimu pelindung dan
penolong selain Allah. Q.S. al-Ankabut [29] : 21
Kata ☺
Mu’jiz ĭn terambil dari kata ajaza - ya’jizu -
ajzan yang berarti lemah,
33
dalam qamus al-quran kata Mu’jiz ĭn diartikan: yang
melepaskan atau yang terlepas,
34
sedangkan al-Maragi menafsirkan kata tersebut dengan tafsiran menjadikan Allah lemah.
Berdasarkan definisi di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud Mu’jiz ĭn
yaitu “sesungguhnya Allah tidak dapat dilemahkan oleh seorang pun diantara para penghuni langit dan bumi-Nya, malah Dia-lah yang maha perkasa di atas seluruh
hamba-Nya, karena segala sesuatu butuh kepada-Nya”.
35
33
Muhammad Idris Abdul Rauf al-Marbawi, Kamus Arab Melayu, h. 6, juz 2
34
Abdul Qadir Hasan, Qamus al-Qur’an, Bangil: Yayasan al-Muslimun, 1991, cet VI, h. 348
35
Ahmad Mustafa al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi, h. 223
Menurut Hamka, maksud ayat di atas yaitu “bahwa orang yang berbuat kejahatan-kejahatan tidaklah lepas dari tilikan Allah, bahwa pertanggunganjawab
atas kejahatannya itu akan dituntut”. Maka dalam ayat ini disebut Mu’jiz ĭn, yang
pokok asal artinya melemahkan, yaitu karena engkau merasa kuat, kuasa, gagah dan perkasa, tidak ada kekuasaan Tuhan yang sanggup menghalangi kamu dari
kesewenang-wenangan itu, itu adalah persangkaan yang salah. Kamu kecil sekali, tidak ada arti apa-apa jika dibanding dengan makhluk Allah yang lain. Sedangkan
matahari yang begitu besar, lagi tunduk tidak sanggup melawan peraturan- peraturan, kononlah engkau, hai manusia ”dan tidak ada bagi kamu selain Allah
sebagai pelindung yang akan melindungi kamu jika diancap oleh sesuatu bahaya. Tidak ada yang mengalahkan dan menandingi kekuasaan Allah, Allah
berkuasa atas sekalian hamba-Nya. Semua makhluk membutuhkan-Nya. Andaikata seseorang pergi mencari tempat pelarian ke langit yang tinggi, atau
bersembinyi dalam perut ikan di laut, ia takkan dapat melepaskan diri dari genggaman kekuasaan Allah. Oleh karena itu, tidak seorang pun diantara manusia
yang dapat mencari seorang penolong yang akan melepaskannya dari azab dan siksaan Allah, baik di langit maupun di bumi.
Menurut Qurais Shihab, ayat tersebut di atas merupakan dipupuskannya segala harapan dari para pendurhaka dengan menyatakan:
Jangan duga kamu akan dapat menghindar dari siksa-Nya, karena ketika itu tiada kekuasaan selain kuasa-Nya dan kamu wahai para pendurhaka, manusia atau
jin, siapa, kapan dan dan dimana pun kamu berada sekali-kali tidak dapat melepaskan diri dari siksa yang ditetapkan Allah, baik kamu berada dan berbolak
balik di bumi yang terbentang ini dan tidak pula dapat melepaskan diri dari-Nya walau kamu atau arwah kamu wahai siapa yang hendak disiksa-Nya itu berada di
langit, dan sekali-kali tiadalah bagi kamu selain Allah semat-mata satu pelindung pun, yakni pihak yang dekat kepada kamu yang dapat melindungi kamu, dan tiada
juga orang lain yang jauh dari kamu yang dapat berfungsi sebagai satu penolong pun yang dapat meringankan siksa yang ditetapkan Allah itu.
