Analisa Keberadaan Asam Lemak Bebas Pada Minyak Goreng Jenis Curah Berdasarkan Waktu Pemakaian Pada Pedagang Gorengan Kaki Lima Di Kelurahan Padang Bulan Medan Tahun 2012

(1)

ANALISA KEBERADAAN ASAM LEMAK BEBAS PADA MINYAK GORENG JENIS CURAH BERDASARKAN WAKTU PEMAKAIAN PADA PEDAGANG GORENGAN KAKI LIMA DI KELURAHAN PADANG BULAN

MEDAN TAHUN 2012

SKRIPSI

Oleh :

ANJELINA NOVASALINA SIPAYUNG NIM. 101000304

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

ANALISA KEBERADAAN ASAM LEMAK BEBAS PADA MINYAK GORENG JENIS CURAH BERDASARKAN WAKTU PEMAKAIAN PADA PEDAGANG GORENGAN KAKI LIMA DI KELURAHAN PADANG BULAN

MEDAN TAHUN 2012

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

OLEH :

ANJELINA NOVASALINA SIPAYUNG NIM. 101000304

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

(4)

ABSTRAK

Minyak goreng jenis curah diproduksi dari minyak kelapa sawit yang proses penyaringannya hanya 1x sehingga dari warnanya berbeda dengan minyak goreng bermerek yang lebih jernih. Penggunaan minyak secara berulang-ulang akan mengalami destruksi atau kerusakan minyak yang disebabkan oleh proses oksidasi dan hidrolisis yang memecah molekul minyak menjadi asam. Proses ini bertambah besar dengan pemanasan yang tinggi dan waktu yang lama selama penggorengan makanan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan asam lemak bebas pada minyak goreng jenis curah berdasarkan waktu pemakaian pada pedagang gorengan kaki lima di Kelurahan Padang Bulan Medan 2012.

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian survei deskriptif dengan jumlah sampel sebanyak 15 sampel dari 5 pedagang kaki lima di Kelurahan Padang Bulan Medan. Metode yang dilakukan adalah metode Asidi-Alkalimetri untuk menghitung kadar Asam Lemak Bebas yang kemudian dibandingkan dengan standar minyak goreng SNI 3741-1995 yaitu 0,3% dari berat minyak.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sampel minyak goreng jenis curah sebelum dipakai didapatkan kadar tertinggi sebesar 0,45% dan diperoleh hasil bahwa hanya satu pedagang yang memenuhi syarat kesehatan yaitu 0,3% sementara minyak setelah dipakai 3x menggoreng didapatkan kadar tertinggi sebesar 0,96% dan 6x menggoreng didapatkan kadar tertinggi sebesar 1,53% dari berat minyak.

Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah bahwa secara keseluruhan terjadi peningkatan kadar asam lemak bebas pada minyak goreng jenis curah sebelum dan sesudah menggoreng. Disarankan kepada pedagang maupun konsumen untuk tidak menggunakan minyak goreng jenis curah apalagi memakai secara berulang-ulang.


(5)

ABSTRACT

Types of bulk cooking oil is produced from palm oil filtering process only 1x so that the colors are different from the branded cooking oil is more clear. Oil use over and over again to experience destruction or damage caused by oil oxidation and hydrolysis of the oil molecules break down into acids. This process is getting bigger with the high heating and a long time during the frying of food.

This study aims to determine the presence of free fatty acids on the type of cooking oil in bulk by the use of fried street merchants in the Village of Medan Padang Bulan 2012.

The research method used is descriptive research survey with a sample of as many as 15 samples of five street vendors in the Village of Medan Padang Bulan. The method is carried out is a method to calculate Alkalimetri Asidi-Free Fatty Acid levels are then compared with the ISO 3741-1995 standard cooking oil that is 0.3% by weight of oil.

The results showed that the type of bulk samples of cooking oil before using it obtained the highest levels of 0.45% and the obtained results that only a qualified merchant that is 0.3% health temporarily used 3x frying oil obtained after the highest levels of 0.96% and 6x fry obtained the highest levels of 1.53% by weight of oil.

Conclusions obtained from the results of this study is that overall there was an increase in free fatty acid levels in the type of bulk cooking oil before and after frying. It is recommended to merchants and consumers to not use the type of bulk cooking oil let alone use it repeatedly.


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Anjelina Novasalina Sipayung

Tempat/tanggal lahir : PematangSiantar/05-11-1988

Agama : Katolik

Status perkawinan : Belum Menikah

Alamat rumah : Jln Bahbinonom kiri No 114. P.Siantar

RIWAYAT PENDIDIKAN

1. Tahun 1994-2000 : SD Swasta Cinta Rakyat 6, Pematangsiantar 2. Tahun 2000-2003 : SMP Swasta Cinta Rakyat 3, Pematangsiantar 3. Tahun 2003-2005 : SMU Negri 1, Pematangsiantar

4. Tahun 2005-2008 : Akademi Keperawatan Santa Elisabeth 5. Tahun 2010-2012 : Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara. Medan.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan anugrah- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisa Keberadaan Asam Lemak Bebas Pada Minyak Goreng Jenis Curah Berdasarkan Waktu Pemakaian Pada Pedagang Gorengan Kaki Lima Di Kelurahan Padang Bulan Medan Tahun 2012” untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat.

Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara moril maupun materil. Pada kesempatan ini secara khusus penulis mengucapkan rasa terima kasih yang tidak terhingga kepada Bapak Dr. dr. Wirsal Hasan, MPH dan Ibu Ir. Indra Chahaya, Msi selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan saran dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, Ms, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Ir. Evi Naria, M.Kes, selaku Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Drs. Nurma Sinaga. Apt selaku Pembimbing Lapangan di Balai Laboratorium Toksikologi Kesehatan Daerah Provinsi Sumatera Utara.


(8)

4. Seluruh Bapak/Ibu Dosen dan seluruh staf Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara khususnya Departement Kesehatan Lingkungan.

5. Bapak Prof. Dr. Albiner Siagian. Ir. Msi selaku dosen pembimbing Akademik yang selalu memberikan petunjuk selama penulis mengikuti pendidikan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Frans Siahaan SSTP. MSP sebagai bapak Lurah Padang Bulan yang telah memberi izin dan membantu dalam pengumpulan data untuk meakukan penelitian di Kelurahan Padang Bulan Medan

7. Buat abangku Irsan Situmeang ST yang telah banyak memberi motivasi dan perhatian kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kesehatan Masyarakat.

8. Sahabat-sahabatku : Fransisca, Kartiny, Rista, Louneta, Tiwi, Sri Lestari Kakak Sriana terimakasih untuk menjadi teman yang bisa saling membangun, mengingatakan serta teman-teman FKM Ekstensi 2010 telah memberi semangat dan dukungan kepada penulis selama menjalankan pendidikan di FKM USU.

Teristimewa kepada kedua orang tuaku bapak mama A. Sipayung dan B. Simbolon yang senantiasa mendoakanku, memperhatikanku dan mendukungku sampai saat ini.Terimakasih buat semuanya dan biarlah berkat Tuhan selalu beserta mama dan bapak atas semua kasih sayang yang telah diberikan padaku . Kepada abang-abangku, kakak, dan adik yang sangat kusayangi Guido Sipayung dan Lasni


(9)

Siregar, Christian Sipayung, Astriani Sipayung, Fidelis Sipayung terima kasih atas dukungannya semoga keluarga kita selalu diberkati Tuhan Yang Maha Esa.

Tiada kata dan ungkapan yang lebih berharga yang bisa penulis sampaikan kecuali doa dan ucapan banyak terima kasih, kepada semua pihak atas segala bantuan, kerja sama dan dukungannya. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penyusunan skripsi ini, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca khususnya keluarga besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dan semoga Yesus Kristus yang senantiasa mencurahkan berkat-Nya buat kita semua. Amin.

Medan , Juli 2012


(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN………..i

ABSTRAK………...ii

ABSTRACT………iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP………...iv

KATA PENGANTAR……….v

DAFTAR ISI……….viii

DAFTAR LAMPIRAN………..xi

DAFTAR TABEL……….xii

DAFTAR GAMBAR………xiii

BAB I PENDAHULUAN………1

1.1 Latar Belakang………..1

1.2 Perumusan Masalah………. 8

1.3 Tujuan Penelitian………. 8

1.3.1 Tujuan Umun……… 8

1.4 Tujuan Khusus………..8

1.5 Manfaat Penelitian………9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA……….10

2.1. Minyak Goreng………..10

2.1.1. Pengertian minyak goreng………...10

2.1.2. Sifat fisik dan kimia minyak goreng ………..11

2.1.2.1. Sifat fisik………...11

2.1.2.2. Sifat kimia ………15

2.1.3. Jenis-jenis minyak goreng………...17

2.1.3.1. Berdasarkan sifat fisik……….… 17

2.1.3.2. Berdasarkan sunbernya dari tanaman ………..17

2.1.3.3 Berdasarkan ada tidaknya ikatan ganda………..18

2.1.4. Kerusakan Minyak……….20

2.1.5. Faktor-faktor yang mempercepat dan menghambat oksidasi………21

2.1.6. Penggolongan Lemak Berdasarkan Kejenuhan……….23

2.1.7. Penggunaan dan Kualitas minyak goreng……….25

2.1.8. Minyak goreng berulang kali……….28


(11)

2.10. Struktur Bahan Pangan Goreng……….30

2.2. Minyak Curah………32

2.2.1. Pengertian Minyak Curah………32

2.2.2 . Komposisi Minyak Goreng Curah……….32

2.2.3 . Minyak Kelapa Sawit……….34

2.2.4 . Komposisi Minyak Kelapa Sawit………..34

2.2.5 . Variabel Yang Sangat Berpengaruh Terhadap Asam Lemak Bebas.36 2.3. Asam Lemak Bebas………...39

2.3.1. Pengertian Asam Lemak Bebas ………39

2.3.2. Reaksi Hidrolisis Lemak………40

2.3.3. Bilangan Peroksida………41

2.3.4. Bilangan Iodin ………..42

2.3.5. Produksi Asam lemak bebas oleh enzim………...43

2.4. Pengaruh asam lemak bebas terhadap kesehatan………. 43

2.4.1. Penyakit Jantung Koroner ………43

2.4.2. Peningkatan Kadar Kolestrol Dalam Darah………..45

2.4.3. Diabetes Melitus………... 46

2.4.4. Karsinogenik ……….47

2.5. Cara penggunaan dan Penyimpanan Minyak Goreng………48

2.6 . Kerangka Konsep Penelitian………..49

BAB III METODE PENELITIAN……….50

3.1. Jenis Penelitian……… 50

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ………50

3.2.1. Lokasi penelitian……… 50

3.2.2. Waktu penelitian ………51

3.3. Objek Penelitian ………51

3.4. Sampel Penelitian………...51

3.5. Metode Pengumpulan Data ……….…..52

3.6. Aspek Pengukuran ……….……52

3.7. Defenisi Operasional………...53

3.8. Tehnik dan Analisis Data ……….….54

3.8.1. Pengambilan sampel ……….…..54

3.8.2. Peralatan dan bahan……….……54

3.8.2.1. Metode dan Alat-alat ……….….54

3.8.2.2. Reagensia……….………55

3.8.3. Cara Kerja……….. 55


(12)

3.9. Analisis Data……….56

BAB IV HASIL PENELITIAN………..57

4.1. Aspek Geografis dan Gambaran Umum Daerah Penelitian ……….57

4.1.1. Aspek Geografis Kota Medan……….57

4.1.2. Gambaran Umum Daerah Penelitian ………..57

4.2. Hasil Penelitian Tentang Minyak Goreng Jenis Curah ………59

4.3. Hasil Lembar Observasi/Pengamatan Minyak Goreng Jenis Curah Pada Pedagang Gorengan Kaki Lima Kelurahan Padang Bulan Medan 2012….61 4.4. Hasil Pemeriksaan Kadar Asam Lemak Bebas/Free Faty Acid (FFA) Pada Minyak Goreng Jenis Curah Sebelum dan Sesudah Digunakan Pedagang Gorengan Kaki Lima di Kelurahan Padang Bulan Medan 2012…………..63

