Studi Viabilitas Khamir Pada Fermentasi Tauco DalamLarutan Garam

(1)

STUDI VIABILITAS KHAMIR PADA FERMENTASI

TAUCO DALAM LARUTAN GARAM

TESIS

OLEH :

NURUL RAFIQAH 077030018/BIO

PROGRAM MAGISTER BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

STUDI VIABILITAS KHAMIR PADA FERMENTASI

TAUCO DALAM LARUTAN GARAM

TESIS

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Magister Sains dalam Program Studi Biologi pada Program Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara

OLEH :

NURUL RAFIQAH 077030018/BIO

PROGRAM MAGISTER BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : Studi Viabilitas Khamir Pada Fermentasi Tauco DalamLarutan Garam

Nama Mahasiswa : Nurul Rafiqah

Nim : 077030018

Program Studi : Biologi

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Ir.Herla Rusmarilin, MS) (Prof. Dr. Dwi Suryanto, MSc.) Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Dwi Suryanto, MSc.) (Prof. Dr. Eddy Marlianto, M.Sc.)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal: 8 Januari 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Ir. Herla Rusmarilin, MS. Anggota : 1. Prof. Dr. Dwi Suryanto, MSc.

2. Prof. Dr. Erman Munir, MSc. 3. Dr. Edy Batara Mulya Siregar, MS.


(5)

The Study Of Yeast Viability On Fermented Tauco in Salt Solution

ABSTRACT

The aim of this research was to investigate the effect of the yeast viability, the role of yeast on physico-chemical changing and the varieties of yeast on fermented tauco in salt solution. This research had been performed using nonfactorial completely randomized design (CRD) with fermentation time as a factor (i.e., 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 weeks) and three replicates. The result showed that the fermentation time had significant effect on the yeast viability, pH, asetat acid and reduction sugar. The result indicated that the highest total yeast was 14.4 x 107 CFU/ml on fourth week and the lowest was 0.1 x 107 CFU/ml on eighth week. The results of physico-chemical changing indicated that the highest of reduction sugar was 4.624 mg/g on seventh week and the lowest was 0.022 mg/g on fourth week. The highest of pH was 5.5 on control and the lowest was 4.74 on eighth week.


(6)

Studi Viabilitas Khamir Pada Fermentasi Tauco Dalam Larutan Garam

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh viabilitas khamir, peranan khamir dalam perubahan fisiko-kimia dan keragaman khamir dalam proses fermentasi tauco dalam larutan garam. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap nonfaktorial dengan lama fermentasi (0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 minggu) sebagai faktor perlakuan dengan tiga ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama fermentasi berpengaruh nyata terhadap viabilitas khamir, pH, kadar asam asetat dan gula reduksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah koloni khamir tertinggi pada minggu ke-4 yaitu sebesar 14,4 x 107 CFU/ml dan jumlah koloni khamir terendah pada minggu ke-8 yaitu sebesar 0,1 x 107 CFU/ml. Hasil dari perubahan fisiko-kimia menunjukkan bahwa kadar gula reduksi tertinggi pada minggu ke-7 yaitu sebesar 4,624 mg/g dan kadar gula reduksi terendah pada minggu ke-4 yaitu sebesar 0,022 mg/g. pH tertinggi terdapat pada kontrol (minggu ke-0) yaitu 5,5 dan pH terendah pada minggu ke-8 yaitu 4,74.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa kami panjatkan karena berkat keyakinan, kesehatan, dan kesempatan yang telah diberikan-Nya membuat tesis ini dapat diselesaikan.

Kami ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Pemerintah Republik Indonesia. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang telah memberikan bantuan dana sehingga kami dapat menyelesaikan Program Magister Sains pada Program Studi Magister Ilmu Biologi Sekolah Pascasarjana USU

Dengan selesainya tesis ini, kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. dr. H. Chairuddin P. Lubis, DTM&H. Sp.AK, Rektor Universitas Sumatera Utara Medan, yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister Sains. 2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc sebagai Direktur Sekolah Pascasarjana USU Medan yang telah memberikan kesempatan kepada kami mengikuti pendidikan Program Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc, Ketua Program Studi Magister Biologi dan sekaligus menjadi pembimbing II penulis dalam penyelesaian tesis ini.Penulis menyampaikan terima kasih yang tulus atas segala perhatian dan kesabaran dalam memberikan bimbingan dan arahan dalam perkuliahan dan penulisan ini.

4. Bapak Prof. Dr. Ing. Ternala Alex Barus, M.Sc selaku Sekretaris Program Studi Biologi.


(8)

5. Ibu Dr. Ir. Herla Rusmarilin, M.Si sebagai Dosen Pembimbing I dan sekaligus menjadi Kepala Laboratorium Pangan Pertanian USU. Terima kasih yang tak terhingga penulis haturkan atas perhatian, kesabaran dan kebaikan dalam memberikan bimbingan dan arahan dalam perkuliahan dan secara khusus dalam penyelesaian tesis ini.

6. Bapak Prof. Dr. H. Erman Munir, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. Edi Batara Siregar, M.Sc selaku Dosen penguji dan sekaligus Bapak Prof. Dr. H. Erman Munir, M.Sc selaku Kepala Laboratorium Mikrobiologi FMIPA USU yang telah banyak memberikan masukan dan saran untuk penyempurnaan tesis ini.

7. Ucapan terima kasih atas nasehat dan dukungannya kepada Ketua Yayasan Hajjah Rachmah Nasution Bapak H. Abdul Manan Muis, Kepala sekolah SMA Reguler Al-Azhar Medan Bapak Awan Maghfirah M.Si, serta bapak dan ibu guru rekan–rekan di SMA Reguler Al-Azhar Medan.

8. Rekan-rekan Program Studi Magister Biologi Universitas Sumatera Utara angkatan 2007 yang telah memberikan bantuan dan dorongan kepada kami, Pegawai Biro Administrasi Sekolah Pascasarjana USU Medan yang telah memperlancar administrasi selama penulis menempuh pendidikan, dan berbagai pihak yang banyak membantu kami yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

9. Ayahanda H. Nuriman dan Ibunda Hj. Halmah Nasution, BA yang telah tulus ikhlas memberikan do’a dan dorongan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

10. Suami tercinta Suriyanto, ST yang telah banyak memberikan dorongan berupa semangat, motivasi baik secara moral maupun moril dalam penyelesaian


(9)

perkuliahan dan tesis ini. Sulit untuk menuliskan kata-kata yang tepat untuk menyampaikan rasa terima kasih kepada suami tercinta dan buah hati kami tercinta Mhd. Auliya Anshori dan Afifah Azra, yang telah kehilangan perhatian dan kasih sayang selama perkuliahan dan penyelesaian tesis ini. Semoga ini semua menjadi motivasi yang baik buat kalian berdua untuk belajar mencapai cita-cita setinggi-tingginya.

11. Keluarga kakanda Faisal Noor, A.Md, Kel. kakanda Hidayat Noor, A.Md, Kel. kakanda Ir. Arief Affiandi, dan Kel. Kakanda M.Azmy Ismail, M.Si, serta keluarga di Rantau Prapat, keluarga Kakanda Ida Riani, Ida Kusumawati, Keluarga Adinda Siswanto dan Adinda Mas Aprianto yang selama ini telah banyak memberi motivasi yang tulus dan dorongan kepada penulis dalam perkuliahan dan penyelesaian tesis ini.

Dengan segala kerendahan hati dan menyadari sepenuhnya, tulisan ini masih mempunyai kekurangan dan jauh dari sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun dalam penyempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi penelitian dan ilmu pengetahuan.

Medan, Januari 2010


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kedai Durian tanggal 19 Oktober 1976 Medan Johor, anak dari Bapak H. Nuriman dan Ibu Hj. Halmah Nasution, BA. Penulis adalah anak ke enam dari enam bersaudara. Berkat didikan orang tua dapat menamatkan sekolah dasar di SD Negeri No.060927 di Kedai Durian tamat tahun 1989, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 1 Medan Jl.Cut Meutia No.6 Medan tamat tahun 1992, dan melanjutkan lagi ke SMA Negeri 12 Medan Jl.Brigjend. Katamso Km.7 Medan tamat tahun 1995 selanjutnya masuk di Universitas Negeri Medan pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Jurusan Pendidikan Biologi tamat tahun 2000.

Penulis mulai mengajar pada tahun 1998 di Yayasan Perg. Nurul Huda selama 2 tahun, selanjutnya mengajar di Yayasan Perg. Hj.Rachmah Nasution, mulai tahun 2000 sampai dengan sekarang di Unit SMA Reguler.

Pada tahun 2002 penulis menikah dengan Suriyanto, ST dan dikarunia anak 2 orang yaitu Mohammad Auliya Anshori berumur 6 tahun dan Afifah Azra berumur 3 tahun.

Penulis mendapat kesempatan melanjutkan Pendidikan Sekolah Pascasarjana pada Universitas Sumatera Utara Program Studi Biologi Konsentrasi Mikrobiologi pada bulan September 2007 dengan bantuan dana dari Pemerintah Provinsi Sumatera Utara melalui BAPPEDA Provinsi Sumatera Utara.


(11)

DAFTAR ISI

ABSTRACT... i

ABSTRAK... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Batasan Masalah... 3

1.3 Rumusan Masalah ... 3

1.4 Tujuan Penelitian ... 3

1.5 Hipotesis... 4

1.6 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 5

2.1 Proses Fermentasi Tauco ... 5

2.2 Khamir ... 12

2.3 Morfologi Khamir ... 12

2.4 Fisiologi Khamir ... 14

BAB III METODE PENELITIAN... 19

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 19

3.2 Rancangan Percobaan ... 19

3.3 Pembuatan Tauco ... 19

3.4 Isolasi Khamir ... 20

3.5 Enumerasi Khamir ... 21

3.6 Identifikasi Khamir ... 21

3.6.1 Pengamatan Spora Khamir... 21

3.6.2 Fermentasi Karbohidrat... 22

3.7. Pengukuran Fisiko-Kimia Tauco ... 22

3.7.1 Pengukuran pH... 22

3.7.2 Pembuatan Kurva Baku Glukosa ... 22

3.7.3 Penentuan Kadar Gula Reduksi ... 23

3.7.4 Penentuan Kadar Asam Amino... 24


(12)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 26

4.1 Viabilitas Khamir ... 26

4.1.1 Hasil Perhitungan Rataan Jumlah Koloni Khamir ... 26

4.1.2 Karakteristik dan Uji Biokimiawi Koloni Khamir... 29

4.2 Hasil Analisis Kimiawi Tauco ... 32

4.2.1 Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap pH... 32

4.2.2 Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar Asam Asetat ... 34

4.2.3 Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar Gula Reduksi... 37

4.2.4 Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap pH, Kadar Asam Asetat dan Kadar Gula Reduksi... 39

4.2.5 Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar Asam Amino... 41

4.3 UJi Organoleptik ... 43

4.3.1 Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Warna Tauco ... 43

4.3.2 Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Rasa dan Aroma Tauco... 45

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 47

5.1 Kesimpulan ... 47

5.2 Saran... 47


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.7.3 Penentuan Glukosa, Fruktosa dan Gula Invert dalam Suatu

Bahan dengan Metode Luff Schoorl ... 24

Tabel 3.8 Skala Uji Hedonik... 25

Tabel 4.1.1 Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Viabilitas Khamir... 29

Tabel 4.1.2 Karakteristik Morfologi Koloni Khamir ... 30

Tabel 4.1.3 Uji Fisiologi dan Biokimiawi Isolat Khamir yang Muncul Selama Fermentasi Tauco Minggu ke-0,1,2,3,4,5,6,7,8 ... 32

Tabel 4.2.1 Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap pH ... 33

Tabel 4.2.2 Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar Asam Asetat ... 35

Tabel 4.2.3 Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar Gula Reduksi... 37

Tabel 4.3.1 Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Orgonoleptik Warna... 43

Tabel 4.3.2 Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Organoleptik Rasa dan Aroma... 45


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1.1 Diagram Alir Pembuatan Tauco Modifikasi dari Saono... 12 Gambar 2.3.1 Berbagai Bentuk Sel Khamir... 14 Gambar 2.3.2 Perkembangan Bentuk Sel Pada Khamir Berbentuk

