Upacara Adat Peutron Anuek (Studi Etnografi Mengenai Adat Peutron Anuek Pada Masyarakat Aceh Di Desa Perlak Asan Kecamatan Sakti Kabupaten Pidie)

(1)

UPACARA ADAT PEUTRON ANUEK

(Studi Etnografi Mengenai Adat Peutron Anuek Pada Masyarakat Aceh Di Desa Perlak Asan Kecamatan Sakti Kabupaten Pidie)

SKRIPSI

Diajukan

O L E H

FITRIA

NIM: 050905061

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI MEDAN


(2)

UNIVERITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK Halaman Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk di pertahanan Oleh

Nama : Fitria

Nim : 050905061 Departemen : Antropologi Sosial

Judul : Upacara Adat Peutron Aneuk

(Studi Etnografi Mengenai Upacara Adat Peutron Aneuk Pada MasyarakatAceh Di Desa Perlak Asan Kecamatan Sakti Kabupaten Pidie)

Pembimbing Skripi Ketua Departemen

Dra.Tjut Syahriani.M.Soc.Sc Dr.Fikarwin Zuska NIP: 19580108 198603 2 003 NIP: 19621210 198903 1 005

Dekan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Prof.Dr.Badaruddin M.Si NIP: 196805251 199203 1 002


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Pengesahan

Skripsi ini telah dipertahankan Oleh :

Nama : Fitria Nim : 050905061 Departemen : Antropologi

Judul : Upacara Adat Peutron Anuek (Studi Etnografi Mengenai Adat Peutron Anuek pada Masyarakat Aceh di Desa Perlak Asan Kecamatan Sakti Kabupaten Pidie)

Pada ujian komprehensif/meja hijau yang dilaksanakan pada:

Hari :

Tanggal : Tempat :

Tim penguji terdiri dari:

Ketua penguji :……… ( )

Penguji I : ………( )

Penguji II : ……….( )


(4)

PERNYATAAN ORIGINALITAS

Upacara Adat Peutron Anuek

(Studi Etnografi Mengenai Adat Peutron Anuek Pada Masyarakat Aceh di Desa Perlak Asan Kec. Sakti Kab. Pidie)

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari lain atau tidak seperti yang saya nyatakan disini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan saya.

Medan, Juli 2012

Fitria


(5)

ABSTRAK

Fitria, upacara Adat Peutron Anuek (studi etnografi mengenai adat peutron anuek pada masyarakat Aceh di desa Perlak Asan Kecamatan Sakti Kabupaten Pidie). Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 100 halaman, daftar tabel, daftar gambar, daftar pustaka, lampiran yang terdiri dari daftar informan dan surat keterangan penelitian.

Setiap mayarakat memiliki upacara terendiri.Seperti halnya upacara adat peutron aneuk yang diadakan masyaraat di Desa Perlak Asan. Bagi masyarakat Perlak Asan, keberadaan upacara adat tersebut memiliki arti yang penting, dalam pelaksanaannya meliputi berbagai rangkaian acara yang dilakukan dan melibatkan

seluruh anggota masyarakat upacara tersebut menjadi kajian dalam penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana upacara adat

peutron aneuk dilaksanakan, apa makna serta kaitan dengan agama Islam dan Hindu. Metode yang dilakukan dalam penenelitian ini adalah kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif. Dalam pengumpulan data dilapangan penulis menggunakan teknik observasi yang digunakan dalam penelitian adalah observasi partisipasi.

Dari hasil penelitian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa upacara adat peutron aneuk memiliki 4 (empat) makna tertentu; pertama, rasa syukur kepada Allah Swt atas kelahiran si anak. Sebagai rasa syukur atas rezeki yang diberikannya, oleh karena itu para orang tua yang baru melahirkan seorang anak mengadakan rangkaian upacara atas lahirnya tersebut. Yang mana upacara tersebut dikenal dengan upacara adat peutron aneuk. Kedua, upacara adat peutron aneuk di Desa Perlak Asan diadakan setelah bayi berumur 44 hari dimana acara ini merupakan adat kebiasaan masyarakat yang diwariskan oleh nenek moyang terdahulu yang sudah menjadi tradisi bagi para orang tua untuk mengenalkan anak tercintanya kepada seluruh masyarakat sekelilingnya. Ketiga, upacara adat peutron aneuk yang dilakukan masyarakat Aceh umumnya dan masyarakat desa Perlak Asan khususnya mempunyai makna yang sangat mendalam yang mengandung harapan-harapan agar si anak dapat berguna bagi agama, nusa dan bangsanya. Keempat, Membina hubungan kekeluargaan di dalam komunitas masyarakat Desa Perlak Asan, hubungan-hubungan ini terlihat jelas karena mereka ikut serta dalam pelakanaan upacara tersebut.

Keywords :Upacara, adat, peutron anuek, makna dan fungsi,pengaruh Islam dan Hindu.

.


(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Dengan mengucapkan hamdallah kepada Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, karena atas Rahmat, Berkah dan HidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “upacara peutron anuek (studi etnografi mengenai adat peutron anuek pada masyarakat Aceh di desa Perlak Asan Kecamatan Sakti Kabupaten Pidie) dapat saya selesaikan. Shalawat serta salam semoga Allah SWT limpahkan kepada penghulu alam Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, kerabat serta kepada seluruh pengikutnya. Tulisan ini merupakan salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Antropologi pada Fakultas Imu Sosial dan Ilmu politik Universitas Sumatera Utara. Semoga Allah SWT meridhoi skripsi ini sehingga dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Dalam penyeselaian skripsi ini sejak awal sampai dengan selesai, penulis ingin mengucapakan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada: Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan FISIP USU, Dr. Fikarwin Zuska selaku ketua Departemen Antropologi, Dra. Tjut Syahriani. Msoc. Sc Sebagai pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan kritikan kepada penulis.

Bapak-bapak danibu-ibu para dosen Antropologi yang telah membekali saya selama saya kuliah di Departemen Antropologi. Seluruh keluarga di Kampung halaman yang berada di Sigli terutama sekali suami tercinta Asnawi Spi, ibunda tersayang Habibah, ayahanda M. Umar, adik tersayang Khalisil Mukhlis serta buah hati anakku sayang Nizhamul Mulk yang telah banyak memberikan bantuan, dukungan, dorongan serta doa’a untuk penulis. Tidak lupa teman-teman terdekat dan seperjuangan di bangku kuliah yaitu: Seri Wedari, Fera Syahnidar, Nadia Resti, Linda Sahara, Nuri, Nisrina dan Lismawati yang telah memberikan semangat.

Seluruh keluarga besar yang ada di Medan, wak Atik, kak Nyak, kak Lisa, kak Shinta, Tika dan Novi. Keluarga di Langsa dan Aceh Tamiang yang telah mendukung dan memberi semangat, kepada Aisha Dewi Mayang Sari dan Devi Aprilla yang ada di Sigli dan kepada semua teman-teman dan kerabat yang tidak mungkin penulis sebutkan semuanya yang telah memberikan dorongan dan


(7)

semangat serta do’a sehingga skripsi dapat diselesaikan. Untuk semuanya penulis ucapakan terima kasih.

Bapak Abdul Hamid selaku Geuchik/Kepala Desa Perlak Asan yang telah memberikan kemudahan dalam penelitian di lapangan serta eluruh informan yang diantaranya: Tgk Amir, Hj. Maimunah, Ibu Ramlah, Bapak Marzuki, Tgk Ishak, Tgk Adnan, Hj. Nurasiah yang menjadi sumber dalam penelitian ini. Perpustakaan Daerah Kota Sigli dan Perpustakaan Jabalnur ‘Ilmi. yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk meminjamkan buku-buku yang penulis butuhkan sebagai referensi yang berkaitan dengan skripsi ini. Rekan-rekan departemen Antropologi, seluruh staf pegawai FISIP USU. Kepada semuanya saya ucapkan banyak-banyak terima kasih.

Semoga Allah SWT selalu memberikan Rahmat dan KaruniaNya kepada kita semua dan juga kesehatan dan keselamatan dunia dan akhirat.

Medan, Juli 2012 Penulis


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sigli, Aceh Pidie pada tanggal 1 Juni 1987 dari ayah M. Umar dan ibu Habibah, anak pertama dari dua bersaudara. Menempuh pendidikan di SD Negeri 1 Kota Bakti 1993-1997 selama 4 tahun, SD Negeri 1 Tanjung Seumantoh 1998-1999, di MTs Swasta Madrasah Ulumul Quran (MUQ) Yayasan Dayah Bustanul Ulum Langsa 2000-2003, dan pada tahun 2005 penulis lulus dari MA MUQ Yayasan Dayah Bustanul Ulum Langsa. Dan pada tahun yang sama masuk ke Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara dengan program studi Antropologi Sosial melalui jalur SPMB.

Selama mengikuti kuliah penulis melaksanakan praktek Kerja Lapangan (PKL) di Desa Namoriam Pancur Batu Deli Tua dan di Kecamatan Stabat.


(9)

KATA PENGANTAR

Skripi ini berjudul “Upacara Adat Peutron Anuek (Studi Etnografi Mengenai Adat Peutron Anuek pada Masyarakat Aceh di Desa Perlak Asan Kecamatan Sakti Kabupaten Pidie)”. Suatu upacara yang diadakan masyarakat di desa Perlak Asan, upacara peutron anuek ini dilakukan oleh masyarakat pada saat bayi lahir berusia 44 hari bahkan lebih dan dihadiri oleh pemangku adat setempat, alim ulama, kepala desa, kepala lorong dan seluruh warga masyarakat ikut serta dalam upacara tersebut. Biaya yang dikeluarkan untuk mengadakan upacara ini cukup besar karena upacara peutron aneuk ini diikuti oleh semua warga desa umumnya.

Upacara adat peutron aneuk merupakan salah satu upacara yang sangat menarik, karena upacara ini merupakan tradisi turun temurun yang diwariskan oleh nenek moyang mereka terdahulu. Didalam upacara ini banyak mengandung nilai-nilai agama Islam dan juga diikuti oleh pengaruh ajaran agama Hindu yang dibawa saat mereka mengadakan pelayaran ke selat malaka sehingga tradisi mereka sangat erat dalam kehidupan orang-orang Aceh.

Skripsi ini terdiri dari 5 bab yang setiap babnya membahas point-point penting dalam upacara adat peutron aneuk yang ada di desa Perlak Asan Kecamatan Sakti Kabupaten Pidie. peneliti mencoba menjelaskan mengapa upacara adat peutron aneuk ini masih dilaksanakan oleh masyarakat di desa setempat dan apa makna serta fungsi yang terkandung dalam upacara ini dan apa penngaruh agama Islam dan Hindu dalam adat peutron aneuk tersebut.


(10)

Dalam bab 1 ini membahas tentang latar belakang masalah yang berkaitan dengan judul skripsi, mengemukan berbagai masalah seperti mengapa upacara peutron aneuk dilakukan masyarakat di desa Perlak Asan, makna serta fungsi upacara dan pengaruh Islam dan Hindu yang terdapat dalam upacara adat peutron aneuk tersebut. fokus penelitian adalah upacara peutron aneuk di desa Perlak Asan Kecamatan Sakti Kabupaten Pidie.

Di bab 2 penulis juga menjelaskan tentang gambaran umum mengenai masyarakat Aceh di desa Perlak Asan, letak dan lokasi desa, keadaan alam, komposisi penduduk, sarana dan prasarana yang ada di desa Perlak Asan, sistem mata pencaharian masyarakat desa, pendidikan dan berbagai upacara adat masyarakat Aceh di desa Perlak Asan. Bab 3 penulis mengemukan latar belakang upacara adat peutron anuek, persiapan dan perlengkapan dalam melakukan upacara, tahap-tahap dalam upacara dan nilai-nilai anak dalam upacara peutron aneuk. Pada bab 4 peneliti mencoba membahas bagaimana pengaruh Islam dan Hindu dalam pelaksanaan upacara adat peutron aneuk serta fungsi dan makna alat-alat yang digunakan pada acara peutron aneuk meliputi fungsi terhadap orang tua, keluarga dan fungsi terhadap masyarakat.

Bab 5 dalam skripsi ini adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan hasil penelitian serta saran-saran yang diberikan oleh penulis. peneliti memberikan kesimpulan tentang proses pelaksanaan upacara adat peutron aneuk yang dilakukan masyarakat Aceh umumnya masyarakat desa Perlak Asan khususnya, bagaimana proses jalannya upacara serta orang-orang yang terkait atau ikut serta dalam kegiatan pelaksanaan upacara ini dari awal sampai akhir upacara.