BAB V PEMBAHASAN67 5.1. Karakteristik Pedagang Gorengan Kaki Lima di Kelurahan Padang Bulan Medan 2012 ………...67

5.1.1. Jenis Kelamin ……….….67

5.1.2. Umur……….…67

5.1.3. Tingkat Pendidikan………..68

5.1.4. Lama Bekerja………....68

5.2. Gambaran Pedagang Gorengan Kaki Lima yang Menggunakan Minyak Curah di Kelurahan Padang Bulan Medan 2012 ………..69

5.3. Kadar Asam Lemak Bebas/Free Faty Acid (FFA) Pada Minyak Goreng Jenis Curah Sebelum Dipakai………...73

5.4. Kadar Asam Lemak Bebas/Free Faty Acid (FFA) Pada Minyak Goreng Jenis Curah Setelah 3x Menggoreng……….75

5.5. Kadar Asam Lemak Bebas/Free Faty Acid (FFA) Pada Minyak Goreng Jenis Curah Setelah 6x Menggoreng………...77

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN………81

6.1. Kesimpulan………....81

6.2. Saran………..82

DAFTAR PUSTAKA………...83


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

Lampiran 1. Standar Mutu Minyak Goreng Menurut SNI 37411995... 86 Lampiran 2. Lembar Kuesioner Pedagang Gorengan Kaki Lima Tentang

Minyak Goreng Yang Digunakan Setiap Harinya... 87 Lampiran 3 Lembar Observasi Minyak Goreng Yang Digunakan Pedagang

Gorengan Kaki Lima...89 Lampiran 4. Surat Permohonan Izin Penelitian dari FKM USU ... 90 Lampiran 5 Keterangan Telah Selesai Melakukan Penelitian di Dinas

Kesehatan Propinsi Sumatera Utara Balai Laboratorium Kesehatan…..91 Lampiran 6 Hasil Penelitian Pemeriksaan Kadar Asam Lemak Bebas Pada Minyak Goreng Jenis Curah Pedagang Gorengan Kaki Lima………...92 Lampiran 7 Cara Perhitungan Kadar Asam Lemak Bebas /Free Faty Acid (FFA)...93 Lampiran 8. Dokumentasi Penelitian... .99


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1. Standar Mutu Minyak Goreng di Indonesia diatur Dalam

SNI 3741-1995...26 4.1. Distribusi Pedagang Gorengan Kaki Lima Berdasarkan Umur Pedagang Gorengan Kaki Lima di Kelurahan Padang Bulan Medan 2012 ...59 4.2. Distribusi Pedagang Gorengan Kaki Lima Berdasarkan Lama Berjualan

di Kelurahan Padang Bulan Medan 2012...59 4.3. Distribusi Pedagang Gorengan Kaki Lima Berdasarkan Penggunaan

Minyak Goreng Baru Pada Awal Menggoreng di Kelurahan Padang

Bulan Medan 2012 ...59

4.4. Distribusi Pedagang Gorengan Kaki Lima Berdasarkan Lama

Pemakaian Minyak Goreng di Kelurahan Padang Bulan Medan 2012...60 …

4.5. Distribusi Pedagang Gorengan Kaki Lima Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Akan Dampak Kesehatan Terhadap Pengguanan Minyak Goreng

Berulang di Kelurahan Padang Bulan Medan 2012...60 4.6. Distribusi Pedagang Gorengan Kaki Lima Berdasarkan Jumlah Minyak

Yang Digunakan Dalam Sehari di Kelurahan Padang Bulan Medan 2012...61 4.7. Hasil Observasi/Pengamatan Minyak Goreng Yang Digunakan Pedagang Gorengan Kaki Lima di Kelurahan Padang Bulan Medan 2012...62 4.8. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Kadar Asam Lemak Bebas

/Free Faty Acid (FFA) Pada Minyak Goreng Jenis Curah


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1. Contoh Struktur Kimia Asam Lemak Jenuh...18

2.2. Contoh Struktur Kimia Asam Lemak Tak Jenuh Tunggal...19

2.3. Contoh Struktur Kimia Asam Lemak Poli-Tak Jenuh...20

2.4. Proses Menggoreng...28

2.5. Kerangka Konsep Penelitian...49

4.1. Grafik Batang Hasil Pemeriksaan Kadar Asam Lemak Bebas Pada Minyak Goreng Curah...65


(16)

ABSTRAK

Minyak goreng jenis curah diproduksi dari minyak kelapa sawit yang proses penyaringannya hanya 1x sehingga dari warnanya berbeda dengan minyak goreng bermerek yang lebih jernih. Penggunaan minyak secara berulang-ulang akan mengalami destruksi atau kerusakan minyak yang disebabkan oleh proses oksidasi dan hidrolisis yang memecah molekul minyak menjadi asam. Proses ini bertambah besar dengan pemanasan yang tinggi dan waktu yang lama selama penggorengan makanan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan asam lemak bebas pada minyak goreng jenis curah berdasarkan waktu pemakaian pada pedagang gorengan kaki lima di Kelurahan Padang Bulan Medan 2012.

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian survei deskriptif dengan jumlah sampel sebanyak 15 sampel dari 5 pedagang kaki lima di Kelurahan Padang Bulan Medan. Metode yang dilakukan adalah metode Asidi-Alkalimetri untuk menghitung kadar Asam Lemak Bebas yang kemudian dibandingkan dengan standar minyak goreng SNI 3741-1995 yaitu 0,3% dari berat minyak.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sampel minyak goreng jenis curah sebelum dipakai didapatkan kadar tertinggi sebesar 0,45% dan diperoleh hasil bahwa hanya satu pedagang yang memenuhi syarat kesehatan yaitu 0,3% sementara minyak setelah dipakai 3x menggoreng didapatkan kadar tertinggi sebesar 0,96% dan 6x menggoreng didapatkan kadar tertinggi sebesar 1,53% dari berat minyak.

Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah bahwa secara keseluruhan terjadi peningkatan kadar asam lemak bebas pada minyak goreng jenis curah sebelum dan sesudah menggoreng. Disarankan kepada pedagang maupun konsumen untuk tidak menggunakan minyak goreng jenis curah apalagi memakai secara berulang-ulang.


(17)

ABSTRACT

Types of bulk cooking oil is produced from palm oil filtering process only 1x so that the colors are different from the branded cooking oil is more clear. Oil use over and over again to experience destruction or damage caused by oil oxidation and hydrolysis of the oil molecules break down into acids. This process is getting bigger with the high heating and a long time during the frying of food.

This study aims to determine the presence of free fatty acids on the type of cooking oil in bulk by the use of fried street merchants in the Village of Medan Padang Bulan 2012.

The research method used is descriptive research survey with a sample of as many as 15 samples of five street vendors in the Village of Medan Padang Bulan. The method is carried out is a method to calculate Alkalimetri Asidi-Free Fatty Acid levels are then compared with the ISO 3741-1995 standard cooking oil that is 0.3% by weight of oil.

The results showed that the type of bulk samples of cooking oil before using it obtained the highest levels of 0.45% and the obtained results that only a qualified merchant that is 0.3% health temporarily used 3x frying oil obtained after the highest levels of 0.96% and 6x fry obtained the highest levels of 1.53% by weight of oil.

Conclusions obtained from the results of this study is that overall there was an increase in free fatty acid levels in the type of bulk cooking oil before and after frying. It is recommended to merchants and consumers to not use the type of bulk cooking oil let alone use it repeatedly.


(18)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia sebagai alat pengolahan bahan-bahan makanan. Minyak goreng berfungsi sebagai media penggorengan sangat penting dan kebutuhannya semakin meningkat. Minyak dapat bersumber dari tanaman, misalnya minyak zaitun, minyak jagung, minyak kelapa, dan minyak biji bunga matahari. Minyak juga dapat bersumber dari hewan, misalnya ikan sarden, ikan paus, lard (minyak dari babi) , tallow (minyak

dari sapi) (Ketaren,1986).

Dari segi kandungan kimia, minyak disusun oleh asam lemak jenuh yang mempunyai ikatan tunggal, disebut Saturated Fatty Acid (SAFA), asam lemak tidak jenuh tunggal mempunyai paling sedikit satu ikatan rangkap, disebut Mono Unsaturated Fatty Acid (MUFA) dan asam lemak tidak jenuh jamak yang mempunyai

dua atau lebih ikatan kembar, disebut Poly Unsaturated Fatty Acid (PUFA). Asam lemak jenuh bersifat merusak kesehatan karena sifatnya yang lengket pada dinding saluran darah, mengakibatkan atheroskelerosis sedangkan asam lemak tidak jenuh dan PUFA terutama minyak jagung dikenal tinggi kandungan akan PUFA, sehingga dianjurkan untuk para penderita penyakit kardiovaskuler, termasuk tekanan darah tinggi (Achmad, 1996).

Selama proses pengolahan minyak yaitu penggorengan minyak goreng mengalami berbagai reaksi kimia diantaranya reaksi hidrolisis, oksidasi, isomerasi


(19)

dan polimerasi. Reaksi kimia yang terjadi pada asam lemak contohnya pemanasan minyak pada suhu diatas 200oC dapat menyebabkan terbentuknya polimer, molekul tak jenuh membentuk ikatan cincin (Ketaren 1986).

Menurut dr. Nani (2005), mengatakan penggunaan minyak jelantah jelas sangat tidak baik untuk kesehatan. Seharusnya minyak goreng yang digunakan untuk menggoreng ikan atau makanan yang lainnnya tidak boleh melebihi sampai tiga kali penggorengan. Karena setiap dipakai minyak akan mengalami kekurangan mutu. Kadar lemak tak jenuh dan Vitamin A, D, E, dan K yang terdapat di minyak semakin lama akan semakin berkurang. Dan yang tersisa tinggal asam lemak jenuh yang dapat menyebabkan penyakit seperti penyakit jantung koroner dan stroke. Beberapa penelitian menyatakan bahwa minyak jelantah mengandung senyawa karsinogenik yang dapat menyebabkan penyakit kanker.

Pedagang gorengan terutama para pedagang kaki lima cara pengolahan minyak yang digunakan tidak memenuhi syarat kesehatan karena minyak goreng yang dipakai tidak mengalami pergantian dengan minyak yang baru, biasanya mereka hanya melakukan penambahan beberapa liter saja kedalam minyak goreng lama. Semakin sering digunakan tingkat kerusakan minyak akan semakin tinggi. Penggunaan minyak berkali-kali mengakibatkan minyak menjadi cepat berasap atau berbusa dan meningkatkan warna coklat serta flavor yang tidak disukai pada bahan makanan yang digoreng. Kerusakan minyak goreng yang berlangsung selama penggorengan juga akan menurunkan nilai gizi dan berpengaruh terhadap mutu dan nilai bahan pangan yang digoreng dengan menggunakan minyak yang telah rusak akan mempunyai struktur dan penampakan yang kurang menarik serta citra rasa dan


(20)

bau yang kurang enak. Minyak goreng yang baik mempunyai sifat tahan panas, stabil pada cahaya matahari, tidak merusak flavor hasil gorengan, menghasilkan produk-produk dengan tekstur dan rasa yang bagus, asapnya sedikit setelah digunakan berulang-ulang, serta menghasilkan produk keemasan pada produk (Trubusagrisarana, 2005).

Hasil kajian dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM RI Mataram), serta kajian dari pakar kesehatan terhadap penggunaan minyak jelantah sebagai minyak goreng akan memberikan dampak pada gangguan kesehatan. Pemanasan minyak goreng yang berulang kali (lebih dari 2 kali) pada suhu tinggi (160ºC sampai dengan 180ºC) akan mengakibatkan hidrolisis lemak menjadi asam lemak bebas yang mudah teroksidasi, sehingga minyak menjadi tengik dan membentuk asam lemak trans yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan.