Lemon ... 15 Gambar 4.1.1 Grafik Rataan Jumlah Koloni Khamir ... 27 Gambar 4.2.1 Grafik Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap pH ... 34 Gambar 4.2.2 Grafik Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar

Asam Asetat ... 36 Gambar 4.2.3 Grafik Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar

Gula Reduksi... 38 Gambar 4.2.4 Grafik Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap pH,

Kadar Asam Asetat, Kadar Gula Reduksi... 40 Gambar 4.2.5 Grafik Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar

Asam Amino ... 42 Gambar 4.3.1 Grafik Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Warna

Tauco... 44 Gambar 4.3.2 Grafik Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Rasa


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Alur Kerja Penelitian ... 53

Lampiran 2. Diagram Alir Hubungan Antar Variabel Dalam Penelitian... 54

Lampiran 3. Kunci Identifikasi Jenis Khamir ... 55

Lampiran 4. Data Sifat Fisik dan Kimia Tauco untuk pH ... 57

Lampiran 5. Data Sifat Fisik dan Kimia Tauco untuk Kadar Asam Asetat ... 58

Lampiran 6. Data Sifat Fisik dan Kimia Tauco untuk Kadar Gula Reduksi... 59

Lampiran 7. Data Analisis Asam Amino ... 60

Lampiran 8. Data Organoleptik Warna (Numerik) ... 61

Lampiran 9. Data Organoleptik Rasa (Numerik) ... 62

Lampiran 10. Data Organoleptik Aroma (Numerik)... 63

Lampiran 11. Data Korelasi SPSS ... 64


(16)

The Study Of Yeast Viability On Fermented Tauco in Salt Solution

ABSTRACT

The aim of this research was to investigate the effect of the yeast viability, the role of yeast on physico-chemical changing and the varieties of yeast on fermented tauco in salt solution. This research had been performed using nonfactorial completely randomized design (CRD) with fermentation time as a factor (i.e., 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 weeks) and three replicates. The result showed that the fermentation time had significant effect on the yeast viability, pH, asetat acid and reduction sugar. The result indicated that the highest total yeast was 14.4 x 107 CFU/ml on fourth week and the lowest was 0.1 x 107 CFU/ml on eighth week. The results of physico-chemical changing indicated that the highest of reduction sugar was 4.624 mg/g on seventh week and the lowest was 0.022 mg/g on fourth week. The highest of pH was 5.5 on control and the lowest was 4.74 on eighth week.


(17)

Studi Viabilitas Khamir Pada Fermentasi Tauco Dalam Larutan Garam

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh viabilitas khamir, peranan khamir dalam perubahan fisiko-kimia dan keragaman khamir dalam proses fermentasi tauco dalam larutan garam. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap nonfaktorial dengan lama fermentasi (0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 minggu) sebagai faktor perlakuan dengan tiga ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama fermentasi berpengaruh nyata terhadap viabilitas khamir, pH, kadar asam asetat dan gula reduksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah koloni khamir tertinggi pada minggu ke-4 yaitu sebesar 14,4 x 107 CFU/ml dan jumlah koloni khamir terendah pada minggu ke-8 yaitu sebesar 0,1 x 107 CFU/ml. Hasil dari perubahan fisiko-kimia menunjukkan bahwa kadar gula reduksi tertinggi pada minggu ke-7 yaitu sebesar 4,624 mg/g dan kadar gula reduksi terendah pada minggu ke-4 yaitu sebesar 0,022 mg/g. pH tertinggi terdapat pada kontrol (minggu ke-0) yaitu 5,5 dan pH terendah pada minggu ke-8 yaitu 4,74.


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Fermentasi adalah suatu proses yang melibatkan aktivitas mikroba terkontrol baik secara aerob maupun anaerob dengan menggunakan substrat tertentu yang menghasilkan berbagai produk atau metabolit sekunder (Darwis dan Sukara, 1989; Potter, 1973). Proses ini telah lama dikenal manusia dan menghasilkan produk yang bermanfaat bagi manusia, yang dapat digunakan sebagai pengawet bahan pangan, pemberi cita rasa atau flavor tertentu dan memberi tekstur tertentu pada produk pangan (Tamime dan Robinson, 1999).

Produk fermentasi diharapkan dapat meningkatkan nilai gizi suatu bahan pangan, lebih mudah dicerna, lebih aman dan dapat memberikan flavor yang lebih baik, relatif lebih efisien karena hanya menggunakan energi rendah sudah dapat menghasilkan makanan yang lebih awet (Rahayu, 1989; Abou dan Miller, 1983). Saat ini, proses fermentasi sudah berkembang sangat pesat, pada awalnya terjadi tanpa kendali sepenuhnya. Adanya pengalaman dan berkembangnya berbagai penelitian yang berhubungan dengan mikrobiologi pangan, seperti anggur, asam cuka, keju, bir, yoghurt, tape, tempe, asinan, dan tauco, menjadikan produk fermentasi lebih terkendali proses pengolahannya, aman dikonsumsi dan disukai oleh masyarakat. Salah satu bahan pangan yang memiliki potensi sebagai bahan pangan dan memiliki banyak keunggulan adalah kedelai. Contoh makanan dengan proses fermentasi dari kedelai misalnya tauco, tempe, yoghurt, kecap, dan


(19)

sebagainya. Proses fermentasi pangan secara alami umumnya bersifat sinergistik dan suksesif, artinya proses perubahan fermentasi dilakukan oleh beberapa jenis mikroorganisme secara bergantian.

Keberadaan mikroorganisme dan enzim-enzim yang dihasilkan merupakan penyebab utama perubahan-perubahan biokimia dan kimia selama proses fermentasi. Jenis mikroorganmisme yang berperan dalam proses tersebut tergantung pada aktivitas air, pH, suhu, komposisi bahan dasarnya, tersedianya O2,

komponen anti mikroba dan adanya zat-zat yang bersifat pendukung lainnya (Rahayu dan Sudarmadji, 1989).

Pada umumnya fermentasi tauco terbagi atas fermentasi yang dikendalikan oleh kapang dan fermentasi oleh bakteri atau khamir. Adanya perbedaan konsentrasi larutan garam yang digunakan, jenis kapang, masa inkubasi dan lamanya perendaman dalam larutan garam menyebabkan hasil fermentasi memiliki sifat yang berbeda (Rahayu dan Sudarmadji, 1989).

Keberadaan khamir pada proses fermentasi tauco mengakibatkan berbagai perubahan fisiko-kimia dalam aktivitas metabolismenya. Perubahan yang terjadi pada fermentasi tauco merupakan fenomena yang menarik sebagai obyek kajian tentang terlibatnya aktivitas fungi khususnya khamir.

Umumnya tauco dibuat secara tradisional dalam skala industri rumah tangga atau industri kecil. Meskipun kandungan protein tauco cukup tinggi, tauco tidak dapat digunakan sebagai sumber protein dalam makanan karena biasanya hanya dikonsumsi dalam jumlah kecil, yaitu sebagai bumbu ataupun sebagai saus (Suwaryono dan Ismeini, 1988; Indriani, 1990). Berdasarkan alasan tersebut


(20)

penelitian tentang tauco kurang berkembang dan jarang sekali untuk diteliti, sehingga cukup menarik untuk diteliti khususnya peranan pertumbuhan khamir dalam fermentasi tauco.

1.2Batasan Masalah

Penelitian ini mengamati jumlah koloni khamir dan kelompok (genus) khamir yang berperan selama proses fermentasi tauco dalam larutan garam pada minggu ke-0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan 8 dengan memperhatikan faktor-faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan khamir yaitu pH, suhu, kadar gula-reduksi, dan kadar asam amino. Selain itu juga untuk mengetahui peranan khamir terhadap perubahan fisiko-kimia selama proses fermentasi tauco.

1.3Rumusan Masalah

Tauco merupakan salah satu makanan fermentasi yang memiliki kandungan protein relatif cukup tinggi namun penelitian mengenai tauco terutama peranan pertumbuhan khamir dan viabilitasnya serta keragaman genus khamir yang dapat mempengaruhi cita rasa tauco serta keterlibatan asam-asam amino yang dihasilkan selama proses fermentasi tauco berlangsung belum diketahui secara pasti.

1.4Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui viabilitas khamir pada fermentasi tauco dalam larutan garam, peranan khamir terhadap perubahan fisiko-


(21)

kimia tauco dan untuk mengetahui keragaman genus khamir yang berperan selama proses fermentasi tauco berlangsung.

1.5 Hipotesis

Lama fermentasi tauco dalam larutan garam dapat mempengaruhi viabilitas khamir, perubahan fisiko-kimia tauco dan keragaman genus khamir.

1.5Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai viabilitas khamir yang paling sesuai pada fermentasi tauco, perubahan fisiko-kimia yang dapat mempengaruhi cita rasa tauco serta keragaman genus khamir yang berperan dalam fermentasi tauco.


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Proses Fermentasi Tauco

Kedelai merupakan salah satu anggota tanaman kacang-kacangan yang telah banyak dimanfaatkan sebagai pangan maupun pakan. Jenis tanaman kacang-kacangan pada umumnya terkenal sebagai sumber protein nabati yang amat penting bagi manusia dan hewan. Salah satu bahan makanan yang menggunakan bahan dasar kedelai adalah tauco (Astawan, 1991).

Tauco merupakan bahan makanan yang berbentuk pasta, berwarna kekuningan sampai coklat dan mempunyai rasa spesifik, dibuat dari campuran kedelai dan tepung beras ketan. Dalam 100 gram tauco terdapat kandungan nutrien seperti protein sebesar 12%, lipid sebesar 4,1%, karbohidrat sebesar 10,7%, serat sebesar 3,8%, kalsium sebesar 1,22 mg, zat besi sebesar 5,1 mg dan seng sebesar 3,12 mg (Kwon dan Song, 1996). Pembuatan tauco, dilakukan melalui dua tahap fermentasi, yaitu fermentasi kedelai yang dilakukan oleh kapang (mold fermentation) dan fermentasi yang dilakukan oleh khamir dan bakteri dalam larutan garam (brine fermentation) (Rahayu, 1989).

Proses fermentasi pada tauco melalui dua tahapan, yang pertama tahap proses pembuatan tempe. Tahapan-tahapan tersebut meliputi: penghilangan kotoran, sortasi, penghilangan kulit, perendaman atau prefermentasi, perebusan, penirisan, pengemasan, inkubasi atau fermentasi di ruangan terbuka (Hidayat, 2006; Heid dan Joslyn, 1967).


(23)

Selama proses fermentasi berlansung terjadi perubahan sifat fisiko-kimia pada tempe. Pada perubahan fisik, kedelai akan mengalami perubahan terutama tekstur. Tekstur kedelai akan menjadi semakin lunak karena terjadi penurunan selulosa menjadi bentuk yang lebih sederhana. Hifa kapang juga mampu menembus permukaan kedelai sehingga dapat menggunakan nutrisi yang ada pada biji kedelai. Hifa kapang akan mengeluarkan berbagai macam enzim ekstraseluler dan menggunakan komponen biji kedelai sebagai sumber nutrisinya (Hidayat, Masdiana dan Suhartini, 2006).

Perubahan fisik lainnya adalah peningkatan jumlah hifa kapang yang menyelubungi kedelai. Hifa ini berwarna putih dan semakin lama semakin kompak sehingga mengikat kedelai yang satu dengan kedelai lainnya menjadi satu kesatuan. Pada tempe yang baik akan tampak hifa yang rapat dan kompak serta mengeluarkan aroma yang enak (Indriani, 1990).

Perubahan kimia pada tempe karena adanya bantuan protein yang menghasilkan enzim proteolitik yang menyebabkan degradasi protein kedelai menjadi asam amino, sehingga nitrogen terlarut meningkat dari 0,5 menjadi 2,5% (Limbong, 1981). Adanya lemak menyebabkan kapang akan menguraikan sebagain besar lemak dalam kedelai selama fermentasi. Pembebasan asam lemak ditandai dengan meningkatnya angka asam 50-70 kali setelah fermentasi. Adanya karbohidrat akan didegradasi oleh kapang Rhizopus oligosporus yang memproduksi enzim pendegradasi karbohidrat seperti amilase, selulase atau xylanase. Selama fermentasi, karbohidrat akan berkurang karena dirombak menjadi gula-gula sederhana (Naruki dan Sarjono, 1984).


