Efektivitas Komunikasi Antarpribadi Dan Pembentukan Perilaku Narapidana (Studi Korelasional Mengenai Efektivitas Komunikasi AntarPribadi Terhadap Pembentukan Perilaku Narapida di LP Kelas II A Kotamadya Binjai)

(1)

EFEKTIVITAS KOMUNIKASI ANTARPRIBADI DAN PEMBENTUKAN PERILAKU NARAPIDANA

(Studi Korelasional Mengenai Efektivitas Komunikasi AntarPribadi Terhadap Pembentukan Perilaku Narapida di LP Kelas II A Kotamadya

Binjai)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Untuk Menyelesaikan Pendidikan Strata Satu (S1)

Di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Disusun oleh: Emma Latersia Sembiring

050904009

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ABSTRAKSI

Skripsi ini berjudul efektivitas komunikasi antarpribadi dan pembentukan perilaku narapidana (Studi korelasional mengenai efektivitas komunikasi antarpribadi terhadap pembentukan perilaku narapidana di LP Kelas II A Kotamadya Binjai). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh antara efektivitas komunikasi antarpribadi terhadap pembentukan perilaku narapidana di LP Kelas II A Kotamadya Binjai. Objek penelitian adalah narapidana yang berada di Blok B LP Kelas II A Kotamadya Binjai.

Teori yang digunakan adalah komunikasi, komunikasi antarpribadi, efektivitas komunikasi antar pribadi, self disclosure, pembentukan perilaku dan narapidana.

Populasi dalam penelitian ini berjumlah 375 orang dengan rumus Arikunto sebesar 15% diperoleh sampel sebanyak 56 orang. Langkah-langkah dalam pengambilan sampel menggunakan purposive sampling. Lalu peneliti melakukan pengumpulan data di lapangan dan kepustakaan.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode korelasional. Metode ini digunakan untuk mengetahui hubungan di antara variabel-variabel penelitian yaitu variabel X (komunikasi antarpribadi) dan variabel Y (pembentukan perilaku narapidana). Dalam menganalisis data penelitian digunakan tabel tunggal dan tabel silang sedangkan untuk menguji hipotesis penelitian digunakan tes statistic Spearman melalui SPSS (Statistical Product Service Solution) 16.00. Hasil pengujian menunjukkan hubungan bahwa hipotesis (Ha) diterima (0,657), yaitu terdapat hubungan yang cukup berarti dilihat dari nilai koefisien korelasi. Artinya bahwa terdapat hubungan yang cukup berarti antara efektivitas komunikasi antarpribadi terhadap pembentukan perilaku narapidana di LP Kelas II A Kotamadya Binjai.


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat, rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Efektifitas Komunikasi Antarpribadi dan Pembentukan Perilaku Narapidana (studi korelasional mengenai efektivitas komunikasi antarpribadi Terhadap pembentukan perilaku narapida di LP kelas II A kotamadya Binjai). guna memenuhi syarat untuk memperoleh gelar sarjana dari Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih yang mendalam kepada kedua orang tua, Bapak NG. Sembiring dan Ibu R. BR Ginting yang selalu menjaga, mendoakan, memberi nasehat, semangat serta dukungan moral dan materi. Sungguh tiada kata yang bisa tergambarkan betapa berharganya kedua orang tua bagi peneliti. Lalu peneliti juga ingin mengucapkan terima kasih buat almarhum K’Fransisca dan K’Ninta Sembiring yang selalu memberikan semangat dan dukungan untuk peneliti.

Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. DR. Arif Nasution, MA, selaku Dekan FISIP USU.

2. Bapak Drs. Amir Purba, MA, selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Dewi Kurniawati, M.Si, selaku Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Emilia Ramadhani, S.Sos, selaku dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dan dengan sabar membimbing serta memberi masukan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

5. Bapak Drs Mukti Sitompul, M.Si, selaku dosen wali penulis.

6. Terima kasih buat para dosen Departemen Ilmu Komunikasi yang telah memberikan ilmu kepada peneliti. Terima kasih buat semangat, nasehat, motivasi dan arahannya selama proses belajar mengajar.


(4)

8. Kak Icut, Kak Maya, Kak Rotua dan Kak Ros yang telah membantu dalam proses administrasi.

9. Buat keponakanku tercinta (Puteri, Lady, Dara, Rea dan Tita). Terima kasih atas dukungan kalian.

10. Buat teman-teman peneliti angkatan 2005 Ilmu Komunikasi FISIP USU: Almarhum Cory, Dania, Lia, Arimbie, Isabela, Maria, Patricia, Anggie, Fika, Yogi, Gali, Hendra, Wahyu, Aditiya, Nuri, Irene, yang sedang berjuang mengerjakan skripsi.Lanjutkan! dan teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

11. Buat Rotua yang cantik, Eva yang kecil , Nova dan Lora yang cerewet, para temanku yang dengan baik hati dan sabar membantu dan mengajari menyelesaikan penelitian ini.

12. Buat responden, terima kasih telah meluangkan waktunya untuk menjawab kuesioner yang diberikan penulis.

13. Kepada pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, penulis mengucapkan terima kasih banyak atas kepeduliannya dalam menyelesaikan skripsi ini.

Saya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu saya mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Penulis, Juni 2009


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... BAB I PENDAHULUAN ... 1

I.1 Latar Belakang Masalah ... 1

I.2 Perumusan Masalah... 5

I.3 Pembatasan Masalah ... 5

I.4 Tujuan Penelitian ... 6

I.5 Manfaat Penelitian ... 6

I.6 Kerangka Teori ... 7

I.6.1 Komunikasi ... 7

I.6.2 Komunikasi Antarpribadi ... 8

I.6.3 Efektivitas KAP ... 9

I.6.4 Self Disclosure ... 9

I.6.5 Pembentukan Perilaku ... 11

I.6.6 Narapidana ... 13

I.7 Kerangka Konsep ... 13

I.8 Model Teoritis ... 14

I.9 Operasional Variabel ... 15

I.10 Defenisi Operasional ... 16

I.11 Hipotesis ... 18

BAB II URAIAN TEORITIS ... 19


(6)

II.1.1 Pengertian dan Proses Komunikasi ... 19

II.2 Komunikasi AntarPribadi ... 22

II.2.1 Pengertian KAP ... 22

II.2.2 Sifat-Sifat KAP ... 24

II.2.3 Komponen dan Proses KAP ... 24

II.3 Efektivitas KAP ... 25

II.4 Self Disclosure ... 29

II.4.1 Dimensi Self Disclosure ... 30

II.5 Pembentukan Perilaku ... 34

II.6 Narapidana ... 44

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 46

III.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 46

III.1.1 Sejarah Singkat LP Kelas II A Kotamadya Binjai... 46

III.2 Metode Penelitian ... 51

III.3 Populasi dan Sampel ... 51

III.3.1 Populasi ... 51

III.3.2 Sampel ... 52

III.4 Teknik Penarikan Sampel... 52

III.5 Teknik Pengumpulan Data ... 53

III.6 Teknik Analisis Data... 54

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 56

IV.1 Pelaksanaan Pengumpulan Data... 56

IV.1.1 Tahap Awal ... 56

IV.1.2 Pengumpulan Data ... 56

IV.2 Teknik Pengolahan Data ... 57

IV.3 Analisis Tabel Tunggal ... 58

IV.3.1 Karakteristik Responden ... 58

IV.3.2 KAP ... 63

IV.3.3 Pembentukan Perilaku Narapidana ... 74


(7)

IV.5 Pengujian Hipotesis ... 94

IV.6 Pembahasan ... 97

BAB V PENUTUP ... 100

V.1 Kesimpulan ... 100

V.2 Saran ... 101

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Variabel Operasional ... 15

Tabel 2 Perilaku Defensif dan Suportif dari Jack Gibb ... 28

Tabel 3 Usia Responden ... 59

Tabel 4 Agama ... 60

Tabel 5 Tingkat Pendidikan ... 61

Tabel 6 Status Perkawinan... 62

Tabel 7 Dialog Sebagai Media KAP ... 63

Tabel 8 Keterbukaan antara narapidana dengan petugas LP ... 64

Tabel 9 Keakraban dengan petugas LP ... 65

Tabel 10 Solusi setelah berkonsultasi dengan petugas LP ... 66

Tabel 11 Dukungan lingkungan terhadap proses KAP ... 67

Tabel 12 Dukungan petugas LP terhadap semangat narapidana ... 68

Tabel 13 Rasa dukungan positif yang diberikan petugas LP ... 69

Tabel 14 Rasa positif setelah berkonsultasi ... 70

Tabel 15 Kesamaan cara pandang ... 71

Tabel 16 Tidak ada kekuatan cara pandang yang sama ... 72

Tabel 17 Tidak merasakan pembinaan yang baik di LP... 73

Tabel 18 Kenyamanan akan fasilitas kerohanian ... 74

Tabel 19 Kenyamanan akan fasilitas olahraga... 75

Tabel 20 Kenyamanan akan fasilitas keterampilan ... 76

Tabel 21 Konsultasi dapat membentuk kerohanian ... 77

Tabel 22 Konsultasi dapat membentuk etika ... 78

Tabel 23 Konsultasi dapat membentuk pola hidup ... 79

Tabel 24 Konsultasi dapat membentuk keterampilan ... 80

Tabel 25 Keaktifan dalam kegiatan di LP ... 81


(9)

Tabel 28 Pembentukan perilaku pola hidup ... 84 Tabel 29 Pembentukan perilaku keterampilan ... 85 Tabel 30 Hubungan antara dukungan LP terhadap semangat narapidana

dengan konsultasi dapat membentuk keterampilan ... 87 Tabel 31 Hubungan antara kesamaan cara pandang dengan pembentukan perilaku etika……… ... 90 Tabel 32 Hubungan antara tidak merasakan pembinaan dengan baik di LP

dengan pembentukan perilaku pola hidup... 92 Tabel 33 Hasil uji korelasi ... 95


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Model Teoritis ... 14 Gambar 2 Johari Window... 29 Gambar 3 Struktur organisasi LP Kelas II A Kotamadya Binjai... 48


(11)

ABSTRAKSI

Skripsi ini berjudul efektivitas komunikasi antarpribadi dan pembentukan perilaku narapidana (Studi korelasional mengenai efektivitas komunikasi antarpribadi terhadap pembentukan perilaku narapidana di LP Kelas II A Kotamadya Binjai). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh antara efektivitas komunikasi antarpribadi terhadap pembentukan perilaku narapidana di LP Kelas II A Kotamadya Binjai. Objek penelitian adalah narapidana yang berada di Blok B LP Kelas II A Kotamadya Binjai.

Teori yang digunakan adalah komunikasi, komunikasi antarpribadi, efektivitas komunikasi antar pribadi, self disclosure, pembentukan perilaku dan narapidana.

Populasi dalam penelitian ini berjumlah 375 orang dengan rumus Arikunto sebesar 15% diperoleh sampel sebanyak 56 orang. Langkah-langkah dalam pengambilan sampel menggunakan purposive sampling. Lalu peneliti melakukan pengumpulan data di lapangan dan kepustakaan.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode korelasional. Metode ini digunakan untuk mengetahui hubungan di antara variabel-variabel penelitian yaitu variabel X (komunikasi antarpribadi) dan variabel Y (pembentukan perilaku narapidana). Dalam menganalisis data penelitian digunakan tabel tunggal dan tabel silang sedangkan untuk menguji hipotesis penelitian digunakan tes statistic Spearman melalui SPSS (Statistical Product Service Solution) 16.00. Hasil pengujian menunjukkan hubungan bahwa hipotesis (Ha) diterima (0,657), yaitu terdapat hubungan yang cukup berarti dilihat dari nilai koefisien korelasi. Artinya bahwa terdapat hubungan yang cukup berarti antara efektivitas komunikasi antarpribadi terhadap pembentukan perilaku narapidana di LP Kelas II A Kotamadya Binjai.