(11)

Pada akhirnya upacara adat peutron aneuk ini dilakukan oleh orang tua dan seluruh masyarakat desa Perlak Asan sebagai upacara rasa syukur dan nikmat yang diberikan Allah Swt atas kelahiran sang buah hati baik laki-laki atau perempuan dan memohon agar dikabulkan segala harapan-harapan dan terhindar dari segala mara bahaya dan diberikan kesehatan serta keselamatan. Dan upacara ini terus diadakan tiap adanya kelahiran anak oleh para orang tua dan seluruh masyarakat di desa Perlak Asan Kecamatan Sakti Kabupaten Pidie.

Medan, Juli 2012

Penulis


(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERETUJUAN

HALAMAN PENGESAHAN

PERNYATAAN ORIGINALITAS………..i

ABSTRAK………..…….ii

UCAPAN TERIMA KASIH……….….iii

RIWAYAT HIDUP………...v

KATA PENGANTAR……….. ……….vi

DAFTAR ISI………..ix

DAFTAR TABEL………..xi

DAFTAR GAMBAR ………. ………...xii

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah………...…1

1.2. Rumusan Masalah………...13

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian………...14

1.4. Tinjauan Pustaka.………...15

1.5. Metode Penelitian………...…..………..31

1.5.1. Teknik Observasi………..32

1.5.2.TeknikWawancara……….32

1.6. Analisis Data………….………..35

BAB II. MASYARAKAT ACEH DI DESA PERLAK ASAN KECAMATAN SAKTI KABUPATEN PIDIE 2.1.Letak Dan Lokasi Desa………...36

2.2. Keadaan Alam………...37

2.3. Komposisi Penduduk ……….37

2.4. Sarana Dan Prasarana ……….38

2.5. Sistem Mata Pencaharian Desa Perlak Asan………..……….39

2.6. Pendidikan………...42

2.7.Berbagai Upacara Adat Masyarakat Aceh Di Desa Perlak Asan….43 2.8.Adat Peutron Anuek Pada Masyarakat Aceh Di Desa PerlakAsan..47

BAB III. UPACARA ADAT PEUTRON ANUEK DI DESA PERLAK ASAN 3.1. Latar Belakang Upacara Peutron Aneuk………...51

3.2. Persiapan dan Perlengkapan Upacara Peutron Aneuk…………...54

3.2.1. Tempat Upacara………...54

3.2.2. Saat Berlangsungnya Upacara PeutronAnuek……….55

3.2.3. Alat Yang Digunakan pada Upacara Peutron Anuek……..55

3.2.4. Para Pelaku Dalam Upacara Peutron Anuek………56

3.3. Tahap-Tahap Upacara Peutron Aneuk………56

3.3.1.Tahap sebelum upacara ……….56

3.3.2. Proses Jalannya Upacara ………..58


(13)

3.4.1. Nilai Terhadap Pendidikan………61

3.4.2. Nilai-Nilai Keselamatan Dan Kesehatan………...66

3.4.3. Nilai-Nilai Kehidupan Atau Keseharian………....69

3.4.4. Nilai-Nilai Membangkitkan Semangat Hidup………70

BAB IV. PENGARUH AGAMA ISLAM DAN HINDU DALAM UPACARA ADAT PEUTRON ANEUK 4.1. Fungsi sosial upacara Peutron Aneuk pada Masyarakat Perlak Asan………...72

4.1.1. Fungsi Terhadap Orang Tua dan Keluarga……….77

4.1.2. Fungsi Terhadap Masyarakat………..81

4.2.Pengaruh Agama Islam dalam pelaksanaan Upacara Peutron Aneuk………...85

4.3.Pengaruh Agama Hindu dalam pelaksanaan Upacara Peutron Aneuk………...88

4.4.Fungsi dan Makna Alat-alat yang digunakan pada acara Peutron Aneuk……….…..91

BAB V. PENUTUP 4.1.Kesimpulan Hasil Penelitian………...96

4.2.Saran-Saran………98


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Keadaan Masyarakat Perlak Asan Menurut Umur………..38 Tabel 2 Sarana Dan Prasarana Yang Ada Di Desa Perlak Asan………..39 Tabel 3 Keadaan Mata Pencaharian Masyarakat Di Desa Perlak Asan…………41 Tabel 4 Keadaan Pendidikan Masyarakat Di Desa Perlak Asan………...43


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Perlengkapan Peusijuek………46

Gambar 2 Hewan Yang dipotong Saat Upacara………53

Gambar 3 Pembelahan Kelapa Di Atas Kepala Bayi………59

Gambar 4 Ibu-Ibu Berjanzi………61

Gambar 5 Penulis Ikut Mengayunkan Bayi………63


(16)

ABSTRAK

Fitria, upacara Adat Peutron Anuek (studi etnografi mengenai adat peutron anuek pada masyarakat Aceh di desa Perlak Asan Kecamatan Sakti Kabupaten Pidie). Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 100 halaman, daftar tabel, daftar gambar, daftar pustaka, lampiran yang terdiri dari daftar informan dan surat keterangan penelitian.

Setiap mayarakat memiliki upacara terendiri.Seperti halnya upacara adat peutron aneuk yang diadakan masyaraat di Desa Perlak Asan. Bagi masyarakat Perlak Asan, keberadaan upacara adat tersebut memiliki arti yang penting, dalam pelaksanaannya meliputi berbagai rangkaian acara yang dilakukan dan melibatkan

seluruh anggota masyarakat upacara tersebut menjadi kajian dalam penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana upacara adat

peutron aneuk dilaksanakan, apa makna serta kaitan dengan agama Islam dan Hindu. Metode yang dilakukan dalam penenelitian ini adalah kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif. Dalam pengumpulan data dilapangan penulis menggunakan teknik observasi yang digunakan dalam penelitian adalah observasi partisipasi.

Dari hasil penelitian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa upacara adat peutron aneuk memiliki 4 (empat) makna tertentu; pertama, rasa syukur kepada Allah Swt atas kelahiran si anak. Sebagai rasa syukur atas rezeki yang diberikannya, oleh karena itu para orang tua yang baru melahirkan seorang anak mengadakan rangkaian upacara atas lahirnya tersebut. Yang mana upacara tersebut dikenal dengan upacara adat peutron aneuk. Kedua, upacara adat peutron aneuk di Desa Perlak Asan diadakan setelah bayi berumur 44 hari dimana acara ini merupakan adat kebiasaan masyarakat yang diwariskan oleh nenek moyang terdahulu yang sudah menjadi tradisi bagi para orang tua untuk mengenalkan anak tercintanya kepada seluruh masyarakat sekelilingnya. Ketiga, upacara adat peutron aneuk yang dilakukan masyarakat Aceh umumnya dan masyarakat desa Perlak Asan khususnya mempunyai makna yang sangat mendalam yang mengandung harapan-harapan agar si anak dapat berguna bagi agama, nusa dan bangsanya. Keempat, Membina hubungan kekeluargaan di dalam komunitas masyarakat Desa Perlak Asan, hubungan-hubungan ini terlihat jelas karena mereka ikut serta dalam pelakanaan upacara tersebut.

Keywords :Upacara, adat, peutron anuek, makna dan fungsi,pengaruh Islam dan Hindu.

.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Negara-negara di dunia umumnya memiliki masyarakat yang majemuk. Masyarakat majemuk adalah masyarakat yang memiliki berbagai kebudayaan husus yang jelas sekali. Demikian juga dengan Negara kita Indonesia yang terdiri dari beraneka ragam suku bangsa. Setiap suku bangsa memiliki kebudayaan yang berbeda dengan suku bangsa lainnya. (Ismail, 2004; 69)

Indonesia merupakan suatu bangsa yang terdiri dari beribu-beribu suku bangsa yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia, sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Jaspan (dalam Soekanto 2005:21) mengklasifikasikan suku bangsa Indonesia dengan mengambil patokan kriteria bahasa, kebudayaan daerah serta susunan masyarakat terdiri dari 366 suku bangsa, dengan rincian yaitu (1) Sumatera, 49 suku bangsa (2) Jawa, 7 suku bangsa (3) Kalimantan, 73 suku bangsa (4) Sulawesi, 117 suku bangsa (5) Nusa Tenggara, 30 suku bangsa (6) Maluku-Ambon, 41 suku bangsa (7) Irian Jaya, 49 suku bangsa. Selama ratusan bahkan ribuan tahun itu pula, mereka telah menumbuhkan, memelihara dan mengembangkan tradisi yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.

Nanggroe Aceh Darussalam adalah sebuah Daerah Istimewa setingkat provinsi yang terletak di Pulau Sumatra dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatra


(18)

Utara di sebelah tenggara dan selatan. Terdiri dari suku-suku sebagai berikut; orang Aceh, Orang Gayo, Orang Alas, Aneuk Jamee, Melayu Tamiang. (Buku Statistik Kependudukan Pemkab Aceh Tengah)

Orang Aceh kaya akan adat istiadat, kesenian dan tarian-tarian. Untuk setiap kabupaten mempunyai perbedaan dan variasi masing-masing. Hal ini dapat dilihat pada upacara-upacara perkawinan, kelahiran bayi, turun ke sawah, turun ke laut, peusijuk (tepung tawar), khanduri mauled (maulid Nabi), Nuzulul Quran (17 Ramadhan) dan lain-lain. Sedangkan bentuk budaya dapat dilihat pada tulisan kaligrafi, rumah-rumah adat, meunasah (surau), balee, dayah/tempat pengajian dengan kesenian seperti dalaeil khairat (puji-pujian berbentuk irama), dikee/zikir, nasyid/rebana. Dan motif-motif adat lainnya dapat dilihat pada perhiasan emas, perak, keramik dan ukiran-ukiran berbagai ornament, termasuk pada batu nisan Aceh, ruang pelamin dan aneka pakaian adat (Ismail, 2004; 69)

Orang-orang Aceh sebagai umat Islam, amat kuat memegang kepribadian Aqidah Islam dalam kehidupan, sebagai asas pokok dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Wawasan budaya itu amat sejalan dengan perkembangan watak etnik Aceh dimana aspek kultural, idiologi dan struktural bersenyawa dengan adat dan agama Islam. Dimana satu sama lain sulit dipisahkan. Bagi orang Aceh agama dengan adat, Lagei Zat Ngon Sifuet (seperti zat dengan sifat) artinya antara adat dengan peraturan agama tidak dapat dipisahkan. Adat bersumber dari syarak dan syarak bersumber dari Kitabullah (Kitab Allah). Karena itu adat istiadat yang berkembang dalam masyarakat Aceh tidak boleh bertentangan dengan ajaran-ajaran agama Islam (Ismail, 2004; 68)


(19)

Adat bak Po Teumeuruhom, hukom bak Syiah Kuala, Kanun bak Putroe Phang,Reusam bak Laksamana”.

Yang artinya :

‘’Adat ada pada Po Teumeuruhom, Hukum ada pada Syiah Kuala, Kanun ada pada Putroe Phang, Resam ada pada Laksamana ”.

Arti atau makna yang terkandung dalam kalimat Adat Bak Po Teumeureuhom ialah Adat pada/milik almarhum, maksudnya adalah bahwa Adat itu sebagai penanggung jawabnya Almarhum Sulthan Iskandar Muda, sebab diwaktu Sulthan Iskandar Muda masih hidup, adat tersebut sangat dijunjung tinggi dan harus dijalankan tanpa memandang tingkat derajat dan pangkat/kedudukan seseorang, karena Raja(Sulthan) adalah sebagai simbol dari Adat tersebut, apabila Sulthan lemah dalam melaksanakan Adat, maka Adat tidak menjadi menjadi satu kekuatan dalam pelaksanaan pemerintahan.

Hukom Bak Syiah Kuala memiliki makna bahwa hukum yang dijalankan adalah menurut keputusan Syiah kuala yang merupakan seorang ulama. Beliau adalah ulama yang sanggup mendamaikan rakyat dan para pemimpin Aceh pada masa itu, karena bertentangan pendapat akan ratu wanita dan perselisihan perebutan kekuasaan, semua lapisan masyarakat hidup rukun dan damai. Syiah Kuala yang memiliki nama lengkap Syeikh Abdur Rauf adalah seorang ulama besar, negarawan, filosof, Kadhi Malikul Adil (Hakim Agung) dimasa pemerintahan Ratu Safiatuddin dan tiga Ratu sesudahnya pada tahun 1086-1109 H atau 1675-1699 M.