Hasil penelitian oleh Jonarson (2004), tentang analisa kadar asam lemak minyak goreng yang digunakan penjual makanan gorengan di Padang Bulan menyebutkan bahwa terdapat rata-rata perbedaan jumlah asam lemak jenuh dan tidak jenuh pada minyak goreng yang belum digunakan hingga 3 kali pemakaian. Penelitian dilakukan untuk melihat perbedaan rata-rata kadar asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh pada minyak goreng yang belum digunakan hingga pemakaian ketiga. Dimana semakin sering digunakan minyak goreng ,maka semakin tinggi kandungan asam lemak jenuhnya yaitu pada minyak yang belum dipakai (45,96%) 1 kali pakai, 2 kali pakai (46,18%), 3 kali pakai (46,32%). Semakin sering minyak goreng tersebut digunakan maka kandungan asam lemak tidak jenuh pada minyak goreng tersebut


(21)

akan semakin berkurang. Kandungan asam lemak tidak jenuh pada minyak yang belum dipakai (53,95%), 1 kali pakai (53,78%) 2 kali pakai (53,69%) dan 3 kali pakai (53,58%).

Minyak atau lemak yang mengandung persentase asam lemak dengan kadar tinggi kurang baik untuk kesehatan, karena bila untuk menggoreng (deep fried atau dipanaskan), disamping akan mengalami polimerisasi (penggumpalan), juga membentuk trans fatty acids (asam lemak trans) dan free fadicals (radikal bebas)

yang bersifat toksik dan karsinogenik (Ketaren, 1986).

Minyak goreng sering digunakan sebagai medium untuk pengolahan makanan karena menimbulkan rasa gurih pada makanan, hal ini meningkatkan peminat gorengan. Gorengan merupakan makanan yang banyak disukai pada hampir semua lapisan masyarakat mulai dari anak-anak sampai orang tua, khususnya bagi orang atau anak kost tentunya ini merupakan makanan praktis yang siap saji serta cukup mengenyangkan. Selain rasanya yang gurih dan enak, harganya juga relatif terjangkau (Aprillino, 2010).

Banyak pedagang gorengan kaki lima yang menggunakan minyak goreng berulangkali sehingga mengalami penurunan mutu gizi karena sehingga kurang aman untuk digunakan. Tidak ada yang menjamin bahwa gorengan yang dijajakan sudah digoreng dengan cara yang benar. Bila kebiasaan ini tidak ada yang mengontrol, tidak mustahil akan menyebabkan kerusakan pada generasi muda Indonesia beberapa tahun mendatang. Pada masyarakat kita sudah banyak kasus kematian yang terjadi pada


(22)

usia produktif dan sifatnya mendadak, seperti kasus kematian akibat penyakit jantung, diabetes, dan kanker. Penyakit-penyakit diatas merupakan sumbangsih dari waktu masih anak-anak melalui makanan dan minuman (Chalid, 2000).

Minyak goreng yang memiliki angka peroksida melebihi batas yang telah ditentukan akan membentuk akrolein dan kandungan asam lemak bebas menjadi meningkat. Meningkatnya kandungan asam lemak bebas sangat berbahaya bagi kesehatan, seperti berpengaruh terhadap lemak dan darah yang kemudian dapat menimbulkan kegemukan (obesitas), mendorong penyempitan pembuluh darah arteri (arterioscelorosis) yang dapat menimbulkan terkenanya penyakit jantung (Winarno, 1999).

Menurut Aminuddin (2010), Kadar asam lemak bebas merupakan banyaknya asam lemak bebas yang dihasilkan dari proses hidrolisis minyak. Banyaknya asam lemak bebas dalam minyak menunjukkan penurunan kualitas minyak. Penentuan asam lemak bebas atau biasa disebut dengan FFA (Free Faty Acid) sangat penting kualitasnya dengan minyak. Karena bilangan asam dipergunakan untuk mengukur jumlah asam lemak bebas yang terdapat pada minyak. Semakin besar angka ini berarti kandungan asam lemak bebas semakin tinggi, hal ini dapat berasal dari proses hidrolisis ataupun proses pengolahan yang kurang baik. Karena proses hidrolisis dapat berlangsung dengan penambahan panas.

Jika minyak dipanaskan atau digunakan untuk menggoreng pada suhu pemanasan yang tinggi, adanya kadar air dari pangan yang digoreng dan masuknya oksigen dari udara, akan merubah struktur asam lemak tak jenuh ke bentuk asam


(23)

lemak yang lain. Struktur asam lemak yang tak jenuh yang memiliki ikatan rangkap bersifat tidak stabil dan mudah berubah menjadi asam lemak jenuh atau asam lemak trans yang berbahaya untuk kesehatan. Makin banyak jumlah ikatan rangkapnya maka makin banyak terbentuk asam lemak trans, terutama jika minyak ini digunakan berulang-ulang lebih dari tiga kali. Selain strukturnya berubah, juga akan terbentuk senyawa lain yang bersifat toksik. Minyak jenis ini umumnya berasal dari hewan, mentega atau minyak yang sudah terhidrogenasi/ rusak (Aprillino, 2010).

Menurut Heru (2011), Pedagang kaki lima belum menaruh perhatian dan mengutamakan kualitas minyak goreng yang digunakan, sehingga produk makanan yang mereka jual terkadang kurang higienis, yang berperan sebagai Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan Pertambangan (Disperindakoptan) Kota Yogyakarta. Pedagang kaki lima cenderung menggunakan minyak goreng curah yang kualitasnya di bawah minyak goreng kemasan. Menurutnya, salah satu sasaran utama minyak goreng ini adalah ibu-ibu rumah tangga pengguna minyak goreng curah. Minyak goreng ini juga diperuntukkan bagi konsumen industri yakni penjual gorengan, pengusaha. Pedagang kaki lima umumnya memilih minyak goreng curah karena lebih praktis dan murah, ketimbang minyak goreng dalam kemasan. Akan tetapi minyak goreng curah kurang higienis atau kurang dan biasa dijual dalam ukuran seperempat liter dengan harga murah, lebih dipilih para penjual makanan kaki lima (Moehammad, 2011).

Pedagang gorengan adalah profesi usaha atau bisnis yang digeluti oleh orang-orang dengan modal yang relatif kecil dan tidak memerlukan keahlian khusus. Rata-rata pedagang ini tergolong kepada jenis Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).


(24)

Sering juga diberi istilah pedagang sektor informal atau pedagang kaki lima, mungkin karena pedagang ini identik dengan gerobak, tempat jualannya yang kadang sering berpindah-pindah dan rata-rata tidak memiliki legalitas (Mulyadi, 2012).

Tingginya konsumsi minyak goreng ini membuat pergeseran pola penyakit di masyarakat yang semula didominasi penyakit menular dan infeksi, saat ini telah beralih ke penyakit degeneratif antara lain: Penyakit Jantung Koroner (PJK), kardiovaskuler, hipertensi, arteriosklerosis, kanker, diabetes melitus. Asam lemak bebas didalam minyak goreng merupakan asam lemak berantai panjang yang tidak teresterifikasi. Asam lemak bebas mengandung asam lemak jenuh yang berantai panjang. Semakin banyak konsumsi asam lemak bebas, akan meningkatkan kadar Low Density Lipoprotein (LDL) dalam darah yang merupakan kolesterol jahat. Bila minyak

tersebut terus dikonsumsi maka kadar kolesterol didalam darah akan naik, sehingga terjadi penumpukan lapisan berlemak didalam pembuluh darah sehingga pembuluh darah akan tersumbat (artherosklerosis). Dengan demikian akan mudahnya terkena penyakit jantung (Moehammad, 2011).

Berdasarkan alasan tersebut maka peneliti tertarik melakukan penelitian tentang analisis keberadaan asam lemak bebas pada minyak goreng jenis curah berdasarkan waktu pemakaiannya pada pedagang gorengan kaki lima di Kelurahan Padang Bulan Medan pada tahun 2012.


(25)

Salah satu faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas minyak goreng curah adalah kandungan asam lemak bebasnya. Semakin tinggi kandungan asam lemak bebas maka kualitas minyak tersebut semakin rendah. Waktu pemakaian berpengaruh terhadap kadar asam lemak bebas/Free Faty Acid (FFA) pada minyak goreng jenis curah. Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan yang ada, yaitu analisis keberadaan asam lemak bebas pada minyak goreng jenis curah berdasarkan waktu pemakaiannya pada pedagang gorengan kaki lima di Kelurahan Padang Bulan Medan tahun 2012.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui kadar asam lemak bebas pada minyak goreng jenis curah berdasarkan waktu pemakaiannya pada pedagang gorengan kaki lima di Kelurahan Padang Bulan Medan pada tahun 2012.

1.3.2. Tujuan Khusus

Adapun yang menjadi tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui kadar asam lemak bebas dalam minyak goreng jenis curah

berdasarkan waktu pemakaiannya pada pedagang gorengan kaki lima, sebelum menggoreng di Kelurahan Padang Bulan Medan tahun 2012.

2. Untuk mengetahui kadar asam lemak bebas dalam minyak goreng jenis curah berdasarkan waktu pemakaiannya pada pedagang gorengan kaki lima setelah dilakukan 3 kali menggoreng di Kelurahan Padang Bulan Medan tahun 2012.


(26)

3. Untuk mengetahui kadar asam lemak bebas dalam minyak goreng jenis curah berdasarkan waktu pemakaiannya pada pedagang gorengan kaki lima setelah dilakukan 6 kali menggoreng di Kelurahan Padang Bulan Medan tahun 2012. 4. Untuk mengetahui kadar asam lemak bebas dalam minyak goreng jenis curah

tersebut apakah memenuhi syarat atau tidak memenuhi syarat yang telah diatur pada standar mutu minyak goreng di Indonesia dalam SNI 3741-1995.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian ini bermanfaat sebagai informasi kepada masyarakat khususnya konsumen untuk membatasi dalam mengkomsumsi gorengan dengan minyak goreng yang pemakaiannya berulang kali pada pedagang gorengan kaki lima. 2. Sebagai bahan pertimbangan bagi para pedagang gorengan untuk meminimalisir

penggunaan minyak goreng berulang.

3. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis tentang kandungan asam lemak bebas pada minyak goreng jenis curah

4. Sebagai informasi bagi peneliti yang ingin melakukan penelitian selanjutnya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Goreng


(27)

2.1.1. Pengertian Minyak Goreng

Lemak dan minyak adalah trigliserida, atau triasilgliserol, kedua istilah ini berarti trimester dari gliserol. Perbedaan antara suatu lemak dan minyak, yaitu: pada temperatur kamar lemak berbentuk padat dan minyak bersifat cair. Sebagian gliserida pada hewan adalah berupa lemak sedangkan gliserida dalam tumbuhan cendrung berupa minyak, karena itu biasa terdengar ungkapan lemak (lemak sapi) dan minyak nabati (minyak jagung, minyak bunga matahari) (Suhardjo, 1988).

Minyak goreng adalah minyak nabati yang telah dimurnikan dan dapat digunakan sebagai bahan pangan. Minyak goreng merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok yang dikomsumsi oleh seluruh lapisan masyarakat. Komsumsi minyak goreng biasanya digunakan sebagai media menggoreng bahan pangan, penambah citra rasa, atau pun shortening yang menbentuk struktur pada pembuatan roti (Trubusagrisarana, 2005).

Minyak goreng yang dihasilkan dari bahan yang berbeda mempunyai stabilitas yang berbeda karena stabilitas minyak goreng dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti derajat ketidakjenuhan asam lemak yang dikandungnya, penyebaran ikatan rangkap dan bahan-bahan yang dapat mempercepat atau memperlambat proses kerusakan (Wikipedia, 2009).