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang masalah

Narapidana sebagai orang-orang yang dinyatakan bersalah merupakan orang-orang yang mengalami kegagalan dalam menjalani hidup bermasyarakat. Mereka gagal memenuhi norma-norma yang ada dalam masyarakatnya, sehingga pada akhirnya gagal menaati aturan-aturan dan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Kegagalan seseorang dalam bidang hukum disebabkan oleh banyak hal, antara lain karena tidak terpenuhinya kebutuhan biologis atau sosial psikologinya. Akibat tidak terpenuhinya kebutuhan tersebut dapat mengakibatkan seseoarang menjadi nekad lalu melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Untuk mempertanggungjawabkan kesalahannya mereka dimasukkan ke lembaga pemasyarakatan. Hidup dengan peraturan tata tertib yang ketat dan harus dipatuhi. Kebebasaan bergeraknya dibatasi, bergabung dengan orang-orang yang perasaan terancam yang berpikirkan normal mengginkan hidup demikian.

Seorang pelanggar hukum yang menginjakkan kaki kedalam tembok penjara akan mengalami masa krisis diri dan perasaan menolak. Keadaan seperti itulah yang dapat meruntuhkan kekuatan mental seseorang yang nampak pada pernyataan jiwa dalam bentuk tingkah laku dan perbuatan. Hal inilah yang perlu diperbaiki dalam pembinaan di lembaga pemasyarakatan agar narapidana memiliki sikap dan mental yang baik.


(13)

Lembaga pemasyarakatan (LP) pada awalnya merupakan sistem kepenjaraan, sebagai pelaksana pidana hilang kemerdekaan. Sistem kepenjaraan berasal dari pandangan individualisme yang memandang dan memperlakukan orang terpidana tidak sebagai anggota masyarakat dan merupakan suatu pembalasan dendam masyarakat semata-mata. Hal tersebut tidak sesuai dengan tingkat peradaban serta martabat bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila, tegasnya pada sila kedua yakni kemanusian yang adil dan beradab. Menyadari hal tersebut, sejak 1964 sistem kepenjaraan ditinggalkan dan diganti dengan sistem pemasyarakatan yang ide dan konsepsi dasarnya dicetuskan oleh DR. Soehardjo, SH. Sistem pemasyarakatan timbul karena adanya suatu gagasan bahwa pemasyarakatan dijadikan tujuan daripada pidana penjara. Maka sistem pemasyarakatan merupakan suatu cara pembinaan terhadap peara pelanggar hukum yang melibatkan semua potensi dalam masyarakat, petugas, dan individu pelanggar hukum yang bersangkutan sebagai suatu keseluruhan sehingga objek semata.

Pada tahun 1965, sejak diterima gagasan pemasyarakatan, dapat dikatakan dimulainya babakan baru dalam penanganan terpidana di dalam lembaga pemasyarakatan. Perubahan tersebut antara lain terhadap pandangan terpidana dari orang yang dijaga menjadi orang yang dibina, sedangkan petugas penjara berubah dari orang yang menjaga menjadi orang yang membina (Warta pemasyarakatan, 2008: 22-23).

Pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan tidak terlepas dari proses komunikasi. Dengan berkomunikasi orang dapat mengerti dirinya sendiri dan mengerti orang lain, juga dapat memahami apa yang dibutuhkannya dan apa


(14)

yang dibutuhkan orang lain. Manusia yang normal akan selalu terlibat komunikasi dalam melakukan interaksi dengan sesamanya sepanjang kehidupannya. Melalui komunikasi pula, segala aspek kehidupan manusia di dunia tersentuh. Besarnya peranan komunikasi dalam kehidupan manusia memancing timbulnya penelitian secara ilmiah untuk mengetahui jumlah waktu yang digunakan manusia untuk berkomunikasi. Bentuk komunikasi yang begitu akrab di dalam interaksi sesama manusia adalah bentuk komunikasi antar pribadi.

Komunikasi antar pribadi (KAP) adalah komunikasi seputar diri seorang, baik dalam fungsinya sebagai komunikator maupun komunikan ( Effendy, 2003 : 57 ). Komunikasi antar pribadi sebagai salah satu bentuk komunikasi adalah salah satu cara yang dipakai dalam pembinaan di lembaga pemasyarakataan. Sesuai dengan cara pembinaan yang melibatkan semua unsur (masyarakat, petugas dan nara pidana) maka proses komunikasi antar pribadi yang terjalin di lembaga pemasyarakataan diharapkan dapat berperan dalam membina dan membentuk kepribadian narapidana.

Peranan Komunikasi Antarpribadi yang dimaksudkan adalah dapat mengajak atau memotivasi napi untuk berubah baik sikap atau tingkah lakunya, maupun pola pikirnya dari semula selalu berpikiran jahat menjadi baik serta mampu menumbuhkan rasa harga diri napi. Dengan demikian setelah masa hukuman napi selesai, dia benar-benar telah siap untuk hidup ditengah-tengah masyarakat.

Sebagai mahluk individu, ia merupakan suatu kesatuan jiwa raga yang berkegiatan secara keseluruhan dan sebagai mahluk sosial manusia adalah


(15)

bagian dari anggota masyarakat yang selalu berinteraksi. Karena justru dalam interaksi itulah manusia dapat merealisasikan kehidupan secara individual.

Narapidana sebagai mahluk sosial adalah bagian dari masyarakat juga, bedanya dengan anggota masyarakat lainnya adalah untuk sementara waktu kebebasan bergerak mereka dicabut. Walaupun demikian sebagai mahluk sosial yang berinteraksi narapidana menghendaki dapat bergaul dengan masyarakat sekitarnya, ingin kehadirannya diterima dan diperhatikan orang lain.

Peneliti tertarik meneliti mengenai efektivitas komunikasi antarpribadi terhadap pembentukan perilaku narapida di LP Kelas II A Kotamadya Binjai, karena narapidana identik sebagai orang yang diasingkan dari masyarakat luas baik selama di dalam penjara maupun sesudah dia bebas dari penjara. Jadi peneliti ingin mengetahui bagaimana pembinaan dan pembetukan pribadi narapidana selama menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan.

Alasan peneliti meneliti di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Binjai, karena adanya akses yang mempermudah peneliti untuk meneliti di LP tersebut. Seperti diketahui, untuk meneliti di Lembaga Pemasyarakatan tidaklah mudah dan sangat beresiko.

Berdasarkan hasil survey awal peneliti, penempatan napi di LP ini dibagi menjadi 3 (tiga) bagian atau blok, yaitu pertama, Blok A diperuntukan bagi orang-orang yang masih dalam proses penyidikan kepolisian (dalam status tahanan). Kedua, Blok B diperuntukan bagi orang-orang yang sudah mendapatkan putusan hukuman dari hakim (dalam status pidana). Ketiga, Blok C diperuntukan bagi tahanan wanita. Peneliti memilih utnuk meneliti Blok B,


(16)

karena napi yang ditepatkan di Blok B adalah mereka yang telah mendapat putusan hukuman dari hakim.

Bimbingan yang dilakukan petugas LP saat melaksanakan tugasnya berupa pembimbingan moral, agama, keterampilan dan permasyarakatan. Bimbingan moral dapat berupa pembentukan etika antara sesama narapidana, hubungan narapidana dengan masyarakat sekitar; diberikan dbimbingan agama yaitu pembinaan dalam agama; keterampilan yang diberikan pada narapidana dapat berupa keterampilan menjadi tukang bangunan, mengukir, elektrik dan olah raga; dan permasyarakatan.

Berdasarkan pemaparan di atas maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang efektivitas komunikasi antarpribadi terhadap pembentukan perilaku nara pidana di LP Kelas II A Kotamadya Binjai.

1.2 Perumusan Masalah.

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, peneliti merumuskan masalah sebagai berikut, “Sejauhmanakah efektivitas komunikasi antarpribadi berpengaruh terhadap pembentukkan perilaku narapidana di LP Kelas II A Kotamadya Binjai?”

I.3 Pembatasan Masalah

Untuk menghindari ruang lingkup penelitian yang terlalu luas sehingga dapat mengaburkan penelitian, maka penulis membatasi masalah yang akan diteliti. Adapun pembatasan masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut :


(17)

1. Penelitian ini dibatasi pada efektivitas komunikasi antarpribadi yang dilakukan petugas/pembina dalam melakukan bimbingan kepada nara pidana.

2. Objek penelitian adalah narapidana yang berada di Blok B LP Kelas II A Kotamadya Binjai.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian merupakan arah pelaksanaan penlitian, yang menguraikan apa yang akan dicapai dan biasanya disesuaikan dengan kebutuhan peneliti dan pihak lain yang berhubungan dengan penelitian tesebut :

Adapun yang menjadi tujuan penelitian adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui proses komunikasi antarpribadi yang dilakukan petugas/pembina dalam melakukan bimbingan kepada narapidana

2. Untuk mengetahui pembentukan perilaku yang dirasakan napi, yang meliputi aspek afektif, kognitif dan behavioral.

3. Untuk mengetahui pengaruh antara efektivitas komunikasi antarpribadi terhadap pembentukan perilaku narapidana.

I.5 Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah :

1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menambah atau mempeluas khasanah penelitian di Departemen Ilmu Komunikasi.

2. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan peneliti mengenai komunikasi antar pribadi.


(18)

3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontibusi atau masukan yang positif bagi LP Klas II A Kotamadya Binjai.

1.6 Kerangka Teori

Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka teori (Nawawi, 1995 : 39). Kerangka teori merupakan landasan berpikir untuk menggambarkan dari sudut mana peneliti melihat masalah yang akan diteliti.

1.6.1 Komunikasi

Istilah komunikasi dalam bahasa inggris “communication” berasal dari kata latin “communication” dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Komunikasi merupakan unsur penting bagi kehidupan manusia. Hal ini sangat diperlukan dalam rangka menjalin hubungan dengan sesama sehubungan dengan sifat manusia sebagai mahluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa orang lain. Komunikasi digunakan sebagai jembatan yang menghubungkan manusia yang satu dengan yang lainnya (Effendy, 2003 : 27). Dewasa ini, ilmu komunikasi berkembang menjadi ilmu yang dianggap penting sehubungan dengan dampak sosial yang menjadi kendala bagi kehidupan manusia akibat perkembangan teknologi.

Harold Lasswell (Mulyana, 2005 : 62), menerangkan cara terbaik untuk menggambarkan komunikasi adalah dengan mnjawab pertanyaan-pertanyaan berikut : Who Says What In Which Channel To Whom Wtih What Effect ? (Siapa


(19)

Mengatakan Apa Melalui Saluran Apa Kepada Siapa Dengan Efek Apa ?). Jawaban bagi pertanyaan paradigma Lasswell merupakan unsur-unsur proses komunikasi yang meliputi komunikator, pesan, media, komunikan dan efek (Effendy, 2004 : 253).

I.6.2 Komunikasi Antarpribadi

Dikutip oleh Liliweri (1991 : 12), Devito menjelaskan komunikasi merupakan pengiriman pesan dari seseorang dan telah diterima oleh orang lain atau sekelompok orang lain dengan efek dan efek umpan balik yang berlangsung. Untuk memperjelas pengertian komunikasi antarpribadi Devito memberikan beberapa ciri komunikasi antar pribadi :

1. Keterbukaan

Komunikator dan komunikan saling mengungkapkan segala ide atau gagasan bahwa permasalahan secara bebas (tidak ditutupi) dan terbuka tanpa rasa takut atau malu, kedua-duanya saling mengerti dan memahami pribadi masing-masing.