(20)

Kanun Bak Putroe Phang artinya undang-undang pada Putri Pahang. Puteri Pahang adalah isteri dari Sulthan Iskandar Muda, Puteri Pahang nama aslinya adalah putri Kamaliah. Beliau dikawini oleh Sulthan Iskandar Muda untuk mengikat hubungan antara Aceh dengan Pahang, karena putri Kamaliah berasal dari Negeri Pahang di semenanjung Malaya (pada saat itu). Peranan besar Putroe Phang pada saat itu adalah, dengan prakarsa dan saran dari beliau terbentuknya Mahkamah Rakyat (DPR sekarang) yang sebelumnya tidak pernah ada dengan tujuan untuk bermusyawarah dalam rangka membuat undang-undang (Kanun) dengan simbolnya Putroe Phang.

Reusam Bak Lakeumana, disini persoalan yang berhubungan dengan reusam simbolnya adalah lakseumana (ADMIRAL, Panglima Tinggi Angkatan Laut/Angkatan Perang), sedangkan reusam mengurus atau membidangi diplomatik, etika dan keprotokolan, oleh karena itu diplomasi, keprotokolan dan etika ditangani oleh lakseumana. Kebetulan pada saat itu antara tahun 1607-1636 M Lakseumana Keumala Hayati seorang perempuan, maka yang berhubungan dengan reusam ditata sesuai dengan kehalusan rasa seorang perempuan (Umar, 2008; 36, 43-45, 76).

Mate Anuek meupat jeurat gadoh adat pat tamita” Yang artinya:

‘’Mati anak tinggal pusara hilangnya adat mau dicari kemana’’. (Umar, 2008; 76).

Hadih Maja ini memiliki arti seandainya seseorang itu tidak lagi mematuhi peraturan-peraturan yang berlaku dalam masyarakat, berarti seseorang atau


(21)

anggota masyarakat tersebut tindak tanduknya menjurus kepada pembasmian adat istiadat yang berlaku. Kalau hal itu terjadi bagaimanakah untuk mengembalikan adat istiadat tersebut pada tempatnya semula (Syamsuddin, dkk, 1988; 161). Hadih maja tersebut juga menjelaskan bahwa setiap bagian dari tertentu di pertanggung jawabkan pada ahlinya masing-masing dan begitu pentingnya hukum adat bagi orang Aceh karena dalam pahamnya orang Aceh adat para nenek moyang dulu takkan bisa di dapatkan lagi.

Dari hadih maja di atas dapat dijelaskan bahwa setiap bagian tertentu di pertanggung jawabkan pada ahlinya masing-masing dan begitu pentingnya hukum adat bagi orang aceh karena dalam pahamnya orang aceh adat para nenek moyang dulu takkan bisa di dapatkan lagi.

Berdasarkan hadih maja di atas jelas menggambarkan bagian-bagian sumber peraturan yang dijalankan oleh masyarakat, dan hadih maja yang kedua menunjukkan suatu kalimat nasihat kepada masyarakat Aceh akan pentingnya menjaga dan melestarikan adat istiadat serta menjaganya dengan baik sampai ke anak cucu kita.

W.A. Haviland (1999;336) mengatakan bahwa kebudayaan tanpa masyarakat adalah tidak mungkin, seperti juga tidak mungkin ada masyarakat tanpa individu. Sebaliknya, tidak ada masyarakat manusia yang dikenal tidak berbudaya. Koentjaraningrat (2004; 74-75) berpendapat bahwa kebudayaan adalah “keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar”. Selanjutnya dia berpendapat bahwa kebudayaan itu mempunyai paling sedikit tiga wujud, yaitu :


(22)

1) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.

2) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.

3) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan. Kebudayaan ideal ini dapat kita sebut dengan adat istiadat. Kebudayaan ideal itu biasanya juga berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendali, dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Dengan demikian terlihat bahwa adat istiadat berkaitan erat dengan kebudayaan, karena adat istiadat merupakan wujud ideal dari kebudayaan. Untuk tetap mempertahankan adat istiadat tersebut, masyarakat pendukungnya akan menurunkan kepada generasi yang berikutnya.

Masyarakat mewujudkan adat istiadat dalam berbagai bentuk upacara. Upacara menurut jenisnya dapat digolongkan kedalam dua kategori yaitu Upacara Sepanjang Lingkaran Hidup Individu (Individual Life Cycle) dan Upacara Keramat (Ritual of Application ). Upacara sepanjang lingkaran hidup individu (Individual Life Cycle) misalnya masa bayi, masa penyapihan, masa kanak-kanak, masa remaja, masa akhil baligh, masa bertunangan, masa setelah menikah, masa hamil, masa tua dan masa setelah meninggal dunia (Syamsuddin; 1988;2)

Ada 7 Unsur kebudayaan sebagaimana yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat yaitu sebagai berikut:


(23)

1. Unsur dari Sistem Upacara Keagamaan

Setiap kebudayaan terdapat kepercayaan yang dianut. Kepercayaan yang dianutdi Indonesia ada 5, yaitu Islam, Kristen protestan, Katolik, Hindu dan Budha. Dari kelima agama tersebut terdapat upacara keagamaan yang berbeda-beda. Akan tetapi untuk masyarakat yang tinggal di kota upacara keagamaan sepertinya sudah tidak dilaksanakan lagi kecuali dalam hal-hal tertentu saja. Sedangkan masyarakat yang tinggal di desa masih banyak yang melaksanakan upacara keagamaan tersebut.

2. Unsur dari Sistem dan Organisasi Kemasyarakatan

Kebudayaan di Indonesia beragam dan sangat banyak. Terdapat masyarakat Jawa,Sunda, Batak, Bugis dsb. Dari macam-macam kebudayaan tersebut, perlu ditanamkan nilai-nilai kemanusiaan yaitu membiasakan bergaul dengan kebudayaan yang lain. Dan saling berinteraksi dengan rukun. Di Indonesia banyak terdapat kebudayaan yang harus di lestarikan bersama. Jangan kita saling bersaing untuk kepentingan pribadi dengan kebudayaan lain, karena itu sama saja kita memecah belahkan kebudayaan yang sudah ditanam oleh leluhur sebelumnya.

3. Unsur dari Bahasa

Kebudayaan yang beragam sangat berpengaruh pada bahasa yang dipakainya. Contohnya bahasa Inggris, Jerman, Italia, Sunda, Jawa, dsb. Dari banyak bahasa tersebut kita dapat mempelajarinya untuk pengetahuan yang lebih luas. Tidak hanya bahasa yang dipelajari berasal dari bahas luar negeri saja, tetapi bahasa dari Indonesiapun perlu kita pelajari untuk melestarikan kebudayaan yang ada di Indonesia.


(24)

Ada banyak sistem pengetahuan misalnya pertanian, perbintangan, perdagangan/bisnis, hukum dan perundang-undangan, pemerintahaan/politik dsb. Hal tersebut juga bagian dari kebudayaan. Kita wajib mempelajarinya karena dengan adanya sistem pengetahuan kita menjadi tahu dunia luar dan sangat bermanfaat untuk kehidupan karena berpengaruh pada pekerjaan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak perlu semua kita pelajari cukup beberapa saja kita kuasai, maka akan banyak informasi yang kita dapat.

5. Unsur dari Kesenian.

Salah satu ciri khas dari kebudayaan adalah kesenian. Banyak hal yang bisa kita pelajari mengenai kesenian. Misalnya seni sastra, lukis, musik, tari, drama dan lain sebagainya. Hal tersebut bagian dari khas yang dimiliki setiap daerah maupun setiap negara. Misalnya untuk kesenian musik, kita bisa mengetahui dan mencari musik yang khas dari setiap daerah maupun negara. Contohnya lagu-lagu daerah ampar-ampar pisang yang berasal dari Kalimantan Selatan yang menjadi ciri khas dari daerah tersebut.

6. Unsur dari Sistem Mata Pencaharian Hidup

Mata pencaharian sangat diperlukan untuk setiap masyarakat karena bermanfaat untuk memenuhi kehidupan manusia. Misalnya kaum pegawai/ karyawan, kaum, petani, nelayan, pedangan. buruh dan seterusnya. Hal tersebut merupakan mata pencaharian yang harus kita tekuni. Contohnya masyarakat yang hidup dipesisir pantai lebih banyak bermata pencaharian sebagai nelayan atau masyarakat yang hidup di perkotaan lebih banyak bermata pencaharian sebagai pegawai kantoran.


(25)

Teknologi semakin lama semakin luas. Karena makin banyaknya masyarakat yang hidup modern. Teknologi sangat diperlukan akan tetapi tidak untuk melakukan perbuatan yang melanggar norma-norma yang berlaku. Sekarang banyak yang menyalah gunakan alat teknologi khususnya internet. Tidak sedikit masyarakat yang tertipu atau melakukan perbuatan asusila dengan internet. Hal tersebut harus kita perhatikan. Jangan sampai kebudayaan kita menjadi minus dimata negara lain. contoh lainnya dari sistem teknologi dan peralatan adalah peralatan kantor, rumah tangga, pertanian, nelayan, tukang kayu, peralatan ibadah dan sebagainya lagi. Unsur kebudayaan secara universal sangat beragam. Kita bisa pelajari dengan baik maka akan dapat banyak sekali pengetahuan yang sangat bermanfaat.1

Ketujuh unsur tersebut di atas yang dijadikan masyarakat sebagai landasan mempertahankan adat istiadatnya dimana ke tujuh unsur tersebut saling menyangkut satu sama lainnya dalam segala bidang. Setiap kali kehidupan individu itu beralih dari suatu tingkat ketingkat selanjutnya, biasanya lingkungan masyarakatnya mengadakan upacara tertentu yang menunjuk pada peralihan status. Peralihan sepanjang lingkaran hidup individu adalah saat yang dianggap penuh bahaya (krisis) atau rawan terhadap gangguan bahaya gaib, oleh sebab itu harus dilaksanakan upacara-upacara tertentu. Upacara adalah kelakuan simbolis yang mengkonsolidasikan atau memulihkan tata alam dan menempatkan manusia dan perbuatannya dalam tata tersebut. Dalam upacara dipergunakan kata-kata, doa dan gerak-gerik tangan atau badan. (Syamsuddin, 1988; 166)

1(1


(26)

Untuk mencegah datangnya kekuatan yang datang mengganggu biasanya dilakukan beberapa ritual khusus yang dimaksudkan agar suatu bahaya yang berasal dari kekuatan diluar diri manusia tidak mengganggu kehidupannya. Dalam beberapa kebudayaan ada anggapan bahwa manusia akan mengalami masa-masa bahaya terutama pada masa peralihan dari satu tingkat kehidupan ketingkat kehidupan yang lain. Yaitu mulai masa bayi, masa remaja, dewasa, hingga meninggal, baik berupa bahaya gaib ataupun nyata. Untuk menghindari bahaya tersebut maka diperlukan upacara-upacara (ritus) ataupun untuk memberitahukan kepada orang banyak bahwa seseorang telah memasuki tahapan kehidupan tertentu (Koentjaraningrat, 1998).

Kepercayaan masyarakat Aceh khususnya masyarakat Perlak Asan sama halnya sebagaimana yang di ungkapkan oleh Koentjaraningrat yaitu mulai masa bayi, masa remaja, dewasa, hingga meninggal, baik berupa bahaya gaib ataupun nyata. Untuk menghindari bahaya tersebut maka diperlukan upacara-upacara ataupun untuk memberitahukan kepada orang bahwa seseorang telah memasuki tahapan kehidupan tertentu dan harus siap menghadapi dalam hal apapun. Dalam pelaksanaannyapun harus mempersiapkan seperti tempat upacara, saat upacara (waktu upacara), benda-benda upacara, orang-orang yang melakukan upacara dan pemimpin upacara. Orang Aceh mempercayakan pemimpin upacara pada Ustadz atau Tgk. Imam, yang memiliki sifat dan sikap yang baik dan taat pada ajaran agama. Hal ini sama halnya sebagaimana yang di ungkapkan oleh Koentjaraningrat bahwa; Dalam pelaksanaan upacara religi ada 5 komponen upacara yaitu tempat upacara, saat upacara (waktu upacara), benda-benda upacara orang-orang yang melakukan upacara dan pemimpin upacara. Orang yang


(27)

memimpin upacara terbagi atas 3 golongan yaitu Pendeta, Dukun dan Shaman (Koentjaraningrat: 1987).