(24)

Pembuatan tauco dilakukan dengan perlakuan pendahuluan yang meliputi beberapa tahap seperti: pencucian kedelai, perendaman, perebusan, penghilangan kulit, penirisan, pendinginan, fermentasi kapang (inokulasi dan inkubasi) dan terakhir perendaman biji kedelai dalam larutan garam (Naruki dan Sarjono, 1984). Perendaman biji kedelai dimaksudkan untuk melunakkan biji dan mempermudah pemisahan kulit. Perendaman biji kedelai dapat dilakukan setelah perebusan (Indriani, 1990).

Dalam biji kedelai sekitar 27% saponin A terdapat pada kulitnya, sehingga pengupasan kulit kedelai akan mengurangi sekitar 1/3 rasa pahitnya (Okuba, 1982). Tekstur biji yang lebih lunak selama perendaman, jenis mikroorganisme yang tumbuh lebih selektif. Makin lama waktu perendaman, menyebabkan pH larutan lebih rendah atau keasamannya naik, setelah 15 jam perendaman, pH mencapai sekitar 1,5-3,0. Kondisi tersebut optimum untuk pertumbuhan kapang. Penghilangan kulit dimaksudkan untuk mempermudah pertumbuhan kapang, sebab kapang (Rhizopus sp. dan Aspergillus sp.) tidak dapat tumbuh baik pada medium yang mengandung komponen selulosa. Perendaman dimaksudkan untuk mengaktifkan enzim-enzim yang ada dalam biji dan bakteri yang mampu bertahan dalam lingkungan berkadar O2 rendah (Djohan, 1990).

Perebusan kedelai dimaksudkan antara lain: untuk menambah pelunakan biji, untuk mengurangi atau membunuh bakteri-bakteri asam laktat dan mikrobia lain yang tumbuh selama perendaman, menonaktifkan tripsin inhibitor, mempermudah hidrolisis oleh enzim-enzim kapang karena protein dan


(25)

karbohidrat struktur sel menjadi terbuka dalam keadaan alami tanpa perebusan sulit dihidrolisis oleh enzim (Suhartini et al., 2006).

Penirisan bertujuan untuk mengurangi kadar air pada permukaan bahan, diikuti dengan penambahan tepung beras ketan atau tapioka, sehingga pertumbuhan jamur lebih optimal dan menghambat pertumbuhan kontaminan penyebab pembusukan. Tepung ketan atau tapioka yang ditambahkan selain dapat mengurangi kadar air biji kedelai juga dipergunakan sebagai penghasil energi, untuk pertumbuhan mikroba. Penambahan tepung dilakukan setelah penyangraian. Setelah direbus terjadi penurunan kadar air kedelai dari 60% menjadi 45% (Hasbullah, 2001).

Waktu fermentasi untuk pembuatan tauco yaitu sekitar 3-6 hari, tergantung pada jenis dan pertumbuhan kapang, dan optimal terjadi pada suhu 30-37,50C. Makin lama waktu fermentasi akan diikuti kenaikan pH karena adanya peningkatan kelarutan protein. Tempat dan kondisi lingkungan fermentasi, menentukan jenis mikroba yang tumbuh dan kecepatan proses fermentasinya. Makin lama waktu fermentasi, biji kedelai makin lunak. Selama fermentasi tauco terjadi perubahan-perubahan dari senyawa kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana. Hal ini disebabkan oleh keragaman enzim-enzim yang dihasilkan oleh kapang. Selama fermentasi enzim-enzim yang berperan yaitu lipase, amilase dan protease yang membantu dalam pemecahan protein, lemak, dan karbohidrat di dalam kedelai (Suwaryono dan Ismeini, 1988).

Fermentasi kapang berlangsung dalam keadaan aerob, sebab kapang yang bekerja pada fermentasi tauco merupakan mikroorganisme aerob. Jika proses


(26)

fermentasi dalam keadaan kurang O2 menyebabkan pertumbuhan kapang

terhambat. Kondisi anaerob akan menyebabkan tumbuh bakteri anaerob penghasil racun, seperti Clostridium botulinum. Oksigen yang berlebihan juga merugikan, karena menyebabkan permukaan biji kedelai menjadi kering, sehingga pertumbuhan kapang terhambat. Selain O2 faktor yang mempengaruhi

pertumbuhan kapang selama fermentasi adalah kadar air. Kadar air berlebihan menghambat difusi O2 ke dalam biji kedelai dan mengakibatkan pertumbuhan

kapang terhambat (Frazier, 1976).

Fermentasi kapang terhenti ketika kapang mulai berspora. Pada saat kapang mulai berspora enzim sudah seluruhnya dikeluarkan dari sel dan produksi enzim cenderung menurun. Setelah fermentasi berakhir perlu dilakukan pengeringan biasanya dijemur di bawah sinar matahari, dan setelah kering dilakukan pemisahan miselia kapang (Frazier, 1976 ).

Perendaman dalam larutan garam dilakukan dengan menggunakan konsentrasi antara 20-25% dan diketahui optimal pada kadar 20% tetap stabil selama proses fermentasi (Rahayu, 1989). Di dalam fermentasi ini, enzim yang dihasilkan memecah komponen bahan menjadi lebih sempurna. (Indriani, 1990).

Fermentasi khamir dalam larutan garam merupakan proses fermentasi anaerob. Pada kondisi ini miselia-miselia kapang mati dan fermentasi dilanjutkan oleh mikroba yang sifatnya osmofilik (Pederson, 1971). Mikroba yang mampu tumbuh dalam tauco adalah bakteri halofilik dan yeast osmofilik, antara lain


(27)

sp. dan Sacharomyces sp., (Naruki dan Fadjono, 1984; Tang, 1977; Smith dan Circle, 1972).

Selama fermentasi dalam larutan garam, terjadi penurunan pH dari 6,5-7,0 menjadi 4,8-5,0. Pada kondisi ini fermentasi khamir mulai berlangsung. Larutan garam merupakan media selektif bagi pertumbuhan mikroba halofilik, oleh karenanya konsentrasi larutan garam sangat penting pada fermentasi tahap kedua. Makin lama pemeraman makin baik bau dan rasanya, yang ditandai dengan warna tauco (Limbong, 1981).

Karbohidrat dipecah menjadi dekstrin, maltosa dan glukosa yang dapat dipergunakan sebagai media pertumbuhan khamir dan bakteri pada fermentasi dalam larutan garam (Shibasaki dan Hesseltin 1965). Selama proses ini terjadi kenaikan jumlah asam-asam organik, seperti asam laktat, asetat, suksinat dan fosfat. Tauco mempunyai rasa dan aroma yang juga ditimbulkan oleh senyawa glutamat. Asam laktat dan asam organik yang dihasilkan juga berperan dalam membentuk rasa dan aroma tauco (Naruki dan Sardjono, 1984).

Proses akhir fermentasi tauco adalah pemasakan dengan penambahan bumbu dan gula kelapa bila perlu ditambah air sedikit dan pengemasan dalam botol. Bila diinginkan tauco kering maka setelah pemasakan dilakukan pengeringan dibawah sinar matahari selama 15 hari (sampai kering dikemas dalam kemasan plastik). Dalam pemasakan enzim-enzim akan rusak sehingga tak terjadi peruraian yang tidak dikehendaki dan bakteri yang hidup dalam rendaman akan mati (Hastuti, 1983). Pembuatan tauco modifikasi dari Saono (1986) dapat dilihat pada Gambar 2.1.1.


(28)

Kedelai (1 Kg )

Dibersihkan, dicuci

Direndam (suhu kamar, 12 jam)

Direbus, 10 menit

Dikupas kulitnya

Dikukus, 45 menit

Ditiriskan

Didinginkan

Dicampur dengan tepung beras 20 gram

↓ Ragi tempe 1 gram Fermentasi I

(Suhu kamar, 2 hari)

Dikeringkan dengan dijemur di bawah sinar matahari

Dihancurkan

↓ larutan garam 20 % Fermentasi II

Dalam larutan garam (suhu kamar, 5 minggu)

Tauco mentah

Dianalisis Tiap satu minggu sekali (minggu ke-0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan 8)


(29)

2.2 Khamir

Khamir termasuk fungi, tetapi dibedakan dari kapang karena bentuknya yang terutama uniseluler. Reproduksi vegetatif pada khamir terutama dengan cara pertunasan/budding (Pelczar dan Chan, 1977). Sebagai sel tunggal, khamir tumbuh dan berkembang biak lebih cepat dibandingkan dengan kapang yang tumbuh dengan pembentukan filamen. Khamir juga lebih efektif dalam memecah komponen kimia dibandingkan dengan kapang karena mempunyai perbandingan luas permukaan dengan volume yang lebih besar. Khamir juga berbeda dari ganggang karena tidak dapat melakukan proses fotosintesis, dan berbeda dari protozoa karena mempunyai dinding sel yang kuat. Khamir mudah dibedakan dari bakteri karena ukurannya yang lebih besar dan morfologinya yang berbeda dengan bakteri (Harper, 1991).

Khamir pada umumnya diklasifikasikan berdasarkan sifat-sifat fisiologinya, dan tidak atas perbedaan morfologinya, seperti pada kapang. Beberapa khamir tidak membentuk spora (asporogenous) dan digolongkan ke dalam fungi imperfecti, dan yang lainnya membentuk spora seksual sehingga digolongkan ke dalam Ascomycetes dan Basidiomycetes (Board, 1983).

2.3 Morfologi Khamir

Khamir adalah fungi uniseluler yang bersifat mikroskopik. Sel khamir mempunyai ukuran yang bervariasi, yaitu dengan panjang 1-5 mikrometer sampai 20 mikrometer, dan lebar 1-10 mikrometer. Bentuk sel khamir bermacam-macam (Gambar 2.3.1) yaitu bulat, oval, silinder atau batang, segitiga melengkung,


(30)

berbentuk botol, bentuk apikulat atau lemon, membentuk pseudomiselium dan sebagainya (Fardiaz, 1992).

Gambar 2.3.1 Bentuk-bentuk sel khamir

Sel vegetatif yang berbentuk apikulat atau lemon merupakan karakteristik grup khamir yang ditemukan pada tahap awal fermentasi alami buah-buahan dan bahan lain yang mengandung gula, misalnya Hanseniaspora dan Kloeckera. Bentuk ogival adalah bentuk memanjang di mana salah satu ujung bulat dan ujung yang lainnya runcing. Bentuk ini merupakan karakteristik dari khamir yang disebut Brettanomyces. Khamir yang berbentuk bulat misalnya Debaryomyces, berbentuk oval misalnya Saccharomyces, dan yang berbentuk triangular misalnya

Trygonopsis. Khamir tidak mempunyai flagela atau organ lain untuk bergerak. Dalam kultur yang sama, ukuran dan bentuk sel khamir mungkin berbeda karena pengaruh umur sel dan kondisi lingkungan selama pertumbuhan. Sel yang muda mungkin berbeda bentuknya dari yang tua karena adanya proses ontogeni, yaitu perkembangan individu sel. Sebagai contoh, khamir yang berbentuk apikulat


(31)

(lemon) pada umumnya berasal dari tunas berbentuk bulat sampai oval yang terlepas dari induknya, kemudian tumbuh dan membentuk tunas sendiri. Karena proses pertunasannya bersifat bipolar, sel muda yang berbentuk oval membentuk tunas pada kedua ujungnya sehingga mempunyai bentuk seperti lemon. Sel-sel yang sudah tua dan telah mengalami pertunasan beberapa kali, mungkin mempunyai bentuk yang berbeda-beda (Gambar 2.3.2).