2. Empati

Kemampuan seseorang untuk memproyeksikan dirinya kepada orang lain. 3. Dukungan

Setiap pendapat, ide atau gagasan yang disampaikan mendapat dukungan dari pihak-pihak yang berkomunikasi. Dengan demikian keinginan atau hasrat yang ada dimotivasi untuk mencapainya. Dukungan membnatu seseorang untuk lebih bersemangat dalam melaksanakan aktivitas serta meraih tujuan yang didambakan.


(20)

Setiap pembicaraan yang disampaikan dapat tanggapan yang positif, rasa positif menghindarkan pihak-pihak yang berkomunikasi untuk tidak curiga atau berprasangka yang menggangu jalinan interaksi.

5. Kesamaan

Suatu komunikasi lebih akrab dan jalinan pribadi pun lebih kuat apabila memiliki kesamaan tertentu seperti kesamaan pandangan, sikap, usia, ideologi dan sebagainya.

I.6.3 Efektivitas komunikasi antarpribadi

Komunikasi antarpribadi merupakan bagian dari komunikasi, oleh karena itu peneliti akan menjelaskan definisi komunikasi menurut (Devito, 1997 : 23), dimana komunikasi didefinisikan sebagai tindakan, oleh satu orang atau lebih, yang mengirimkan dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise), terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu, dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik. Sedangkan, efektivitas komunikasi antarpribadi didefinisikan sebagai taraf tercapainya tujuan komunikasi .(Devito, 1997 : 281). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa efektivitas komunikasi antarpribadi merupakan taraf tercapainya tujuan komunikasi antara dua orang yang mengirimkan dan menerima pesan, terdistorsi oleh gangguan (noise), terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu, dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik.


(21)

Menurut Devito (1997 : 231-232), teori self disclosure atau pembukaan diri merupakan proses mengungkapkan reaksi atau tanggapan kita terhadap situasi yang sedang kita hadapi serta memberikan informasi guna memahami suatu tanggapan terhadap orang lain dan sebaliknya. Membuka diri berarti membagikan kepada orang lain perasaan kita terhadap suatu yang telah dikatakan atau dilakukannya, atau perasaan kita terhadap suatu kejadian-kejadian yang baru saja kita saksikan.

Beberapa manfaat dan dampak pembukaan diri terhadap hubungan antar pribadi adalah sebgai berikut :

1. Pembukaan diri merupakan dasar bagi hubungan yang sehat antara dua orang

2. Semakin kita bersikap terbuka kepada orang lain, maka orang tersebut akan menyukai diri kita, sehingga ia akan semakin membuka diri kepada kita.

3. Orang yang rela membuka diri kepada orang lain terbukti cenderung memiliki sifat-sifat sebagai berikut : kompeten, terbuka, ekstrover, fleksibel, adaptif dan inteligen.

4. Membuka diri pada orang lain merupakan dasar relasi yang memungkinkan komunikasi intim baik dengan diri kita sendiri maupun dengan orang lain.

5. membuka diri berarti berarti bersikap realistis, maka di dalam pembukaan diri kita haruslah jujur, tulus, dan autentik.


(22)

Teori Self Disclosure atau proses pengungkapan diri yang telah lama menjadi fokus penelitian dan teori komunikasi mengenai hubungan merupakan proses mengungkapkan informasi pribadi kita kepada orang lain dan seterusnya.

I.6.5 Pembentukan Perilaku

Perilaku adalah respon individu terhadap suatu stimulus atau suatu tindakan yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi spesifik, durasi dan tujuan baik disadari maupun tidak. Perilaku merupakan kumpulan berbagai faktor yang saling berinteraksi. Sering tidak disadari bahwa interaksi tersebut amat kompleks sehingga kadang-kadang kita tidak sempat memikirkan penyebab seseorang menerapkan perilaku tertentu. Karena itu amat penting untuk dapat menelaah alasan dibalik perilaku individu, sebelum ia mampu mengubah perilaku tersebut.

Skiner membedakan jenis perilaku menjadi : a. Perilaku yang alami (innate behavior)

Perilaku alami yaitu perilaku yang dibawa sejak organisme dilahirkan, yaitu yang berupa refleks dan insting.

b. Perilaku operan (operant behavior).

Perilaku operan yaitu perilaku yang dibentuk melalui proses belajar. Perilaku yang refleksif merupakan perilaku yang terjadi sebagai rekasi secara spontan terhadap stimulus yang mengenai organisme yang bersangkutan (Walgito, 2003 : 18).

Perilaku manusia sebagian besar ialah berupa perilaku yang dibentuk, perilaku yang dipelajari. Berkaitan dengan hal tersebut maka salah satu persoalan ialah bagaimana cara membentuk perilaku itu sesuai dengan yang diharapkan


(23)

(Walgito, 2003: 16 - 17). Salah satu cara pembentukan perilaku dapat ditempuh dengan kebiasaan. Dengan cara membiasakan diri untuk berperilaku seperti yang diharapkan, akhirnya akan terbentuklah perilaku tersebut. pembentukan perilaku dapat ditempuh dengan pengertian atau insight.

Ada tiga efek komunikasi yang mengetahui proses komunikasi,yaitu proses perubahan (Rakhmat, 2004 : 30) :

a) Kognitif

Kognitif adalah yang timbul pada komunikan yang menyebabkan dia menjadi tahu atau meningkat intelektualitasnya. Di sini pesan yang disampaikan komunikator ditujukan kepada pikiran si komunikan. Dengan lain perkataan, tujuan komunikator hanyalah berkisar pada upaya mengubah pikiran diri komunikan.

b) Afektif

Afektif lebih tinggi kadarnya daripada dampak kognitif. Di sini tujuan komunikator bukan hanya sekadar supaya komunikan tahu, tetapi tergerak hatinya; menimbulkan perasaan tertentu, misalnya perasaan iba, terharu, sedih, gembira, marah, dan sebagainya.

c) Behavioral

Behavioral, yakni dampak yang timbul pada komunikan dalam bentuk perilaku, tindakan, atau kegiatan.

Pembentukan perilaku juga dapat terjadi karena pengalaman pribadi,pengalaman dari orang lain, atau karena rasa takut pada norma masyarakat. Pada hal ini perubahan perilaku terjadi karena pengalaman pribadi. Bagi individu yang bertanggung jawab penuh, serta tahu apa yang terbaik bagi


(24)

dirinya, seharusnya individu mampu merencanakan perilaku yang lebih baik dan kemudian mewujudkannya selama berada di dalam lembaga. Sama halnya seperti narapidana yang di dalam Lapas yang pada akhirnya mengambil keputusan untuk menolak melakukan kesalahannya lagi setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan. Didalam Lapas narapidana giat mengikuti berbagai kegiatan yang berhubungan dengan aksi jasmani dan rohani dalam membentuk perubahan prilaku mereka selama di dalam Lapas, sehingga terbentuk perilaku yang lebih baik dari sebelumnya.

I.6.6 Narapidana

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, Narapidana merupakan istilah yang diberikan kepada orang-orang yang telah terbukti bersalah secara hukum, dan sudah dijatuhi vonis hukuman berupa kurungan penjara atau hukuman lainnya sesuai dengan pasal dalam undang-undang hukum pidana yang telah dilanggarnya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001 : 612).

1.7 Kerangka Konsep.

Teori-teori yang dijadikan landasan pada kerangka teori harus dapat menghasilkan beberapa konsep yang disebut dengan kerangka konsep. Menurut Nawawi (1995 : 56) kerangka konsep merupakan hasil pemikiran rasional yang bersifat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang akan dicapai. Agar konsep-konsep dapat diteliti secara empiris, maka harus dioperasionalkan dengan mengubahnya menjadi variabel.


(25)

Pembatasan konsep dalam penelitian ini tidak saja untuk menghindari salah maksud dalam memahami konsep penelitian dalam membatasi penelitian, tapi batasan konsep diperlukan untuk penjabaran variabel penelitian maupun indikator variabel (Bungin 2005: 92).

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Variabel Bebas (X)

Variabel bebas adalah segala gejala, faktor, atau unsur yang menentukan atau mempengaruhi munculnya variabel kedua disebut variabel terikat. Tanpa variabel ini maka variabel berubah sehingga akan muncul menjadi variabel terikat yang berbeda atau yang lain atau bahkan sama sekali tidak ada yang muncul (Nawawi, 1995 : 58).

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah efektifitas komunikasi antarpribadi. 2. Variabel Terikat (Y)

Variabel terikat adalah sejumlah gejala atau faktor maupun unsur yang ada atau muncul dipengaruhi atau dietntukan adanya variabel bebas dan bukan karena adanya variabel lain (Nawawi, 1995 : 58). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah pembentukan perilaku.

I.8 Model Teoritis

Berdasarkan variabel-variabel yang telah dikelompokkan dalam kerangka konsep maka dibentuk suatu model teoritis yaitu :


(26)

ModelTeoritis

I.9 Operasional Variabel

Berdasarkan kerangka teori dan kerangka konsep yang telah diuraikan di atas, maka untuk lebih memudahkan penelitian, perlu dibuat operasional variabel-variabel terkait sebagai berikut:

Tabel 1. Variabel Operasional

Variabel Teoritis Variabel Operasional

Variabel Bebas (X) Komunikasi antarpribadi

1. Keterbukaan 2. Empati 3. Dukungan 4. Rasa positif 5. Kesamaan Variabel Terikat (Y)

Pembentukan perilaku

1. Afektif 2. Kognitif 3. Behavioral

Karakteristik responden

1. Usia 2. Agama

3. Tingkat pendidikan 4. Status perkawinan

Variabel Terikat (y) Pembentukan perilaku Variabel Bebas (x)

Komunikasi antarpribadi


(27)

1.10 Defenisi Operasional

Defenisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana caranya untuk mengukur suatu variabel. Dengan kata lain defenisi operasional adalah suatu informasi ilmiah yang sangat membantu penelitian lain yang ingin menggunakan variabel yang sama (Singarimbun, 1995 : 46).

Defenisi operasional dari variabel-variabel penelitian ini adalah : 1. Variabel bebas

a. Keterbukaan

Komunikator dan komunikan saling mengungkapkan segala ide atau gagasan bahwa permasalahan secara bebas (tidak ditutupi) dan terbuka tanpa rasa takut atau malu, kedua-duanya saling mengerti dan memahami pribadi masing-masing.

b. Empati

Kemampuan seseorang untuk memproyeksikan dirinya kepada orang lain. c. Dukungan

Setiap pendapat, ide atau gagasan yang disampaikan mendapat dukungan dari pihak-pihak yang berkomunikasi. Dengan demikian keinginan atau hasrat yang ada dimotivasi untuk mencapainya. Dukungan membnatu seseorang untuk lebih bersemangat dalam melaksanakan aktivitas serta meraih tujuan yang didambakan.

d. Rasa Positif

Setiap pembicaraan yang disampaikan dapat tanggapan yang positif, rasa positif menghindarkan pihak-pihak yang berkomunikasi untuk tidak curiga atau berprasangka yang menggangu jalinan interaksi.


(28)

e. Kesamaan

Suatu komunikasi lebih akrab dan jalinan pribadi pun lebih kuat apabila memiliki kesamaan tertentu seperti kesamaan pandangan, sikap, usia, ideologi dan sebagainya.

2. Variabel terikat a. Afektif

Afektif lebih tinggi kadarnya daripada dampak kognitif. Di sini tujuan komunikator bukan hanya sekadar supaya komunikan tahu, tetapi tergerak hatinya; menimbulkan perasaan tertentu, misalnya perasaan iba, terharu, sedih, gembira, marah, dan sebagainya.

b. Kognitif

Kognitif adalah yang timbul pada komunikan yang menyebabkan dia menjadi tahu atau meningkat intelektualitasnya. Di sini pesan yang disampaikan komunikator ditujukan kepada pikiran si komunikan. Dengan lain perkataan, tujuan komunikator hanyalah berkisar pada upaya mengubah pikiran diri komunikan.

c. Behavioral

Behavioral, yakni dampak yang timbul pada komunikan dalam bentuk perilaku, tindakan, atau kegiatan.