Dengan penjelasan diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti satu bagian dari upacara sepanjang lingkaran hidup individu yaitu adat peutron Anuek (turun tanah) yang ada pada masyarakat Aceh di desa Perlak Asan kecamatan Sakti kabupaten Pidie. Adat Peutron Anuek memiliki banyak pengertian dan makna-makna yang terkandung didalamnya. Secara umum pengertian Adat Peutron Anuek ialah kebiasaan masyarakat membawa anak turun ke tanah, upacara ini adalah upacara memperkenalkan seorang bayi untuk pertama kalinya kepada lingkungan masyarakat luas baik di lingkungan itu sendiri seperti sanak saudara (famili) maupun masyarakat luar. Upacara adat ini dilaksanakan ketika bayi berumur 44 hari .

Bagi setiap pasangan suami istri, kelahiran seorang bayi baik laki-laki maupun perempuan merupakan anugerah dan berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Semenjak kelahiran si bayi, setiap orang tua selalu mempunyai harapan-harapan tertentu apabila si anak kelak menjadi dewasa. Pengharapan-harapan-pengharapan-harapan orang tua terhadap anak-anaknya dimanifestasikan dalam bentuk upacara adat. Dalam upacara tersebut adakalanya dipotong hewan sembelihan, terutama bagi keluarga yang mampu secara ekonomi.

Saat pelaksanaan upacara Peutron Anuek tidak mempunyai kesamaan waktu di seluruh masyarakat Aceh. Peutron Anuek pada masyarakat Gayo dilakukan pada hari ketujuh setelah bayi lahir, bersamaan dengan upacara cukur rambut, pemberian nama dan hakikah. Pada masyarakat Anuek Jamee turun tanah disebut Turun Ka Aie, dilakukan pada hari ke empat puluh empat, bersamaan pula


(28)

dengan cukur rambut, pemberian nama, kadang-kadang pula disertai dengan upacara hadiah. Begitu pula di Tamiang dan masyarakat Aceh lainnya. Dahulu ada kalanya Peutron Anuek dilakukan setelah bayi berumur satu sampai dua tahun, lebih-lebih jika bayi itu anak yang pertama. Karena anak yang pertama biasanya upacaranya lebih besar (Syamsuddin, 1988; 128)

Berbagai upacara adat yang terdapat pada suku bangsa Aceh, pelaksanaanya selalu dipengaruhi atau diiringi dengan nilai-nilai agama Islam meskipun pengaruh Hindu juga masih kental. Demikian pula halnya dengan upacara Peutron Anuek pada suku bangsa Aceh. Agama Islam yang dianut tidak sampai pula menjadikan masyarakat Aceh bersifat fanatik bahkan membenarkan terus berlangsungnya tradisi-tradisi setempat namun akan selalu berpedoman kepada ajaran-ajaran Islam. Meskipun tradisi-tradisi tersebut masih selalu dilaksanakan masyarakat, tetapi dalam pelaksanaannya sudah banyak mengalami perubahan sesuai dengan perubahan masyarakat dari dahulu sampai sekarang.

Adapun maksud peneliti memilih Upacara Adat Peutron Anuek pada masyarakat Aceh yaitu berusaha memaparkan lebih jauh lagi tentang upacara tersebut mulai makna dari pelaksanaannya, proses, fungsinya dan makna simbol-simbol atau lambang-lambang yang banyak dipergunakan dalam upacara Adat Peutron Anuek tersebut.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana


(29)

pelaksanaan upacara adat peutron aneuk pada masyarakat aceh di Desa Perlak Asan. Permasalahan Penelitian diperjelas dengan pertanyaan sebagai berikut:

1. Mengapa upacara peutron aneuk dilakukan oleh Masyarakat Aceh di Desa Perlak Asan

2. Apa makna upacara Adat Peutron Anuek pada masyarakat Aceh di Desa Perlak Asan dan apa pula fungsinya terhadap masyarakat tersebut.

3. Bagaimana pengaruh Islam dan Hindu dalam pelaksanaan upacara Adat Peutron Anuek yang terdapat pada masyarakat Aceh di Desa Perlak Asan.

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan upacara adat Peutron Anuek pada masyarakat Aceh di Desa Perlak Asan selanjutnya penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui makna-makna yang terkandung dalam upacara adat tersebut, serta mengetahui fungsi-fungsinya terhadap masyarakat maupun simbol yang terkandung dalam upacara adat Peutron Anuek ini agar dapat dipilih secara selektif nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Selain itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Islam dan Hindu dalam pelaksanaan upacara adat Peutron Anuek yang terdapat pada masyarakat Aceh.

Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat, baik secara praktis maupun akademis.


(30)

a). Diharapakan akan memperoleh gambaran mengenai adat Peutron Anuek pada masyarakat Aceh guna memperkaya dan mengembangkan kebudayaan aceh pada khususnya dan kebudayaan Nasional pada umumnya

b). Agar dapat membina dan mewariskan nilai-nilai yang ada kepada generasi penerus agar tidak kehilangan norma hidup dalam masyarakat, juga menimbulkan kebanggaan akan nilai-nilai tersebut.

c). Agar dapat dilestarikan nilai-nilai yang terkandung didalamnya yang berguna dan dapat menunjang pembangunan bangsa.

2. Adapun bermanfaat secara akademis dalam penelitian ini ialah: Diharapkan bermanfaat untuk menambah literatur kepustakaan di bidang antropologi khususnya dalam memperkaya literatur tradisi atau upacara adat Peutron Anuek yang terdapat pada salah satu suku di Indonesia yaitu suku Aceh. Hasil penelitian ini juga di harapkan dapat menambah wawasan mahasiswa antropologi yang ingin mengkaji masalah upacara adat secara lebih dalam, sehingga dapat memperluas bidang penelitian antropologi itu sendiri.

1.4. Tinjauan Pustaka

Berlakunya kaidah dalam suatu kelompok manusia bergantung pada kekuatan kaidah tersebut sebagai petunjuk tentang cara-cara seseorang untuk berlaku dan bertindak, artinya kebudayaan berfungsi selama anggota masyarakat menerimanya sebagai petunjuk prilaku yang pantas. Untuk kepentingan analisis,


(31)

kebudayaan dapat dibagi dari berbagai segi. Dari sudut struktur dan tingkatannya di kenal adanya super culture yang berlaku bagi seluruh masyarakat. Suatu super culture biasanya dapat dijabarkan dalam cultures yang mungkin didasarkan pada kekhususan daerah, golongan, etnik dan profesi. Dalam suatu culture mungkin berkembang lagi kebudayaan-kebudayaan khusus yang tidak bertentangan dengan kebudayaan induk dan hal ini disebut subculture. Apabila kebudayaan khusus tadi bertentangan dengan kebudayaan induk, gejala itu disebut counter culture. Counter culture tidak selalu harus diberi arti negatif karena adanya gejala tersebut dapat dijadikan petunjuk bahwa kebudayaan induk dianggap kurang dapat menyerasikan diri dengan perkembangan kebutuhan.(Fuad: 1992)

Wujud ideal membentuk kompleks gagasan konsep dan fikiran manusia. Wujud kelakuan membentuak komplek aktifitas yang berpola. Sedangkan wujud kebendaan menghasilkan benda-benda kebudayaan. Wujud yang pertama disebut sistem kebudayaan. Wujud kedua dinamakan sistem sosial sedangkan ketiga disebut kebudayaan fisik. Bertitik tolak dari konsep kebudayaan Koentjaraningrat yang membicarakan kedudukan adat dalam konsepsi kebudayaan. Menurut tafsirannya adat merupakan perwujudan ideal dari kebudayaan. Ia menyebut adat selengkapnya sebagai adat tata kelakuan. Adat dibaginya atas empat tingkat, yaitu tingkat nilai budaya, tingkat norma-norma, tingkat hukum dan tingkat aturan khusus. Adat yang berada pada tingkat nilai budaya bersifat sangat abstrak, ia merupakan ider-ide yang mengkonsesikan hal-hal yang paling berniali dalam kehidupan suatu masyarakat. Seperti nilai gotong royong dalam masyarakat Indonesia.(Koentjaraningrat: 2004)


(32)

Adat pada tingkat norma-norma merupakan nilai-nilai budaya yang telah terkait kepada peran-peran tertentu, peran sebagai pemimpin, peran sebagai ibu, peran sebagai guru membawakan sejumlah norma yang menjadi pedoman bagi kelakuannya dalam hal memainkan peranannya dalam berbagai kedudukan tersebut. Selanjutnya adat pada tingkat aturan-aturan yang mengatur kegiatan khusus yang jelas terbatas ruang lingkupnya pada sopan santun. Akhirnya adat pada tingkat hukum terdiri dari hukum tertulis dan hukum adat yang tidak tertulis.

Dari uraian-uraian di atas ada beberapa hal yang dapat disimpulkan, bahwa kebudayaan merupakaan hasil dari budi daya atau akal manusia, baik yang berwujud moril maupun materil. Disamping itu adat sendiri dimaksudkan dalam konsep kebudayaan dengan kata lain adat berada dalam kebudayaan atau bahagian dari kebudayaan.

Kebudayaan dalam istilah inggris adalah “culture” yang berasal dari bahasa latin “colere”yang berarti mengolah, mengerjakan, terutama mengolah tanah atau pertanian. Dari pengertian ini kemudian berkembang menjadi “culture”. Istilah “culture” sebagai istilah teknis dalam penulisan oleh ahli antropologi inggris yang bernama Edwar B. Tylor mengatakan bahwa “culture” berarti “complex whole of ideas and thinks produced by men in their historical experlence”. Sesudah itu pengertian kultur berkembang terus dikalangan antroplogi dunia. Sebagai istilah umum “culture” mempunyai arti, kesopanan, kebudayaan, pemeliharaan atau perkembangan dan pembiakan (Kapland: 1999).

Bahasa Indonesia sendiri mempunyai istilah budaya yang hampir sama dengan culture, dengan arti kata, kata kebudayaan yang dipergunakan dalam bahasa Indonesia bukanlah merupakan terjemahan dari kata “culture”.


(33)

Kebudayaan berasal dari kata sansekerta “buddhayah” yang merupakan bentuk jamak dari kata budhi. Budhi berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian kata buddhayah (budaya) yang mendapatkan awalan ke- dan akhiran -an, mempunyai arti “hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal”. Berdasarkan dari asal usul kata ini maka kebudayaan berarti hal-hal yang merupakan hasil dari akal manusia dan budinya. Hasil dari akal dan budi manusia itu berupa tiga wujud, yaitu wujud ideal, wujud kelakuan, dan wujud kebendaan (Koentjaraningrat: 1980).

Dalam ilmu antropologi, kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang semangat yangmendalam dari suatu masyarakat. Sedangkan manifestasi-manifestasi dari kemajuan mekanis dari teknologi lebih berkaitan dengan peradaban. Kalau kebudayaan lebih banyak direfleksikan dalam seni, sastra, agama dan moral, maka peradaban terefleksi dalam politik, ekonomi dan teknologi (Koentjaraningrat, 1987:5).

Menurut Koentjaraningrat (1987:5) kebudayaan mempunyai tiga wujud: 1) Wujud ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu komplek individu,

gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.

2) Wujud kelakuan, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu komplek aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.

3) Wujud benda, yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya sehingga para pakar sepakat bahwa kebudayaan adalah semua hasil karya, karsa dan cipta masyarakat.

Karya masyarakat akan menghasilkan tekhnologi dan kebudayaan kebendaan yang diperlukan manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabadikan untuk keperluan masyarakat.


(34)

Kebudayaan pada setiap bangsa atau masyarakat terdiri atas unsur-unsur besar dan unsur-unsur kecil yang merupakan bagian dari satu keutuhan yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Selo Soemarjan dan Soelaiman Soemardi (2005;5) unsur-unsur kebudayaan meliputi: alat-alat teknologi, sistem ekonomi, keluarga dan kekuasaan politik.

Tidak jauh berbeda dengan pengertian kebudayaan di atas, Effat al-Sharqawi (2000;20) mengatakan bahwa kebudayaan adalah bentuk ungkapan semangat mendalam dari sebuah nilai yang terdapat dan mendarah daging pada suatu masyarakat. Sedangkan manifestasimanifestasi kemajuan mekanis dan tekhnologi lebih berkait dengan peradaban. Selanjutnya Sharqowi berpendapat bahwa kebudayaan adalah apa yang kita rindukan (ideal), sedangkan peradaban adalah apa yang kita pergunakan (real). Dengan kata lain, kebudayaan terefleksi dalam seni, sastra, religi dan moral. Sedangkan peradaban terefleksi dalam politik, ekonomi, dan tekhnologi (Atang dan Hakim, 2000:30).