Gambar 2.3.2 Perkembangan Bentuk Sel pada Khamir Berbentuk Lemon (Hanseniaspora) (Phaff et. al., 1968)

2.4 Fisiologi Khamir

Khamir tumbuh paling baik pada kondisi dengan persediaan air cukup, karena khamir dapat tumbuh pada medium dengan konsentrasi solut (gula atau garam) lebih tinggi daripada bakteri, dapat disimpulkan bahwa khamir membutuhkan air untuk pertumbuhan lebih kecil dibandingkan kebanyakan bakteri (Fardiaz, 1992). Jenis khamir tertentu mempunyai persyaratan Aw

(aktivitas air) yang rendah yaitu tergolong dalam osmofilik. Interval Aw untuk pertumbuhan secara normal adalah 0,89-0,94, sedangkan untuk khamir osmofilik antara 0,62-0,65 (Rahayu, 1989).


(32)

Keasaman dan suhu yang layak adalah penting bagi pertumbuhan dan aktivitas khamir. Adapun pH yang disukai antara 4-4,5. Pada keadaan alkalis tidak dapat tumbuh dengan baik, sedangkan keadaan yang aerobik sangat disukai (Suwaryono, 1988; Savova dan Nikolova, 2002).

Kisaran suhu untuk pertumbuhan kebanyakan khamir pada umumnya hampir sama dengan kapang yaitu dengan suhu optimum 25-30ºC dan suhu maksimum 35-47ºC. Beberapa khamir dapat tumbuh pada suhu 0ºC atau kurang. Pertumbuhannya yang lambat dan kesanggupannya untuk bersaing kurang, khamir sering tumbuh pada lingkungan yang kurang baik untuk pertumbuhan bakteri, lingkungan tersebut antara lain pH rendah, kelembaban rendah, kadar gula dan garam yang tinggi, suhu penyimpanan rendah, radiasi pada makanan dan adanya antibiotika (Trihendro, 1989; Viljoen, et al.,2003). Secara umum gula merupakan sumber energi yang paling baik, hanya untuk jenis khamir oksidatif dapat menggunakan asam-asam organik dan alkohol (Rahayu, 1989). Khamir mampu menggunakan berbagai macam sumber nitrogen. Sebagai sumber nitrogen untuk sintesis protein, kebanyakan khamir dapat menggunakan ion nitrat dan nitrit (Fardiaz, 1992).

Sifat fisiologis yang digunakan dalam klasifikasi khamir adalah fermentasi dan asimilasi. Fermentasi yaitu aktivitas metabolisme yang menghasilkan energi (katabolisme) dan membutuhkan substrat, sedangkan asimilasi merupakan aktivitas metabolisme yang memerlukan energi (anabolisme) dan menghasilkan senyawa tertentu (Jarvis, 1978).


(33)

2.5 Metabolisme dan Substrat Untuk Pertumbuhan Khamir

Khamir dapat dibedakan atas dua kelompok berdasarkan sifat metabolismenya, yaitu yang bersifat : (1) fermentatif, dan (2) oksidatif. Khamir fermentatif dapat melakukan fermentasi alkohol, yaitu memecah glukosa melalui jalur glikolisis (Embden Meyerhoff-Parnas) dengan total reaksi sebagai berikut:

C6H12O6 2 C2H5OH + 2 CO2

Glukosa alkohol Karbondioksida

Khamir yang digunakan dalam pembuatan roti dan bir merupakan spesies

Saccharomyces yang bersifat fermentatif kuat. Tetapi dengan adanya oksigen, S. cerevisiae juga dapat melakukan respirasi yaitu mengoksidasi gula menjadi karbondioksida dan air. Oleh karena itu, tergantung dari kondisi pertumbuhan, S. cerevisiae dapat mengubah sistem metabolismenya dari jalur fermentatif menjadi oksidatif (respirasi). Kedua sistem tersebut menghasilkan energi, meskipun energi yang dihasilkan melalui respirasi lebih tinggi dibandingkan dengan melalui fermentasi (Jarvis 1978).

Pasteur adalah peneliti yang pertama kali mendemonstrasikan bahwa khamir yang bersifat fermentatif, jika diberi aerasi aktivitas fermentasinya akan menurun, dan sebagian glukosa akan direspirasi (dioksidasi) menjadi karbondioksida dan air. Fenomena ini disebut efek Pasteur, dan telah diterapkan dalam produksi ragi roti, di mana tidak dikehendaki proses fermentasi atau pembentukan alkohol. Jika konsentrasi gula dipertahankan tetap rendah, kondisi yang sangat aerobik (oksigen berlebihan) menyebabkan semua gula direspirasi menjadi karbondioksida dan air. Khamir yang digunakan dalam pembuatan bir,


(34)

yaitu Saccharomyces carlsbergenis, bersifat fermentatif kuat dan oksidatif lemah Fardiaz (1992).

Banyak spesies khamir yang bersifat oksidatif kuat, yaitu tidak dapat melakukan fermentasi alkohol. Khamir semacam ini bersifat aerobik karena membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannya, misalnya semua spesies

Rhodotorula dan Cryptococcus, dan beberapa spesies Candida, Torulopsis, dan beberapa jenis lainnya. Selain itu beberapa spesies khamir bersifat oksidatif kuat tetapi dapat melakukan fermentasi secara lemah, misalnya beberapa spesies dari jenis Debaryomyces dan Pichia (Pelczar dan Chan, 1977).

Pada khamir yang bersifat fermentatif, 70% dari glukosa di dalam substrat akan diubah menjadi karbondioksida dan alkohol, sedangkan sisanya sebanyak 30% tanpa adanya nitrogen akan diubah menjadi produk penyimpanan cadangan. Produk penyimpanan tersebut akan digunakan kembali melalui fermentasi endogenous jika glukosa di dalam medium habis (Tarigan, 1988).

Morfologi sel khamir dapat diamati menggunakan beberapa cara yaitu: pengamatan langsung dengan mikroskop biasa, pengamatan dengan mikroskop biasa setelah diwarnai dengan pewarna tertentu, terutama untuk melihat kondisi lokasi komponen tertentu di dalam sel. Pengamatan dengan mikroskop elektron terhadap dinding sel yang telah dipisahkan dari selnya dan pengamatan dengan mikroskop elektron terhadap irisan tipis sel khamir (Hadioetomo, 1985).

Untuk mewarnai sel khamir dapat digunakan pewarna seperti yang digunakan untuk bakteri, tetapi karena beberapa pewarna mungkin menutupi struktur sel, untuk melihat lokasi masing-masing struktur di dalam sel dapat


(35)

digunakan pewarna spesifik (Cappucino, 1987). Mikrostruktur sel khamir terdiri dari kapsul, dinding sel, membran sitoplasma, nukleus, satu atau lebih vakuola, mitokondria, globula lipid, volutin atau polifosfat, dan sitoplasma (Cook, 1958).

Beberapa khamir ditutupi oleh komponen ekstraseluler yang berlendir dan disebut kapsul. Kapsul tersebut menutupi bagian luar dinding sel dan terutama terdiri dari polisakarida termasuk glukofosfomanan, suatu polimer menyerupai pati, dan heteropolisakarida yaitu polimer yang mengandung lebih dari satu macam unit gula seperti pentosa, heksosa, dan asam glukuronat (Fardiaz, 1992).


(36)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dari bulan April 2009 sampai Juni 2009 di Laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi Fakultas MIPA USU dan Laboratorium Teknologi Hasil Pangan Fakultas Pertanian USU.

3.2 Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) nonfaktorial dengan tiga ulangan. Adapun perlakuan yang digunakan yaitu faktor lamanya fermentasi dalam larutan garam selama 8 minggu (minggu ke-0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan 8). Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sidik ragam. Analisis sidik ragam dimaksudkan untuk menguji hipotesis tentang pengaruh perlakuan terhadap keragaman data hasil percobaan. Data terlebih dahulu diuji parameter atau non parameter, kemudian uji homogenitas. Bila terdapat perbedaan nyata, diuji lebih lanjut dengan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) (Hanafiah, 1991).

3.3 Pembuatan Tauco

Pembuatan tauco dilakukan secara tradisional berdasarkan Hasbullah (2001) dengan modifikasi. Kedelai dibersihkan kemudian dicuci lalu direndam dalam air bersih selama 12-24 jam. Setelah direndam, kedelai direbus selama 10 menit. Kedelai yang telah direbus ditiriskan, setelah dingin dikupas kulitnya


(37)

kemudian direbus selama 1-2 jam. Setelah direbus, ditiriskan dan dibiarkan hingga dingin. Setelah dingin, dicampur dengan tepung beras hingga rata. Untuk setiap 10 kg kedelai mentah kering ditambahkan dengan tepung beras (20 g) yang sebelumnya telah disangrai sampai berwarna coklat.

Pengadukan dilakukan agar kedelai dan tepung beras tercampur merata. Campuran kedelai dan tepung beras ditaburi dengan ragi tempe (1g ragi tempe untuk tiap kg kedelai), diaduk agar tercampur rata, dan selanjutnya campuran kedelai, tepung beras dan ragi tempe ini dimasukkan ke dalam plastik seperti halnya membuat tempe, diletakkan di atas tampah dan disimpan selama 2-3 hari sampai terbentuk tempe. Tempe kemudian disuir-suir atau dilepaskan butiran-butirannya setelah itu butiran tempe dijemur sampai kering. Butiran tempe kering kemudian direndam di dalam larutan garam.

Untuk membuat 10 liter larutan garam 20% dilakukan dengan cara memasukkan garam sebanyak 2 kg ke dalam ember, kemudian ditambahkan air sedikit demi sedikit sambil diaduk sampai volume larutan menjadi 10 liter. Tiap kg kedelai membutuhkan larutan garam sebanyak 2 liter. Perendaman dilakukan selama 56 hari (8 minggu).

3.4 Isolasi Khamir

Satu gram tauco mentah dihaluskan dan dicukupkan dengan akuades sampai 50 ml (merupakan pengenceran 10-1). Selanjutnya dilakukan pengenceran berturut hingga pengenceran 10-7. Dari pengenceran 10-6 diisolasi menggunakan media Glukosa Yeast Peptone Agar (GYPA) dalam Petri dengan metode cawan


(38)

sebar (spread plate). Inkubasi dilakukan pada suhu 30ºC selama 48 jam. Kultur murni disimpan pada media agar miring pada suhu 30ºC (Enriquez et. al., 1995; Dudi Sastraatmadja, 1997).

3.5 Enumerasi Khamir

Setelah proses isolasi khamir dilakukan, koloni-koloni khamir terlihat di permukaan petri. Cara menghitung koloni pada cawan dengan cara Standart Plate Count, cawan yang dipilih atau dihitung adalah yang mengandung 30-300 koloni. Beberapa koloni yang bergabung menjadi satu merupakan kumpulan koloni yang besar jumlah koloninya diragukan dapat dihitung sampai satu koloni. Satu deretan atau rantai koloni yang terlihat sebagai suatu garis tebal dihitung sebagai satu koloni.

3.6 Identifikasi Khamir

Isolat yang diperoleh diidentifikasi berdasarkan karakteristik morfologinya dan fisiologi. Analisis yang digunakan adalah analisis mikrobiologi, analisis fisik, uji fermentasi karbohidrat dan uji organoleptik.

3.6.1 Pengamatan Spora Khamir

Isolat khamir yang telah diinokulasi digoreskan pada medium kentang agar miring. Dengan cara aseptis, isolat dipindahkan dengan cara menggores zig-zag menggunakan jarum ose pada medium kentang agar miring. Selanjutnya diinkubasi selama 7-14 hari (Salle and Engle, 1872).


(39)

3.6.2 Fermentasi Karbohidrat

Fenol merah basal broth digunakan sebagai medium basal. Sebanyak 1% larutan gula steril ditambahkan secara aseptis ke dalam fenol merah basal broth

steril sebelum diinokulasi dengan kultur murni khamir yang berumur 12 jam selanjutnya diinkubasi selama 5 hari pada suhu 30ºC. Uji dikatakan positif jika terjadi perubahan warna merah fenol menjadi kuning (Abegaz, 2007).

3.7 Pengukuran Fisiko-Kimia Tauco 3.7.1 Pengukuran pH

Pengukuran pH dilakukan pada sampel tauco mulai dari minggu ke-0 sampai minggu ke-8 dengan menggunakan pH meter. Tujuan pengukuran pH tersebut adalah untuk mengetahui apakah ada terjadi kenaikan pH pada tauco selama proses fermentasi berlangsung.