36
Kemudian Sayyid Quthb menyatakan tentang inti dari potongan ayat di atas. ”Ke mana lagi kalian mencari perlindungan dan penolong selain Allah? Ataukah,
kepada malaikat dan jin? Sementara semuanya adalah para hamba ciptaan Allah
36
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, h. 470
yang tak dapat memberikan manfaat atau mudharat kepada diri mereka, apalagi untuk orang lain”.
37
Kemudian Ibnu Katsir lebih lanjut menyatakan bahwa: Dan kamu sekali-kali tidak dapat melepaskan diri dari azab di bumi dan
tidak pula di langit.” tidak ada seorang pun, baik di langit maupun di bumi, yang dapat melemahkan-Nya. Setiap perkara takluk dan takut kepada-Nya serta
membutuhkan-Nya. Dia tidak membutuhkan perkara selain-Nya.” dan sekali-kali tiada pelindung dan penolong selain Allah.
Dari beberapa penjelasan sebagaimana telah dikemukakan di atas, dapat dipahami bahwa Allah tidak dapat dilemahkan oleh apa pun, karena Allah Maha
berkuasa tidak ada yang mengalahkan dan menandingi kekuasaan Allah, matahari yang begitu besar, lagi tunduk tidak sanggup melawan peraturan-peraturan yang
telah Allah tetapkan, kononlah engkau, hai manusia ”dan tidak ada bagi kamu selain Allah sebagai pelindung yang akan melindungi kamu jika diancam oleh
sesuatu bahaya. tidak seorang pun diantara manusia yang dapat mencari seorang penolong yang akan melepaskannya dari azab dan siksaan Allah, baik di langit
maupun di bumi. Penyebutan
kata ☺
fi as-samâ’ atau di langit pada ayat di atas untuk mengisyaratkan kemungkinan dugaan sementara
pendurhaka bahwa ia dapat berlindung ke langit seperti Fir’aun yang berusaha membuat bangunan tinggi menuju ke langit untuk melihat Tuhan Nabi Musa atau
bahwa arwah seseorang akan berada di langit. Ibn ‘Asyur berpendapat bahwa penyebutan kata langit bertujuan
memupuskan sama sekali harapan mereka untuk memperoleh keselamatan, walaupun sebenarnya mereka juga sadar tentang ketidak mampuan mereka berada
di langit. Sedangkan Thaba’thaba’I memahami kata di langit sebagai tempat dimana jin dapat berada. Karena itu, ulama tersebut memahami ayat-ayat di atas
sejalan maknanya dengan firman-Nya yang artinya:
☺
37
Sayyid Quthb, Tafsir fi Zilalil Qur’an, h. 99
Artinya: Hai jamaah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus melintasi penjuru langit dan bumi, Maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali
dengan kekuatan. Q.S. ar-Rahman [55] : 21
38
Ayat 23
⌧ ⌧
☺ ⌧
ﻌﻟا ڪ
تﻮﺑ ٩
:
Artinya: Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah dan pertemuan dengan Dia, mereka putus asa dari rahmat-Ku, dan mereka itu mendapat azab
yang pedih. Q.S. al-Ankabut [29] : 23
Kata
☺ artinya mereka
putus asa dari rahmatKu Allah. Terambil dari kata “al-ya’su yang bermakna ketiadaan ambisi atau putus asa”.
39
Sedangkan menurut Qurais Shihab kata “
☺ dipahami dalam arti surga”. Dalam al-Qur’an sering kali
kata rahmat digunakan untuk menunjuk surga seperti dalam QS. Al-Jatsiah [45]: 30 dan QS. Al-Insan [76]: 31. penamaannya demikian sangat wajar, karena
memang surga adalah tempat memperoleh ganjaran Ilahi sekaligus rahmat-Nya sebagaimana neraka tempat penyiksaan dan siksa-Nya. Di sisi lain keputusasaan
mereka itu dapat dipahami dalam arti “mereka mengingkari keniscayaan kiamat” atas dasar pada hari kiamat akan ada surga dan ada juga neraka. Siapa yang tidak
mempercayai adanya kiamat, maka dia pada hakikatnya tidak percaya dan telah memutuskan harapannya untuk memperoleh surga. Bisa juga penggalan ayat itu
dipahami sebagai ketetapan Allah atasa mereka, yakni mereka tidak akan masuk
38
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, h. 471
39
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Tafsirannya, h. 379
surga, dan dengan adanya ketetapan tersebut, mereka menjadi orang-orang yang berputus asa.