3. Karakteristik Responden


(29)

b. Agama, keyakinan agama yang dianut responden meliputi agama Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu.

c. Tingkat pendidikan responden meliputi tidak tamat SD, tamat SD, tamat SLTP, tamat SMU, Akademi dan Universitas.

d. Status perkawinan, meliputi status kawin, tidak kawin, cerai mati ataupun cerai duda pada responden.

1.11 Hipotesis

Hipotesis adalah sarana penelitian ilmiah yang penting dan tidak bisa ditinggalkan karena ia merupakan instrument kerja dari teori (Singarimbun, 1995 : 43). Hipotesis merupakan pernyataan yang bersifat dugaan mengenai hubungan antara dua variabel atau lebih.

Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

Ho : Tidak terdapat pengaruh antara efektifitas komunikasi antarpribadi terhadap pembentukan kepribadian nara pidana di Blok B LP Klas II A Kotamadya Binjai.

Ha : Terdapat pengaruh antara efektifitas komunikasi antarpribadi terhadap pembentukan kepribadian nara pidana di Blok B LP Klas II A Kotamadya Binjai.


(30)

BAB II

URAIAN TEORITIS

II.1 Komunikasi

II.1.1 Pengertian Komunikasi dan Proses Komunikasi

Komunikasi adalah kebutuhan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Hakikat komunikasi adalah proses pernyataan antar manusia (Efendy, 2003:8). Ada banyak pengertian yang dapat menggambarkan mengenai komunikasi, berikut ini adalah beberapa diantaranya.

Awalnya, istilah komunikasi mengandung makna “bersama-sama” (common,commones) yang berasal dari bahasa Inggris. Asal istilah komunikasi (Indonesia) atau communication (Inggris) berasal dari bahasa Latin yaitu communication, yang berarti pemberitahuan, pemberi bagian (dalam sesuatu), pertukaran dimana si pembicara mengharapkan pertimbangan atau jawaban dari pendengaranya; untuk ikut ambil bagian ( Liliweri, 1991: 1).

Komunikasi juga dapat diartikan sebagai suatu proses penyampaian suatu pesan dalam bentuk lambang bermakna sebagai panduan pikiran dan perasaan berupa ide, informasi, kepercayaan, harapan, imbauan; yang dilakukan seseorang


(31)

kepada orang lain secara tatap muka maupun tidak langsung, melalui media, dengan tujuan mengubah sikap, pandangan, ataupun perilaku ( Effendy, 2003:60).

Banyak ahli mendefinisikan komunikasi dalam berbagai sudut pandang yang macam-macam, dan menyebutkan bahwa ilmu komunikasi sebagai ilmu yang eklisitis yaitu ilmu yang merupakan gabungan dari berbagai disiplin ilmu. Pada dasarnya komunikasi adalah sebagai proses pernyataan antara manusia, yang dapat berupa pikiran atau perasaan seorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (bahasa) baik verbal maupun non verbal sebagai alat penyalurnya.

Pengertian komunikasi dikemukakan para ahli, diantaranya sebagai berikut:

1. Menurut Harold Laswell, komunikasi adalah Siapa yang mengatakan apa melalui saluran apa kepada siapa dengan efek apa (who says what in which channel to whom with what effect) (Purba, 2007 :30)

2. Menurut Carl I.Hovland, komunikasi adalah proses dimana seseorang individu mengoperkan perangsang untuk mengubah tingkah laku indivdu-individu yang lain.

3. Menurut Rogers bersama D Lawrence Kincaid, komunikasi adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada giliranya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam (Cangara, 2005:19).

Dari 3 definisi yang telah diberikan oleh para ahli tersebut pada dasarnya komunikasi diartikan sebagai proses penyampaian pikiran dan perasaan dari


(32)

seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang, kata-kata dan symbol-simbol untuk tujuan merubah sikap atau tingkah laku orang lain

Menurut Effendy (2003 : 11) komunikasi di bagi menjadi dua tahap yaitu : 1. Proses komunikasi dalam prespektf psikologi, yaitu proses komunikasi

prespektif yang terjadi didalam diri komunikator dan komunikan. Proses membungkus pikiran dengan bahasa yang dilakukan komunikator, yang dinamakan dengan encoding, akan ia transmisikan kepada komunikan. Selanjutnya terjadi proses komunikasi interpersonal dalam diri komunikan, yang disebut decoding, untuk memaknai pesan yang disampaikan kepadanya. 2. Proses komunikasi dalam prespektif mekanistik. Untuk jelasnya proses

komunikasi dalam perspektif mekanistis dapat diklasfikasikan lagi menjadi beberapa, yaitu :

a. Proses komunikasi secara primer, yaitu proses penyampaian pikiran dan perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (symbol) sebagai media. Lambang umum yang dipergunakan sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa. Namun dalam kondisi komunikasi tertentu, lambang-lambang yang dipergunakan dapat berupa kial (gesture), yakni gerak anggota tubuh, isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya, yang secara langsung mampu menerjemahkan pikiran atau perasaan komunikator kepada komunikan.

b. Proses komunikasi secara sekunder, yaitu proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama. Proses komunikasi secara sekunder menggunakan media yang menyebarkan


(33)

pesannya yang bersifat informatif yang digolongkan sebagai media massa (mass media) dan media nirmassa (media non-massa).

c. Proses komunikasi secara linier, merupakan proses penyampaian pesan oleh komunikatior kepada komunikan sebagai titik terminal. Komunikasi linier ini berlangsung baik dalam situasi komunikasi tatap muka (face-to-face communication) secara pribadi (interpersonal communication) dan kelompok (group communication), maupun dalam situasi bermedia (mediated communication).

d. Proses komunikasi secara sirkular, merupakan lawan dari proses komunikasi secara linier. Dalam konteks komunikasi yang dimaksudkan proses komunikasi secara linier. Dalam konteks komunikasi yang dimaksudkan proses secara sirkuler adalah terjadinya feedback atau umpan balik, yaitu terjadinya arus respons atau tanggapan dari pihak komunikan terdapat pesan yang diberikan oleh komunikator.

II.2 Komunikasi Antarpribadi

II.2.1 Pengertian Komunikasi Antarpribadi

Pada dasarnya, komunikasi antarpribadi merupakan suatu proses sosial dimana orang-orang yang terlibat di dalamnya saling mempengaruhi. Sebagaimana diungkapkan oleh Devito (1997:97), bahwa komunikasi antarpribadi merupakan pengiriman pesan-pesan dari seseorang dan diterima oleh orang lain, atau sekelompok orang dengan efek dan umpan balik yang langsung.

Selanjutnya Devito (1997:169-170) menjabarkan komunikasi antarpribadi menjadi tiga pendekatan secara umum, yaitu :


(34)

a. Komunikasi antarpribadi didefinisikan sebagai pengiriman pesan-pesan dari seseorang dan diterima oleh orang lain. Atau sekelompok kecil orang, dengan efek dan umpan balik yang langsung.

b. Komunikasi antarpribadi merupakan komunikasi antara dua orang yang memang telah ada hubungan di antara keduanya.

c. Interpersonal communication is seen a kind of progrestion (or development) from interpersonal communication at one extreme to personal communication at the other extreme, yang artinya “Komunikasi antarpribadi merupakan bentuk perkembangan atau peningkatan dari komunikasi dari satu sisi menjadi komunikasi pribadi pada sisi yang lain”.

Dalam bukunya “Komunikasi Antarpribadi” (1991:12), Alo Liliweri mengemukakan bahwa pada hakikatnya komunikasi anatarpribadi adalah komunikasi antara komunikator dengan seorang komunikan. Komunikasi jenis ini dianggap paling efektif dalam hal mengubah sikap, pendapat, atau perilaku sesorang, karena sifatnya yang dialogis berupa percakapan dan arus balik bersifat langsung. Komunikator mengetahui tanggapan komunikank etika itu juga, pada saat komunikasi dilancarkan. Komunikan mengetahui pasti apakah komunikasi itu positif atau negatif, berhasil atau tidak. Jika tidak, ia dapat memberikan kesempatan kepada komunikan untuk bertanya seluas-luasnya.

Menurut Evert M. Rogers, dalam Komunikasti antarpribadi (Liliweri 1991:46) ada beberapa cirri komunikasi yang menggunakan saluran antarpribadi, yaitu :

1) Arus pesan yang cenderung dua arah 2) Konteks komunikasinya tatap muka


(35)

3) Tingkat umpan balik yang terjadi tinggi

4) Kemampuan mengatasi tingkat selektifitas (terutama “selectivitas exposure’) yang tinggi

5) Kecepatan jangkauan terhadap audiens yang besar relatif lambat 6) Efek yang mungkin terjadi ialah perubahan sikap

II.2.2 Sifat-Sifat Komunikasi Antarpribadi

Komunikasi antarpribadi dari mereka yang saling mengenal lebih bermutu dari mereka yang belum mengenal karena setiap pihak mengetahui secara baik tentang liku-liku hidup pihak lain, pikiran, dan pengetahuannya, perasaanya, maupun menanggapi tingkah lakunya. Sehingga jika hendak menciptakan komunikasi anatarpribadi yang lebih bermutu maka didahului dengan keakraban, dengan kata lain tidak semua bentuk interaksi yang dilakukan anatara dua orang dapat digolongkan ke dalam komunikasi antarpribadi.

Ada tujuh sifat yang menunjukan bahwa sesuatu komunikasi antara dua orang merupakan sikap komunikasi anatarpribadi dan bukanya komunikasi lainnya yang terangkum dari pendapat Effendy (2003:.46) Sifat-sifat komunikasi antarpribadi itu sendiri adalah : (1) melibatkan di dalamnya perilaku verbal dan non verbal; (2) melibatkan pernyataan ataupun ungkapan yang spontan, scripted, dan contrived; (3) tidak statis, namun dinamis; (4) melibatkan umpan balik pribadi, hubungan interaksi dan koherensi (pernyataan satu dan harus berkaitan dengan sebelumnya); (5) dipandu oleh tata aturan yang bersifat intrinsic dan ekstrinsik. (6) komunikasi antarpribadi merupakan satu kegiatan dan tindakan; (7) melibatkan didalamnya bidang persuasif (Liliweri,1991:31).


(36)

II.2.3 Komponen Komunikasi Antarpribadi dan Proses Komunikasi Antarpribadi

Menurut Effendy (2003:7), yang mencoba mengutip paradigma Laswell. Ada lima komponen penting yang menyebabkan suatu komunikasi dapat berjalan dengan baik, yaitu:

Who : komunikator : pihak penyampaian pesan

Says what : pesan : pernyataan yang didukung oleh

lambang-lambang

In which channel : media : sarana atau saluran penyampaian pesan

To whom : komunikan : pihak penerima pesan

With what effect : efek : dampak yang timbul sebagai pengaruh dari

pesan

Apabila digambarkan secara sederhana kelima komponen yang telah diuraikan di atas melalui proses sebagai berikut : Komunikator dan komunikan dalam proses komunikasi antarpribadi dapat berganti peran, artinya suatu ketika komunikator dapat berganti peran, demikian juga sebaliknya dengan komunikasi (Effendy, 2003:12).

II. 3 Efektifitas Komunikasi Antarpribadi

Dikatakan efektifitas dalam waktu tertentu tujuan dapat tercapai dengan baik. Ini berarti komunikasi antarpribadi efektif jika dalam waktu tertentu komunikasi memahami pesan yang disampaikan komunikatornya dengan baik dan melaksanakannya. Berkomunikasi efektif berarti bahwa komunikator dan komunikan sama-sama memiliki pengertian yang sama tentang suatu pesan.