3.7.2 Pembuatan Kurva Baku Glukosa

Larutan glukosa anhidrat baku dibuat sebanyak 0,2-1,0 mg/ml kemudian diambil 1 ml larutan dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambah 1 ml akuades. Pembuatan blanko sebanyak 2 ml akuades kemudian ditambahkan 3 ml DNS pada masing-masing tabung reaksi. Tabung reaksi dipanaskan dalam penangas air mendidih selama 15 menit dan didinginkan selama 20 menit. Tabung reaksi ditera pada panjang gelombang 575 nm kemudian dibuat kurva baku glukosa (mg/ml x absorbansi) (Widowati dan Misgiyarta, 2003).


(40)

3.7.3 Penentuan Kadar Gula Reduksi

Bahan padat yang sudah dihaluskan ditimbang sebanyak 2,5-25 g dan dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml, tambahkan 50 ml akuades. Kemudian ditambah dengan Al(OH)3 atau larutan Pb-asetat. Penambahan bahan penjernih ini

diberikan secara setetes demi setetes sampai tidak menimbulkan pengeruhan lagi. Kemudian ditambahkan akuades dan disaring. Filtrat ditampung dalam labu takar 200 ml. Untuk menghilangkan kelebihan Pb, ditambahkan Na2CO3

anhidrat atau K atau Na-oksalat anhidrat atau larutan Na-fosfat 8% secukupnya, kemudian dikocok dan disaring. Filtrat bebas Pb bila ditambah K atau Na-fosfat atau Na2CO3 tetap jernih. Diambil 25 ml filtrat bebas Pb, dimasukkan kedalam

Erlenmeyer dan ditambahkan 25 ml larutan Luff-Schoorl dan juga dibuat perlakuan blanko yaitu Larutan Luff-Schoorl 25 ml dan 25 ml akuades. Selanjutnya Erlenmeyer yang berisi filtrat bebas Pb ditambahkan dengan beberapa butir batu didih, lalu Erlenmeyer dihubungkan dengan pendingin balik, dan didihkan.

Pendidihan larutan dipertahankan selama 10 menit. Selanjutnya dengan segera didinginkan dan ditambahkan 15 ml KI 20% dan dengan hati-hati ditambahkan 25 ml H2SO4 26,5%. Yodium yang dibebaskan dititrasi dengan

larutan Na-thiosulfat 0,1N memakai indikator pati sebanyak 2-3 ml. Untuk memperjelas perubahan warna pada akhir titrasi maka sebaiknya pati diberikan pada saat titrasi hampir berakhir. Perhitungan tersebut dapat dicari dengan mengetahui selisih antara titrasi blanko dan titrasi contoh kadar gula reduksi


(41)

dalam bahan yang dapat dicari dengan menggunakan tabel 3.7.3 berikut (Sudarmadji et al.,1984).

Tabel 3.7.3 Penentuan Glukosa, Fruktosa dan Gula Invert dalam Suatu Bahan dengan Methoda Luff Schoorl

ml 0,1 N Na-thiosulfat

Glukosa, fruktosa, gula invert mg C6H12O6

ml 0,1 N Na-thiosulfat

glukosa, fruktosa, gula invert mg C6H12O6

1 2,4 2,4 13 33,0 2,7

2 4,8 2,4 14 35,7 2,8

3 7,1 2,5 15 38,5 2,8

4 9,7 2,5 16 41,3 2,9

5 12,2 2,5 17 44,3 2,9

6 14,7 2,5 18 47,1 2,9

7 17,2 2,6 19 50,0 3,0

8 19,8 2,6 20 53,0 3,0

9 22,4 2,6 21 56,0 3,1

10 25,0 2,6 22 59,1 3,1

11 27,6 2,7 23 62,2 -

12 30,3 2,7 26 68,4 -

3.7.4 Penentuan Kadar Asam Amino

Penentuan kadar asam amino tauco dilakukan dengan HPLC (High Performance Liquid Chromatography). Buffer sodium borat: 0,5 M, pH 10,5, larutan stok Dinitrofluorobenzen (DNFB): 325 µl DNFB dilarutkan dalam 25 ml aseton (disimpan pada suhu 4ºC pada botol berwarna coklat); reagen DNFB disiapkan dengan mengencerkan 1 volume stok reagen DNFB dengan 9 volume 0,155 M buffer borat sebelum digunakan; reagen ortho-pthalaldehid (OPA) disiapkan sebelum digunakan dengan melarutkan 10 mg OPA dalam 1 ml methanol-buffer borat (1:9 v/v) campuran berisi 0,01% (v/v) β-mercaptoetanol; reagen alkilasi: 0,2M iodoasetat dalam 0,5M buffer borat, pH 10,5; standar asam amino: stok standar (5mM) masing-masing asam amino disiapkan dalam campuran methanol-air (8:2 v/v) dan disimpan pada suhu 4ºC.


(42)

Standar untuk asam amino total (masing-masing 1 mM larutan glutamat dan glisin) disiapkan dengan cara mencampurkan masing-masing 1 ml 5 mM glutamate dan glisin dan dibuat menjadi 5 ml dengan campuran metanol-air (80:20 v/v); larutan asam amino standar (untuk profil HPLC): konsentrasi equimolar (0,1 mM dari masing-masing asam amino) campuran disiapkan sebelum digunakan dengan mencampurkan larutan stok masing-masing asam amino (Babu et al.,2002).

3.8 Uji Organoleptik

Komposisi penilaian untuk uji organoleptik pada penelitian ini meliputi warna, aroma dan rasa. Penentuan uji organoleptik dilakukan dengan uji kesukaan atau uji hedonik yaitu sampel disajikan secara acak dengan memberikan kode pada bahan yang akan diuji oleh 15 panelis yang melakukan penilaian. Penilaian dilakukan berdasarkan kriteria seperti tertera pada Tabel 3.8 (Soekarto, 1990). Tabel 3.8 Skala Uji Hedonik

a Skala Hedonik Skala Numerik Sangat suka 4

Suka 3 Agak suka 2 Tidak suka 1


(43)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Viabilitas Khamir

Analisis yang dilakukan terhadap khamir pada penelitian ini meliputi perhitungan rataan jumlah koloni khamir yang tumbuh selama proses fermentasi dan identifikasi khamir yang tumbuh selama proses fermentasi dalam larutan garam.

4.1.1 Hasil Perhitungan Rataan Jumlah Koloni Khamir

Hasil perhitungan rataan jumlah koloni khamir yang tumbuh selama fermentasi tauco sangat bervariasi. Hal ini dapat dilihat dari rataan jumlah koloni khamir pada minggu ke-0 (T0) masih sedikit yaitu sebanyak 3,4 koloni, pada minggu ke-1 (T1) sebanyak 3,8 koloni, minggu ke-2 (T2) sebanyak 5,4 koloni. Pertumbuhan khamir sangat pesat terjadi pada minggu ke-3 (T3) dan minggu ke-4 (T4) sebanyak 12,1 dan 14,4 koloni. Setelah minggu ke-4 (T4) pertumbuhan khamir mulai menurun drastis dari minggu ke-5 (T5) sampai minggu ke-6, 7 dan 8 (Gambar 4.1.1).

Pertumbuhan koloni khamir pada minggu ke-0 (T0); minggu ke-1 (T1) dan minggu ke-2 (T2) masih sangat sedikit mungkin dikarenakan khamir memerlukan fase lag (adaptasi) dengan lingkungannya. Selama fase adaptasi, khamir akan melakukan proses perbanyakan diri, dari satu sel menjadi dua sel, dan seterusnya. Menurut Benwart (1979) bahwa waktu adalah salah satu faktor yang ikut


(44)

berpengaruh dalam proses pertumbuhan dan metabolisme mikroorganisme selama proses fermentasi berlangsung. Lamanya fase adaptasi sangat dipengaruhi oleh kondisi medium dan lingkungan pertumbuhan.

0.1 2.9 3.1 7.9 14.4 12.1 5.4 3.8 3.4 0 2 4 6 8 10 12 14 16

0 1 2 3 4 5 6 7 8

Lama Fermentasi (Minggu ke-)

R at aa n J u m la h K ol o ni K ha m ir (x10

7 CF

U

/g

)

Gambar 4.1.1 Grafik rataan jumlah koloni khamir pada fermentasi tauco dalam larutan garam pada minggu ke-0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan 8

Pertumbuhan koloni khamir sangat pesat pada minggu ke-3 (T3) dan minggu ke-4 mungkin dikarenakan khamir telah memasuki fase log. Pada fase ini, proses metabolisme khamir sangat aktif sehingga proses perbanyakan khamir dari satu sel menjadi dua sel dan seterusnya berlangsung sangat cepat. Selain itu, mungkin diawal fermentasi belum sepenuhnya terbentuk senyawa-senyawa organik sehingga tidak mempengaruhi pH medium (belum mengalami kenaikan pH medium) dan disamping itu kadar gula dalam medium masih tinggi karena belum sepenuhnya terfermentasi oleh khamir. Menurut Trihendrokesowo (1989)


(45)

bahwa lingkungan yang baik untuk pertumbuhan khamir antara lain adalah pH rendah dan kadar gula tinggi.

Pada minggu ke-5 sampai minggu ke-8, pertumbuhan khamir mulai menurun drastis. Hal ini mungkin disebabkan karena selama proses fermentasi berlangsung telah banyak terbentuk senyawa-senyawa organik sehingga mempengaruhi kondisi pH medium (terjadi kenaikan pH medium) dan disamping itu kadar gula dalam medium sudah habis karena sepenuhnya terfermentasi oleh khamir.

Dalam penelitian ini, waktu yang digunakan delapan minggu perendaman dalam larutan garam. Perubahan waktu perendaman menyebabkan perubahan jumlah total koloni khamir, dan genus yang tumbuh cenderung berubah. Waktu generasi tidak selalu tetap, tetapi tergantung kepada faktor-faktor dalam medium, spesies dan umur mikroorganisme.

Pertumbuhan khamir selain dipengaruhi oleh waktu, juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti sumber nutrisi, aktivitas air, suhu, pH, oksigen, komponen antimikrobia, dan radiasi. Menurut Jutono (1975) bahwa mikroorganisme yang dipindahkan ke dalam suatu medium, mula-mula akan mengalami fase adaptasi untuk menyesuaikan diri dengan substrat dan kondisi di lingkungan sekitarnya. Menurut Fardiaz (1992) pada fase ini belum terjadi pembelahan sel karena beberapa enzim mungkin belum disintesis dan proses metabolisme sel masih berlangsung lambat sehingga jumlah sel pada fase ini mungkin tetap, tetapi kadang-kadang menurun.


(46)

Berdasarkan hasil uji statistik dengan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada taraf 5% dan 1% terlihat bahwa notasi pada perlakuan T0 (lama fermentasi minggu ke-0) berbeda sangat nyata dengan perlakuan T3 (lama fermentasi minggu ke-3) dan T4 (minggu ke-4) sedangkan notasinya berbeda nyata pada perlakuan T1 (lama fermentasi minggu ke-1); T2 (minggu ke-2); T5 (minggu ke-5) dan T8 (minggu ke-8). Untuk perlakuan T6 (lama fermentasi minggu ke-6) dan T7 (minggu ke-7) notasinya tidak berbeda nyata (Tabel 4.1.1). Tabel 4.1.1 Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Viabilitas Khamir (x107

CFU/ml)

Lama Fermentasi (T) Rataan

T0 (Minggu ke-0) 3.4 cd T1 (Minggu ke-1) 3.8 c T2 (Minggu ke-2) 5.4 bc T3 (Minggu ke-3) 12.1 aB T4 (Minggu ke-4) 14.4 a T5 (Minggu ke-5) 7.9 bC T6 (Minggu ke-6) 3.1 C T7 (Minggu ke-7) 2.9 C T8 (Minggu ke-8) 3.4 C

Keterangan : Notasi huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata pada taraf 5% dan sangat nyata pada taraf 1% berdasarkan uji DMRT

4.1.2 Karakteristik dan Uji Biokimiawi Koloni Khamir

Pengamatan koloni khamir yang tumbuh pada media PCA dilakukan setiap minggu yaitu dari minggu ke-0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan 8. Koloni khamir yang tumbuh dihitung jumlahnya dan dilakukan karakterisasi morfologi yang meliputi bentuk koloni, tepi koloni, elevasi koloni dan warna koloni (Tabel 4.1.2).