Dalam kajian antropologi pula, kita mengenal pengertian kebudayaan secara khusus dan secara umum. Menurut pengertian khusus, kebudayaan adalah produk manusia di bidang kesenian dan adat istiadat yang unik. Sedangkan kebudayaan dalam pengertian umum adalah produk semua aspek kehidupan manusia yang meliputi: sosial, ekonomi, politik, pengetahuan filosofi, seni dan agama. Hingga kini antara pengertian kebudayaan secara khusus dan umum masih diperdebatkan di kalangan peneliti, misalnya, Taylor seorang ilmuwan Inggris, merumuskan kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks yang meliputi pengetahuan, dogma seni, nilai-nilai moral, hukum, tradisi, sosial, dan semua


(35)

produk manusia dalam kedudukannya sebagai anggota-anggota masyarakat, termasuk dalam realitas ini adalah agama (Anshori,1994:4).

Pandangan integralistik ini sesuai dengan pandangan Antropologis yang disebut kultural universal, yaitu membagi kebudayaan kedalam bidang–bidang ekonomi, hukum, politik, pengetahuan, filsafat dan agama (Gazalba, 1978:163-167). Pandangan integralistik ini mempunyai konsekuensi menempatkan agama sebagai bagian dari kebudayaan, karena itu sebagian peneliti mengkatagorikan agama sebagai kebudayaan yang khusus.

Agama adalah sarana untuk memperkuat kesadaran kolektif seperti ritus-ritus agama. Orang yang terlibat dalam upacara keagamaan maka kesadaran mereka tentang collective consciousness (kesadaran kolektif) semakin bertambah kuat. Sesudah upacara keagamaan suasana keagamaan dibawa dalam kehidupan sehari-hari, kemudian lambat laun collective consciuoness tersebut semakin lemah kembali. Jadi ritual-ritual keagamaan merupakan sarana yang dianggap berperan dalam menciptakan kesadaran kolektif diantara masyarakat, atau dengan kata lain ritual agama merupakan charge bagi manusia untuk mendekatkan diri kembali kepada Tuhannya (Koentjaraningrat: 1980; 93).

Kelakuan keagamaan yang dilaksanakan menurut tata kelakuan yang baku disebut upacara keagamaan atau relegiuos ceremonies dan tiap upacara keagamaan dapat terbagi kedalam empat komponen yaitu:

1. Tempat upacara, 2. Saat upacara,

3. Benda-benda dan alat-alat upacara,


(36)

Kelompok keagamaan atau religious community adalah kesatuan kumpulan dari beberapa orang yang mengkonsepsikan dan mengaktifkan suatu religi beserta sistem upacara keagamaannya, dan semua sistem religi di dunia atau unsur kelompok keagamaan itu merupakan unsur pokok dalam kehidupannya (Koentjaraningrat, 1981).

Adat berarti aturan baik berupa perbuatan ataupun ucapan yang lazim diturut dan dilakukan sejak dahulu kala. Kata adat ini sering disebut beriringan dengan kata istiadat, sehingga menjadi adat istiadat. Adat istiadat berarti tata kelakuan yang kekal dan turun temurun dari generasi ke generasi lain sebagai warisan, sehingga kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat.( Anton M. Moeliono, 1990; 5-6) Dalam praktiknya, istilah adat istiadat mengandung arti yang cukup luas, mencakup semua hal di mana suatu masyarakat atau seseorang menjadi terbiasa untuk melakukannya ( Syahrial, 2004; 63).

Menurut A.G. Pringgodigdo (1997), adat ialah aturan-aturan tentang beberapa segi kehidupan manusia yang tumbuh dari usaha orang dalam suatu daerah tertentu di Indonesia sebagai kelompok sosial untuk mengatur tata tertib tingkah laku anggota masyarakat. Di Indonesia, aturan mengenai kehidupan manusia tersebut dipertahankan oleh masyarakat karena dianggap patut. Oleh karena itu, aturan dan tindakan yang dianggap patut itu mengikat para penduduk, dan konsekuensinya aturan itu dipertahankan oleh Kepala Adat dan petugas hukum lainnya.

Kata adat itu sendiri berasal dari bahasa Arab “a’ dadun” artinya berbilang, mengulang, berulang-mengulang dilakukan sehingga menjadi suatu kebiasaan. Sesuatu kebiasaan yang terus menerus dilkukan dalam tatanan perilaku


(37)

masyarakat Aceh dan berlaku tetap sepanjang waktu, disebut dengan adat Aceh. Misalnya adat khanduri maulid Nabi Muhammad SAW, sepanjang bulan Rabi’ul Awal dan Jumadil Akhir (Kaoy: 2002; 30).

Seperti dikatakan kata adat dalam masyarakat bukanlah kata-kata asing lagi, karena sudah merupakan ucapan sehari-hari. Namun demikian apakah dapat “adat” ini diidentikkan dengan kebudayaan, untuk itu perlu dikaji terlebih dahulu bagaimana pandangan ahli antropologi mengenai hubungan adat kebudayaan ini. Dalam ilmu kebudayaan dan kemasyarakatan konsep kebudayaan sangat banyak sekali. Inventarisasi yang dilakukan oleh C. Kluckhohn dan A. L Kroeber ahli atropologi pada tahun 1952 telah ditemukan lebih kurang 179 defenisi. Tetapi yang sifatnya dan banyak dipakai para ahli adalah pendapat C. Kluckhohn yang memberikan batasan kebudayaan sebagai berikut: “kebudayaan adalah keseluruhan dari gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia yang berupa satu sistem dalam rangka kehidupan masyarakat yang dibiasakan oleh manusia dengan belajar” .2

Pada masyarakat Aceh, adat juga pada umumnya bersifat upacara/seremonial, bahkan bernilai ritualitas yang disebut dengan adat istiadat. Misalnya pada upacara perkawinan, peusunteing darabaro dan linto, khanduri blang (syukuran sawah), khanduri laot (syukuran laut), mee-bu/ meulineum (tujuh bulanan untuk wanita hamil). Adat istiadat yang bernilai agama, misalnya upacara khitan sunnah rasul, hakikah, qurbeun (qurban), khatam Qur’an dan lain-lain. (Syamsuddin, 1988; 145)

2


(38)

Adat Aceh mengacu pada empat sumber (Klasifikasi Adat) , yaitu:

1. Adatullah, yaitu hukum adat yang bersumber hampir seluruhnya (mutlak) pada hukuman Allah (al-Qur’an dan al- hadist).

2. Adat Tunnah, yaitu adat istiadat sebagai manifestasi dari Qanun dan Reusam yang mengatur kehidupan masyarakat.

3. Adat Muhakamah, yaitu hukum adat yang dimanifestasi pada asas musyawarah dan mufakat.

4. Adat Jahiliyah, yaitu adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang kadang-kadang tidak sesuai dengan ajaran Islam, namun masih ada yang digemari oleh masyarakat (Muhammad, 2006; 54)

Fungsi umum adat istiadat adalah mewujudkan hubungan yang harmonis dalam kehidupan masyarakat. Di Aceh sendiri, menurut Ketua Bidang Adat Istiadat Majelis Adat Aceh, adat dan proses hukum nyaris tidak bisa dipisahkan. Oleh karenanya dalam setiap kumpulan masyarakat yang hidup dalam satu komunitas atau yang dikenal dengan gampong (istilah untuk desa), masyarakat harus memiliki satu lembaga adat, yang terdiri dari unsur pemerintahan, pemuka agama dan kaum penasihat.

Dalam Pasal 1 ayat (5) Perda No. 7 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat, disebutkan bahwa Lembaga Adat adalah suatu organisasi kemasyarakatan adat yang dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu, mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak dan


(39)

berwenang untuk mengatur dan mengurus serta menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat Aceh.3

Oleh karena itu, semua gerak kehidupan masyarakat selalu terikat pada syariat Islam yang dikemas dalam bentuk adat (hukum) dan adat-istiadat. Keadaan ini tampak pada beberapa aspek seperti tercatat dalam beberapa hadih maja seperti Adat bak Poteu Meurohôm, hukom bak Syiah Kuala, kanun bak Putrôe Phang, reusam bak Lakseumana; hukom ngon adat lagee dzat ngon sipheuet dan hukom adat hanjeut cree lagee mata itam ngon mata puteh (Adat di pegang oleh pemerintahan , hukum ada pada seorang ulama, hukum dengan zat bagaikan zat dengan wujud dan hukum adat tidak bisa dipisahkan bagaikan mata hitam dengan mata putih). Ungkapan-ungkapan tersebut memberikan pencerminan dari perwujudan syariat Islam dalam praktik hidup sehari-hari masyarakat Aceh.

Membahas sisi-sisi budaya Aceh, tak lepas dari nilai-nilai wujud sejarah keAcehan pada era kesultanan Aceh, terutama masa-masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda( 1607 – 1636 ). Keberhasilan Iskandar Muda dalam penerapan sistem politik pemerintahan, kemasyarakatan, ekonomi maupun sosial budaya yang kuat, tangguh serta perannya dalam segala hal termasuk dunia internasional, menjadi acuan sebagai standar rujukan. Ketangguhan pemerintahannya saat itu, karena di latar belakangi kemampuannya membangun suatu kultur dan struktur tatanan masyarakat Aceh menjadi salah satu segmen peradaban manusia ( civilization of human right ), yang tersimpul dalam nilai-nilai filosofi (Kaoy, 2002;45)

3


(40)

Narit maja ini menjadi sumber pijak kreasi budaya Aceh yang dalam masyarakatnya lebih dikenal dengan motto adat : Adat ngon hukom ( agama ) lagei zat ngon sifeut, sebagai way of life ( landasan filosofis ) dalam bentuk “adat/ adat istiadat “ Penamaan adat dalam konteks budaya keAcehan, memberi makna budaya Aceh dijiwai oleh nilai-nilai Islami yang tak boleh lepas sebagai akar tunggalnya untuk berkreasi membangun tata ruang kehidupan masyarakat menuju kebahagiaan dunia dan akhirat ( menangkap kebahagiaan kembali kemasa depan ). Dalam hubungan inilah maka budaya adat Aceh, melahirkan action building dalam bentuk : adat istiadat dan nilai-nilai normatif (hukum adat) (Kaoy, 2002;49).

Martabat Aceh atau nilai keAcehan ditentukan oleh perilaku budaya orang Aceh. Perilaku budaya ini tertuang dalam pemahaman dan sikap beragama, berbahasa, adat istiadat, hukum, akhlak, kesenian, cara beribadat dan sebagainya dari masyarakat Aceh itu sendiri. Sejauh mana perilaku budaya itu masih berjalan di atas kondisi normal atau wajar, bukan yang diamalkan secara terpaksa. Kalau kita amati perilaku budaya Aceh itu nampaknya telah terjadi erosi. Hal itu disebabkan oleh dua faktor, pertama pengaruh dari luar, yaitu sikap budaya Aceh telah bergeser karena adanya tekanan dari luar Aceh yang melanda Aceh karena globalisasi yang tidak dapat dielakkan.

Akibat adanya kedua kekuatan yang mempengaruhi kondisi kekinian dari budaya Aceh tersebut adalah melemahnya ikatan-ikatan tradisional seperti berubahnya hubungan antargenerasi dan perkawinan sehingga kultur kehilangan kontrol terhadap pembentukan suatu tipe sistem sosial. (Irwan Abdullah, 1999). Otoritas tradisi dalam hal ini mulai melemah yang digantikan dengan rasionalitas


(41)

yang kemudian menjadi pegangan dalam setiap pengambilan keputusan. Orang tua (akibat perubahan hubungan antargenerasi) atau pemimpin mulai kehilangan otoritas tradisional dalam berhubungan dengan masyarakat sehingga kontrol hanya dilakukan dengan instrumen kekuasaan modern yang lebih kompetitif dan berdasarkan negosiasi (Muhammad, 2006).