(37)

Rakhmat (2004:159) menyatakan bahwa komunikasi yang efektif bila pertemuan komunikasi merupakan hal yang menyenangkan bagi komunikan.

Menurut Effendy (2003:219) Komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang menimbulkan sikap, opini ataupun perilaku. Efek komunikasi yang timbul pada komunikan diklasfikasikan sebagai berikut:

a. Efek kognitif yaitu efek yang berkaitan dengan pikiran, nalar atau ratio. Dengan efek ini diharapkan komunikan yang semula tidak mengerti menjadi mengerti, yang semula tidak tau membedakan mana yang salah dan yang benar.

b. Efek afektif adalah efek yang berhubungan dengan perasaan. Misalnya yang semula tidak senang menjadi senang, yang semula rendah diri menjadi mimiliki rasa percaya diri.

c. Efek behavioral yakni efek yang menimbulkan etika untuk berprilaku tertentu dalam arti kata melakukan suatu tindakan atau kegiatan yang bersifat fisik atau jasmani.

Ketiga jenis efek ini adalah hasil proses psikologi yang berkaitan satu sama lain, secara terpadu. Efek behavioral tidak mungkin timbul pada komunikan apabila sebelumnya dia tidak tahu atau tidak mengerti disertai rasa senang dan berani.

Menurut Tubbs dan Moss (Rakhmat, 2004:13) komunikasi yang efektif menimbulkan 5 hal yaitu :

a. Pengertian, artinya penerimaan yang cermat dari isi stimulus/pesan seperti yang dimaksud oleh komunikator.


(38)

b. Kesenangan, artinya tidak semua komunikasi ditujukan untuk menyampaikan informasi dan membentuk pengertian, akan tetapi ada juga dilakuakan untuk menimbulkan kesenangan, misalnya menanyakan seseorang. Komunikasi inilah yang menyebabkan hubungan kita menjadi hangat, akrab dan menyengkan.

c. Pengaruh pada sikap. Komunikasi seringkali dilakukan dengan tujuan untuk mempengaruhi orang lain. Komunikasi yang efektif ditandai dengan perubahan sikap, perilaku atau pendapat komunikan sesuai dengan kehendak komunikator.

d. Hubungan sosial yang baik. Komunikasi juga ditunjukan untuk menumbuhkan hubungan sosial yang baik. Manusia juga adalah makhluk sosial yang tidak tahan hidup sendiri.

e. Tindakan Efektifitas komunikasi biasanya diukur dari tindakan nyata yang dilakukan komunikan.

Komunikasi yang efektif ditandai dengan hubungan interpersonal yang baik. Menurut Rakhmat (2004:129) ada tiga faktor menumbuhkan hubungan interpersonal, yaitu:

1. Percaya.

Definisi ini menyebutkan tiga unsur percaya, yaitu:

a. Ada situasi yang menimbulkan resiko. Bila orang menaruh kepercayaan kepada orang lain, ia akan menghadapi resiko.

b. Orang yang menaruah kepercayaan pada orang lain berarti menyadari bahwa akibat-akibatnya bergantung pada perilaku orang lain.


(39)

c. Orang yakin bahwa perilaku pihak lain akan berakibat baik baginya.

Selain itu, faktor kepercayaan juga berhubungan dengan karakterisitik dan maksud orang lain, hubungan kekuasaan, serta sifat dan kualitas komunikasi.

2. Sikap Suportif

Sikap suportif adalah sikap yang mengurangi sikap defensif dalam berkomunikasi. Orang dikatakan defensif bila tidak menerima, tidak jujur, dan tidak empatis; dan tentunya akan menggagalkan komunikasi interpersonal. Jack R. GIBB (Rahkmat 2004:134) menyebutkan enam prilaku sportif, yaitu sebagi berikut:

Tabel 2. Perilaku Defensif dan suportif dari Jack Gibb Iklim Defernsif Iklim Suportif 1. Evaluasi

2. Control 3. Strategi 4. Netralisasi 5. Superioritas 6. Kepastian

1. Deskripsi

2. Orientasi masalah 3. Spontanitas 4. Empati 5. Persamaan 6. Profesionalisme


(40)

Sikap terbuka (open mindness) amat besar pengaruhnya dalam menumbuhkan komunikasi interpersonal yang efektif. Brooks dan Emmert (Rakhmat. 2004:136), mengkarakteristikkan orang bersikap terbuka sebagai orang yang menilai pesan objektif dengan data dan logika, serta membedakan dengan mudah dengan melihat suasana.

II. 4 Self Disclosure

Proses mengungkapakan informasi pribadi kita kepada orang lain atau sebaliknya disebut dengan self disclouser. Salah satu tipe komunikasii dimana informasi mengenai diri (self) yang biasanya disembunyikan diri orang lain, kini dikomunikasikan kepada orang lain (Rakhmat, 2004:108).

Josep Luft mengemukakan teori Self Disclosure berdasarkan pada modal interaksi model interaksi manusia yang di sebut Johari Window.

Gambar 2. Johari Window

Dd

Menurut Luft, orang memiliki atribut yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri (1), hanya diketahui orang lain (2), diketahui oleh dirinya sendiri dan orang lain (3), dan tidak diketahui oleh siapapun (4). Kuadaran 1 (satu) mencerminkan keterbukaan akan semakin membesar. Jika komunikasi antara dua orang berlangsung dengan baik, maka akan terjadi disclosure yang

Diketahui oleh diri sendiri Tidak diketahui oleh diri sendiri

Diketahui oleh orang lain

Tidak diketahui oleh orang lain

1 2 Terbuka Buta 3 4 Tersembunyi Tidak diketahui


(41)

mendorong informasi mengenai diri masing-masing ke dalam kuadaran terbuka. Kuadran 4 (empat) sulit untuk diketahui. Merupakan alam bawah sadar yang hanya akan dapat diketahui melalui berbagai teknik penyingkapan alam bawah sadar.

Menurut De Vito (De vito, 1997:30), ada beberapa keuntungan dari self disclosure :

1. Memahami diri sendiri

2. Meningkatkan kemampuan untuk menghadapi rasa bersalah

3. Energy release

4. Meningkatkan efisiensi dan berkomunikasi 5. Membina hubungan yang bermakna

6. Kesehatan fisiologis.

II. 4.1 Dimensi Self Disclosure

Self disclosure memiliki berbagai dimensi menurut Joseph A. Devito (1997:40) menyebutkan ada 5 dimensi self disclosure, yaitu (1) ukuran self-disclosure, (2) valensi self-self-disclosure, (3) kecermatan dan kejujuran, (4) maksud dan tujuan, dan (5) keakraban. Ini berbeda dengan dimensi yang dikemukakan dalam Fisher (1986 : 261) yang menyebutkan dua sifat pengungkapan yang umum dalam self-disclosure adalah memperhatikan jumlah (seberapa banyak informasi tentang diri yang diungkapkan) dan valensi (informasi yang diungkapkan bersifat positif atau negatif). Apabila diperbandingkan, fokus yang dikemukakan Fisher hanya pada jumlah atau dalam istilah Devito “ukuran” dan valensi saja.


(42)

Kini kita mencoba untuk mendalami kelima dimensi tersebut dengan memadukan apa yang diungkapkan Devito dan Fisher, dengan melihat contohnya dalam hidup keseharian kita.

1. Ukuran/jumlah self-disclosure

Hal ini berkaitan dengan seberapa banyak jumlah informasi diri kita yang diungkapkan. Jumlah tersebut bisa dilihat berdasarkan frekuensi kita menyampaikan pesan-pesan self-disclosure atau bisa juga dengan menggunakan ukuran waktu, yakni berapa lama kita menyampaikan pesan-pesan yang mengandung self-disclosure pada keseluruhan kegiatan komunikasi kita dengan lawan komunikasi kita. Misalnya, dalam percakapan antara anak dan orang tuanya, tentu tidak sepanjang percakapan di antara keduanya. Taruhlah berlangsung selama 30 menit itu bersifat self-disclosure. Mungkin hanya 10 menit saja dari waktu itu yang percakapannya menunjukkan self-disclosure, seperti saat anak menyatakan kekhawatirannya nilai rapornya jelek untuk semester ini atau tatkala si anak menyatakan tengah jatuh hati pada seseorang.

2. Valensi Self-disclosure

Hal ini berkaitan dengan kualitas self-disclosure kita: positif atau negatif. Saat kita menyampaikan siapa diri kita secara menyenangkan, penuh humor, dan menarik seperti yang dilakukan seorang tua yang berkepala botak yang menyatakan, “Inilah model rambut yang paling cocok untuk orang seusia saya.” Ini merupakan self-disclosure yang positif. Sebaliknya, apabila orang tersebut mengungkapkan dirinya dengan menyatakan, “Sudah berobat ke sana ke mari dan mencoba berbagai metode mencegah kebotakan yang ternyata bohong semua, inilah hasilnya. Ini berarti self-disclosure negatif. Dampak dari self-disclosure


(43)

yang berbeda itu tentu saja akan berbeda pula, baik pada orang yang mengungkapkan dirinya maupun pada lawan komunikasinya.

3. Kecermatan dan Kejujuran

Kecermatan dalam self-disclosure yang kita lakukan akan sangat ditentukan oleh kemampuan kita mengetahui atau mengenal diri kita sendiri. Apabila kita mengenal dengan baik diri kita maka kita akan mampu melakukan self-disclosure dengan cermat. Bagaimana kita akan bisa menyatakan bahwa kita ini termasuk orang yang bodoh apabila kita sendiri tidak mengetahui sejauh mana kebodohan kita itu dan tidak bisa juga merumuskan apa yang disebut pandai itu. Di samping itu, kejujuran merupakan hal yang penting yang akan mempengaruhi self-disclosure kita. Oleh karena kita mengemukakan apa yang kita ketahui maka kita memiliki pilihan, seperti menyatakan secara jujur, dengan dibungkus kebohongan, melebih-lebihkan atau cukup rinci bagian-bagian yang kita anggap perlu. Untuk hal-hal yang bersifat pribadi, banyak orang memilih untuk berbohong atau melebih-lebihkan. Namun, self-disclosure yang kita lakukan akan bergantung pada kejujuran kita. Misalnya, kita bisa melihat perilaku orang yang hendak meminjam uang. Biasanya orang yang hendak berhutang mengungkapkan permasalahan pribadinya seperti tak memiliki uang untuk belanja besok hari, anaknya sakit atau biaya sekolah anaknya. Sering pula kemudian self-disclosure dalam wujud penderitaan itu dilebih-lebihkan untuk memancing iba orang yang akan dipinjami.

4. Maksud dan Tujuan

Dalam melakukan self-disclosure, salah satu hal yang kita pertimbangkan adalah maksud atau tujuannya. Tidak mungkin orang tiba-tiba menyatakan dirinya


(44)

apabila tidak memiliki maksud dan tujuan tertentu. Contohnya pada saat untuk mengurangi rasa bersalah atau untuk mengungkapkan perasaan. Inilah yang populer disebut sebagai curhat itu. Kita mengungkapkan diri kita dengan tujuan tertentu. Oleh karena menyadari adanya maksud dan tujuan self-disclosure itu maka kita pun melakukan kontrol atas self-disclosure yang kita lakukan. Orang yang melebih-lebihkan atau berbohong dalam melakukan self-disclosure pada satu sisi bisa dipandang sebagai salah satu bentuk kontrol supaya self-disclosure-nya mencapai maksud atau tujuan yang diinginkannya.