Ayat yang lalu memupuskan harapan kaum musyrikin untuk memperoleh dan perlindungan dari siksa Allah. Kini melalui ayat di atas dipupuskan pula
harapan mereka untuk memperoleh surga. Al-Maragi menafsirkan ayat tersebut:
“Dan orang-orang yang kafir kepada bukti-bukti yang telah ditegakkan Allah pada alam ini sebagai dalil atas ketauhidan-Nya dan bukti-bukti yang
diturunkan-Nya kepada para rasul-Nya yang menunjuk kepada keesaan-Nya itu, serta mengingkari pertemuan dengan-Nya dan kembali kepada-Nya pada hari
kiamat, maka mereka itu adalah orang-orang yang tidak mengharapkan rahmat- Nya, karena mereka tidak takut kepada siksa-Nya, tidak pula mengharapkan
pahala-Nya dan mereka tidak akan menerima azab yang pedih di dunia dan di akhirat”.
40
Menurut Qurais Shihab potongan ayat ini mengandung pengertian bahwa, “Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah yakni mengingkari bukti-
bukti yang terbentang di alam raya dan mengabaikan tuntunan-tuntunan-Nya yang terdengar dibaca dari kitab suci serta mengingkari pula pertemuan dengan-Nya,
yakni hari kebangkitan, mereka itu yang sungguh jauh dari peringkat kemanusiaan bahkan binatang, telah berputus asa dari rahmat-Ku, yakni berputus asa untuk
Ku-perlakukan dengan perlakuan seorang yang kasih sehingga Ku-masukkan ke surga dan sekali lagi mereka itulah yang sungguh jauh dari segala macam
kebajikan yang memperoleh secara wajar dan adil siksa yang pedih. Lebih lanjut Qurais Shihab manyatakan bahwa, sebagaimana pada ayat 20
yang lalu, Nabi Muhammad saw. Diperintahkan untuk menyampaikan kandungan ayat 20 hingga ayat 22. adapun ayat ini, maka ia tidak termasuk apa yang
diperintahkan untuk disampaikan oleh beliau, tetapi Allah yang langsung berdialog dengan Nabi Muhammad saw. Dan menyampaikan kepada beliau
melalui malaikat jibril. Itu sebabnya pada ayat 23 ini, Allah menunjuk surga dan menisbatkannya langsung kepada diri-Nya dengan menyatakan rahmat-Ku serta
40
Ahmad Mustafa al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi, h. 224
mengulangi kata ula’ika yang menggunakan
bentuk tunggal, yakni kepada Nabi Muhammad saw. sendiri, bukan bentuk jamak seperti
ula’ikum. Pernyataan Allah secara langsung dengan menyebutkan kata rahmat-Ku mengisyaratkan bahwa surga adalah hak
prerogatif Allah swt. Dia sendiri yang berwenang menentukan siapa yang wajar mendapatkannya, sekaligus mengisyaratkan bahwa penganugrahannya semata-
mata adalah berkat rahmat Allah, bukan hak yang dapat dituntut oleh hamba- hamba Allah seberapa banyak pun amal salehnya.
Kemudian Hamka lebih lanjut menyatakan bahwa: “Dan orang-orang yang kafir dengan ayat-ayat Allah, ialah orang yang
telah bertemu dengan tanda-tanda dan bukti adanya Allah itu, namun dia masih saja tidak mau percaya bahwa Allah ADA. Atau diakuinya bahwa Allah ADA,
tetapi dia tidak mau percaya bahwa Allah Maha Kuasa sendiri-Nya, tiada bersekutu yang lain dengan Dia. Dan dari hal akan bertemu dengan Dia,” artinya
tidak dia percaya akan hari kiamat ; “Itulah orang yang telah putus asa dari RahmatKu. “artinya tidak ada harapan lagi baginya dengan mendapat rahmat Ilahi
yang Dia telah mewajibkan atas diri-Nya akan memberikan itu. Barulah keputusasaan itu akan hilang, jika orang itu mengubah pendirian. “Dan orang-
orang itu, bagi mereka adalah azab yang pedih.”