Kehidupan kelompok masyarakat tidak terlepas dari kebudayaan, sebab kebudayaan ada karena adanya masyarakat pendukungnya. Salah satu wujud dari kebudayaan adalah adat, sedang upacara merupakan wujud dari adat istiadat yang berhubungan dengan segala aspek kehidupan manusia baik itu aspek sosial, budaya, ekonomi dan lain-lain. Sedangkan pelaksanaan upacara tersebut selalu dibayangkan sebagai upacara yang khidmat yang bersifat keramat karena para pendukung acara mengikuti dengan khidmat dan merasa sebagai sesuatu yang bersifat magis dan disertai dengan berbagai perasaan serta perlengkapan yang bersifat simbolis. Selanjutnya upacara merupakan rangkaian perangkat lambang-lambang yang berupa benda atau, kegiatan fisik, hubungan tertentu, kejadian-kejadian, isyarat-isyarat dan berbagai situasi tertentu yang dilakukan dalam melaksanakan upacara. Peragaan serta penggunaan secara simbolis atau lambang-lambang ini dapat ditangkap maknanya melalui interprestasi orang-orang yang terlibat didalamnya maupun para pengamat (Syamsuddin, 1985;1,2).

Upacara sepanjang lingkarang hidup individu (Individual Life Cycle) merupakan upacara yang menandakan peristiwa perkembangan fisik maupun sosial seseorang sejak dalam kandungan sampai mengalami kematian. Upacara religi atau agama yang biasanya dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat pemeluk religi atau agama yang bersangkutan mempunyai fungsi sosial tersendiri


(42)

bagi pemeluk religi atau agama tersebut. Beberapa ahli antropologi telah menghasilkan teori-teori yang berhubungan dengan fungsi sosial upacara religi atau agama yang biasa dilaksanakan oleh masyarakat.

Menurut A. Van Gennep (1980), ritus dan upacara religi secara universal pada azasnya berfungsi sebagai aktifitas untuk menimbulkan kembali semangat kehidupan sosial antar warga masyarakat. Dalam tahap-tahap perkembangannya sebagai individu yaitu sejak lahir, kemudian masa kanak-kanak, melalui proses menjadi dewasa dan menikah, menjadi orang tua, hingga saat meninggal manusia mengalami perubahan-perubahan biologi serta perubahan dalam lingkungan sosial dan kebudayaannya yang dapat mempengaruhi jiwanya dan menimbulkan krisis mental. Untuk dapat menghadapi tahap pertumbuhannya yang baru, maka dalam lingkaran hidupnya itu manusia juga memerlukan “regenerasi” semangat kehidupan social tadi (A. Van Gennep dalam Koentjaraningrat, 1980; 75).

Upacara Peutron Anuek (turun tanah) adalah sebagian dari upacara sepanjang lingkaran hidup Individu (individual life cycle) yang bertujuan untuk memperkenalkan seorang bayi kepada lingkungan sosialnya yang baru dan lebih luas. Seorang bayi berada dalam suatu lingkaran sosial, yang terutama adalah ibunya. Kalau si bayi disapih, ia dilepaskan dari ibunya dan dalam hidupnya ia mulai tergantung kepada orang lain dalam lingkungannya, seperti ayahnya, kakak-kakaknya dan mungkin juga orang lain. Lambat laun semakin tumbuh si bayi, semakin luas lingkungan sosialnya (Koentjaraningrat, 1981; 89).

Upacara Peutron Anuek pada masyarakat Aceh banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur agama Islam dan Hindu. Agama Islam berkembang di Indonesia kira-kira abad ke-14 sebelum masehi dan pulau sumatera yaitu Aceh adalah tempat


(43)

yang pertama didatangi oleh penyebar-penyebar agama Islam. Yang pertama sekali menyebarkan agama Islam di Indonesia adalah pedagang-pedagang dari Timur Tengah yaitu Gujarat, Arab dan Parsi (Persia) dimana sambil berdagang mereka juga menyiarkan agama Islam. Namun demikian unsur-unsur agama Islam yang berhasil mereka tanamkan dalam jiwa masyarakat Indonesia, tidak sampai menghapus unsur-unsur kebudayaan asli masyarakat Indonesia.

Makna yang terkandung dalam tulisan ini adalah menunjukkan hubungan antara sesuatu hal dengan sesuatu tujuan yang tertentu. Misalnya adalah upacara Peutron Anuek yang dilakukan masyarakat Aceh secara keseluruhan bertujuan untuk memohon keridhaan dari Tuhan Yang Maha Esa semoga selalu memberikan kebahagiaan dan keselamatan kepada sibayi. Upacara Peutron Anuek juga berkaitan erat dengan kehidupan disekitar si bayi, misalnya hubungan si bayi dengan Tuhan, dengan keluarga maupun dengan masyarakat. Sehingga ia mampu membina hubungan dengan kehidupan disekitarnya dengan sebaik-baiknya untuk memperoleh kebahagian dan keselamatan. Karena keselamatan dan kebahagian dan keselamatan merupakan tujuan utama hidup manusia. Parsudi Suparlan (1989), mengatakan bahwa upacara adalah serangkaian tindakan yang berlandaskan suatu patokan yang baku yang ada dalam kebudayaan yang memperlihatkan pentingnya simbol-simbol sebagaimana yang telah digariskan dalam tradisi. Upacara ritus tidak selamanya melibatkan banyak orang dan banyak benda, tetapi ceremonial selalu melibatkan banyak orang dan benda-benda suci. Untuk menetapkan peraturan agama dalam kehidupan umat, adat mempunyai peranan penting karena adat telah menyatu dalam kehidupan masyarakat. Adat dan agama telah merasuk kuat dihati masyarakat, karena adat suatu aturan yang


(44)

sudah berlaku secara berulang dan keberadaannya diakui secara luas dalam masyarakat bangsa.

Yang dimaksud dengan adat adalah aturan dan tatanan kehidupan yang telah diterapkan secara berulang-ulang dalam masyarakat, demi menggapai kebahagiaaan hidup mereka. Hukum adat adalah hukum yang ditetapkan seseorang atau kelompok orang berupa penghargaan, pemberian jabatan, atau berupa sanksi hukum yang dikenakan pada mereka yang melanggar adat. Adat-istiadat Aceh berkaitan erat dengan agama mengingat adat yang makruf bersumber syariat dan syariat bersumber kitabullah. Pengalaman syariat Islam akan lebih lancar, jika adat dan peran lembaga-lembaga adat ditingkatkan. Adapun kata adat berasal dari bahasa arab, yaitu Al-Adah (adat) artinya ialah kebiasaan. Jadi adat itu adalah kebiasaan karena dibiasakan, lama-lama jadi suatu kebutuhan. Akhirnya menjadi aturan, persyaratan dan ketentuan (Kaoy, Seminar LAKA, 2002; 2)

Peutron anuek berarti menjejakkan kaki seorang bayi ke tanah untuk pertama kalinya, dengan harapan agar anak tersebut setelah dewasa nanti menjadi seorang anak yang kuat dan mampu berdiri sendiri dalam menempuh kehidupannya. Puncak acara peutron anuek adalah mengadakan kenduri (selamatan), dengan mengundang warga sekampung dan pada malam harinya diadakan pembacaan tahlil samadiah disertai dengan do’a kepada Allah SWT supaya bayi tumbuh sehat, mendapat ridha sepanjang hidupnya.

Menurut Koentjaraningrat (1990), masyarakat sebagai kesatuan hidup manusia berinteraksi dan bertingkah laku menurtu suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontiniu, dimana setiap anggota masyarakat bertindak dan


(45)

berperilaku sesuai dengan apa yang telah digariskan dan dituangkan dalam sistem nilai dan norma yang dimilki masyarakat.

Dalam dua hasil penelitian sebelumnya, yang pernah dilakukan yang berkaitan dengan Upacara PeutronAneuk yaitu sebagai berikut ini:

Hasil Penelitian yang dilakukan Oleh Hambali ZA dengan judul “Adat Istiadat Masyarakat Aceh dari Zaman ke Zaman dalam Prosesi PeutronAneuk di Gampong Balee Baroh Bluek” adapun kesimpulan dari hasil penelitian yang ditemukan adalah; Masyarakat Balee Baroh Bluek melaksanakan kegiatan atau prosesi peutron Aneuk sebagai wujud menjaga adat istiadat yang telah ditinggalkan oleh nenek Moyang dulu, serta menyakini ada makna tersendiri bagi kehidupan sang bayi ketika ianya Dewasa.

Hasil Penelitian yang dilakukan Oleh Maswandi Rasyid dengan judul Penelitiannya ”Perkembangan Hukum adat pada Masyarakat Aceh (Studi Kasus di Desa Mesjid Rubee pada Acara Peutron Aneuk)” adapun kesimpulan dari hasil penelitian yang ditemukan adalah; Masyarakat Mesjid Rubee selalu menjaga dan mensosialisasikan masalah adat Peutron Aneuk pada anak-anaknya, untuk terus dijaga dan dilakasanakan.

Sementara itu berbeda dengan dua penelitian di atas, penelitian yang peneliti lakukan menyangkut upacara adat peutron anuek ini adalah ingin melihat secara langsung upacara tersebut di Desa Perlak Asan yang dilakukan dari awal sampai akhir. Sebagaimana yang peneliti lihat bahwa upacara peutron anuek ini diadakan oleh sebuah keluarga dengan melibatkan masyarakat dan pemandu adat desa setempat, dimana mula-mula keluarga yang mengadakan hajatan sudah menyiapkan semua keperluan mulai dari alat-alat upacara hingga tempat


(46)

diadakannya upacara. Dari awal upacara peneliti sudah bisa melihat adanya pengaruh Islam dan Hindu dalam pelaksanaan upacara peutron anuek ini, salah satunya adalah peusijuek (tepung tawar) yang merupakan pengaruh Hindu dan Barjanzi (puji-pujian dan nasehat dalam bentuk nyanyian) yang merupakan pengaruh Islam yang sudah mendarah daging dalam masyarakat Aceh di desa Perlak Asan. Dan diakhir upacara peneliti sudah bisa menyimpulkan makna dan mengapa upacara peutron anuek ini dilakukan oleh masyarakat di desa Perlak Asan.

1.5. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Dalam penelitian ini akan mencoba memberi gambaran upacara adat peutron anuek secara terperinci dalam rangka pelestarian budaya lokal di desa Perlak Asan Kecamatan Sakti Kabupaten Pidie sehingga masih bertahan hingga sekarang ini. Adapun teknik penelitian yang digunakan dalam mencari data dilapangan antara lain:

1.5.1. Teknik Observasi (Pengamatan)

Teknik observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik observasi partisipasi, yang mana peneliti mengadakan pengamatan kepada objek yang diteliti dan secara langsung mengikuti setiap aktifitas masyarakat yang berkaitan langsung dengan pelaksanaan upacara peutron anuek. Teknik observasi partisipasi digunakan peneliti agar dapat memperoleh data secara mendalam untuk mengetahui prosesi persiapan dalam rangka penyelenggaraan upacara peutron anuek, bahan-bahan apa


(47)

saja yang digunakan dalam melakukan upacara, mengetahui bagaimana periapan kenduri (selamatan) dalam melakukan upacara tersebut. Untuk memperoleh data ini, peneliti bergaul dan mengadakan pendekatan secara kekeluargaan kepada masyarakat setempat bahkan ikut hadir dalam hajatan upacara tersebut.

1.5.2. Teknik Wawancara

Wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam dan wawancara sambil lalu. Wawancara mendalam ditujukan kepada para informan yang terlibat aktif atau secara langsung ikut dalam upacara peutron anuek ini secara sengaja sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki informan yang mengetahui banyak seluk beluk upacara adat peutron anuek ini. Seperti pemangku adat, imuem Mesjid/Meunasah (Imam Mesjid/Surau), keuchik (kepala desa) dan para anggota masyarakat desa setempat.

Wawancara mendalam kepada informan dilakukan untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan proses pelaksanaan upacara, orang-orang yang terlibat, bahan atau alat-alat yang digunakan serta tempat diadakannya upacara adat peutron anuek. Wawancara ini juga dilakukan untuk memperoleh informasi yang berkenaan dengan kepentingan-kepentingan yang terkandung dalam upacara adat peutron anuek sehingga masih bertahan sampai sekarang ini.

Wawancara sambil lalu juga dilakukan untuk memperoleh informasi yang berkenaan dengan tujuan penelitian, yang mungkin tidak


(48)

diperoleh melalui wawancara mendalam. Wawancara sambil lalu juga dilakukan di berbagai tempat dan suasana seperti di meunasah yang sering dikunjungi oleh banyak orang disana peneliti pun mendapat banyak informan di rumah di balai-balai desa dan lain sebagainya.