5. Keakraban

Seperti yang dikemukakan Fisher (1986:261-262), keakraban merupakan salah satu hal yang serta kaitannya dengan komunikasi self-disclosure. Apa yang diungkapkan itu bisa saja hal-hal yang sifatnya pribadi atau intim misalnya mengenai perasaan kita, tetapi bisa juga mengenai hal-hal yang sifatnya umum, seperti pandangan kita terhadap situasi politik mutakhir di tanah air atau bisa saja antara hal yang intim/pribadi dan hal yang impersonal publik. Berkenaan dengan dimensi self-disclosure yang disebut terakhir, kita bisa mengacu pada apa yang dinamakan Struktur Kepribadian Pete yang dikembangkan Irwin Altman dan Dalmas Taylor dengan Teori Penetrasi Sosial-nya (Griffin, 2003:134). Dalam Struktur Kepribadian Pete ini, digambarkan kepribadian manusia itu seperti bawang, yang memiliki lapisan-lapisan. Setiap lapisan itu menunjukkan derajat keakraban orang yang menjalin relasi atau berkomunikasi kerangka Teori Penetrasi Sosial - kita menjalin hubungan dengan orang lain. Misalnya, pada tahap awal kita berbincang-bincang soal yang sifatnya umum saja. Kita bicara soal perkuliahan yang kita ikuti. Bisa juga


(45)

berbincang-bincang soal selera makanan kita. Di sini kita hanya berbicara pada lapisan pinggiran dari bawang tadi yang disebut periferal. Makin lama akan makin masuk ke lapisan berikutnya. Kita mulai berbicara mengenai keyakinan agama kita, aspirasi dan tujuan hidup kita, akhirnya konsep diri kita sebagai lapis terdalam “bawang” kepribadian itu. Hal tersebut menunjukkan bahwa self-disclosure tidak berlangsung secara tiba-tiba. Tidak seluruh informasi yang kita sampaikan berisikan informasi yang sifatnya pribadi. Bisa saja bercampur baur dengan informasi yang bersifat umum atau berada pada tataran periferal.

Dalam konteks ini berarti kita sudah mulai membicarakan soal kedalaman (depth) dan keluasan (breadth) self-disclosure. Sejauh mana kedalaman dalam self-disclosure itu akan ditentukan oleh derajat keakraban kita dengan lawan komunikasi. Makin akrab kita dengannya maka akan makin dalam self-disclosure-nya. Selain itu, akan makin luas juga cakupan bahasan yang kita komunikasikan melalui self-disclosure itu. Ini merupakan hal yang logis. Bagaimana kita mau berbincang-bincang mengenai lapisan terdalam dari diri kita apabila kita tidak merasa memiliki hubungan yang akrab dengan lawan komunikasi kita. Apabila kita tidak akrab dengan seseorang, sebutlah dengan orang yang baru kita kenal di dalam bis atau pesawat terbang maka kita akan berbincang mengenai lapisan terluar “bawang” tadi. Begitu juga halnya dengan upaya kita membangun keakraban maka akan menuntut kita untuk berbicara mengenai diri kita. Pada awalnya tidak menyentuh lapisan terdalam melainkan lapisan yang berada agak di luar. Misalnya, kita berbicara tentang makanan yang kita sukai atau model dan warna pakaian yang digemari. Makin lama kita akan makin membuka diri apabila


(46)

lawan komunikasi kita pun memberikan respons yang baik dengan juga turut membuka dirinya

II.5 Pembentukan Perilaku

Menurut Rakhmat (2004:33), perilaku manusia merupakan hasil interaksi tiga subsistem dalam kepribadian manusia, Id, Ego, Superego. Id adalah bagian kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis manusia pusat insting (hawa nafsu). Id bergerak berdasarkan prinsip kesenangan (pleasure principle), ingin segera memenuhi kebutuhannya. Id egoistis, tidak bermoral dan tidak mau tahu dengan kenyataan. Id adalah tabiat hewani manusia.

Ego adalah mediator antara hasrat-hasrat hewani dengan tuntutan rasioanl dan realistic. Ego lah yang menyebabkan manusia mampu menundukan hasrat hewaninya dan hidup sebagai wujud yang rasional (pada pribadi yang normal).

Superego singkat dalam psikoanalisis prilaku manusia merupakan interaksi antara komponen biologis (Id), komponen psikologis (Ego), dan komponen social (Superego), atau unsur animal, rasional, dan moral (hewani, akal dan nilai).

Perilaku manusia yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: a. Faktor Personal

Rakhmat (2004:38) menekankan pentingnya faktor-faktor dalam menentukan interaksi sosial dan masyarakat. Prespektif yang berpusat pada personal mempertanyakan faktor-faktor internal apakah, baik berupa sikap, insting, motif, kepribadian, sistem kognitif yang menjelaskan perilaku


(47)

manusia. Secara garis besar ada dua faktor yakni faktor biologis dan faktor sosiopsikologis.

• Faktor Biologis

Faktor biologis dalam seluruh kegiatan manusia, bahkan berpadu dengan faktor-faktor sosipsikologis. Bahwa warisan biologis manusia menetukan prilakunya, dapat diawali sampai struktur DNA yang menyimpan seluruh memori warisan biologis yang diterima dari kedua orang tuannya.

Perilaku sosial di bimbing oleh aturan-aturan yang sudah diprogram secara genetis dalam jiwa manusia. Program ini disebut sebagai “epigenetic rules’, mengatur prilaku manusia sejak kecenderungan menghindari incest, kemampuan memahami ekspersi wajah, sampai kepada persaingan politik.

Telah diakui secara meluas adanya perilaku tertentu yang merupakan bawaan manusia, dan bukan pengaruh lingkungan atau situasi. Dahulu orang menyebutnya “insting”, sekarang dinamakan species-characteristic behavior.

Diakui pula adanya faktor-faktor biologis yang mendorong perilaku manusia, yang lazim disebut sebagai motif biologis.

• Faktor Sosiopsikologis

Karena manusia mahkluk sosial, dari proses sosial ia meperoleh beberapa karakteristik yang memperoleh prilakunya. Kita dapat mengklasifikasikan ke dalam tiga komponen, yaitu komponen afektif merupakan aspek emosional dari faktor sosiopsikologis. Komponen afektif


(48)

adalah aspek intelektual, yang berkaitan dengan apa yang diketahui manusia. Komponen kognitif adalah aspek intelektual, yaitu berkaitan dengan apa yang diketahui manusia. Komponen kognitif adalah aspek volosional, yang berhubungan dengan kebiasaan dan kemauan bertindak.

Komponen afektif terdiri dari motif sosiogenis, sikap, dan emosi. Komponen kognitif terdiri dari kepercayaan. Sedangkan komponen konatif terdiri dari kebiasaan dan kemauan.

 Motif sosiogenis

Motif sosiogenis, sering juga disebut motif sekunder sebagai lawan motif primer (motif biologis). Peranannya dalam membentuk prilaku sosial bahkan sangat menentukan.

Berbagai klasfikasi motif sosiogenis disajikan di bawah Thomas dan Florian Znaniecki: 1. Keinginan memperoleh pengalaman baru ; 2. Keinginan untuk mendapat respons ; 3. Keinginan akan pengakuan ;

4. Keinginan akan rasa aman. David Mc Clellland:

1. Kebutuhan berprestasi;

2. Kebutuhan akan kasih sayang; 3. Kebutuhan berkuasa.

Abraham Maslow;


(49)

2. Kebutuhan akan ketertarikan rasa cinta; 3. Kebutuhan akan penghargaan;

4. Kebutuhan akan pemenuhan diri. Melvin H,Marx:

1. Kebutuhan organbimis - Motif ingin tahu; - Motif kompetensi; - Motif prestasi. 2. Motif-motif sosial:

- Motif kasih sayang; - Motif kekuasaan; - Motif kebebasan.

Secara singkat, motif-motif sosiogenis diatas dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Motif ingin tahu: mengerti, manata, dan menduga. Setiap orang berusaha memahami dan memperoleh arti dari dunianya. Kita memerlukan kerangka rujukan (frame of reference) untuk mengevaluasi situasi baru dan mengarahkan tindakan yang sesuai.

2) Motif kompetensi. Setiap orang ingin membuktikan bahwa ia mampu mengatasi persoalan kehidupan apapun. Perasaan mampu amat bergantung pada perkembangan intelektual, sosial dan emosional. Motif kompetensi erat hubungannya dengan kebutuhan rasa aman.


(50)

3) Motif cinta. Berbagai penelitian membuktikan bahwa kebutuhan akan kasih sayang yang tidak terpenuhi akan menimbulkan perilaku manusia yang kurang baik: orang akan menjadi agresi, kesepian, frustasi, bunuh diri.

4) Motif harga diri dan kebutuhan untuk mencari identitas. Hilangnya identitas diri akan menimbulkan perilaku yang patalogis (penyakit): implusif, gelisah, mudah terpengaruh, dan sebagainya.

5) Kebutuhan akan nilai, kedambaan dan makna kehidupan. Dalam menghadapi gejolak kehidupan, manusia membutuhkan nilai-nilai untuk menuntunnya dalam mengambil keputusan atau memberikan makna pada kehidupannya. Termasuk kedalam motif ini adalah motif-motif keagamaan.

6) Kebutuhan akan pemenuhan diri. Kebutuhan akan pemenuhan diri dilakukan melalui berbagai bentuk: (1) mengembangkan dan menggunakan potensi-potensi kita dengan cara yang kreatif; (2) memperkaya kualitas kehidupan denagn memperluas rentangan dan kualitas pengalaman serta pemuasan; (3) membentuk hubungan yang hangat dan berarti dengan orang-orang lain di sekitar kita; (4) berusaha “manusia” , menjadi persona yang kita dambakan.

 Sikap

Sikap adalah konsep yang paling penting dalam psikologi sosial dan yang paling banyak didefinisikan. Sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir, dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi atau nilai. Dari berbagai definisi kita dapat menyimpulkan bebarapa hal. Pertama, sikap bukan perilaku, tetapi merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap objek sikap. Objek sikap boleh berupa


(51)

benda, orang, tempat, gagasan atau situasi, atau kelompok. Sikap haruslah diikuti oleh kata”terhadap”, atau “pada” objek sikap.

Kedua, sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi. Sikap bukan sekedar rekaman masa lalu, tetapi juga menentukan apakah harus pro atau kontra terhadap sesuatu; menentukan apa yang disukai, diharapkan, dan diinginkan; mengesampingkan apa yang tidak diinginkan, apa yang harus dihindari. Ketiga, sikap relatif lebih menetap. Berbagai studi menunjukan bahwa sikap politik kelompok cenderung dipertahankan dan jarang mengalami perubahan. Keempat, sikap mengandung aspek evaluatif: artinya mengandung nilai menyenangkan atau tidak menyenangkan. Kelima, sikap timbul dari pengalaman; tidak dibawa sejak lahir, tetapi merupakan hasil belajar. Karena itu sikap dapat diperteguh atau diubah.

 Emosi

Emosi menunjukan kegoncangan organisme yang disertai oleh gejala-gejala kesadaran, keperilakuan, dan proses fisologis. Emosi tidak selalu jelek. Paling tidak ada empat fungsi emosi. Pertama, emosi adalah pembangkit energi (energizer). Tanpa emosi kita tidak sadar atau mati. Kedua, emosi adalah pembawa informasi (messenger). Bagaimana keadaan diri kita dapat kita ketahui dari emosi kita. Ketiga, emosi buka n saja pembawa pesan dalam komunikasi interpersona. Keempat, emosi juga merupakan sumber informasi tentang keberhasilan kita.

Emosi berbeda-beda dalam intensitas dan lamanya. Ada emosi yang ringan, berat dan disentegratif. Emosi ringan meningkatkan perhatian kita kepada situasi yang dihadapi, disertai dengan perasaan tegang sedikit. Emosi kuat


(52)

disertai rangsangan fisiologis yang kuat. Emosi yang disentegratif tentu saja terjadi dalam intensitas emosi memuncak.

Dari segi lamanya, ada emosi yang berlangsung singkat dan ada yang berlangsung lama. Mood adalah emosi yang menetap selama berjam-jam atau beberapa hari. Mood mempengaruhi persepsi kita atau penafsiran kita pada stimuli yang merangsang alat indera kita.