Minyak merupakan trigliserida yang tersusun atas tiga unit asam lemak, berwujud cair pada suhu kamar (25ºC) dan lebih banyak mengandung asam lemak tidak jenuh sehingga mudah mengalami oksidasi. Minyak yang berbentuk padat biasa disebut dengan lemak. Minyak goreng yang baik mempunyai sifat tahan panas, stabil


(28)

pada cahaya matahari, tidak merusak rasa hasil penggorengan, menghasilkan produk dan rasa yang bagus, asapnya sedikit setelah digunakan berulang-ulang, serta menghasilkan warna keemasan pada produk.

2.1.2. Sifat Fisik dan Kimia Minyak Goreng

2.1.2.1. Sifat fisik

Sifat fisik yang akan diuraikan diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Zat warna

Dalam minyak goreng terdiri dari 2 golongan yaitu : zat warna alamiah dan warna dari hasil degradasi zat warna alamiah.

a. Zat warna alamiah (Natural Coloring Matter)

Zat warna yang termasuk golongan ini terdapat secara alamiah didalam bahan yang mengandung minyak dan ikut terekstrak bersama minyak pada proses ekstraksi. Zat warna tersebut antara lain terdiri dari α dan β karoten, xantofil, klorofil, dan anthosyanin. Zat warna ini menyebabkan minyak berwarna kuning, kuning kecoklatan, kehijau-hijauan, dan kemerah-merahan. Pigmen berwarna merah jingga atau kuning disebabkan oleh karotenoid yang bersifat larut dalam minyak. Karotenoid merupakan persenyawaan hidrokarbon tak jenuh. Jika minyak dihidrogenasi, karotenoid tersebut juga ikut terhidrogenasi, sehingga intensitas warna kuning berkurang. Karotenoid bersifat tidak stabil pada suhu tinggi, dan jika minyak dialiri uap panas maka warna kuning akan hilang. Karotenoid tersebut tidak dapat dihilangkan dengan proses oksidasi


(29)

Warna akibat oksidasi dan degradasi komponen kimia yang terdapat dalam minyak diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Warna gelap

Disebabkan oleh proses oksidasi terhadap tokoferol (vitamin E). Jika minyak bersumber dari tanaman hijau, maka zat klorofil yang berwarna hijau turut terekstrak bersama minyak, dan klorofil tersebut sulit dipisahkan dari minyak. Warna gelap ini dapat terjadi selama proses pengolahan dan penyimpanan yang disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya yaitu:

a) Suhu pemanasan yang terlalu tinggi pada waktu pengepresan dengan cara hidraulik atau expeller sehingga sebagian minyak teroksidasi. Disamping minyak yang terdapat dalam suatu bahan, dalam keadaan panas akan mengekstraksi zat warna yang terdapat dalam bahan tersebut.

b) Pengepresan bahan yang mengandung minyak dengan tekanan dan suhu yang lebih tinggi akan menghasilkan minyak dengan warna yang lebih gelap.

c) Logam seperti Fe, Cu, Mn akan menimbulkan warna yang tidak diingini dalam minyak.

2. Warna cokelat

Pigmen coklat biasanya hanya terdapat pada minyak atau lemak yang berasal dari bahan yang telah busuk atau memar.


(30)

Hubungan yang erat antara proses absorpsi dan timbulnya warna kuning dalam minyak terutama terjadi dalam minyak atau lemak tidak jenuh. Warna ini timbul selama penyimpanan dan intensitas warna bervariasi dari kuning sampai ungu kemerah-merahan, diantaranya adalah sebagai berikut :

a) Lemak hewan, timbulnya warna kuning dalam lemak dapat terjadi pada suhu rendah, dalam waktu penyimpanan yang terlalu lama. Lemak hewan misalnya, lemak celeng yang diekstrasi dari daging tidak akan menjadi kuning pada proses oksidasi, kecuali jika disimpan dalam jangka panjang.

b) Ikan, warna kuning dapat terjadi pada ikan asin dan ikan kering dikenal dengan istilah rusting. Dapat terjadi pada suhu kamar terutama pada ikan yang

mengandung minyak tidak jenuh dalam jumlah besar.

c) Penguningan oleh mikroorganisme, warna atau perubahan warna dapat disebabkan oleh pigmen berbagai tipe mikroorganisme yang tumbuh di atas media yang mengandung lemak. Penicillium spp dapat tumbuh dan menghasilkan warna kuning cerah pada jaringan adipose daging sapi yang disimpan pada suhu 0oC, dan warna kuning pada lemak babi akibat pertumbuhan bakteri.

2. Odor dan flavour atau Bau

Terdapat secara alami dalam minyak dan juga terjadi karena pembentukan asam-asam yang berantai sangat pendek.

3. Kelarutan

Minyak tidak larut dalam air kecuali minyak jarak (castor oil), dan minyak larut dalam alkohol, etileter, karbon disulfide dan pelarut-pelarut halogen.


(31)

4. Titik cair dan polymorphism

Suatu pengukuran titik cair minyak yang digunakan dalam penentuan atau pengenalan komponen-komponen organik yang murni. Polymorphism adalah keadaan dimana terdapat lebih dari satu bentuk kristal.

5. Titik didih (Boiling Point)

Titik didih dari asam-asam lemak akan semakin meningkat dengan bertambah panjangnya rantai karbon asam lemak tersebut.

6. Bobot Jenis

Bobot jenis dari minyak biasanya ditentukan pada temperatur 25ºC, akan tetapi dalam hal ini dianggap penting juga untuk diukur pada temperatur 40ºC atau 60ºC untuk lemak yang titik cairnya tinggi.

7 . Titik lunak (Softening Point)

Ditetapkan dengan maksud untuk identifikasi minyak, dimana temperatur pada saat permukaan dari minyak dalam tabung kapiler mulai naik. Cara penetapannya yaitu dengan menggunakan tabung kapiler yang diisi dengan minyak.

8. Slipping point

Dipergunakan untuk pengenalan minyak serta pengaruh kehadiran komponen-komponennya.

9. Shot melting point

Temperatur pada saat terjadi tetesan pertama dari minyak atau lemak. 10. Indeks bias


(32)

Derajat penyimpangan dari cahaya yang dilewatkan pada suatu medium yang cerah. Indeks bias tersebut dipakai pada pengenalan unsur kimia dan untuk pengujian kemurnian minyak.

11. Titik asap, titik nyala dan titik api

Titik asap adalah temperatur pada minyak atau lemak menghasilkan asap kebiru-biruan pada saat pemanasan. Titik nyala adalah temperatur pada saat campuran uap dari minyak dengan udara mulai terbakar. Sedangkan titik api adalah temperatur pada saat dihasilkan pembakaran yang terus-menerus, sampai habisnya contoh uji ( Ketaren, 1986).

12. Titik Kekeruhan (Turbidity Point)

Ditetapkan dengan cara mendinginkan campuran minyak dengan pelarut lemak. Temperatur pada waktu mulai terjadi kekeruhan, dikenal sebagai titik kekeruhan. 2.1.2.2. Sifat kimia

Sifat kimia yang terdapat pada minyak goreng terdiri dari beberapa sifat kimia diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Hidrolisa

Enzim lipase menghidrolisis lemak, memecahnya menjadi gliserol dan asam lemak. Lipase dapat terkandung secara alamiah pada lemak dan minyak, tetapi enzim itu dapat diinaktivasi dengan pemanasan. Enzim ini dapat pula dihasilkan oleh mikroorganisme yang terdapat pada bahan makanan berlemak. Asam lemak bebas yang dihasilkan oleh reaksi ini dapat memberikan rasa dan bau tidak sedap. Reaksi hidrolisa yang dapat mengakibatkan kerusakan minyak atau lemak terjadi


(33)

karena terdapatnya sejumlah air dalam minyak atau lemak, misalnya pada penggorengan bahan makanan yang lembab.

2. Oksidasi

Proses oksidasi dapat berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah oksigen dengan minyak atau lemak. Terjadinya reaksi oksidasi ini akan mengakibatkan bau tengik pada minyak. Hal ini disebabkan oleh otooksidasi radikal asam lemak tidak jenuh dalam lemak. Otooksidasi dimulai dengan pembentukan radikal-radikal bebas yang disebabkan oleh faktor-faktor yang dapat mempercepat cahaya, panas, peroksida lemak, atau hidroperoksida, logam-logam berat seperti Cu, Fe, Mn. 3. Hidrogenasi

Pada beberapa minyak atau lemak kadang-kadang dilakukan proses hidrogenasi dengan tujuan memperoleh kestabilan terhadap oksidasi, memperbaiki warna, dan terutama mengubah lemak cair menjadi bersifat plastis yang penting dalam industri-industri makanan. Hidrogen akan mengikat ikatan rangkap asam lemak tidak jenuh, sehingga akan mengubah jumlah dan letak ikatan rangkap akibatnya sifat fisik dan kimianya juga akan berubah.

4. Esterifikasi

Proses esterifikasi ini bertujuan untuk mengubah asam-asam lemak dari trigliserida dalam bentuk ester. Dengan menggunakan prinsip reaksi ini hidrokarbon rantai pendek dalam asam lemak yang menyebabkan bau tidak enak, dapat ditukar dengan rantai panjang yang bersifat tidak menguap (Ketaren, 1986).


(34)

2.1.3. Jenis-Jenis Minyak Goreng

Minyak yang berasal dari tumbuhan lebih banyak mengandung asam lemak tak jenuh sehingga umumnya berbentuk cair. Minyak goreng dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa golongan (Ketaren, 2005) yaitu:

2.1.3.1. Berdasarkan sifat fisiknya, dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Minyak tidak mengering (non drying oil)

Minyak yang apabila mengalami pemanasan tidak menguap misalnaya minyak zaitun, kelapa, kacang tanah.

2. Minyak nabati setengah mengering (semi drying oil)

Berupa minyak yang mempunyai daya mengering lebih lambat. Misalnya minyak biji kapas, minyak biji bunga matahari, gandum.

3. Minyak nabati mengering (drying oil)

Minyak yang mempunyai sifat dapat mengering jika kena oksidasi, dan akan berubah menjadi lapisan tebal, bersifat kental dan membentuk sejenis selaput jika dibiarkan di udara terbuka misalnya minyak kacang kedelai, biji karet.

2.1.3.2. Berdasarkan sumbernya dari tanaman, diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Biji-bijian palawija, yaitu minyak jagung, biji kapas, kedelai, dan bunga matahari.

2. Kulit buah tanaman tahunan, yaitu minyak zaitun dan kelapa sawit. 3. Biji-bijian dari tanaman tahunan, yaitu kelapa, cokelat, inti sawit.


(35)

2.1.3.3. Berdasarkan ada atau tidaknya ikatan ganda dalam struktur molekulnya yakni:

1. Minyak dengan asam lemak jenuh (Saturated Fatty Acids / SAFA)

Semua asam lemak terdiri atas rantai atom karbon dengan berbagai jumlah atom hidrogen yang melekat padanya. Satu molekul memiliki dua atom hidrogen yang melekat pada masing-masing karbon dianggap terjenuhkan oleh hidrogen karena molekul tersebut mengikat semua atom hidrogen yang mampu diikatnya.

Sumber: Raharjo, 2006.

Gambar 2.1 Contoh Struktur Kimia Asam Lemak Jenuh

2. Minyak dengan asam lemak tak jenuh tunggal (Mono-Unsaturated Fatty Acids/MUFA). Merupakan satu asam lemak yang kehilangan satu pasang atom


(36)

Gambar 2.2 Contoh Struktur Kimia Asam Lemak Tak Jenuh Tunggal

3. Minyak dengan asam lemak tak jenuh ganda (Poly-Unsaturated Fatty Acids/ PUFA).

Minyak dinamakan lemak poli-tak jenuh apabila lebih dari dua atom hidrogennya hilang. Asam lemak ini mengandung lebih dari satu ikatan rangkap, misalnya asam linoleat, yang ditemukan dalam minyak biji-bijian seperti minyak kedelai dan minyak jagung.


(37)

Sumber: Raharjo, 2006.