(47)

Tabel 4.1.2 Karakteristik Morfologi Koloni Khamir Karakteristik Morfologi Koloni

Kode

Isolat Warna Elevasi Tepi Koloni

Bentuk Koloni

Asal Isolat Nama Spesies Khamir Ys1 Ys2 Ys3 Putih tulang, berlendir dan berkilat. Putih tulang, tidak berkilat Putih tulang, tidak berlendir Cembung Mendatar tidak cembung Cembung Rata Tidak rata Tidak rata Bulat Melebar tak beraturan Melebar Tak beraturan Ditemukan pada minggu ke-0, 1, 2, 3, 4 Ditemukan pada minggu ke-0, 1, 3, 5, 6, 7, 8

Ditemukan pada minggu ke-2, 3, 5, 6, 7, 8

Saccharomyces sp.

Pichia sp.

Hansenula sp.

Keterangan: Ys : Isolat Khamir (Yeast)

Pada Tabel 4.1.2, dapat dilihat bahwa isolat Ys1 muncul pada perlakuan dengan lama fermentasi minggu ke-0 (T0) sampai minggu ke-4 (T4). Isolat Ys1 ini memiliki karakteristik yang mirip dengan kelompok Saccharomyces yaitu bentuk koloni yang bulat, tepi koloni rata, permukaan (elevasi) koloni cembung dan warna koloni putih tulang, berlendir dan berkilat putih. Sedangkan isolat Ys2 dan Ys3 muncul hampir pada semua perlakuan dimana isolat Ys1 muncul pada perlakuan dengan lama fermentasi minggu ke-0 (T0), 1 (T1), 3 (T3), 5 (T5), 6 (T6), 7 (T7) dan 8 (T8) sedangkan isolat Ys3 muncul pada minggu ke-2 (T2), 3 (T3), 5 (T5), 6 (T6), 7 (T7) dan 8 (T8). Isolat Ys2 dan Ys3 memiliki karakter morfologi yang sama hanya bedanya pada permukaan (elevasi) koloni dimana isolat Ys2 memiliki permukaan yang mendatar tidak cembung sedangkan isolat Ys3 memiliki permukaan yang cembung. Kedua isolat ini diduga berasal dari kelompok Pichia dan Hansenula.

Menurut Fardiaz (1992) bahwa hasil pengamatan dengan menggunakan kunci identifikasi khamir (lampiran 3) diperoleh hasil sebagai berikut :


(48)

Ys1 : 1b- 2b- 3b- 4a- 7b- 9a- 10b- 11b- 14a…………..Saccharomyches

Ys2 : 1b- 2b- 3b- 4b- 7b- 9a- 10b- 11b- 13b………….Pichia

Ys3 : 1b- 2b- 3b- 4b- 7b- 9a- 10b- 11b- 12b………….Hansenula

Lama fermentasi tauco dalam larutan garam pada penelitian ini cenderung berpengaruh terhadap kemunculan genus Saccharomyces, Pichia dan Hansenula. Kelompok Saccharomyces dan Pichia tetap bertahan tumbuh pada minggu ke-0 sampai minggu ke-6, sedangkan di minggu ke-7 dan minggu ke-8, Pichia sp. tidak muncul lagi. Hal ini diduga karena kemampuan khamir dari spesies Pichia

sp. yang semakin berkurang dengan berubahnya waktu dan kondisi lingkungannya.

Menurut Rahayu (1989) bahwa kelompok Saccharomyces dan Pichia

mampu tumbuh pada lingkungan yang mengandung kadar garam tinggi. Dikemukakan juga oleh Fardiaz (1992) bahwa Saccharomyces dan Pichia sering tumbuh pada kecap (konsentrasi garam 18%) dan tauco (konsentrasi garam 7-20%). Sementara itu, kelompok Hansenula muncul di minggu ke-7 dan minggu ke-8. Hal ini disebabkan karena pada fermentasi minggu ke-7 dan minggu ke-8 semakin menurun kadar asam asetat, maka hasil tauco semakin baik mutunya dilihat, dari segi aroma, warna dan rasa (Goodman, 1976 dan Saono, 1977).

Uji biokimiawi lanjut yang dilakukan terhadap ketiga isolat khamir yaitu isolat Ys1, Ys2 dan Ys3 menunjukkan bahwa ketiga isolat khamir mampu memfermentasi glukosa, laktosa dan sukrosa bila ditumbuhkan pada media fenol merah basal broth (Tabel 4.1.3). Menurut Abegaz (2007) bahwa fenol merah basal


(49)

Perubahan warna pada media dari warna merah fenol menjadi kuning menandakan bahwa uji tersebut positif yang artinya khamir mampu memfermentasi ketiga jenis gula tersebut.

Selain ketiga isolat tersebut mampu memfermentasi ketiga jenis gula, isolat Ys1, Ys2, Ys3 juga mampu tumbuh pada medium dengan kisaran pH 4 sampai 4,5. Menurut Suwaryono (1988); Avova dan Nikolova (2002) bahwa keasaman dan suhu yang layak adalah penting bagi pertumbuhan dan aktivitas khamir. Adapun pH yang disukai antara 4-4,5. Pada keadaan alkalis tidak dapat tumbuh dengan baik, sedangkan keadaan yang aerobik sangat disukai oleh khamir.

Tabel 4.1.3 Uji Fisiologis dan Biokimia 3 Isolat khamir yang muncul selama fermentasi tauco minggu ke-0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7dan 8.

Uji Fisiologis dan

Biokimiawi Isolat Ys1 Isolat Ys2 Isolat Ys3

Fermentasi: Glukosa Laktosa Sukrosa Pertumbuhan: pH 4 pH 4,5 + + + + + + + + + + + + + + + Keterangan : Tanda + menyatakan uji positif

4.2 Hasil Analisis Kimiawi

4.2.1 Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap pH

Berdasarkan hasil uji statistik dengan uji DMRT pada taraf 5% dan 1% terlihat bahwa notasi pada perlakuan dengan lama fermentasi minggu ke-0 (T0) berbeda sangat nyata dengan notasi pada perlakuan lama fermentasi minggu ke-1 (T1) hingga minggu ke-8 (T8) sedangkan notasinya berbeda nyata pada perlakuan


(50)

dengan lama fermentasi minggu ke-1 (T1) dengan minggu ke-2 (T2). Untuk perlakuan dengan lama fermentasi minggu ke-3 (T3) sampai minggu ke-7 (T7) notasinya tidak berbeda nyata (Tabel 4.2.1).

Tabel 4.2.1 Pengaruh Lama Fermentasi terhadap pH

Lama Fermentasi (T) Rataan

T0 (Minggu ke-0) 5.50 aA T1 (Minggu ke-1) 4.96 bB T2 (Minggu ke-2) 4.85 cBC T3 (Minggu ke-3) 4.78 C T4 (Minggu ke-4) 4.77 C T5 (Minggu ke-5) 4.78 C T6 (Minggu ke-6) 4.76 C T7 (Minggu ke-7) 4.75 C T8 (Minggu ke-8) 4.71 C

Keterangan : Notasi huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata pada taraf 5% dan sangat nyata pada taraf 1% berdasarkan uji DMRT

Pengaruh lama fermentasi terhadap pH pada penelitian ini mengalami nilai tertinggi di minggu ke-0 adalah 5,50 kemudian menurun pada minggu ke-1 yaitu 4,96, minggu ke- 2 yaitu 4,85, dan pada minggu ke-3 yaitu 4,78 dan menunjukkan nilai pH berbeda tidak nyata pada minggu ke-4 sampai minggu ke-7 (Gambar 4.2.1). Hal ini berkaitan dengan jumlah asam-asam organik yang terbentuk selama proses fermentasi dalam larutan garam. Pada saat kedelai dalam proses perendaman dalam larutan garam dari minggu ke-0 sampai ke-8 komponen kimia tauco cenderung mengalami perubahan. Menurut Suhartini et al., (2006), kandungan garam yang tinggi dalam fermentasi akan menghambat pertumbuhan kapang dan akan membantu pertumbuhan bakteri dan khamir yang toleran terhadap garam.


(51)

Keragaman jenis organisme yang ada dalam fermentasi garam sangat tergantung dari sumber mediumnya. Pada proses alami, jumlah organisme bakteri dan khamir tidak diketahui dengan pasti dan umumnya jumlahnya sedikit sehingga membutuhkan waktu fermentasi yang lama (Calam & Russell, 1973).

Lamanya fase adaptasi sangat dipengaruhi oleh kondisi medium dan lingkungan pertumbuhan. Lingkungan yang baik untuk pertumbuhan khamir antara lain adalah pH rendah dan kadar gula yang tinggi (Tarigan, 1988).

4.71 4.75

4.76 4.78 4.77

4.78 4.85

4.96 5.5

4.2 4.4 4.6 4.8 5 5.2 5.4 5.6

0 1 2 3 4 5 6 7 8

Lama Fermentasi (Minggu ke-)

pH

. Gambar 4.2.1 Grafik Pengaruh Lama Fermentasi terhadap pH

4.2.2 Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar Asam Asetat (%)

Berdasarkan hasil uji statistik dengan uji DMRT pada taraf 5% dan 1% terlihat bahwa notasi pada perlakuan dengan lama fermentasi minggu ke-0 (T0) berbeda


(52)

sangat nyata dengan perlakuan lama fermentasi minggu ke-3 (T3) sedangkan notasinya berbeda nyata pada perlakuan dengan lama fermentasi minggu ke-4 (T4) dengan minggu ke-8 (T8). Untuk perlakuan dengan lama fermentasi minggu ke-0 (T0) sampai minggu ke-2 (T2) notasinya tidak berbeda nyata (Tabel 4.2.2). Tabel 4.2.2 Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Kadar Asam Asetat (%)

Lama Fermentasi (T) Rataan

T0 (Minggu ke-0) 0.044 BC T1 (Minggu ke-1) 0.040 BC T2 (Minggu ke-2) 0.036 BC T3 (Minggu ke-3) 0.186 aA T4 (Minggu ke-4) 0.054 bC T5 (Minggu ke-5) 0.054 C T6 (Minggu ke-6) 0.036 d T7 (Minggu ke-7) 0.030 e T8 (Minggu ke-8) 0.066 bB

Keterangan : Notasi huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata pada taraf 5% dan sangat nyata pada taraf 1% berdasarkan uji DMRT

Jumlah kadar asam asetat pada penelitian ini cenderung mengalami kenaikan tertinggi pada minggu ke-3 yaitu sebesar 0,186 %. Namun, pada minggu ke-4 mengalami penurunan yang drastis, kadar asam asetat pada minggu ke-5 stabil yaitu 0,054%. Pada minggu ke-6 menurun kembali menjadi 0.036% sampai pada minggu ke-7 yaitu 0,030% sedangkan pada minggu ke-8 kadar asam asetat naik kembali menjadi 0,066% (Gambar 4.2.2).

Menurut Naruki dan Sardjono (1984) dan Kuswanto (1988) bahwa selama proses fermentasi dalam larutan garam, terjadi kenaikan jumlah asam-asam organik seperti asam laktat, asam suksinat, fosfat, dan glutamat. Jika dilihat dari pertumbuhan bakteri asam laktat (BAL), ini sangat memiliki korelasi yaitu sama-sama memiliki nilai tertinggi pada minggu ke-3.