41
Kemudian Ibn Katsir menafsirkan potongan ayat di atas yaitu, dan orang- orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan pertemuan dengan Dia, yakni ingkar
terhadap ayat-ayat Allah dan kafir terhadap hari kiamat, mereka putus asa dari rahmatKu, mereka tidak memperoleh bagian dari rahmat itu. Dan mereka itu
mendapat azab yang pedih. Ditujukan ayat ini langsung kepada Nabi Muhammad saw. Bertujuan untuk
mengukuhkan hati beliau serta untuk menghindarkan para pendurhaka mendengar lansung firman ini karena mereka adalah orang-orang yang tidak beriman.
Demikian tulis Thaba’thaba’i Kesimpulan yang dapat penulis ambil dari berbagai penjelasan di atas ialah
Allah mengancam orang kafir yang tidak mau membenarkan keterangan-
41
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jakarta, PT Pustaka Panji Mas, 1982, juz XX, h. 168
keterangan-Nya di atas bahwa mereka tidak akan mendapat rahmat Allah, sehingga mereka berputus asa. Karena mengingkari keesaan Allah, mendustakan
para rasul yang diutus kepada mereka, serta tidak percaya akan adanya hari kebangkitan. Berarti mereka tidak takut akan ancaman azab Allah dan tidak
mengharapkan balasan yang baik dari sisi-Nya. Oleh karena itu, wajar jika mereka diancam dengan azab yang pedih, di dunia maupun di akhirat.
Hal itu karena seseorang menusia tak merasa putus asa dari rahmat Allah kecuali ketika hatinya kafir, dan terputus antara dirinya dan Rabbnya. Demikian
juga ia tak kafir kecuali ketika ia telah berputus atas dari tersambungnya hatinya dengan Allah, dan telah kering hatinya itu. Sehingga, tak lagi mempunyai jalan
menuju rahmat Allah. Dan akibat yang diterimanya kita telah katahui, yaitu, “mereka itu mendapat azab yang pedih.”
42
Ayat 24
☺
ﻌﻟا ڪ
تﻮﺑ ٩
:
Artinya: Maka tidak adalah jawaban kaum Ibrahim, selain mengatakan: Bunuhlah atau bakarlah dia, lalu Allah menyelamatkannya dari api.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang beriman. Q.S. al-Ankabut [29] : 24
Kata
adalah kata perintah dari kata “harraqa- yuharriqu-tahrîqan”. Kata ini terbentuk dari kata “hariqa-yahriqu-harqan yang
berarti terbakar”. Tambahan tasydid di sini untuk memberi makna “banyak”. Jadi, makna kata harraqa adalah membakar dengan api yang sangat banyak. Kata ini
memiliki makna lain, yaitu “menguliti dengan kikir sehingga sakitnya terasa panas”. Akan tetapi, yang dimaksud di sini adalah membakar dengan api yang
besar.
43
42
Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an Di Bawah Naungan Al-Qur’an, h. 99
43
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Tafsirannya, h. 383
Qurais Shihab menafsirkan ayat di atas yaitu, Mendengar
nasihat itu,
maka tidak ada jawaban kaumnya yang sebenarnya sangat dikasihi oleh Nabi Ibrahim as itu selain mengatakan dengan sangat kasar
serta penuh kebencian: “Bunuhlah dia dengan pedangdan semacamnya atau bakarlah dia sampai mati. “akhirnya mereka sepakat memilih untuk membakar
beliau. Mereka kemudian mengumpulkan bahan bakar lalu menyulutnya dengan api sehingga lahir kobaran api yang sangat besar dan yang panasnya menyengat
siapa pun yang berada walau dalam jarak yang relatif jauh darinya. Karena itu, mereka melempar Nabi Ibrahim as. dengan ketapel besar sehingga beliau terjatuh
di tonggakan api yang menyala itu, lalu dengan cepat dan tanpa berangsur Allah Yang Maha Kuasa, penolong dan pelindung satu-satunya menyelamatkannya dari
api yang berpotensi membakar itu.