Gambar 2.3 Contoh Struktur Kimia Asam Lemak Poli-tak Jenuh

2.1.4. Kerusakan Minyak

Kerusakan minyak akan mempengaruhi mutu dan nilai gizi bahan pangan yang digoreng. Minyak yang rusak akibat proses oksidasi dan polimerisasi akan menghasilkan bahan dengan rupa yang kurang menarik dan cita rasa yang tidak enak, serta kerusakan sebagian vitamin dan asam lemak esensial yang terdapat dalam minyak. Oksidasi minyak dapat berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah oksigen dengan minyak. Oksidasi biasanya dimulai dengan pembentukan peroksida dan hidroperoksida. Tingkat selanjutnya adalah terurainya asam-asam lemak disertai dengan konversi hidroperoksida menjadi aldehid dan keton serta asam-asam lemak bebas. Ketengikan (Rancidity) terbentuk oleh aldehida bukan oleh peroksida. Jadi


(38)

kenaikan Peroxide Value (PV) hanya indikator dan peringatan bahwa minyak akan

berbau tengik. Oksida minyak juga akan menghasilkan senyawa hidrokarbon, alkohol, lakton serta senyawa aromatis yang mempunyai bau tengik dan rasa getir. Pembentukan senyawa polimer selama proses menggoreng terjadi karena reaksi polimerisasi adisi dari asam lemak tidak jenuh. Hal ini terbukti dengan terbentuknya bahan menyerupai gum yang mengendap di dasar tempat penggorengan (Ketaren, 2005).

Oksidasi adalah alasan utama dari perubahan kimiawi dari minyak tetapi ada beberapa penyebab degradasi lainnya yang berpotensial menyebabkan atau menghasilkan racun. Perubahan secara kimiawi pada minyak, tidak semuanya berpotensi berbahaya. Beberapa produk tidak membahayakan dan masih layak untuk dikonsumsi. Laju perubahan kimia dan tingkat perubahan tergantung pada jenis minyak.

Kerusakan minyak atau lemak akibat pemanasan pada suhu tinggi (200-250°C) akan mengakibatkan keracunan dalam tubuh dan berbagai macam penyakit, misalnya diare, pengendapan lemak dalam pembuluh darah, kanker dan menurunkan nilai cerna lemak. Kerusakan minyak juga bisa terjadi selama penyimpanan. Penyimpanan yang salah dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan pecahnya ikatan trigliserida pada minyak lalu membentuk gliserol dan asam lemak bebas (Ketaren, 2005).

2.1.5. Faktor-Faktor yang Mempercepat dan Menghambat Oksidasi

Faktor-faktor yang mempercepat dan menghambat oksidasi dibagi menjadi 3 kelas yaitu:


(39)

Kecepatan oksidasi lemak yang dibiarkan di udara akan bertambah dengan kenaikan suhu dan akan berkurang dengan penurunan suhu. Kecepatan akumulasi peroksida selama proses aerasi minyak pada suhu 100-115ºC adalah dua kali lebih besar dibandingkan pada suhu 10ºC. Untuk mengurangi kerusakan bahan pangan berlemak dan agar tahan dalam waktu lebih lama, dapat dilakukan dengan cara menyimpan lemak dalam ruang dingin.

2. Pengaruh cahaya

Cahaya merupakan akselarator terhadap timbulnya ketengikan. Kombinasi dari oksigen dan cahaya dapat mempercepat proses oksidasi. Sebagai contoh, lemak yang disimpan tanpa udara (O2), tetapi dikenai cahaya sehingga menjadi tengik. Hal ini

karena dekomposisi peroksida yang secara alamiah telah terdapat dalam lemak. Cahaya berpengaruh sebagai akselerator pada oksidasi tidak jenuh dalam lemak, untuk menghindarinya gunakan bahan pembungkus yang dapat mengabsorpsi sinar aktif yang terbuat dari cellophane berwarna tua yaitu warna biru tua, hijau tua, cokelat tua, atau merah tua.

3. Katalis logam

Bahan pangan berlemak pada umumnya mengandung logam dalam jumlah yang sangat kecil. Logam ini biasanya telah terdapat secara alamiah dalam bahan atau sengaja ditambahkan untuk tujuan tertentu, yang berada dalam bentuk garam kompleks, garam organik maupun garam inorganik. Garam-garam ini biasanya sukar melepaskan secara sempurna dari lemak. Beberapa logam seperti Fe, Cu, Mn, Ni, Co, umumnya mempercepat kerusakan lemak dalam bahan pangan. Hal ini mengakibatkan off flavor yang khas yaitu berbau apek pada konsentrasi di bawah 100


(40)

ppm. Fungsi logam sebagai katalisator oksidasi dapat dihambat dengan melepaskan katalis logam dari lemak selama tahap permulaan proses oksidasi dan menambahkan zat penghambat yang kuat ke dalam system autooksidasi akan mencegah oksidasi lebih lanjut (Ketaren 2008).

2.1.6. Penggolongan Lemak Berdasarkan Kejenuhan (Asam Lemak Jenuh dan Tidak Jenuh)

Lemak dan minyak dapat dibedakan berdasarkan ikatan rangkapnya (jenuh dan tak jenuh). Jenuh jika hanya memiliki satu ikatan rangkap dan tak jenuh jika memiliki dua dan tiga ikatan rangkap. Asamlemak jenuh merupakan asam lemak yang mengandung ikatan tunggal pada rantai hidrokarbonnya. Sedangkan asam lemak tak jenuh merupakan asam lemak yang mengandung satu ikatan rangkap pada rantai hidrokarbonnya(Barifbrave, 2009).

Asam lemak jenuh mempunyai stabilitas tinggi terhadap panas. Banyaknya asam lemak tidak jenuh (ikatan rangkap) dalam minyak goreng dapat dinyatakan dengan bilangan iodin atau angka iodin. Minyak goreng yang berasal dari kelapa sawit memiliki angka iodin yang lebih kecil bila dibandingkan angka iodin minyak yang berasal dari kedelai, jagung, kacang tanah, biji kapas, dan bunga matahari. Hal ini menunjukkan kandungan asam lemak jenuh minyak kelapa sawit jauh lebih tinggi dibandingkan dengan minyak yang berasal dari kedelai, jagung, kacang tanah, biji kapas, dan bunga matahari. Dengan demikian minyak untuk keperluan menggoreng lebih baik menggunakan minyak yang berasal dari kelapa sawit.

Asam lemak tak jenuh ini lebih mudah bereaksi dengan senyawa lain dibandingkan dengan asam jenuh. Ikatan ganda pada asam lemak tak jenuh mudah


(41)

bereaksi (teroksidasi) dengan oksigen di udara. Oleh karena itu sering dikenal dengan istilah bilangan oksidasi bagi asam lemak. Asam lemak jenuh dianggap mempunyai nilai gizi yang lebih tinggi atau lebih baik, dikarenakan lebih reaktif dan merupakan antioksidan dalam tubuh (Aminuddin, 2010).

Ikatan-ikatan karbon ganda dalam molekul minyak tak jenuh sangat rentan terhadap serangan oksidasi dan pembentukan radikal bebas. Minyak poli tak jenuh menjadi beracun ketika teroksidasi. Proses oksidasi ini yang menyebabkan ketengikan. Oksidasi menyebabkan pembentukan radikal bebas yang berbahaya bagin tubuh. Lemak jenuh tidak memiliki atom hidrogen yang hilang atau ikatan karbon ganda. Hal ini berarti lemak jenuh mempunyai stabilitas yang tinggi terhadap panas, tidak peka terhadap oksidasi dan pembentukan radikal bebas (Andi, 2005).

Jika asam lemak jenuh banyak masuk ke dalam tubuh maka asam ini tidak bisa dilarutkan lagi ke dalam senyawa yang ada dalam tubuh sehingga tidak bisa dicerna dan bila terbawa dalam aliran darah maka tidak bisa disaring di ginjal, asam lemak ini akan mengendap dalam tubuh, maka timbul penyakit kolesterol. Sedangkan minyak dengan kadar asam tak jenuh masih bisa dicerna atau larut dalam senyawa tubuh dan diolah atau bisa dibuang dan jika terbawa dalam aliran darah akan bisa disaring di ginjal karena larut dalam air (Aminuddin, 2010).


(42)

2.1.7. Penggunaan dan Kualitas Minyak Goreng

Kualitas minyak goreng sangat ditentukan oleh kandungan asam lemak dari minyak tersebut, apakah bersifat jenuh atau tidak jenuh. Minyak goreng berarti minyak yang digunakan untuk menggoreng, proses menggoreng pasti berhadapan dengan panas yang tinggi. Dengan demikian, minyak goreng dikatakan berkualitas apabila mempunyai stabilitas yang tinggi terhadap panas.

Selain itu, mutu minyak goreng ditentukan oleh titik asapnya, yaitu suhu pemanasan minyak sampai terbentuk akrolein yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan. Makin tinggi titik asapnya, makin baik mutu oksidasi. Untuk menghindari penurunan mutu akibat proses oksidasi dapat menggunakan antioksidan. Antioksidan secara umum dapat diartikan pencegah oksidasi dengan cara menurunkan konsentrasi oksigen (Andi, 2005).

Minyak goreng yang baik mempunyai sifat tahan panas, stabil pada cahaya matahari, tidak merusak flavor hasil gorengan, sedikit gum, menghasilkan produk dengan tekstur dan rasa yang bagus. Standar mutu minyak goreng di Indonesia diatur dalam SNI 01-3741-1995 yang dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut :


(43)

Tabel 2.1 Standar mutu minyak goreng di Indonesia diatur dalam SNI 3741- 1995

No CRITERIA UJI PERSYARATAN UJI

1 Bau Normal

2 Rasa Normal

3 Warna Muda jernih

4 Citra rasa Hambar

5 Kadar air Max 0,3%

6 Berat jenis 0,900 g/L

7 Asam lemak bebas Max 0,3%

8 Bilangan peroksida Max 2 meg/Kg

9 Bilangan iodium 45-46

10 Bilangan penyabunan 196-206

11 Titik asap Min 200oC

12 Indeks bias 1,448-1,450

13 Cemaran logam:

• Besi

• Timbal

• Tembaga

• Seng

• Raksa

• Timah

• Arsen

Max 1,5 mg/Kg Max 0,1 ng/Kg Max 40 mg/Kg Max 0,05 mg/Kg Max 0,1 mg/Kg Max 0,1 mg/Kg Max 0,1 mg/Kg

Sumber : Departemen perindustrian (SNI 3741-1995)


(44)

2.1.8. Minyak Goreng Berulang Kali

Minyak goreng berulang kali atau lebih dikenal dengan minyak jelantah adalah minyak limbah yang berasal dari jenis-jenis minyak goreng seperti halnya minyak jagung, minyak sayur, minyak samin, dan sebagainya. Minyak ini merupakan minyak bekas pemakaian kebutuhan rumah tangga umumnya dan dapat digunakan kembali untuk keperluan kuliner, akan tetapi bila ditinjau dari komposisi kimianya minyak jelantah mengandung senyawa-senyawa yang bersifat karsinogenik, yang terjadi selama proses penggorengan dengan nama akrilamida bahwa makanan yang kaya karbohidrat, seperti kentang yang mengalami penggorengan, dapat merangsang pembentukan senyawa karsinogenik (pemicu kanker) hadirnya senyawa akrilamida pada makanan gorengan di picu oleh proses penggorengan itu sendiri. Penggorengan dengan suhu yang relatif tinggi, sekitar 1900C (seperti lazimnya suhu penggorengan dalam minyak), dapat menyebabkan senyawa karbohidrat pada kentang terurai atau terlepas (Wikipedia, 2009).

Selama penggorengan, minyak goreng akan mengalami pemanasan pada suhu tinggi ± 170-180º C dalam waktu yang cukup lama. Hal ini akan menyebabkan terjadinya proses oksidasi, hidrolisis dan polimerasi yang menghasilkan senyawa-senyawa hasil degradasi minyak seperti keton, aldehid, dan polimer yang merugikan kesehatan manusia.