Di meunasah tersebut peneliti mendapat banyak pengalaman mulai dari yang pahit seperti di usir oleh ibu-ibu yang sedang mengadakan pengajian rutin mingguan di meunasah, peneliti di usir karena mengenakan celana jeans yang menurut aturan desa setempat tidak boleh dikenakan di sekitaran meunasah apalagi masuk kedalamnya. Namun ada juga pengalaman yang baik, seperti saat menghadiri upacara peutron anuek di rumah ibu rahmi peneliti sangat di istimewakan karena dianggap tamu jauh dan mengadakan penelitian saat mereka mengadakan hajatan. Di desa ini peneliti juga mendapat pengalaman yang begitu indah seperti, saat peneliti ikut serta membantu di dapur dan di ajak berjanzi bersama-bersama kumpulan ibu-ibu marhaban saat menghadiri upacara peutron anuek di rumah warga.

Di lapangan pun peneliti mencari data dengan melakukan wawancara. Seperti di balai-balai desa dan warung/kedai wawancara pun berjalan dengan baik, adapun pertanyaan si peneliti adalah mengenai upacara adat peutron anuek, mengapa upacara adat peutron anuek dilakukan oleh masyarakat Aceh di desa Perlak Asan, apa makna dan fungsi upacara tersebut terhadap masyarakat serta bagaimana pengaruh Islam dan Hindu dalam pelaksanaan upacara adat peutron anuek yang terdapat pada masyarakat Aceh di desa Perlak Asan.


(49)

Selanjutnya peneliti juga menanyakan dengan wawancara kerumah masyarakat. Peneliti pun mendapat respon yang positif dan ada juga respon negatif. Adapun respon negatif yaitu saat wawancara berlangsung masyarakat tidak ingin berbicara banyak tentang penelitian yang peneliti lakukan karena menganggap penelitian ini aneh karena sebelumnya belum pernah ada penelitian seperti ini dilakukan di desa Perlak Asan. Namun peneliti berusaha menjelaskan kepada masyarakat tentang penelitian ini sehingga peneliti mendapatkan data yang lengkap.

.

1.6. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa data secara kualitatif. Analisa data kualitatif digunakan untuk memahami sebuah proses dan fakta dan bukan sekedar menjelaskan fakta tersebut. Seiddel (1989) mengatakan bahwa analisa data kualitatif prosesnya berjalan sebagai berikut: mencatat informasi yang menghasilkan catatan lapangan, mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasikan dan membuat ikhtisar dari data yang telah dikumpulkan, berfikir dengan cara membuat agar katagori data mempunyai makna. Mencari data dan menemukan hubungan-hubungan dari data dan selanjutnya membuat kesimpulan.


(50)

BAB II

MASYARAKAT ACEH di DESA PERLAK ASAN KECAMATAN SAKTI PIDIE

2.1. Deskripsi Desa Perlak Asan.

Desa Perlak Asan Kecamatan Sakti merupakan salah satu Desa yang berada dalam kecamatan Kota Bakti yang letaknya di sebelah timur ibu kota kecamatan dengan nama ibu kota kecamatan ialah Lamlo. Adapun kendaraan yang sering digunakan oleh masyarakat untuk mencapai desa Perlak Asan adalah ojek selain kendaraan pribadi karena tidak ada angkutan umum yang khusus ke desa ini. Luas wilayah Desa Perlak Asan 7500 000 M2, wilayah ini terdiri dari 4 Dusun dengan 5 kepala lorong (Keplor). Adapun Desa Perlak Asan terletak di dalam Kemukiman Bakti dan jarak dengan ibu kota kecamatan ialah 7 km sedangkan jarak dengan Ibu Kota Kabupaten ialah 28 Km. Sentuhan-sentuhan pembangunan disegala aspek masih belum memadai dan dominan dari pemerintah dalam membangun desa ini, sehingga membuat kehidupan masyarakat masih sekedar mencukupi. Adapun batas-batas desa Perlak Asan yaitu sebagai berikut: - Sebelah Barat berbatasan dengan Meunasah Balee dan Sungai kecil

- Sebelah Timur berbatasan dengan Gampong Simbe dan Sungai Tiro - Sebelah Utara berbatasan dengan Gampong Perlak Baroh

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Jalan Gampong Baro.4


(51)

2.2. Keadaan Alam

Desa Perlak Asan merupakan daratan rendah yang membujur dari barat ke timur yang berhadapan dengan persawahan dan sungai kecil serta hutan-hutan kecil, karena Desa Perlak Asan dikenal subur akan hasil pertanian sawahnya dan perkebunannya yang melimpah. Desa Perlak Asan merupakan daerah pertanian yang mempunyai dua musim yaitu: musim kemarau dan musim hujan, musim kemarau dimulai dari September sampai akhir bulan Agustus. Sedangkan musim hujan di mulai dari awal bulan September sampai akhir bulan Mei setiap tahunnya dan kondisi ini sangat senang dimanfaatkan oleh masyarakat Gampong Perlak Asan.

2.3. Komposisi Penduduk

Desa Perlak Asan penduuknya sekitar 99% adalah etnis Aceh, selebihnya adalah penduduk pendatang seperti Jawa, Gayo, Padang. Perkembangan suatu wilayah sangat di pengaruhi dengan perkembangan penduduknya baik ditinjau dari segi kualitas maupun kuantitas. Oleh sebab itu penduduk merupakan bagian yang sangat penting dalam perkembangan dan pembagunan suatu desa atau wilayah.

Dari hasil sensus tahun 2010 jumlah penduduk Desa Perlak Asan Adalah 368 jiwa yang terdiri dari 139 kepala keluarga dengan perincian, 170 Orang Laki-laki dan 198 Orang Perempuan5

5

Sumber Kantor Geuchik Desa Perlak Asan pada Tanggal 23 November 2011

untuk lebih jelasnya bisa di lihat sebagaimana pada tabel berikut ini:


(52)

TABEL : 1

KEADAAN MASYARAKAT PERLAK ASAN MENURUT UMUR

Umur Laki-laki Perempuan Menurut umur 00-05 06-12 13-20 21-30 31-45 46-60 61-keatas 24 36 43 41 65 31 16 22 33 35 39 54 37 30 46 69 78 80 119 68 46

Jumlah 256 250 506

Sumber Kantor Geuchik Desa Perlak Asan tanggal 23 November 2011 Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa jumlah penduduk laki-laki Dewasa dan anak-anak 170 jiwa dan perempuan 198 jiwa perempuan dewasa dan anak-anak, jumlah masyarakat gampong Perlak Asan lebih banyak dinominasi perempuan daripada laki-laki sebagaimana yang tergambarkan pada tabel diatas. Hal ini dikarenakan pada para remaja ada yang melanjutkan kuliahnya keluar daerah seperti ke Kota Banda Aceh, ada yang menikah keluar daerah dan pula yang melakukan perantauan keluar kota.

2.4. Sarana dan Prasarana Desa

Desa Perlak Asan Kecamatan Sakti. Sarana dan prasarana yang ada di desa tersebut antara lain:

TABEL 2

SARANA DAN PRASARANA YANG ADA DI DESA PERLAK ASAN

NO SARANA DAN PRASARANA JUMLAH

1. 2. 3. 4. Meunasah/Surau Sekolah Dasar Jalan Raya Balai Desa 2 buah 1 buah 1 buah 2 buah


(53)

5. 6. 7.

Warung Kopi/Kedai Rumah Bides TPU

4 buah 1 buah 1 buah Sumber : Kantor Geuchik Gampong Perlak Asan

Dari kesimpulan yang dapat diambil jenis sarana dan prasarana yang ada belum memadai. Seperti penyediaan koperasi unit desa dan fasilitas finansial lain, contohnya Bank, Pengadaian masih belum ada sehingga modal usaha yang dimiliki warga hanyalah modal usaha sendiri dan pinjaman kepada orang lain.

2.5. Sistem Mata Pencaharian Desa Perlak Asan

Kebutuhan hidup selalu mendorong manusia untuk berkerja, dinamika wilayah dalam kenyataan dapat memberi kesan- kesan mengenai tingkat kesediaan dalam memenuhi kebutuhan hidup untuk melaksanakan kegiatan usaha. Dinamika diwilayah dapat juga berlaku sebagai lingkungan hidup yang mempengaruhi orientasi serta pertimbangan manusia dan akhirnya mempengaruhi kelangsungan maupun kegiatan manusia. Lingkungan yang lebih serasi bagi usaha masyarakat di Desa Perlak Asan adalah pertanian, faktor ini dikarenakan tersedianya lahan yang luas, namun selain faktor pertanian ada juga pekerjannya di sektor lain, seperti pedagang, pegawai negeri, pekebun dan lain sebagainya. Namun sebagian besar penduduk Perlak Asan bermata pencaharian sebagai petani padi, terdapat dua tingkatan atau level dari pekerja tani yaitu:

a. Petani Pemilik

Petani pemilik adalah petani yang memiliki tanah dan lahan sendiri. Biasanya mereka menyewakan tanah kepada masyarakat dengan membagi keuntungan ketika panen. Biasanya para pemilik tanah sering


(54)

disebut urueng po umeng (pemilik sawah). Urueng po umeng adalah salah satu masyarakat yang memiliki tanah dan disewakan kepada buruh

tani.

b. Petani Penyewa

Petani penyewa adalah petani yang menyewa kepada urueng po umeng dengan hasil di bagi 40% untuk pemilik sawah 60% untuk petani penyewa, setiap tahun penyewa membayarkan sewa tanah kepada pemilik tanah. Dibagi menurut keuntungan panen dibagi dua untuk membayar tanah.

Adapun hasil produksi masyarakat Desa Perlak Asan dapat di rincikan sebagai berikut:

1. Hasil pertanian yang terdiri dari tanaman padi ,kacang, bawang, dan lainnya.

2. Hasil perkebunan adalah kelapa ,pinang dan pisang. 3. hasil perternakan adalah sapi, kambing, ayam dan bebek.6

Akan tetapi mayoritas masyarakat Gampong Perlak asan bermata pencaharian petani dan Buruh Tani sementara pekerjaan yang lain hanyalah sampingan seperti berjualan, peternakan atau perkebunan. Untuk lebih jelas tentang mata pencaharian penduduk di Desa Perlak Asan dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

TABEL : 3

KEADAAN MATA PENCAHARIAN MASYARAKAT DI DESA PERLAK ASAN KECAMATAN SAKTI


(55)

No Mata Pencaharian Jumlah KK Persentase 1. 2. 3. 4. 5. 6. Petani/Buruh Tani Tukang Ojek Pedagang Pegawai Negeri Pekebun Tidak Bekerja 66 8 17 16 25 4 48% 5% 11% 10% 21% 4%

Jumlah 139 100%

Sumber Kantor Geuchik Desa Perlak Asan pada Tanggal 23 November 2011

Dari tabel di atas menunjukan bahwa rata-rata mata pencaharian penduduk di Desa Perlak Asan ialah Tani/ Buruh Tani dengan persentase 51 %, bermata pencaharian sebagai petani/ buruh tani ini merupakan suatu angka yang sangat besar. Hal ini disebabkan karena tersedianya areal pertanian yang luas dan subur, peringkat kedua pekebun dengan persentase 23 %, peringkat ketiga pedagang dengan persentase 11 %. Disamping itu bermata pencaharian yang lain seperti pegawai negeri ,tukang ojek dan tidak bekerja masing-masing dibawah 10 %.

Dari hasil temuan diatas jelas menunjukkan mayoritas pekerja masyarakat Gampong Perlak Asan ialah petani/ pekebun dan pedagang.

2.6. Pendidikan

Pendidikan merupakan sarana yang sangat vital dalam rangka mengsukseskan pembagunan nasional yang sekaligus membentuk manusia seutuhnya secara lahir dan batin. Pendidikan masyarakat Perlak Asan masih sangat rendah, bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain di kabupaten Pidie.


(56)

Keinginan masyarakat untuk mendidik anaknya masih sangat terbatas baik dengan pendidikan formal maupun pendidikan non formal, dan mereka lebih mengutamakan atau mengarahkan anak-anaknya untuk mencari uang atau menetap di Dayah (Asrama pengajian tradisional) untuk menuntut ilmu agama.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Geuchik Gampong yaitu bapak Hamid beliau mengatakan:

’’ Bahwa masyarakat di Desa Perlak Asan ini belum menghayati arti pentingnya pendidikan dalam kehidupan didunia ini, mereka lebih mengutamakan ekonomi keluarga sehingga mereka kesulitan dalam mendidik anak-anaknya. Dan juga warga disini lebih mengarahkan anaknya untuk tinggal di Dayah karena menganggap sekolah itu tidak terlalu penting ‘’untuk apa bersekolah hanya buang-buang dana saja, lebih baik tinggal di Dayah menuntut ilmu akhirat”. Pak Hamid juga mengatakan bahwa warganya kebanyakan orang-orang awam sehingga mempunyai pikiran seperti itu ”.