44
Lebih lanjut Qurais Shihab mengatakan, firman-Nya mengabadikan ucapan Nabi Ibrahim a.s: “Bunuhlah atau bakarlah dia”, dapat dipahami sebagai usul
satu pihak yang memberi alternatif. Bisa juga usul dari dua pihak, yang satu mengusulkan membunuh dengan pedang, dan yang lain dengan api. Apapun yang
terjadi, yang jelas yang akhirnya mereka sepakat membakar beliau. Hal ini boleh jadi karena mereka beranggapan membunuh dengan pedang adalah hal yang telah
biasa dilakukan dan yang dapat dijatuhkan kepada siapa pun yang melakukan kesalahan tertentu, sedang “kesalahan” Nabi Ibrahim sangat luar biasa dan belum
pernah dilakukan oleh siapa pun sebelumnya, sehingga sangsinya harus luar biasa, sesuai dengan besarnya kesalahan dan besarnya tuhan-tuhan mereka yang
dihancurkan dan dihina oleh Ibrahim. Sedangkan Ibn Katsir menafsirkan ayat ini, Allah Ta’ala memberitahukan
ihwal kaum Ibrahim bahwa setelah Ibrahim menyampaikan nasihat yang meliputi petunjuk dan penjelasan, maka jawaban mereka hanyalah mengatakan, bunuh atau
bakarlah dia. Hal itu karena mereka kalah berdebat, lalu mereka beralih kepada penggunaan kekuatan raja. Kemudian mereka mengumpulkan kayu bakar hingga
terkumpul banyak. Lalu mereka membakarnya. Belum pernah ada api sebesar itu.
44
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an, h. 474
Begitu jelas, terang dan penuh kejujuran seruan yang disampaikan oleh Ibrahim. Penuh kasih-sayang dari seorang anggota kaum kepada kaumnya sendiri.
Ketika kelaliman itu menampilkan wajahnya yang seram. Ibrahim tak memiliki kekuatan dan kekuasaan. Maka di sini, ikut campur tanganlah kekuasaan
Allah dalam bentuknya yang jelas. Kekuasaan Allah itu campur tangan dengan mukjizat yang supranaturalbagi kebiasaan manusia.
Demikian Allah menunjukkan sekelumit kuasa-Nya bukan dengan cara yang lumrah mereka ketahui atau lihat, tetapi sesuatu yang tidak pernah mereka lihat.
Api yang biasa membakar, menjadi tidak membakar. Ia yang biasa panas kini menjadi dingin, sejuk dan nyaman. Ia yang biasa membinasakan kini menjadi
faktor penyelamat. Peristiwa yang dialami oleh Nabi Ibrahim as. itu merupakan suatu
keluarbiasaan, yakni di luar hukum-hukum alam yang kita kenal.
: ٩تﻮ ﻜ ﻌﻟا
Terselamatkannya Ibrahim dari api dengan cara supranatural yang menjadi tanda kekuasaan Allah bagi orang yang hatinya siap untuk beriman. Namun, kaum
Ibrahim tersebut tetap tak beriman, meskipun mereka telah melihat tanda supranatural ini. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kejadian-kejadian
supranatural tak memberi petunjuk kepada hati. Tapi, kesiapan untuk menerima petunjuk dan keimanan itulah yang mengantar seseorang kepada keimanan.