Kerusakan utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik, sedangkan kerusakan lain meliputi peningkatan kadar asam lemak bebas/Free Faty Acid (FFA), angka peroksida, angka karbonil, timbulnya kekentalan minyak, terbentuknya busa dan adanya kotoran dari bumbu dari bahan penggoreng. Semakin sering digunakan tingkat


(45)

kerusakan minyak akan semakin tinggi. Penggunaan minyak berkali-kali akan mengakibatkan minyak menjadi cepat berasap atau berbusa dan meningkatkan warna coklat serta flavor yang tidak disukai pada bahan makanan yang digoreng.

2.1.9. Proses Menggoreng

Menggoreng adalah suatu proses untuk memasak bahan pangan menggunakan lemak atau minyak. Proses penggorengan dapat dilihat seperti pada gambar dibawah ini :

Uap yang dihasilkan dari lemak Uap dan hasil samping lemak

Bahan mentah

Hasil penggorengan Lemak/minyak

Panas (0C) Penyaringan remah Sumber: S. Ketaren

Gambar 2.4 Proses Menggoreng

Penggorengan merupakan fenomena transpor yang terjadi secara simultan, yaitu transfer panas, transfer massa air, dan transfer (serapan) massa minyak. Saat proses penggorengan dilakukan, terjadi transfer panas dari minyak ke bahan pangan, penguapan massa air, dan penyerapan minyak oleh bahan pangan. Suhu penggorengan yang dianjurkan adalah 177—201 0C, atau tergantung jenis bahan yang digoreng (Winarno 1999).

Lemak dalam ketel penggorengan


(46)

Ke dalam ketel berturut-turut dimasukkan minyak goreng, kemudian dipanaskan (0C), selanjutnya dimasukkan bahan yang akan digoreng. Dari ketel akan diperoleh hasil gorengan, uap yang dihasilkan dari lemak, serta hasil samping lemak akibat pemanasan dan penggorengan serta kerak.

Dalam proses menggoreng, udara merupakan faktor utama penyebab kerusakan minyak goreng, kontak antara udara dengan minyak sulit dihindarkan. Pada waktu proses pemanasan minyak dan penggorengan, aerasi terutama terjadi pada permukaan minyak dalam ketel, namun akhirnya udara akan masuk ke dalam lemak akibat peristiwa pergerakan, sirkulasi atau pengadukan minyak. Aerasi udara secara berlebihan selama proses penggorengan harus dihindarkan untuk mengurangi proses oksidasi. Zat menguap tersebut harus dicegah agar tidak berkondensasi di atas permukaan minyak dan kembali menetes ke dalam minyak goreng dalam ketel (Ketaren, 2005).

Pinthus dan Sagui (1994) menyatakan bahwa minyak akan masuk ke dalam bahan menempati pori-pori yang ditinggalkan oleh air. Proses difusi minyak akan berlangsung terus sampai akhir penggorengan bahkan pada waktu pendinginan pasca penggorengan. Minyak yang digunakan untuk menggoreng merupakan salah satu faktor yang menentukan keamanan suatu produk gorengan untuk dikonsumsi, sebab minyak akan berdifusi ke dalam bahan pangan dan membawa serta bahan-bahan lain yang terkandung di dalamnya.

.Pemanasan yang tidak mencapai suhu penggorengan menyebabkan minyak membentuk busa, sehingga proses penggorengn tidak praktis. Faktor-faktor yang memengaruhi kondisi minyak dalam ketel adalah uap yang dilepaskan dan


(47)

penambahan minyak dan penambahan minyak segar untuk menggantikan minyak yang hilang dari ketel selama proses menggoreng. Uap yang dihasilkan dalam proses menggoreng berfungsi untuk mencuci dan memisahkan hasil dekomposisi lemak yang menguap dan akhirnya dapat menimbulkan bau tengik.

2.10. Struktur Bahan Pangan Goreng

Gorengan yang banyak dijajakan umumnya digoreng dengan metode deep fat frying, yaitu seluruh bahan pangan terendam dalam minyak goreng. Berlangsungnya

berbagai proses dalam penggorengan akan menentukan kualitas akhir produk goreng, yang antara lain dicirikan oleh warna produk, kadar air akhir, kadar minyak (banyaknya minyak yang terserap), kerenyahan produk, dan bentuk produk setelah mengembang (Marsmellowblack, 2012).

Semua pangan goreng mempunyai struktur dasar yang sama, terdiri dari inner zone (core), outer zone (crust), dan outer zone surface. Inner zone (core) adalah

bagian dalam pangan goreng yang masih mengandung air. Sedangkan outer zone (crust) adalah bagian luar pangan goreng yang mengalami dehidrasi pada waktu proses

penggorengan. Rongga pada bahan pangan goreng akibat penguapan air akan tergantung pada perbandingan ketebalan crust dan core. Semakin tebal crust, semakin banyak minyak yang diserap. Outer zone surface adalah bagian paling luar dari bahan pangan goreng yang berwarna cokelat kekuning-kuningan. Lapisan tepung pada bahan pangan goreng akan mengalami gelatinisasi, volume lapisan akan mengembang dan mengering dengan teruapkannya air. Dengan demikian terbentuk tekstur renyah yang disukai. Warna cokelat pada outer zone surface umumnya merupakan hasil reaksi


(48)

pencokelatan atau maillard yang dipengaruhi oleh komposisi makanan, suhu, dan lama penggorengan. (Ketaren 1986).

Berdasarkan penelitian juga disebutkan kemungkinan adanya senyawa Karsinogenik dalam minyak yang dipanaskan, dibuktikan dari bahan pangan berlemak

teroksidasi yang dapat mengakibatkan pertumbuhan kanker hati. Selain itu selama penggorengan juga akan terbentuk senyawa akrolein yang bersifat racun dan menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan. Penggunaan minyak goreng jelantah secara berulang-ulang dapat membahayakan kesehatan tubuh. Hal tersebut dikarenakan pada saat pemanasan akan terjadi proses degradasi, oksidasi dan dehidrasi dari minyak goreng. Proses tersebut dapat membentuk radikal bebas dan senyawa toksik yang bersifat racun (Rukmini, 2007).

Kerusakan minyak goreng yang berlangsung selama penggorengan juga akan menurunkan nilai gizi dan berpengaruh terhadap mutu dan nilai bahan pangan yang digoreng. Bahan pangan yang digoreng dengan menggunakan minyak yang telah rusak akan mempunyai tekstur dan penampakan yang kurang menarik serta cita rasa dan bau yang kurang enak (Trubusagrisarana, 2005).

Karena mudah terhidrolisis dan teroksidasi pada suhu ruang, asam lemak yang dibiarkan terlalu lama akan turun nilai gizinya. Pengawetan dapat dilakukan dengan menyimpannya pada suhu sejuk dan kering, serta menghindarkannya dari kontak langsung dengan udara (Wikipedia, 2012).


(49)

2.2. Minyak Curah

2.2.1. Pengertian Minyak Curah

Secara alami minyak sawit mengandung dua macam kadar asam, yaitu asam stearat yang banyak mengandung gugus asam jenuh yang mudah beku dan asam palmitat yang mengandung banyak kadar asam tak jenuh yang sukar membeku. Kedua bagian ini kemudian dipisahkan sehingga minyak gorengnya akan sedikit mengandung asam stearat. Minyak goreng yang sedikit mengandung asam stearat ini tentunya akan lebih sulit membeku di temperatur yang dingin. Sisa dari hasil pemisahan ini adalah minyak curah yang sudah jelas mengandung banyak fat atau asam stearat ini.

Untuk membandingkan kualitas minyak goreng antara minyak kemasan dengan minyak curah adalah minyak kemasan dalam udara yang dingin tidak akan mudah membeku, sedangkan minyak curah pasti membeku jika terkena udara dingin sedikit saja. Minyak goreng dengan kadar lemak jenuh yang tinggi akan membeku jika terkena udara dingin, jadi jika membandingkan dua macam minyak kemasan tinggal dimasukkan ke dalam freezer dalam tempo tertentu kemudian bandingkan hasilnya, bandingkan dari keduanya mana yang paling banyak membeku. Maka yang paling banyak bagian yang beku berarti kualitasnya kurang bagus (Aminuddin, 2010).

2.2.2. Komposisi Minyak Goreng Curah

Menurut Rosiani (2010), mengatakan tidak ada masalah masyarakat menggunakan minyak goreng curah, hanya minyak goreng curah tidak boleh digunakan berulang kali. Minyak goreng curah berbeda dengan minyak goreng bermerek, seperti Filma, Bimoli dan sebagainya. Karena minyak goreng bermerek dua kali penyaringan, sedangkan minyak goreng curah proses penyaringan hanya satu kali.


(50)

Sehingga dari warnanya berbeda dengan minyak goreng bermerek yang lebih jernih dibanding minyak goreng curah. Begitu juga kandungan yang terdapat antara minyak curah dan minyak kemasan.

Dari segi kandungan minyak curah kadar lemaknya lebih tinggi dan juga kandungan asam oleat dibanding minyak kemasan. Namun tidak ada masalah menggunakan minyak curah, asalkan tidak berlebihan dan tidak digunakan berulang-ulang kali, sampai berwarna coklat pekat hingga kehitam-hitaman. Karena pemakaian berulang-ulang pada minyak makan, sangat tidak baik bagi kesehatan. Minyak curah hanya mengalami penyaringan sampai tahap olein. Dan masih mengandung soft stearin (minyak fraksi padat) pada tingkat tertentu. Oleh karena itu minyak curah

biasanya lebih keruh dibandingkan minyak bermerek. Selain itu tingkat sanitasi dan kebersihannya kurang baik, tidak sebersih minyak bermerek. Tidak ada salahnya menggunakan minyak goreng curah, hanya saja kadar kebersihannya berbeda dengan minyak kemasan dan minyak kemasan kadar lemaknya lebih rendah.

Minyak goreng kemasan umumnya melalui proses produksi lebih lama dibanding minyak curah karena mengalami beberapa proses. Proses produksi sedikit banyak mempengaruhi kualitas minyak goreng yang dihasilkan baik secara fisik maupun secara kandungan gizi. Sebetulnya minyak curah layak menjadi minyak sayur, hanya tingkat higienisnya tidak sebaik minyak kemasan.


(51)

2.2.3. Minyak Kelapa Sawit

Minyak goreng sawit dibagi menjadi 2 (dua) kategori umum yaitu: Minyak curah dan minyak kemasan. Minyak goreng curah dan minyak goreng kemasan adalah sama-sama merupakan proses industri, namun yang membedakannya adalah dalam hal kualitas prosesnya. Minyak goreng yang dalam proses penyaringannya dilakukan hanya sekali dan dijual dalam bentuk Non Kemasan tanpa merek, maka itulah yang disebut Minyak Curah warnanya kuning keruh dan bila terkena suhu dibawah normal, maka berubah menjadi beku ( Mulyadi, 2012).

Apabila proses penyaringannya dilakukan hingga 3-4 kali penyaringan, maka jadilah minyak yang sangat jernih dan dikemas dan biasanya dikemas oleh industri besar menjadi Kemasan dan Bermerk dan Minyak Kemasan dan bermerk yang sekarang banyak beredar seperti: Merk minyak goreng Bimoli, Avena, Trofical (Mulyadi, 2012).

2.2.4. Komposisi Minyak Kelapa Sawit

Minyak kelapa sawit adalah minyak yang dihasilkan dari inti kelapa sawit (parm kernel oil). Minyak kelapa sawit terutama dikenal sebagai bahan mentah

minyak dan lemak pangan yang digunakan untuk menghasilkan minyak goreng, shortening, margarine, dan minyak makan lainnya dengan kandungan karoten yang

tinggi. Minyak sawit merupakan sumber pro vitamin A yang murah dibandingkan dengan bahan baku lainnya. Minyak sawit dihasilkan dari proses ekstraksi bagian sabut buah dan biji buah kelapa sawit. Minyak yang dihasilkan dari bagian kulit atau sabut dikenal dengan nama Crude Palm Oil (CPO) dan bagian dari biji buahnya disebut Palm Kernel Oil (PKO).