 Kepercayaan

Kepercayaan adalah komponen kognitif dari faktor sosiopsikologis. Kepercayaan disini adalah keyakinan bahwa sesuatu itu’benar’. Jadi, kepercayaan dapat bersifat rasional atau irrasional.

 Kebiasaan

Kebiasaan adalah aspek perilaku manusia yang menetap, berlangsung secara otomatis tidak direncanakan. Kebiasaan mungkin merupakan hasil pelaziman yang berlangsung pada waktu yang lama atau sebgai reaksi khas yang diulangi seseorang berkali-kali. Setiap orang mempunyai kebiasaan yang berlainan dalam menanggapi stimulus tertentu. Kebiasan inilah yang memberikan pola perilaku yang dapat diramalkan.

 Kemauan

Kemauan erat berkaitan dengan tindakan, bahwa ada yang mendefinisikan kemauan sebagai tindakan yang merupakan usaha seseorang untuk mencapai tujuan. Menurut Richad Dewey dan W.J. Humber (Rakhmat :2004,89), kemauan merupakan: (1) hasil keinginan untuk mencapai tujuan tertentu yang begitu kuat sehingga mendorong orang untuk mengorbankan nilai-nilai yang lain, yang tidak sesuai dengan pencapaian tujuan; (2) berdasarkan


(53)

pengetahuan tentang, cara-cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan; (3) dipengaruhi oleh kecerdasan dan energy yang diperlukan untuk mencapai tujuan; plus (4) pengeluaran energi yang sebenarnya dengan satu cara yang tepat untuk mencapai tujuan.

• Faktor Situasional

Respon otak sangat dipengaruhi oleh “setting” atau suasana yang melingkupi organism (Rakhmat :2004,93). Kesimpulan itu membawa kita kepada pengaruh situasional terhadap prilaku manusia. Edward G. Sampson merangkumkan seluruh faktor situasional sebagai berikut:

I. Aspek-aspek objektif sebagai berikut: a. Faktor ekologis

1. Faktor geografis

2. Faktor iklim dan meteorologist b. Faktor disain dan arsitektural c. Faktor temporal

d. Analisis suasana prilaku e. Faktor teknologis f. Faktor sosial

1. Struktur organisasi 2. Sistem peranan 3. Struktur kelompok 4. Karakteristik populasi


(54)

II. Lingkungan psikososial seperti persepsi oleh kita a. Iklim organisasi dan kelompok

b. Ethos dan iklim institusional dan kultural

III. Stimuli yang mendorong dan mmeperteguhkan perilaku a. Orang lain

b. Situasi pendorong orang lain • Faktor Ekologis

Kaum determinisme lingkungan sering menyatakan bahwa keadaan alam akan mempengaruhi gaya hidup dan prilaku.

• Faktor Rancangan

Suatu rancangan arsitektural dapat mempengaruhi pola komunikasi diantara orang-orang yang hidup dalam naungan arsitektural tertentu. Pengaturan ruangan juga terbukti mempengaruhi pola-pola perilaku yang terjadi ditempat itu.

• Faktor Temporal

Suatu pesan komunikasi yang disampaikan pada pagi hari akan memberikan makna yang lain bila disampaikan pada tengah malam. Jadi, yang mempengaruhi manusia bukan saja di mana mereka berada tetapi juga bilamana mereka berada.


(55)

Lingkungan dibaginya ke dalam beberapa satuan yang terpisah, yang disebut suasana perilaku. Pada setiap suasana terdapat pola-pola hubungan yang mengatur perilaku orang-orang didalamnya.

• Teknologi

Lingkungan teknoligis yang meliputi sistem energi, sistem produksi, dan sistem distribusi, membentuk serangkaian prilaku sosial yang sesuai dengannya. Bersamaan dengan itu tumbuhlah pola-pola penyebaran informasi yang mempengaruhi suasana kejiwaan setiap angggota masyarakat.

• Faktor-faktor Sosial

Sistem peranan yang ditetapkan dalam suatu masyarakat, struktur kelompok dan organisasi, karakteristik populasi, adalah faktor-faktor sosial yang menata perilaku manusia. Kelompok orang tua melahirkan pola perilaku yang pasti berbeda dengan kelompok anak muda.

• Lingkungan Psikososial

Lingkungan dalam persepsi kita lazim disebut iklim. Dalam organisasi, iklim psikososial menunjukan persepsi orang tentang kebebasan individual, ketetapan pengawasan, kemungkinan kemajuan, dan tingkat keakaraban. Pola-pola kebudayaan yang dominan atau ethos, idiologi dan nilai dalam persepsi anggota masyarakat, mempengaruhi seluruh prilaku sosial.


(56)

Situasi yang permisif memungkinkan orang melakukan banyak hal tanpa harus merasa malu. Sebaliknya, situasi restriktif menghambat orang untuk berperilaku sekehendak hatinya.

Manusia dapat berperilaku negatif karena beberapa sebab, yaitu pendidikan yang buruk, undang-undang yang tidak adil, pengangguran dan kekayaan,kondisi hidup yang sulit, seperti: kefakiran, peperangan, merebeknya kezahliman, diasingkan atau merasa asing, perselisihan atau pertikaian social. Dan perbedaan agama, aliran, warna atau ras (Badran, 2005 : 33-34)

II.6 Narapidana

Pengertian narapidana berasal dari dua suku kata yaitu Nara = orang dan Pidana = hukuman dan kejahatan (pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, narkoba, korupsi dan sebagainya). Jadi pengertian narapidana menurut kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai orang hukuman (orang yang menjalani hukuman) karena melakukan tindak pidana (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001:612).

Dalam pengertian sehari-hari narapidana adalah orang-orang yang telah melakukan kesalahan menurut hukum dan harus dimasukkan ke dalam penjara. Menurut Ensiklopedia Indonesia, status narapidana dimulai ketika terdakwa tidak lagi dapat mengajukan banding, pemeriksaan kembali perkara atau tidak ditolak permohonan agrasi kepada presiden atau menerima keputusan hakim pengadilan. Status terdakwa menjadi status terhukum dengan sebutan napi sampai terhukum selesai menjalani hukuman (penjara) atau dibebaskan.


(57)

Dalam pengertian tersebut dapat disampaikan bahwa seseorang yang sedang dalam proses pengadilan dana belum jatuh hukumannya berdasarkan keputusan hakim tidak dapat disebut napi atau orang terpidana.

Narapidana disebut juga sampah masyarakat dan merupakan orang yang tidak berguna. Sesungguhnya walaupun seseorang berstatus napi tidak boleh diperlakukan dengan kejam dan semana-mena, melainkan selama berada dalam lembaga pemasyarakatan mereka seharusnya dibina dan didik sehingga dapat hidup selaras dengan masyarakat dan tidak melanggar hukum lagi.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Deskriptif Lokasi Penelitian

III.1.1 Sejarah Singkat Berdirinya Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Binjai

Lembaga pemasyarakatan Binjai yang letaknya di Jl. Gatot Subroto No. 72 Kotamadya Binjai, dengan jarak 22 km dari Medan, telah berdiri sejak tahun 1918 yaitu pada masa pemerintahan Hindia Belanda yang diberi nama STRAF GEVENENGNIES TE BINJAI. Pada saat itu tujuan pendiriannya adalah sebagai


(58)

tempat penahanan/ pemindahaan orang-orang yang terjerat hukuman, misalnya karena tidak melaksanakan kerja rodi di perkebunan - perkebunan Belanda, atau lari dari kewajiban kerja diperkebunan itu.

Keadaan bangunan penjara Binjai, juga disesuaikan dengan kebutuhannya waktu itu, sehingga kamar-kamar napi/tahanan hanya khusus untuk satu orang saja. Walaupun ada juga 4 buah kamar besar berkapasitas lebih kurang 50 orang. Kapasitas penjara Binjai secara keseluruhan pada waktu itu berjumlah 350 orang.

Kemudian setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, STRAF GEVENGNIES TE BINJAI berubah nama menjadi menjadi Penjara. Hal ini disesuaikan dengan jawaban yang membawahinya yaitu Jawatan Kepenjaraan. Departemen Kehakiman. Adapun penjara Binjai waktu itu berada di bawah Inspektorat Wilayah Kepenjaraan Medan, yang membawahi Propinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera barat dan Riau.

Pada tanggal 5 Juli 1963, Bapak Sudaharjo SH, yang merupakan Menteri Kehakiman pada waktu itu menyampaikan pidato ilmiah pada saat menerima gelar Doktor Causa dari Universitas Indonesia. Intisari dari pidato ilmiah inilah yang selanjutnya menjadi konsepsi pemasyarakatan di Indonesia.

Proses lebih lanjut setelah itu, dan berdasarkan ketetapan pemerintah, maka sejak tanggal 25 April 1964 kata-kata “ Penjara” berubah menjadi “ Lembaga Pemasyarakatan”, dan berada di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman.

Selanjutnya berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 45 tahun 1982. Lembaga pemasyarakatan Binjai berada di bawah naungan Kanwil Departemen


(59)

Kehakiman Sumatera Utara, dan setelah itu mendapat perbaikan-perbaikan seperlunya.

Secara teknik dan operasional kerja seluruh bagian di LP Klas II A Binjai mekanisme dapat dilihat pada bagan organisasi di bawah ini:


(60)

Gambar 3.Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai

(Sumber data : LP Kelas II A Binjai) KEPALA LEMBAGA

PEMASYARAKATAN KLAS IIB BINJAI

SUB BAGIAN T URUSAN KE PE URU

SEKSI BIMB. NAPI / ANAK DIDIK & SEKSI ADM KEA K.P.L. SUB. SEKSI REGIST SUB. SEKSI PERAW SUB. SEKSI KEGIAT SUB. SEKSI A D M SUB. SEKSI K SUB. SEKSI P E PETUGA


(61)

Berdasarkan bagan struktur, maka pengembangan demi setiap bagian berdasarkan garis komandan dan konsultatif, uraiannya dapat dilihat lebih lanjut sebagai berikut :

Sub bagian Tata Usaha :

1. Melakukan urusan kepegawaian dan keuangan

2. Urusan umum mempunyai tugas melakukan urusan surat-menyurat, perlengkapan dan rumah tangga.

Seksi Bimbingan Napi/ Anak didik dan Kegiatan Kerja :

1. Sub seksi registerasi dan kemasyarakatan mempunyai tugas melakukan pencatatan, membuat statsitik, dokumentasi, sidik jari serta memberikan bimbingan dan penyuluhan rohani, memberikan latihan olahraga, peningkatan pengetahuan asimilasi, unit dan pengelepasan napi/ anak didik.

2. Sub seksi perwataan napi/ anak didik mempunyai tugas mengurus kesehatan dan memberikan perawatan bagi napi/ anak didik.

3. Sub seksi kegiatan kerja mempunyai tugas memberikan bimbingan kerja, mempersiapkan fasilitas sarana kerja dan mengelola hasil kerja

Seksi Administrasi Keamanan dan Tata Tertib :

1. Sub. Seksi keamanan mempunyai tugas mengatur jadwal tugas, penggunan perlengkapan dan pembaian tugas pengamanan.

2. Sub. Seksi pelaporan tata tertib mempunyai tugas menerima laporan dan berita acara dari satuan pengamanan yang bertugas dan mempersiapkan laporan berkala di bidang keamanan dan menegakkan tata tertib.


(62)

Kesatuaan pengamanan Lembaga Pemasyarakatan (KPLP) mempunyai fungsi: 1. Melakukan penjagaan dan pengawasaan terhadap dan pengawasan

terhadap napi/ anak didik.