Untuk lebih jelas mengenai keadaan pendidkan masyarakat Desa Perlak Asan dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

TABEL : 3

KEADAAN PENDIDIKAN MASYARAKAT DI DESA PERLAK ASAN KECAMATAN SAKTI

No Tingkat

Pendidikan

Jumlah KK Persentase 1. 2. 3. 4. 5. Paska Sarjana Sarjana Diploma SMA/MAN SMP/MTSN - 6 9 22 39 - 4% 5% 19% 27%


(1)

BAB V P E N U T U P

Setiap orang tua memiliki harapan agar anaknya mampu menjalani kehidupan di dunia dengan baik, lancar tak ada halangan maupun gangguan. Berbagai usaha pun dilakukan. Selain menadahkan tangan berdoa kepada Sang Khalik, juga melaksanakan tradisi turun temurun agar petuah-petuah leluhur dapat tertular pada anaknya. Dalam mewujudkan harapan-harapan orang tua terhadap anaknya maka berdasarkan itulah masyarakat Aceh di desa Perlak Asan mengadakan upacara adat peutron aneuk, semua pihak dan wali karong berada pada acara ini dan larut dalam suasana kebahagiaan dan bersama mensyukuri atas kehadirat Allah yang telah memberikan keturunan kepadanya.

Penelitian ini telah menjawab ketiga pertanyaan yang telah diajukan dalam rumusan masalah. Pertanyaan pertama dapat dijawab mengapa upacara peutron anuek dilakukan oleh masyarakat Aceh umumnya dan masyarakat desa Perlak Asan khususnya. Pertanyaan kedua juga dapat dijawab yaitu apa makna upacara adat peutron anuek pada masyarakat Aceh di desa Perlak Asan dan apa pula fungsinya terhadap masyarakat tersebut. Dan pertanyaan yang ketiga juga dapat dijawab bagaimana pengaruh Islam dan Hindu dalam pelaksanaan upacara adat peutron anuek yang terdapat pada masyarakat di desa Perlak Asan.

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian tentang upacara adat Peutron Aneuk di gampong Perlak Asan ialah sebagai berikut:

Acara peutreun aneuk yang dilaksanakan di Gampong Perlak Asan sebagai adat kebiasaan dari nenek moyangnya yang sudah dipercayakan memiliki


(2)

unsur-unsur pendidikan yang terkandung di dalam, upacara Peutron Aneuk mencakup pendidikan dalam bidang agama maupun dalam kehidupan sehari-hari. Peutron Aneuk, dalam masyarakat Perlak Asan yaitu Sebuah tradisi yang dilakukan orang tua untuk mengenalkan anak tercintanya yang berusia 44 hari atau kepada bumi. Mengiringi itu, kedua orang tua berharap anaknya mampu berdiri sendiri dalam menempuh kehidupan. tradisi yang harus dilakoni seorang bayi saat memasuki usia 7 bulan, saat itulah dipercaya bahwa sang bayi boleh menginjakkan kaki-nya ke bumi.

Upacara peutron aneuk di gampong Perlak Asan diadakan setelah bayi berumur 44 hari. Dalam jangka waktu yang cukup untuk mempersiapkannya, lebih-lebih anak pertama yang sering diadakan upacara cukup besar, dengan memotong kerbau atau lembu. Pada upacara ini bayi digendong oleh seseorang yang terpandang, baik perangai dan budi pekertinya. Orang yang menggendong memakai pakaian yang bagus-bagus (rapi).

Upacara peutron aneuk yang dilakukan oleh masyarakat Aceh umumnya dan khususnya masyarakat Desa Perlak Asan mempunyanyi makna yang sangat mendalam yang mengandung harapan-harapan dan tumpuan agar sianak dapat berguna bagi agama nusa dan bangsa.

Adapun yang menjadi pemimpin upacara peutron aneuk adalah seorang yang baik budinya dan mengerti agama biasanya yaitu Tgk. Imam Meunasah atau pimpinan Dayah atau pasantren, yang mengerti hafalan-hafalan Do’a. Sebelum acara prosesi tersebut dilaksanakan terlebih utama melakukan zikir bersama dan berdoa kepada sang bayi yang dipimpin oleh seorang imam yang menjadi pelaku


(3)

utama dalam acara peutron aneuk, serta sedikit berdoa kepada seluruh arwah yang telah tiada, selanjutnya para undangan melakukan makan kenduri bersama.

Pada hari upacara ini bayi digendong oleh seseorang yang terpandang, baik perangai dan budi pekerti. Orang yang menggendong memakai pakaian yang bagus-bagus. Waktu bayi diturunkan melalui tangga, ia ditudungi dengan sehelai kain yang dipegang oleh empat orang pada tiap-tiap segi kain itu. Di atas kain tersebut dibelah kelapa, agar bayi tadi jangan takut terhadap suara petir. Belahan kelapa yang sebelah dilempar kepada wali dan sebelah lagi dilempar kepada wali karong.

Setelah acara peutron aneuk dilakukan selanjutnya bayi dibawa ke tempat pusara saudaranya misalnya kakeknya atau neneknya yang sudah meninggal, dengan tujuan untuk memberi taukan pada kakek dan neneknya inilah salah satu keturunannya telah lahir kedunia dan mohon doa kesejahteraan dunia dan akhirat dan menjadi anak yang shaleh.

Dari hasil uraian dan hasil penelitian yang peneliti lakukan pada gampong Perlak Asan peneliti menyarankan sebagai berikut:

1. Kepada Masyarakat Perlak Asan mohon dijaga dan dilestarikan adat yang telah berkembang sejak dari nenek moyang, dan disesuaikan dengan perkembangan jaman selama tidak melenceng dari ajaran agama Islam walaupun berbau Hindu.

2. Kepada Masyarakat Perlak Asan hendaknya menjaga dan mengambil nilai-nilai atau makna yang baik yang terkandung pada adat istiadat peutron aneuk dilingkungannya


(4)

3. Kepada Pemerintah hendaknya mensosialisasikan adat-adat yang ada kepada generasi muda agar adat istiadat bisa bertahan dan terus berlanjut sampai seterusnya, umumnya generasi Aceh dan khususnya generasi masyarakat gampong Perlak Asan, karena tradisi adat yang ada di gampong Perlak Asan menurut peneliti memiliki keunikan tersendiri dan perlu untuk dijaganya disebabkan banyak sekali mengandung nilai-nilai pendidikan.

4. Kepada pemerintah peneliti berharap hendaknya mengeluarkan qanun khusus pada adat istiadat yang dimiliki oleh masyarakat Aceh selama ini. 5. Kepada para ahli sejarah Aceh hendaknya menulis sebuah buku lengkap


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Badruzzaman, Ismail. Mesjid Dan Adat Meunasah Sebagai Sumber Energi Budaya Aceh. Banda Aceh: Yayasan Pena. 2004.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Istimewa Aceh. Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1978-1979.

Elfi, Diana. ’’Fungsi Sosial Upacara Turun Tanah Dalam Kehidupan Masyarakat Melayu”. Skripsi Sarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Medan: 1999.

Hilman H. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung: Mandar Maju. 1992.

Hasan, Fuad. Renungan Budaya. Jakarta: Balai Pustaka. 1992. Haviland, William A. Antropologi Jilid 1. Jakarta: Erlangga. 1999.

Koentjaraningrat. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Dian Rakjat. 1967 Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press. 1980. Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.1981.

Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi 1. Jakarta: Universitas. Indonesia. 1987.

Koentjaraningrat. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia. 1996.

Koentjaraningrat. Manusia Dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: PT Djambatan. 2004.

Kaoy, Rahman. Adat Dan Syariat Islam. Lembaga Adat Dan Kebudayaan Aceh (LAKA), Banda Aceh. 2002.

Kapland, David. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1999.

Kurdi, Muliadi. Menelusuri Karakteristik Masyarakat Desa Pendekatan Sosial Budaya Dalam Masyarakat Aceh. Banda Aceh: Yayasan Pena. 2004.

Mahadi. ’’Uraian Singkat Tentang Hukum Adat”. Alumni Bandung. 1991. Muhammad, Bushar. Asas-asas Hukum Adat. Suatu Pengantar. Cetakan

ke-13: Pradnya Paramita, 2006.

Mulyana, Deddy, Jalaluddin Rakhmat. Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006.

Nasryuddin, Sulaiman. Pakaian dan Perhiasan Pengantin Etnis Aceh. Banda Aceh: Departemen Pendidikan Nasional. 2000.

Soekanto, Soerjono. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2005.

Soepomo, R. Bab-Bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita. 1996. Syahrial. Hukum Adat dan Hukum Islam Indonesia : Refleksi terhadap

Beberapa Bentuk Integrasi Hukum dalam Bidang Kewarisan di Aceh. Banda Aceh: Yayasan Nadiya. 2004.

Syamsuddin, T. Adat Istiadat Daerah Propinsi Istimewa Aceh. Proyek Penelitian Dan Pencatat Kebudayaan Daerah. Banda Aceh. 1988.


(6)

Sufi, Rusdi, Agus Wibowo. Rajah Dan Ajimat Pada Masyarakat Aceh. Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh. 2004.

Umar, Muhammad. Peradaban Aceh (Tamaddun I). Banda Aceh: Boebon Jaya. Banda Aceh. 2004.

Daftar Bacaan Lain:

tanggal 10 Juli 2011.

Diakses tanggal 29 Agustus 2011.

Diakses tanggal 29 Agustus 2011.

Diakses tanggal 12 Oktober 2011.

(Buku Statistik Kependudukan Pemkab Aceh Tengah).


Dokumen yang terkait

Upacara Adat Kenduri SKO (Studi Deskriptif di Desa Keluru, Kecamatan Keliling Danau, Kabupaten Kerinci)

18 180 93

Aktivitas Komunikasi Dalam Upacara Temanten Pada Pernikahan Adat Jawa Timur (Studi Etnografi Komunikasi mengenai Aktivitas Komunikasi Dalam Upacara Temanten Pada Pernikahan Adat Jawa Timur di Kecamatan Kedamean Kabupaten Gresik)

1 30 90

Makna Komunikasi Nonverbal dalam Upacara Adat Gusaran Jelang Pagelaran Sisingan pada Masyarakat Desa Tambak Mekar di Kabupaten Subang (Studi Etnografi Komunikasi Mengenai Makna Komunikasi Nonverbal dalam Upacara Adat Gusaran)

1 59 110

Aktivitas Komunikasi Upacara Adat Labuh Saji (Studi Etnografi Komunikasi Mengenai Aktivitas Komunikasi Dalam Upacara Adat Labuh Saji di Pantai Pelabuhan Ratu Kabupaten Sukabumi)

3 27 88

Pemolaan Komunikasi Dalam Upacara Adat Mapag Sri Di Masyarakat Desa Tugu Kecamatan Slyeg Indramayu (Studi Etnografi Komunikasi Tentang Pemolaan Komunikasi Dalam Upacara Adat Mapag Sri Dimasyarakat Desa Tugu Kecamatan Sliyeg Indramayu)

1 3 1

Aktivitas Komunikasi Dalam Upacara Temanten Pada Pernikahan Adat Jawa Timur (Studi Etnografi Komunikasi mengenai Aktivitas Komunikasi Dalam Upacara Temanten Pada Pernikahan Adat Jawa Timur di Kecamatan Kedamean Kabupaten Gresik)

6 39 90

Aktivitas Komunikasi Upacara Adat Mapag Panganten di Kota Bandung (Studi Etnografi Komunikasi Mengenai Aktivitas Komunikasi Upacara Adat Mapag Panganten di Kota Bandung)

2 6 1

Aktivitas Komunikasi Upacara Adat Babarita (studi etnografi komunitas mengenai aktivitas komunikasi dalam upacara adat babarit Di Desa Sagarahiang Kabupaten Kuningan)

7 65 99

Aktivitas Komunikasi Upacara Adat Hari Raya Pagerwesi (studi Etnografi Komunikasi Mengenai Aktivitas Komunikasi Pada Upacara Adat Hari Raya Pagerwasi Di Desa Patemon Kecamatan Seririt Kabupaten Buleleng Provinsi Bali)

2 29 101

BENTUK PENYAJIAN MUSIK DALAM UPACARA ADAT PERKAWINAN PADA MASYARAKAT GAYO DI DESA UMANG KECAMATAN BEBESEN KABUPATEN ACEH TENGAH.

1 7 25