(52)

Daging kelapa sawit mengandung enzim lipase yang dapat menyebabkan kerusakan pada mutu minyak ketika struktur seluler terganggu. Enzim yang berada didalam jaringan daging buah tidak aktif karena terselubung oleh lapisan vakuola, sehingga tidak dapat berinteraksi dengan minyak yang banyak terkandung pada daging buah. Masih aktif di bawah 150C dan non aktif dengan temperatur diatas 500 C. Apabila trigliserida bereaksi dengan air maka menghasilkan gliserol dan asam lemak bebas. Sebelum proses ektraksi minyak dilakukan, pertama-tama buah direbus di dalam stelizer. Salah satu tujuannya yaitu mengnonaktifkan aktifitas enzim. Didalam buah kelapa sawit ada enzim lipase dan oksidaseyang tetap bekerja sebelum enzim itu dihentikan dengan cara fisika dan kimia.

Cara fisika yaitu dengan cara pemanasan pada suhu yang dapat mendegradasi protein. Enzim lipasebertindak sebagai katalisator dalam pembentukan trigliserida dan kemudian memecahnya kembali menjadi asam lemak bebas/ Free Faty Acid (FFA).

Enzim Oksidasi berperan dalam proses pembentukan peroksida yang kemudian dioksidasi lagi dan pecah menjadi gugusan aldehide dan kation. Senyawa yang terakhir bila dioksidasi lagi akan menjadi asam. Jadi Asam Lemak Bebas/ Free Faty Acid (FFA) yang terdapat dalam minyak sawit merupakan hasil kerja enzim lipase

dan oksidasi.

Aktifitas enzim semakin tinggi apabila buah mengalami luka. Untuk mengurangi aktifitas enzim sampai di pabrik kelapa sawit diusahakan agar buah tidak rusak dan buah tidak busuk. Enzim tersebut tidak aktif lagi pada temperatur 500C. Karena itu perebusan di dalam sterilizer pada temperatur 1200 C akan menghentikan enzim.


(53)

Crude Palm Oil (PKO) masih mengandung non gliserida seperti asam lemak

bebas, air, dan beberapa unsur logam dan kotoran lain. Oleh karena itu harus dilakukan pemurnian lanjutan yaitu melalui degumming, netralisasi, dan deoderisasi sehingga dihasilkan minyak yang tidak berbau dan lebih stabil. Minyak kelapa sawit mengandung asam lemak tidak jenuh dengan perbandingan yang hampir sama, yaitu 40% asam oleat, 44% asam palmitat. Minyak sawit juga merupakan sumber vitamin E, tokoferol dan tokotrienol yang berperan sebagai antioksidan, yaitu suatu zat yang

dapat mencegah terjadinya oksodasi. Tokoferol dan tokotrienol dapat menangkap radikal bebas dan mencegah kanker.

2.2.5. Variabel yang Sangat Berpengaruh Terhadap Asam Lemak Bebas

Beberapa variabel proses yang sangat berpengaruh terhadap perolehan asam lemak seperti pengaruh suhu, kematangan buah, kadar pelukaan buah, pengadukan, penambahan air, penambahan CPO dan lama penyimpanan.

1. Pengaruh Temperatur

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh bahwa kadar asam lemak yang paling tinggi didapat pada suhu kamar (25 0C – 27 0C). Enzim lipase pada buah kelapa sawit sudah tidak aktif pada suhu pendinginan 8 0C dan pada pemanasan pada suhu 50 0C. Secara umum temperatur sangat berpengaruh pada reaksi kimia, dimana kenaikan temperatur akan menaikkan kecepatan reaksi. Sifat enzim yang inaktif pada suhu tinggi, maka pada proses enzimatis ada batasan suhu supaya enzim dapat bekerja secara optimal. Penurunan aktifitas enzim pada suhu tinggi diduga diakibatkan oleh denaturasi protein. Pada suhu rendah, aktifitas enzim juga menurun yang diakibatkan oleh denaturasi enzim.


(54)

2. Pengaruh Penambahan Air

Air mempunyai pengaruh pada reaksi yang terjadi, dan pengaruh ini pada dasarnya adalah membantu terjadinya kontak antara substrat dengan enzim. Enzim lipase aktif pada permukaan antara lapisan minyak dan air, sehingga dengan melakukan pengadukan, maka kandungan air pada buah akan mampu untuk membantu terjadinya kontak ini. Pada proses hidrolisa ini, secara stokiometri air pada buah sudah berlebih untuk menghasilkan asam lemak (kadar air pada buah adalah sekitar 28%), tetapi karena air ini berada pada padatan maka perlu dilakukan pelumatan buah dan selanjutnya dilakukan pengadukan. Pengaruh kadar air pada produk yang dicapai sangat besar, dimana kandungan air yang sangat besar dapat mengakibatkan reaksi antara asam lemak dan gliserol tidak dapat terjadi dengan baik.

3. Pengaruh Pelukaan dan Pengadukan Buah

Enzim lipase tidak berada dalam minyak, tetapi berada dalam serat. Tingkat pelukaan buah dan pengadukan sangat berpengaruh terhadap proses hidrolisa karena akan membantu terjadinya kontak antara enzim dan minyak (substrat). Hal ini karena posisi enzim lipase pada buah sawit belum diketahui secara pasti, sehingga untuk mengatasi hal ini maka buah harus dilumat sampai halus, kemudian minyak dan seratnya dicampur kembali. Dengan proses seperti ini terbukti bahwa kadar asam lemak yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan jika buah tidak dilumat sampai halus (hanya dimemarkan/dilukai). Pengaturan kecepatan pengadukan pada reaksi ini perlu dilakukan, karena pada proses ini pengadukan berpengaruh kepada waktu kontak antara air, substrat dan enzim. Disamping itu, karena yang diaduk adalah campuran


(55)

serat dan minyak, maka pemilihan rancangan pengaduk sangat perlu untuk diperhatikan.

4. Pengaruh Kematangan Buah

Buah yang terdapat pada satu tandan buah kelapa sawit tidak akan matang secara serempak. Buah yang berada pada lapisan luar biasanya lebih matang jika dibandingkan dengan buah yang berada pada bagian yang lebih dalam. Hal ini mengakibatkan adanya perbedaan persentase minyak yang terdapat pada setiap buah yang berada dalam satu tandan. Pada buah kelapa sawit, semakin matang buah maka kadar minyaknya akan semakin tinggi. Dengan semakin tingginya kadar minyak pada buah maka proses hidrolisa secara enzimatis akan semakin cepat terjadi, sehingga perolehan asam lemak akan lebih tinggi.

5. Pengaruh Lama Penyimpanan

Secara alami asam lemak bebas akan terbentuk seiring dengan berjalannya waktu, baik karena aktifitas mikroba maupun karena hidrolisa dengan bantuan katalis enzim lipase. Namun demikian asam lemak bebas yang terbentuk dianggap sebagai hasil hidrolisa dengan menggunakan enzim lipase yang terdapat pada buah sawit. 6. Pengaruh Penambahan CPO

Pada proses ini, kecepatan reaksi lebih rendah jika penambahan kadar CPO (Crude Palm Oil) terhadap campuran antara serat dan minyak semakin meningkat. Hal

ini dapat terjadi karena enzim lipase yang berada pada buah sudah jenuh atau jumlahnya terbatas, sementara jumlah substrat sudah sangat berlebih. Kecepatan reaksi bergantung kepada konsentrasi enzim lipase, bukan pada konsentrasi substrat (Fauziah, 2011)


(56)

2.3. Asam Lemak bebas

Asam Lemak Bebas adalah bilangan yang menunjukkan jumlah asam lemak bebas yang terkandung dalam lemak/minyak yang biasanya dihubungkan dengan proses hidrolisis minyak. Hidrolisis minyak oleh air dengan katalis enzim dan panas pada ikatan ester trigliserida akan menghasilkan asam lemak bebas seperti yang terdapat pada reaksi berikut :

Enzim

Trigliserida + H2O Digliserida + Monogliserida + Asam Lemak Bebas

Panas

Keberadaan asam lemak bebas dalam minyak biasanya dijadikan indikator awal terjadinya kerusakan minyak karena proses hidrolisis. Pembentukan asam lemak bebas akan mempercepat kerusakan oksidatif minyak karena asam lemak bebas lebih mudah teroksidasi. Oksidasi minyak akan menghasilkan senyawa aldehida, keton, hidrokarbon, serta senyawa aromatis yang mempunyai bau tengik dan rasa getir. (Kusnandar, 2010).

2.3.1. Pengertian Asam Lemak Bebas

Asam lemak bebas adalah hasil reaksi antara air dan lemak. Meningkatnya persen dari asam lemak bebas pada waktu penggorengan adalah terutama jumlah uap dari makanan selama proses penggorengan dan suhu penggorengan. Faktor lain yang mempengaruhi tingginya asam lemak bebas termasuk adanya sisa-sisa makanan yang gosong didalam minyak. Asam lemak bebas adalah asam yang dibebaskan pada hidrolisa dari lemak. Asam lemak bebas adalah hasil dari hidrolisa lemak netral oleh


(57)

semua enzim yang termasuk golongan lipase, dimana enzim yang dapat menghidrolisa lemak ini terdapat dalam lemak hewani dan nabati yang berada dalam jaringan (Saputra, 2011).

Tingkat asam lemak bebas yang tinggi (sekitar 3-4 %) bisa menghasilkan asap yang berlebih dan rasa yang tidak sedap. Jumlah persen dalam asam lemak bebas dapat membantu dalam penilaian syarat dari minyak yang berkualitas baik. Persen asam lemak bebas yang rendah adalah pertanda minyak yang berkualitas (Raharjo, 2006).

2.3.2. Reaksi Hidrolisis Lemak

Reaksi hidrolisis lemak adalah reaksi pelepasan asam lemak bebas (Free Fatty Acid ) dari gliserol dalam struktur molekul lemak. Reaksi hidrolisis dapat terjadi pada

lemak yang mengandung asam lemak jenuh dan tidak jenuh. Reaksi hidrolisis dapat dipacu oleh adanya aktifitas enzim lipase atau pemanasan yang menyebabkan pemutusan ikatan ester dan pelepasan asam lemak bebas. Setiap pelepasan satu molekul asam lemak bebas memerlukan satu molekul air. Reaksi hidrolisis lemak dapat membebaskan ketiga asam lemak dari gliserin. Pembentukan bau tengik ini menunjukkan lemak sudah mengalami kerusakan. Pembentukan bau tengik yang disebabkan oleh reaksi hidrolisis baik yang dipicu oleh adanya aktivitas enzim lipase maupun proses pemanasan disebut ketengikan hidrolitik. Derajat pembentukan bau tengik lemak yang rusak dipengaruhi oleh jenis asam lemak yang dibebaskan.

Lipase merupakan enzim yang bisa terdapat dalam bahan pangan. Bila bahan pangan disimpan dan tidak diberi perlakuan pemanasan sebelumnya, maka lipase dapat aktif selama penyimpanan. Lipase dapat mengkatalis hidrolisis lemak yang


(58)

menyebabkan asam lemak terlepas dari gliserol. Akumulasi pelepasan asam lemak bebas, terutama yang memiliki rantai karbon pendek (misalnya, asam butirat dan asam kaproat ) akan menyebabkan pembentukan bau tengik.