45
Setelah terlepas dari bahaya api menyala itu, banyaklah percobaan yang dihapadi oleh Ibrahim, sampai di uji karena sudah tua beranak, sampai isteri yang
tercinta menyuruhnya kawin lagi karena kasihan kepada suami kalau-kalau dia, si isteri yang mandul. Sampai krisis dalam rumah tangga karena beristeri dua.
Sampai isteri muda mengandung terpaksa dipisahkan. Sampai lahir anak pertama Ismail, dari isteri muda. Anak kedua Ishak dari isteri yang tua. Kemudian di uji
pula dengan perintah Tuhan menyembelih anak yang disayanginya itu. Sampai
45
Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an Di Bawah Naungan Al-Qur’an, h. 99
ujian yang kecil tetapi penting, yaitu disuruh bersunnat. Sama sekali dihadapinya dan diatasinya. Setelah lulus dari segala macam ujian itu diangkatlah martabatnya
di sisi Allah, dijadikan imam bagi manusia, menurunkan Nabi-nabi dan Rasul- rasul dari Bani Israil dan Bani Ismail. Dan bersama Ismail diperintah oleh Tuhan
mendirikan Ka’bah.
46
Al-Maragi menjelaskan, kemudian Allah menerangkan bahwa dalam hal ini terdapat pelajaran bagi orang yang mau mengambil pelajaran
: ٩تﻮ ﻜ ﻌﻟا
Sesungguhnya penyelamatan Ibrahim dari api setelah Ibrahim dilemparkan ke dalamnya ketika api berkobar-kobar dan dijadikannya api itu terasa dingin dan
nyaman baginya, benar-benar mengandung bukti dan hujjah bagi kaum yang beriman kepada Allah, apabila mereka menyaksikan atau melihat hujjah seperti
ini. Tanda kekuasaan Allah yang pertama adalah menyelamatkan Ibrahim dari
api. Tanda kedua adalah ketidakmampuan orang-orang jahat untuk mencelakakan satu orang yang Allah kehendaki selamat. Sedangkan, tanda ketiga adalah bahwa
kejadian-kejadian supranatural tak memberi petunjuk kepada hati yang membangkang. Hal dakwah itu terlihat jelas oleh orang yang ingin merenungkan
sejarah, mengarahkan hati, dan faktor-faktor petunjuk dan kesesatan. Menurut Sayyid Quthub sebagaimana dikutip oleh Hamka dalam tafsirnya
menuliskan tiga ayat atau tanda bukti yang nyata, yang jelas kelihatan oleh orang yang beriman pada kejadian atas diri Nabi Ibrahim ketika beliau dihukum bunuh
dengan dibakar tetapi selamat itu. “Pertama: ialah tidak berbekas panasnya api
atas diri seorang manusia, sehingga selamat sejahtera keluar dari dalam api itu.
Kedua : lemah dan tidak berupayanya seorang raja yang gagah perkasa dalam
menyakiti seorang hamba Allah yang memperjuangkan kebenaran Allah, kalau
Allah berkehendak menyelamatkan orang itu. Ketiga: kejadian-kejadian luar
biasa, sebagai api tidak menghangusi dan mu’jizat-mu’jizat lain yang
46
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jakarta, PT Pustaka Panji Mas, 1982, juz XX, h. 169
dianugrahkan Tuhan kepada Nabi-nabi-Nya tidaklah besar pengaruhnya buat merubah hati orang-orang yang memang telah sengaja buat ingkar dan
menolak”.