(53)

0.066 0.03 0.036 0.054 0.054 0.186 0.036 0.04 0.044 0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12 0.14 0.16 0.18 0.2

0 1 2 3 4 5 6 7 8

Lama Fermentasi (Minggu ke-)

K ad ar A sa m A se ta t ( % )

Gambar 4.2.2 Grafik Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Kadar Asam Asetat (%)

Hal ini tidak terlepas dari kerja khamir dengan bakteri asam laktat yang mampu merombak karbohidrat menjadi alkohol, asam organik dan gas CO2. Gula

yang terdapat dalam medium akan difermentasi oleh khamir sehingga menghasilkan alkohol dan gas CO2 (Kaneko et al. 1973). Alkohol difermentasi

oleh bakteri yang menghasilkan asam asetat seperti pada reaksi berikut:

C6H12O6 + Khamir 2C2H5OH + 2 CO2

(gula) (alkohol)

CH3COOH + H2O


(54)

4.2.3. Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar Gula Reduksi (mg/g)

Berdasarkan hasil uji statistik dengan uji DMRT pada taraf 5% dan 1% terlihat bahwa pada perlakuan dengan lama fermentasi minggu ke-0 (T0) notasinya berbeda sangat nyata dengan perlakuan minggu ke-3 (T3); minggu ke-5 (T5); minggu ke-7 (T7) dan minggu ke-8 (T8) sedangkan notasinya berbeda nyata pada perlakuan dengan lama fermentasi minggu ke-0 (T0) dengan minggu ke-1 (T1). Untuk perlakuan dengan lama fermentasi minggu ke-2 (T2); 3 (T3); 4 (T4); 5 (T5) dan 8 (T8) notasinya tidak berbeda nyata (Tabel 4.2.3).

Tabel 4.2.3 Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Kadar Gula Reduksi (mg/g)

Lama Fermentasi (T) Rataan

T0 (Minggu ke-0) 3.860 bB

T1 (Minggu ke-1) 3.136 cB

T2 (Minggu ke-2) 1.993 dC

T3 (Minggu ke-3) 2.340 dC

T4 (Minggu ke-4) 0.022 eD

T5 (Minggu ke-5) 0.097 eD

T6 (Minggu ke-6) 1.822 dC

T7 (Minggu ke-7) 4.624 aE

T8 (Minggu ke-8) 0.184 eD

Keterangan : Notasi huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata pada taraf 5% dan sangat nyata pada taraf 1% berdasarkan uji DMRT

Kadar gula reduksi pada penelitian ini tertinggi pada minggu ke-7 yaitu berkisar 4,624 mg/g, dan yang terendah adalah pada minggu ke-4 yaitu berkisar 0,022 mg/g (Gambar 4.2.3). Kelompok khamir yang masih dapat bertahan tumbuh pada minggu ke-7 dan minggu ke-8 adalah hanya dari genus Saccharomyces dan


(55)

kuat (Russell dan Calam, 1973). Sedangkan genus Pichia tidak tumbuh lagi, hal ini karena Pichia merupakan kelompok khamir yang fermentasi glukosanya lemah, sehingga tidak mampu lagi memanfaatkan jumlah gula yang meningkat.

0,184 4,624 1,822 0,097 0,022 2,34 1,993 3,136 3,86 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 5

0 1 2 3 4 5 6 7 8

Lama Fermentasi (Minggu ke-)

K ada r G u la R eduks i ( m g/ g)

Gambar 4.2.3 Grafik Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Kadar Gula Reduksi (mg/g)

Pada minggu ke-4 kadar gula reduksi mengalami penurunan, sebaliknya untuk pertumbuhan khamir sangat pesat di minggu ke-4. Hal ini dimungkinkan gula pada proses fermentasi dalam larutan garam digunakan oleh kelompok khamir Saccharomyces dan Pichia untuk aktivitas metabolismenya, dan diduga adanya mikroba lain selain khamir seperti BAL yang memanfaatkan proses fermentasi pada garam untuk aktivitasnya di minggu ke-4.

BAL memanfaatkan gula glukosa hasil degradasi kapang pada fermentasi tahap pertama yang terdapat dalam larutan garam untuk pertumbuhannya. Hal ini dapat dibandingkan dengan kadar gula reduksi yang terkandung dalam substrat


(56)

fermentasi yang mengalami perubahan. Setelah minggu ke-4, baik jumlah khamir maupun jumlah BAL menurun tajam. Karena jumlah khamir dan BAL menurun maka kadar gula reduksi naik kembali hingga minggu ke-7. Hal ini mungkin disebabkan karena adanya kerja enzim kembali yang dikeluarkan oleh mikroba lain untuk aktivitas metabolisme. Menurut Abegaz (2007) bahwa pada fermentasi dalam larutan garam, kapang tidak dapat hidup lebih lama tetapi aktivitas enzim hidrolitik melanjutkan pemecahan protein dan polisakarida sehingga memperkaya substrat dengan nutrisi yang terlarut.

Menurut Huang dan Teng (2004) bahwa pada tahap fermentasi oleh kapang, kapang yang berperan dalam proses fermentasi seperti Aspergillus oryzae

mensekresikan enzim proteolitik dan amilolitik. Kapang mati pada saat proses fermentasi dalam larutan garam, tetapi enzim yang dihasilkan tetap bisa bekerja. Naiknya kadar gula reduksi dari minggu ke-5 sampai minggu ke-7 diduga karena masih bekerjanya enzim amilolitik dari kapang yang mengubah gula kompleks menjadi gula sederhana.

4.2.4 Pengaruh Lama Fermentasi terhadap pH, Kadar Asam Asetat dan Kadar Gula Reduksi

Berdasarkan data dalam Gambar 4.2.4, dapat dijelaskan bahwa pada minggu ke-0, pH pada medium masih sangat tinggi yaitu sebesar 5,50 kemudian pada minggu berikutnya terjadi penurunan pH kembali sampai minggu ke-8 menjadi 4,71. Penurunan pH pada medium disebabkan karena terbentuknya sejumlah


(57)

asam-asam organik selama proses fermentasi berlangsung. Salah satu asam-asam organik yang terbentuk selama proses fermentasi berlangsung adalah asam asetat.

Kadar asam asetat meningkat seiring dengan terjadinya penurunan pH pada medium sedangkan kadar gula reduksi menurun seiring dengan penurunan pH pada medium. Meningkatnya kadar asam asetat dan menurunnya pH pada medium menyebabkan kondisi pada medium semakin asam akibatnya jumlah koloni khamir semakin berkurang sehingga kadar gula reduksi meningkat kembali dari minggu ke-5 sampai minggu ke-7. Menurut Frazier (1976) bahwa pada proses fermentasi tauco dalam larutan garam selain BAL, khamir juga menggunakan gula yang terdapat dalam substrat dan akan diubah menjadi asam asetat dan sedikit alkohol. Asam asetat yang dihasilkan khamir ini juga memberikan kontribusi terhadap penurunan pH substrat.

Gambar 4.2.4 Grafik Pengaruh Lama Fermentasi terhadap pH, Kadar Asam Asetat dan Kadar Gula Reduksi


(58)

4.2.5 Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Kadar asam amino

Asam amino dengan kadar tertinggi yaitu asam amino glutamat. Kadar asam amino glutamat tertinggi terjadi pada minggu ke-0 yaitu 1,386%, minggu ke-4 yaitu 1,305% dan minggu ke-8 yaitu 0,967%. Sedangkan asam amino dengan kadar terendah yaitu asam amino alanin. Kadar asam amino alanin terendah terjadi pada minggu ke-0 yaitu 0,084%, minggu ke-4 yaitu 0,046% dan minggu ke-8 yaitu 0,072% (Gambar 4.2.5).

Menurut Yang (1973), adanya nitrogen terlarut di dalam fermentasi tauco dimanfaatkan khamir untuk sintesis protein. Menurut Fardiaz (1992) bahwa kebanyakan khamir dari genus Saccharomyces dan Pichia dapat menggunakan ion amonium, sedangkan beberapa genus yang lainnya dapat menggunakan nitrat dan nitrit sebagai nitrogen.

Kandungan asam amino tertinggi kedua ditempati oleh asam aspartat yaitu pada minggu ke-0, 4 dan 8 masing-masing sebesar 0,596%, 0,541% dan 0,568%. Menurut Naruki dan Sarjono (1984) bahwa kedua jenis asam amino baik asam amino glutamat dan asam aspartat sangat berperan penting dalam memberikan cita rasa pada tauco. Tauco mempunyai rasa dan aroma yang ditimbulkan oleh senyawa glutamat. Asam laktat dan asam organik lain yang dihasilkan juga berperan dalam membentuk rasa dan aroma tauco.


(59)

(60)

4.3 Uji Organoleptik

Uji Organoleptik melalui metode hedonik dilakukan untuk mengetahui apakah produk fermentasi tauco dapat diterima atau tidak oleh masyarakat sebagai produk makanan fermentasi. Pada penelitian ini, uji organoleptik dilakukan terhadap 15 orang panelis yang melakukan penilaian terhadap produk fermentasi tauco yang kita buat. Penilaian yang dilakukan meliputi organoleptik warna, rasa dan aroma tauco.

4.3.1 Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Warna Tauco

Berdasarkan hasil uji statistik dengan uji DMRT pada taraf 5% dan 1% terlihat bahwa pada perlakuan dengan lama fermentasi minggu ke-0 (T0) notasinya berbeda sangat nyata dengan perlakuan lama fermentasi minggu ke-1 (T1) sampai minggu ke-8 (T8). Hal ini dapat dilihat dari adanya perubahan warna tauco dari minggu ke minggu dimana warna tauco menjadi coklat kemerahan pada minggu ke-8 (T8) (Tabel 4.3.1).

Tabel 4.3.1 Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Warna Tauco

Lama Fermentasi (T) Rataan

T0 (Minggu ke-0) 1.15 iI T1 (Minggu ke-1) 1.33 hH T2 (Minggu ke-2) 1.56 gFG T3 (Minggu ke-3) 1.71 efEF T4 (Minggu ke-4) 1.80 eE T5 (Minggu ke-5) 2.35 dD T6 (Minggu ke-6) 2.56 cC T7 (Minggu ke-7) 2.96 bAB T8 (Minggu ke-8) 3.11 aA

Keterangan : Notasi huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata pada taraf 5% dan sangat nyata pada taraf 1% berdasarkan uji DMRT


(61)

Pada awal fermentasi terjadi peningkatan warna tauco untuk setiap minggunya mulai dari minggu ke-0 sampai minggu ke-8 (Gambar 4.3.1). Semakin lama proses fermentasi, maka warna tauco akan semakin baik. Pada minggu ke-8 tauco berwarna coklat kemerahan. Hal ini terjadi karena adanya reaksi Maillard yaitu reaksi browning non enzimatis atau reaksi penyebab terbentuknya warna kecoklatan. Menurut Mistry et al., (1997) reaksi maillard tersebut terjadi karena adanya kerjasama antara asam amino dan gula reduksi yang membentuk warna kecoklatan. Walaupun tanpa perlakuan panas yang diberikan selama fermentasi tauco, pembentukan warna kecoklatan tetap akan terjadi.

3.11 2.96 2.56 2.35 1.8 1.71 1.56 1.33 1.15 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5

0 1 2 3 4 5 6 7 8

Lama Fermentasi (Minggu ke-)

O rga nol e p ti k W a rn a ( N um er ik )


(62)

4.3.2 Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Rasa dan Aroma Tauco

Hasil analisis sidik ragam dengan uji DMRT menunjukkan bahwa lama fermentasi berpengaruh sangat nyata terhadap rasa dan aroma tauco. Pada perlakuan minggu ke-0, notasinya berbeda sangat nyata dengan perlakuan pada minggu ke-8 baik untuk rasa maupun aroma (Tabel 4.3.2).

Tabel 4.3.2 Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Rasa dan Aroma Tauco Rataan

Lama Fermentasi (T)

Organoleptik Rasa Organoleptik Aroma T0 (Minggu ke-0) 1.18 iI 1.27 iI

T1 (Minggu ke-1) 1.31 hH 1.53 hH T2 (Minggu ke-2) 1.62 gG 2.56 gG T3 (Minggu ke-3) 1.71 fF 2.67 fF T4 (Minggu ke-4) 1.91 eE 2.80 eE T5 (Minggu ke-5) 2.13 dD 2.91 dD T6 (Minggu ke-6) 2.22 cC 3.18 cC T7 (Minggu ke-7) 2.51 bB 3.42 bB T8 (Minggu ke-8) 2.69 aA 3.64 aA

Keterangan : Notasi huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata pada taraf 5% dan sangat nyata pada taraf 1% berdasarkan uji DMRT

Pada perlakuan dengan lama fermentasi minggu ke-8 memberikan organoleptik rasa dan aroma tertinggi yaitu masing-masing sebesar 2,69 dan 3,63. Sedangkan nilai organoleptik rasa dan aroma terendah pada minggu ke-0 yaitu masing-masing sebesar 1,18 dan 1,27 (Gambar 4.3.2). Hasil menunjukkan bahwa semakin lama waktu fermentasi semakin enak rasa begitu juga dengan aroma tauco yang semakin baik. Hal ini mungkin disebabkan karena adanya kontribusi asam amino khususnya asam glutamat yang terdapat pada tauco. Menurut Hardjo (1984) bahwa sebelum kedelai diproses menjadi makanan hasil fermentasi seperti tauco, terdapat zat yang dapat mengganggu aktivitas enzim pencernaan tripsin,


(63)

tetapi zat-zat tersebut juga dapat mengganggu pelepasan asam-asam amino dari ikatan-ikatan yang menyusunnya, bila diolah tanpa fermentasi.