Reaksi hidrolisis lemak dapat terjadi bila ada air dan pemanasan. Penggorengan bahan pangan yang mengandung air pada suhu tinggi misalnya dengan deep-fat-friying, dapat menyebabkan reaksi hidrolisis. Penggunaan suhu yang tinggi

menghasilkan energi yang terlalu tinggi yang dapat memecah struktur lemak. Mula-mula lemak akan terhidrolisis membentuk gliserin dan asam lemak bebas kemudian akan terjadi reaksi lanjutan yang menyebabkan pemecahan molekul gliserin dan asam lemak bebas. Dengan dipicu proses pemanasan lemak (trigliserida) terhidrolisis membentuk asam lemak bebas dan gliserol. Pada suhu pemanasan yang terlalu tinggi, ikatan pada gliserin dapat pecah sehinnga menyebabkan lepasnya dua molekul air dan membentuk senyawa akrolein. Akrolein bersifat volatile dan membentuk asap yang dapat mengiritasi mata (Kusnandar, 2010).

2.3.3. Bilangan Peroksida

Bilangan peroksida adalah menyatakan terjadinya oksidasi dari minyak. Bilangan peroksida berguna untuk penentuan kualitas minyak setelah pengolahan dan penyimpanan. Pada pengolahan minyak dengan cepat dan tepat dari minyak yang berkualitas baik, bilangan peroksidanya hampir mendekati nol. Peroksida akan meningkat sampai pada tingkat tertentu selama penyimpanan sebelum penggunaan, yang jumlahnya tergantung pada waktu, suhu, dan kontaknya dengan cahaya dan udara.


(59)

Selama oksidasi, nilai peroksida meningkat secara lambat-laun, yang kemudian dengan cepat mencapai puncak. Tingginya bilangan peroksida menandakan oksidasi yang berkelanjutan, tetapi rendahnya bilangan peroksida bukan berarti bebas dari oksidasi. Pada suhu penggorengan, peroksida meningkat, tetapi menguap dan meningkatkan system penggorengan pada temperatur tinggi.

Dalam jangka waktu yang cukup lama peroksida dapat mengakibatkan destruksi beberapa macam vitamin dalam bahan pangan berlemak. Peroksida mempercepat proses timbulnya bau tengik pada bahan pangan dan minyak goreng. Apabila jumlah peroksida pada bahan pangan dan minyak goreng tersebut melebihi standar mutu maka akaan beracun dan tidak dapat dikomsumsi seperti timbulnya gejala diare, kelambatan pertumbuhan, pembesaran organ, deposit lemak tidak normal, kontrol tidak sempurna pada pusat syaraf dan mempersingkat umur (Ketaren, 2005).

2.3.4. Bilangan Iodin

Bilangan iodin adalah suatu petunjuk dari jumlah ikatan rangkap di dalam minyak. Bilangan iodin adalah suatu istilah yang dipakai untuk menentukan derajat ketidakjenuhan. Tingginya bilangan iodin menandakan tingginya derajat ketidakjenuhan. Bilangan iodin juga sangat berguna sebagai pertanda dari bentuk minyak.

Selama pengolahan minyak, dengan meningkatnya tingkat hidrogenasi, bilangan iodine akan menurun. Minyak yang digunakan untuk menggoreng, bilangan iodinnya cendrung menurun seiring lamanya waktu penggorengan. Dengan demikian perlu untuk mengetahui bilangan iodin dari minyak segar untuk menentukan angka perubahan selama penggorengan (Kusnandar, 2010).


(60)

2.3.5. Produksi asam lemak bebas oleh enzim

Lemak hewan dan nabati yang masih berada dalam jaringan, biasanya mengandung enzim yang dapat menghidrolisa lemak. Semua enzim yang termasuk golongan lipase, mampu menghidrolisa lemak netral (trigliserida) sehingga menghasilkan asam lemak bebas dan gliserol, namun enzim tersebut inaktif oleh panas. Indikasi dari aktifitas enzim lipase dalam organ yang mati dapat diketahui dengan mengukur kenaikan bilangan asam. Sebagai contoh, lemak daging ayam yang mengandung lipase menunjukkan kenaikan bilangan asam yang cepat, setelah hewan tersebut dipotong. Contoh lain adalah burung yang baru mati mengandung lemak dengan bilangan asam sekitar 0,2%. Namun setelah penyimpanan selama 24 jam pada suhu 0oC, bilangan asam akan naik menjadi 0,5%.

Minyak nabati hasil ekstraksi dari biji-bijian atau buah yang disimpan dalam jangka panjang dan terhindar dari proses oksidasi, ternyata mengandung bilangan dalam jaringan dan enzim yang dihasilkan oleh kontaminasi mikroba (Ketaren, 2005).

2.4. Pengaruh asam Lemak Bebas Terhadap Kesehatan

Beberapa penyakit yang ditimbulkan oleh tingginya asam lemak bebas diantaranya sebagai berikut:

2.4.1. Penyakit Jantung Koroner

Penyakit jantung koroner (Coronory Heart Disease) bisa menjadi silent killer nomor satu bukan hanya di negara maju tetapi juga di kelompok masyarakat tertentu di negara yang sedang berkembang. Terdapat sejumlah faktor resiko yang diidentifikasi menyebabkan penyakit jantung koroner, seperti meningkatnya kadar


(61)

lipida utamanya kolestrol darah, hypertensi, perokok berat, dan aktifitas fisik, faktor usia (Kusnandar, 2010 ).

Terjadinya penyakit jantung koroner bisa dibagi dalam tiga tahapan yaitu : inisiasi, progresi, dan terminasi. Tahap inisiasi ditandai dengan terjadinya luka (injury) pada lapisan endothelium pada pembuluh darah. Pada tahap progresi, bagian yang luka tersebut menyebabkan terjadinya penimbunan kolestrol yang selanjutnya plaque menjadi besar dan bisa menyumbat aliran darah. Terjadinya penyumbatan tersebut memulai tahap terminasi yang ditandai dengan terjadinya thrombosis, kerusakan otot jantung, dan akhirnya kematian. Diduga bahwa produk dari oksidasi dan kolestrol lemak bisa mempercepat berlangsungnya ketiga tahapan tersebut. Salah satu faktor penyumbang terjadinya penyakit jantung koroner adalah arterisklerosis

( Raharjo, 2006 ).

Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa terjadinya arterisklerosis adalah merupakan respon terjadinya luka pada lapisan endothelium pada pembuluh darah. Produk oksidasi lemak telah terbukti bisa menginduksi terjadinya luka pada pembuluh darah dalam waktu relative singkat. Oleh karena itu sangat dimungkinkan bahwa produk oksidasi lemak ataupun LDL (Low Density Lipoprotein) yang teroksidasi bersifat toksik bagi sel yang dapat menginisiasi terjadinya luka pada pembuluh darah ( Raharjo, 2006 ).


(62)

2.4.2. Peningkatan Kadar Kolestrol Dalam Darah

Kolesterol adalah suatu substansi seperti lilin yang berwarna putih, secara alami ditemukan di dalam tubuh. Kolesterol diproduksi di hati, fungsinya untuk membangun dinding sel dan membuat hormon-hormon tertentu, tubuh secara alami akan menghasilkan sendiri kolesterol yang diperlukan. Tetapi, karena produk hewani yang di konsumsi, menyebabkan terjadinya kelebihan kolesterol. Kadar kolesterol yang berlebihan di dalam darah merupakan penyebab utama dari penyakit jantung dan penyakit pembuluh darah. Kolesterol membentuk bekuan dan plak yang menyumbat arteri dan akhirnya memutuskan aliran darah ke jantung (menyebabkan serangan jantung) dan ke otak (menyebabkan stroke) (Nurcahyo, 2011).

Faktor makanan yang berpengaruh terhadap kolestrol darah adalah LDL (Low Density Lipoprotein), lemak total, lemak jenuh, dan energi total. Untuk menghindari

timbulnya penyakit jantung koroner, kadar kolestrol darah dipertahankan kurang dari 200 mg/dl. Untuk menghindari kadar kolestrol darah yang tinggi, dianjurkan mengganti lemak jenuh dengan makanan sumber lemak tidak jenuh, terutama lemak dengan ikatan ganda dan mengurangi makanan yang kaya kolestrol. Demikian juga diet dengan kalori yang terkontrol merupakan modifikasi program pencegahan penyakit jantung koroner, karena kalori yang berlebihan ternyata dapat meningkatkan kadar kolestrol( Kusnandar, 2010 ).

Tingginya trigliserida dalam darah/hypertrigliserida merupakan salah satu faktor resiko penyakit jantung koroner. Komposisi karbohidrat dan obesitas merupakan faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan trigliserida dalam darah


(63)

( Kusnandar, 2010 ).

2.4.3. Diabetes Melitus

Ada beragam hormon yang terlibat dalam mengatur kadar gula darah, tetapi yang terpenting dan merupakan kuncinya adalah insulin. Faktor penyokong terjadinya diabetes melitus ada ahli yang berpandangan tingginya jumlah asam lemak bebas dalam darah akan memicu penumpukan lemak ektopik (diluar tempat penumpukan yang seharusnya yaitu sel lemak) seperti dalam otot dan hati yang mendasari terjadinya resistensi insulin dalam tubuh. Asam lemak secara langsung juga menyebabkan gangguan pada sistem penghantaran sinyal insulin yang menyebabkan sel-sel tubuh tertentu seperti pada otot, hati, dan sel lemak menurun kepekaannya atau responnya terhadap kerja insulin. Salah satu akibatnya adalah terhambatnya uptake (pengambilan) glukosa oleh sel-sel tubuh contohnya pada sel otot, padahal otot merupakan organ pengguna terbesar glukosa darah pada fase setelah makan. Proses metabolisme glukosa di otot dimulai dengan proses uptake glukosa darah. Proses uptake ini memerlukan suatu proses penghantaran glukosa melalui pintu masuk (transporter) di membran sel otot.

Asam lemak bebas telah diketahui menganggu fungsi pintu masuk ini sehingga uptake glukosa terganggu. Jadi semakin banyak asam lemak bebas dalam tubuh akan mengurangi pengambilan glukosa dalam darah, atau secara gampang bisa dikatakan semakin gemuk seseorang, sel-sel tubuhnya semakin payah memakai glukosa dalam darah (Aminuddin, 2010).


(1)

c. Minyak 6 x menggoreng

FFA (%) = x100%

Sampel Berat BM x N x V

= 100% 9 , 5025 282 1 , 0 35 , 1 x x x

= 0,75 %

0,75 % artinya dalam 100 gr minyak goreng terdapat 0,75 gr atau 750 mg Asam Lemak Bebas/Free Faty acid (FFA).

5) Pada pedagang V :

a. Minyak sebelum menggoreng

FFA (%) = x100%

Sampel Berat BM x N x V

= 100% 5 , 5014 282 1 , 0 75 , 0 x x x

= 0,42 %

0,42 % artinya dalam 100 gr minyak goreng terdapat 0,42 gr atau 420 mg Asam Lemak Bebas/Free Faty acid (FFA).

b. Minyak 3 x menggoreng

FFA (%) = x100%

Sampel Berat BM x N x V

= 100% 5 , 5098 282 1 , 0 60 , 1 x x x

= 0,88 %

0,88 % artinya dalam 100 gr minyak goreng terdapat 0,88 gr atau 880 mg Asam Lemak Bebas/Free Faty acid (FFA).


(2)

c. Minyak 6 x menggoreng

FFA (%) = x100%

Sampel Berat

BM x N x V

= 100% 8

, 5025

282 1 , 0 60 , 2

x x x

= 1,45 %

1,45 % artinya dalam 100 gr minyak goreng terdapat 1,45 gr atau 1450 mg Asam Lemak Bebas/Free Faty acid (FFA).

Di mana :

V = Volume titrasi

N = Normalitas NaOH = 0,1

BM = Asam Palmitat (kelapa sawit) = 282


(3)

Lampiran 8

DOKUMENTASI PENELITIAN

Gambar 1. Minyak dalam Erlenmeyer yang di timbang


(4)

Gambar 3. Proses titrasi pada minyak goreng jenis curah.


(5)

3x

6x

Gambar 5. Minyak curah setelah 3X menggoreng dan setelah 6X menggoreng


(6)

Gambar 7. Proses menggoreng pedagang gorengan kaki lima