47
47
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jakarta, PT Pustaka Panji Mas, 1982, juz XX, h 169
BAB IV NILAI-NILAI PENDIDIKAN YANG TERKANDUNG DALAM
AL-QUR’AN SURAT AL-ANKABUT AYAT 16-24
Al-Qur’an sebagai landasan pokok serta pedoman hidup umat Islam, telah banyak memberikan pelajaran tentang nilai-nilai serta norma-norma dalam segala
segi-segi kehidupan. Salah satunya adalah dalam bidang pendidikan yang merupakan faktor fundamental serta menjadi kebutuhan yang urgen, dan telah
menjadi hak semua manusia untuk mendapatkan pembinaan, pemeliharaan serta pendidikan yang layak dalam menempuh kesuksesan hidup, baik itu kebutuhan
hidup di Dunia maupun keselamatan hidup di Akhirat. Al-Qur’an surat al-ankabut ayat 16 sampai ayat 24 merupakan beberapa
ayat dari sekian banyak ayat-ayat dalam al-Qur’an yang membahas masalah pendidikan, dalam hal ini ayat tersebut menunjukkan akan adanya nilai-nilai
pendidikan yang penting untuk dibahas, seperti halnya nilai pendidikan tauhid dalam surat ini, tentunya para ulama sepakat bahwasannya mempelajari ilmu
tauhid itu hukumnya adalah fardhu ‘ain bagi setiap umat Islam yang telah baligh, dalam surat al-ankabut ayat 16 merupakan seruan tauhid Nabi Ibrahim kepada
kaumnya, perjuangan Khalilullah kekasih Allah yaitu Nabi Ibrahim a.s yang mengajak kaumnya untuk mengesakan Allah dalam ibadah dan membersihkan diri
dari segala bentuk kemusyrikan untuk menyembah kepada Allah saja dan bertakwa kepada Allah saja, itu karena kerusakan kepercayaan mereka selama ini
yaitu dengan menyembah berhala-berhala selain Allah, yang tidak lain adalah
50
hasil buatan tangan mereka sendiri karena mereka membuat sesuai dengan dorongan diri mereka tanpa ada dasar dan kaidah yang menjadi pijakan mereka.
Sebelum penulis lebih lanjut menjelaskan aspek-aspek dan nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalam surat al-Ankabut, ayat 16 sampai dengan
ayat 24, akan dikemukakan hasil wawancara penulis dengan salah seorang dosen fakultas ushuluddin dan filsafat, yang memberi jawaban atas pertanyaan mengenai
masalah ini nilai-nilai pendidikan, sebagai berikut: A. Nilai pendidikan tauhid sebagaimana disebut dalam surat al-Ankabut ayat 16,
sebagai berikut:
☺ ﻌﻟا
ڪ تﻮﺑ
٩ :
B. Dalam pendidikan tauhid ini meliputi dua bagian, pertama perintah bribadah hanya kepada Allah dan kedua perintah bertakwa kepada Allah
C. Nilai pendidikan syukur sebagaimana yang tercantum dalam kata
D. Nilai pendidikan sabar, berdasarkan pada perjuangan Nabi Ibrahim menyebarkan tauhid kepada kaumnya yang menentang, dengan sabar ia mengajak
mereka untuk mengesakan Allah dalam ibadah dan membersihkan diri dari segala bentuk kemusrikan.
Nilai pendidikan iman kepada hari kebangkitan sebagaimana tercantum dalam ayat sebagai berikut:
ﻌﻟا ڪ
تﻮﺑ ٩
-
E. Nilai pendidikan belajar mengajar, sebagaimana tercantum dalam ayat sebagai berikut:
Berdasar pada isi kandungan sebagai nilai yang dapat dipetik dari firman Allah surat al-Ankabut ayat 16 sampai ayat 24 ini, paling tidak penulis mengambil
beberapa nilai pendidikan sebagai intisari kandungan yang akan menjadi pembahasan dalam sub bab ini. Penulis sangat berharap kiranya dari nilai-nilai
pendidikan yang akan menjadi pembahasan dapat bermanfaat dalam menambah khazanah ilmu terutama dalam kaitannya dengan pembinaan pendidikan, adapun
nilai-nilai pendidikan tersebut meliputi nilai pendidikan tauhid, nilai pendidikan sabar, nilai pendidikan iman kepada hari kebangkitan, nilai pendidikan kewajiban
belajar dan mengajar, nilai pendidikan syukur, yang kemudian akan penulis jabarkan sebagai berikut:
1. Pendidikan Tauhid