Selama proses fermentasi berlangsung, unit-unit atau monomer-monomer asam amino yang menyusun protein membantu meningkatkan rasa enak dan aroma, yang disebabkan oleh aktivitas enzim hidrolisis yang dihasilkan oleh mikroorganisme sebelum atau setelah proses fermentasi tauco. Enzim hidrolisis tersebut membantu dan berperan dalam meningkatkan rasa enak serta dapat menghilangkan bau langu (Viljoen et al., 2003).

1.53 2.56 2.67 2.8 2.91 3.18 3.42 3.64 2.69 2.51 2.22 2.13 1.91 1.71 1.62 1.31 1.18 1.27 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4

0 1 2 3 4 5 6 7 8

Lama Fermentasi (Minggu ke-)

Ra

ta

an

Organoleptik Rasa Organoleptik Aroma

Gambar 4.3.2 Grafik pengaruh Lama Fermentasi terhadap Rasa dan Aroma Tauco


(64)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat diperoleh beberapa kesimpulan yaitu :

1. Lama fermentasi tauco dalam larutan garam berpengaruh terhadap viabilitas khamir yang dapat dilihat dari adanya perubahan jumlah koloni khamir yang semakin meningkat sampai minggu ke-4 yaitu sebesar 14,4 x 107 CFU/ml dan terjadi penurunan dari minggu ke-5 sampai minggu ke-8 yaitu sebesar 0,1 x 107 CFU/ml. Lama fermentasi juga berpengaruh nyata terhadap perubahan kadar gula reduksi, asam asetat, pH serta kandungan asam amino.

2. Lama fermentasi tauco dalam larutan garam cenderung berpengaruh terhadap kemunculan kelompok khamir, yang ditunjukkan dengan keberadaan genus

Saccharomyces dan Pichia pada minggu ke-0 (T0) sampai minggu ke-6 (T6), sedangkan pada minggu ke-7 (T7) dan 8 (T8), genus khamir yang muncul adalah Saccharomyces dan Hansenula.

3. Lama fermentasi tauco dalam larutan garam ternyata menimbulkan warna yang baik yaitu coklat kemerahan, dan aroma serta rasa yang juga lebih baik pada minggu ke-8 setelah dilakukan uji organoleptik oleh 15 orang panelis.

5.2 Saran

Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai peranan dari jenis khamir


(65)

DAFTAR PUSTAKA

Abou-Fadel,O.S dan Miller, M.T. 1983. Vitamin Retention, Colour, and Texture in Thermally Processed Green Beans and Royal and Cherries Packed in Pouches. Cans. Journal Food Science 48(3): 920-923.

Abegaz, K. 2007. Isolation, Characterization and Identification of LAB Involved in Traditional Fermentation of Borde, an Ethiopian Cereal Beverage.

African Journal of Biotechnology 6(12): 1469-1478.

Achi, O.K. 2005. The Potential for Upgrading Traditional Fermented Foods Through Biotechnology. African Journal of Biotechnology 4(5): 375-380. AOAC, 1970. Official Method of Analysis of the Association of Official

Analytical Chemist. 11 th Edition, Washington, DC.

Astawan, M dan Wahyuni, M. 1991. Teknologi Pengolahan Nabati Tepat Guna. Jakarta: Akademika Pressindo.

Benwart, R.S. 1979. Soybean Protein Food Product in Markley, K.S. Soybean and Soybean Product vol 2. Intersci. Publ. Inc. New York.

Board. R.G. 1983. A Modern Introduction to Food Microbiology. Blackwell Scientific Publications. Oxford.

Cappucino, J.B. dan Sherman, N. 1996. Microbiology a Laboratory Manual. The Benjamin/Cummungs Publishing Company, Inc. California.

Cook, A.H. 1958: The Chemistry and Biology of Yeasts. An Extensive Review of The Classification, Ecology, Cytology, Genetics, Chemical Composition, and Physiology of Yeasts.Academic Press, New York.

Calam, C. T. dan Russell, D.W. 1973. Microbial Aspects of Fermentation Process Development. Journal. Appl. Chem. Biotechnol. 23:225-237. Chen, C. dan Liu, B.Y. 2000. Changes in Major Components of Tea Fungus

Metabolites During Prolonged Fermentation. J. Appl. Microbiol. 89: 834-839


(1)

Lampiran 8. Data Organoleptik Warna (Numerik) Ulangan

Perlakuan

I II III Total Rataan

T0 1.13 1.13 1.20 3.46 1.15

T1 1.33 1.33 1.33 3.99 1.33

T2 1.67 1.53 1.47 4.67 1.56

T3 1.73 1.73 1.67 5.13 1.71

T4 1.80 1.80 1.80 5.40 1.80

T5 2.40 2.33 2.33 7.06 2.35

T6 2.67 2.60 2.40 7.67 2.56

T7 2.87 3.00 3.00 8.87 2.96

T8 3.13 3.07 3.13 9.33 3.11

Total 55.58

Rataan 2.06

FK : 114.412

JK Total : 12.1962

KK : 3.31%

Tabel Analisis RAL 9x3

Ftabel

SK DB JK KT Fhitung

0.05 0.01 Perlakuan 8 12.1128 1.5141 326.8134 ** 2.51 3.71 Linear 1 3.1008 3.1008 669.3026 ** 4.41 8.28 Kuadratik 1 0.0469 0.0469 10.1136 ** 4.41 8.28

Kubik 1 0.0078 0.0078 1.6890 tn 4.41 8.28

Kuartik 1 0.0218 0.0218 4.7107 * 4.41 8.28

Kuintik 1 0.0002 0.0002 0.0353 tn 4.41 8.28

Galat/Error 18 0.0834 0.0046

Total 26 12.1962

Tabel Uji Duncan Multiple Range Test (DMRT)

1.15 1.33 1.56 1.71 1.80 2.35 2.56 2.96 3.11 SSR 5% 2.97 3.12 3.21 3.27 3.32 3.35 3.37 3.39 SSR 1% 4.07 4.27 4.28 4.46 4.53 4.59 4.64 4.68 LSR 5% 0.12 0.12 0.13 0.13 0.13 0.13 0.13 0.13 LSR 1% 0.16 0.17 0.17 0.18 0.18 0.18 0.18 0.18


(2)

Lampiran 9. Data Organoleptik Rasa (Numerik) Ulangan

Perlakuan

I II III Total Rataan

T0 1.20 1.27 1.07 3.54 1.18

T1 1.27 1.40 1.27 3.94 1.31

T2 1.67 1.67 1.53 4.87 1.62

T3 1.73 1.73 1.67 5.13 1.71

T4 1.87 1.93 1.93 5.73 1.91

T5 2.13 2.13 2.13 6.39 2.13

T6 2.27 2.20 2.20 6.67 2.22

T7 2.47 2.53 2.53 7.53 2.51

T8 2.73 2.67 2.67 8.07 2.69

Total 51.87

Rataan 1.92

FK : 99.648

JK Total : 6.4327

KK : 2.95%

Tabel Analisis RAL 9x3

Ftabel

SK DB JK KT Fhitung

0.05 0.01 Perlakuan 8 6.3749 0.7969 248.0135 ** 2.51 3.71 Linear 1 1.5169 1.5169 472.1063 ** 4.41 8.28 Kuadratik 1 0.0003 0.0003 0.0850 tn 4.41 8.28

Kubik 1 0.0014 0.0014 0.4402 tn 4.41 8.28

Kuartik 1 0.0001 0.0001 0.0415 tn 4.41 8.28

Kuintik 1 0.0019 0.0019 0.5918 tn 4.41 8.28

Galat/Error 18 0.0578 0.0032

Total 26 6.4327

Tabel Uji Duncan Multiple Range Test (DMRT)

1.18 1.31 1.62 1.71 1.91 2.13 2.22 2.51 2.69 SSR 5% 2.97 3.12 3.21 3.27 3.32 3.35 3.37 3.39 SSR 1% 4.07 4.27 4.28 4.46 4.53 4.59 4.64 4.68 LSR 5% 0.10 0.10 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11 LSR 1% 0.13 0.14 0.14 0.15 0.15 0.15 0.15 0.15


(3)

Lampiran 10. Data Organoleptik Aroma (Numerik) Ulangan

Perlakuan

I II III Total Rataan

T0 1.40 1.20 1.20 3.80 1.27

T1 1.67 1.46 1.46 4.59 1.53

T2 2.47 2.53 2.67 7.67 2.56

T3 2.60 2.67 2.73 8.00 2.67

T4 2.80 2.80 2.80 8.40 2.80

T5 2.93 2.93 2.87 8.73 2.91

T6 3.13 3.20 3.20 9.53 3.18

T7 3.47 3.47 3.33 10.27 3.42

T8 3.73 3.67 3.53 10.93 3.64

Total 71.92

Rataan 2.66

FK : 191.574

JK Total : 15.5076

KK : 3.13%

Tabel Analisis RAL 9x3

Ftabel

SK DB JK KT Fhitung

0.05 0.01 Perlakuan 8 15.3826 1.9228 276.9530 ** 2.51 3.71 Linear 1 3.2682 3.2682 470.7356 ** 4.41 8.28 Kuadratik 1 0.2168 0.2168 31.2317 ** 4.41 8.28

Kubik 1 0.0964 0.0964 13.8873 ** 4.41 8.28

Kuartik 1 0.0025 0.0025 0.3621 tn 4.41 8.28

Kuintik 1 0.0945 0.0945 13.6101 ** 4.41 8.28

Galat/Error 18 0.1250 0.0069

Total 26 15.5076

Tabel Uji Duncan Multiple Range Test (DMRT)

1.27 1.53 2.56 2.67 2.80 2.91 3.18 3.42 3.64 SSR 5% 2.97 3.12 3.21 3.27 3.32 3.35 3.37 3.39 SSR 1% 4.07 4.27 4.28 4.46 4.53 4.59 4.64 4.68 LSR 5% 0.14 0.15 0.15 0.16 0.16 0.16 0.16 0.16 LSR 1% 0.20 0.21 0.21 0.21 0.22 0.22 0.22 0.23


(4)

Lampiran 11. Data Korelasi SPSS Khamir dengan Gula Reduksi

Correlations

KHAMIR GR

Pearson

Correlation 1 -,354

Sig. (2-tailed) . ,351

KHAMIR

N 9 9

Pearson

Correlation -,354 1

Sig. (2-tailed) ,351 .

GR

N 9 9

Khamir dengan pH

Correlations

KHAMIR PH

Pearson

Correlation 1 -,189

Sig. (2-tailed) . ,626

KHAMIR

N 9 9

Pearson

Correlation -,189 1

Sig. (2-tailed) ,626 .

PH

N 9 9

Rasa dan Aroma

Correlations

RS AR

Pearson

Correlation 1 ,958(**)

Sig. (2-tailed) . ,000

RS

N 9 9

Pearson

Correlation ,958(**) 1

Sig. (2-tailed) ,000 .

AR

N 9 9

** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).


(5)

Lampiran 12. Gambar-Gambar Penelitian

Biakan Saccharomyces cerevisiae Biakan Pichia sp. pada media PDA pada media PDA (Potato Dextrose Agar)


(6)

Lanjutan Lampiran 12. Gambar-Gambar Penelitian

Saccharomyces cerevisiae Pichia sp.