2. Melakukan pemeliharaan keamanan dan ketertiban.

3. Melakukan pengawalan, penerimaan, penempatan dan pengeluaran napi/ anak didik.

4. Melakukan pemeriksaan terhadap pelanggaran keamanan.

5. Membuat laporan harian dan berita harian acara pelaksnaan pengamanan (Sumber data : LP Kelas II A Binjai)

Lokasi LP Kelas II A Binjai sangat mudah untuk ditemukan sebab letaknya persis di tepi jalan kabupaten. Arahnya dari pusat kota Binjai sebelah barat menuju Langkat Hulu arah ke Bahorok yang terus menuju tempat penangkaran orang utan .

a. Permasalahan.

Setiap penelitian yang paling menonjol adalah ada masalah yang jelas akan dibahas . untuk penelitian ini malsalah yang dibahas secara khusus yaitu menggunakan data dan fakta temuan dilapangan ada 6 masalah penting : 1. Peranan apa yang dilakukan oleh petugas (petugas LP, pembinaan rohani,

pembina keterampilan) dalam melakukan pembinaan atau normalisasi narapidana di LP Kelas II A Binjai.

2. Berapa besar korelasi antara efektivitas komunikasi antarpribadi dan pembinaan posotif di kalangan narapidana.


(63)

III.2 Metode Penelitian

Berdasarkan sifat masalahnya terdapat banyak metode penelitian, yakni penelitian historis, diskriptif, penelitian kasus dan lapangan, penelitian korelasi dan sebagainya. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian korelasional.

Menurut Rahmat (2004:27) penelitian korelasional adalah metode penelitian yang dipakai untuk meneliti hubungan diantara variabel-variabel. Perhatian yang akan dilacak dan dihitung makna korelasionalnya adalah Efektivitas Komunikasi Antarpribadi dan Pembentukan Perilaku Narapidana dengan variabel-variabelnya. Selain metode korelasional, juga digunakan metode deskriptif menitikberatkan untuk melacak dan menyajikan serta membahas dengan menggunakan kecenderungan frekuensi, persen, dan rata-rata mengenai usia, agama, tingkat pendidikan, status perkawinan.

III.3 Populasi dan Sampel III.3.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang terdiri dari manusia, benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan dan gejala-gejala, nilai test atau peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karaktersitik didalam suatu penelitian Nawawi (1995 : 41).

Berdasarkan pengertian diatas, maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah napi yang berada di Blok B, yang menurut data dari kantor LP Kelas II A berjumlah 375 orang.


(64)

Keadaan/ karakteristik napi dari segi jenis kelamin adalah homogen karena semuanya laki-laki, akan tetapi dari segi kausalitas (sebab akibat kejahatan yang dilakukan), agama, status tempat tinggal, tingkat pendidikan, dan sebagainya adalah heterogen atau serba berbeda.

Populasi sebesar 375 orang adalah dengan karakteristik yang heterogen, bobot masalah yang akan dibahas, ketersediaan waktu, dana dan tenaga tidak memungkinkan seluruhnya untuk diteliti. Oleh karena itu populasi diperkecil secara representative dengan menggunakan teknik sampling.

III.3.2. Sampel

Sampel sebagai sebagian populasi yang diambil dengan menggunakan cara-cara tertentu. Hal ini mengingat keterbatasan waktu, biaya dan tenaga sehinnga tidak mungkin untuk meneliti seluruh populasi yang relatife jumlahnya (Nawawi, 1995:141).

Jumlah sampel untuk penelitian ini ditetapkan sesuai dengan pendapat Arikunto (2002:12) yaitu apabila jumlah populasi lebih dari 100 orang maka jumlah sampel yang di ambil sebesar 10-15% atau 20-25% populasi.

Jadi jumlah sampel pada penelitian ini adalah: 15% x 375 = 56,25 = 56 Narapidana

III.4 Teknik penarikan sampel

Adapun teknik penarikan sampel dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Sampel bertujuan (purposive sampling) dilakukan dengan cara mengambil subjek didasarkan atas adanya tujuan tertentu (Arikunto, 1998:127).


(65)

Pengambilan sampel dengan teknik ini disesuaikan dengan tujuan penelitian, dimana sampel yang digunakan sesuai dengan kriteria-kriteria tertentu yang ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian.

Kriteria sampelnya adalah :

1. Penempatan napi di Blok B LP Klas II A Kotamadya Binjai.

2. Mereka yang sudah mejalani hukuman penjara di atas 1 (satu) tahun.

III.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan antara lain: 1. Studi kepustakaan (Library research)

Yaitu penelitian yang dilakukan dan menghimpun data dari buku-buku serta bacaan yang relavan dan mendukung penelitian.

2. Study lapangan (Field Research)

Yaitu mengumpulkan data di lapangan melalui: • Observasi atau suatu pengamatan

Yaitu pengamatan atau pencatatan secara sistematis terhadap gejala-gejala yang tampak pada objek penelitian (Nawawi, 1995:111)

• Kuesioner

Yaitu suatu dafar yang berisikan suatu rangkaian pertanyaan mengenai suatu hal atau suatu bidang. Kuesioner dimaksudkan sebagai suatu pertanyaan untuk memperoleh jawaban dari responden berupa data untuk menjawab permasalahan penelitian dan pencapaian tujuan penelitian (Nawawi, 1995:117).


(1)

No

Pernyataan

STS TS S SS Kode

1 2 3 4

5 Bentuk dialog yang sering dilakukan dengan petugas LP adalah komunikasi antarpribadi.

6 Terdapat keterbukaan antara anda dan petugas LP.

7 Anda merasakan keakraban dengan petugas LP.

8 Anda mendapat solusi setelah berkonsultasi dengan petugas LP. 9 Anda dapat merasakan dukungan lingkungan LP terhadap

jalinan komunikasi antara petugas LP.

10 Dukungan yang didapatkan dari petugas LP membuat anda lebih bersemangat dalam melaksanakan aktifitas.

11 Ada tingkat dukungan positif yang anda rasakan dengan petugas LP.

12 Ada rasa positif yang anda rasakan setelah mendapatkan konsultasi pada diri anda.

13 Ada kesamaan cara pandang antara anda dan petugas LP ketika sedang berukar pikiran.

14 Anda tidak merasakan kekuatan dan kesamaan cara pandang antara anda dengan petugas LP.

15 Anda tidak merasakan pembinan yang baik selama di LP.

16 Anda merasakan nyaman dengan fasilitas kerohanian yang diberikan pembina LP.

17 Anda merasakan nyaman dengan fasilitas olahraga yang diberikan Pembina LP.

18. Anda merasakan nyaman dengan fasilitas keterampilan yang diberikan Pembina LP.

19. Konsultasi yang disampaikan petugas LP dapat membentuk pikiran kerohanian anda.

20. Konsultasi yang disampaikan petugas LP dapat membentuk pikiran etika anda.

21. Konsultasi yang disampaikan petugas LP dapat membentuk pikiran pola hidup anda.

22. Konsultasi yang disampaikan petugas LP dapat membentuk pikiran keterampilan anda.

23. Anda aktif dalam berbagai kegiatan di LP.

24. Anda merasakan peembentukan perilaku kerohanian yang terjadi pada diri anda setelah mendapat pembinann di LP.

25. Anda merasakan pembentukan perilaku etika yang terjadi pada diri anda setelah mendapat pembinann di LP.

26. Anda merasakan pembentukan perilaku pola hidup yang terjadi pada diri anda setelah mendapat pembinan di LP.

27. Anda merasakan pembentukan perilaku keterampilan yang terjadi pada diri anda setelah mendapat pembinan di LP.


(2)

Tabel Skor Data Mentah Tentang Efektifitas Komunikasi Antarpribadi

dengan Pembentukan Perilaku

No. Responden

X

Y

01

29

31

02

29

37

03

33

39

04

37

36

05

35

36

06

38

38

07

33

38

08

33

38

09

36

40

10

36

41

11

36

40

12

30

38

13

40

43

14

31

40

15

34

36

16

29

28

17

35

37

18

32

32

19

32

41

20


(3)

21

38

46

22

33

38

23

32

29

24

43

45

25

42

45

26

28

26

27

31

36

28

41

42

29

34

34

30

29

35

31

31

34

32

34

38

33

29

27

34

28

36

35

32

38

36

33

31

37

44

48

38

28

27

39

33

36

40

37

36

41

34

36

42

35

29

43


(4)

44

36

38

45

35

36

46

33

41

47

30

30

48

29

33

49

32

39

50

37

39

51

37

39

52

44

44

53

25

34

54

35

40

55

31

30

56


(5)

BIODATA PENELITI

Nama/ NIM : Emma Latersia Sembiring/ 050904009

Tempat/ Tanggal Lahir : Medan/ 08 Oktober 1985

Departemen : Ilmu Komunikasi FISIP USU

Alamat : Jln Sei batang serangan No: 34/65

Anak : Ke 3 dari 3 bersaudara

Orang Tua

Bapak : NG.Sembiring.S.H

Ibu : R. Ginting

Pendidikan : SD Negeri 02 Pekanbaru ( 1992-1998)

SLTPN 5Pekanbaru (1998-2001)

SMUK Cahaya Medan (2001-2004)

Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU angkatan

2005

Saudara : Fransisca Sembiring


(6)

NAMA : Emma Latersia Sembiring

LEMBARAN CATATAN BIMBINGAN SKRIPSI

NIM : 050904009

PEMBIMBING : Emilia Ramadhani, S.Sos

No TGL PERTEMUAN PEMBAHASAN

1 01 April 2009 Penyerahan Proposal

2 08 April 2009 Perbaikan Proposal dan ACC Seminar 3 15 April 2009 Seminar Proposal

4 27 April 2009 Penyerahan Bab 1-3 5 19 Mei 2009 Penyerahan Kuesioner 6 25 April 2009 Revisi Kuesioner

7 28 Mei 2009 Acc Kuesioner

8 10 Juni 2009 Penyerahan Bab 4 9 15 Juni 2009 Perbaikan Bab 1-5

10 16 Juni 2009 Acc Sidang

PEMBIMBING

NIP. 132 316 972 Emilia Ramadhani, S.SOS


Dokumen yang terkait

Komunikasi Antarpribadi Dan Perubahan Sikap Narapidana (Studi Deskriptif Kualitatif Mengenai Komunikasi Antarpribadi Petugas Lembaga Pemasyarakatan Dalam Merubah Sikap Narapidana Di Cabang RUTAN Aceh Singkil)

18 206 113

Studi Kasus tentang Peran Komunikasi Antarpribadi di dalam Keluarga dalam Menghadapi Pensiun pada Karyawan PT.Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Cabang Iskandar Muda Medan

3 97 108

Komunikasi Antarpribadi dan Pembentukan Konsep Diri (Studi Korelasional tentang Pengaruh Komunikasi Antarpribadi terhadap Pembentukan Konsep Diri Remaja di Yayasan SOS Desa Taruna Kelurahan Tanjung Selamat, Kecamatan Medan Tuntungan, Medan).

1 25 142

Komunikasi Antar Pribadi Dan Pembentukan Konsep Diri (Studi Kasus Mengenai Komunikasi AntarPribadi Orang Tua Terhadap Pembentukan Konsep Diri Remaja Pada Beberapa Keluarga di Medan)

11 139 114

Komunikasi Antarpribadi Suami Istri (Studi Kasus Kualitatif Pasangan Suami Istri Yang Menikah Tanpa Pacaran di Kota Medan)

17 150 147

Efektivitas Komunikasi Antarpribadi Dan Motivasi Belajar Siswa (Studi Korelasional Pengaruh Pengaruh Efektivitas Komunikasi Antarpribadi Dalam Bimbingan Konseling Terhadap Motivasi Belajar Siswa/I Sma Yayasan Perguruan Sutomo I Medan)

7 51 139

Efektivitas Komunikasi Antarpribadi Guru SD Negeri Banjarsari 1 Bandung Terhadap Pembentukan Sikap Siswa Menghadapi Perkembangan Teknologi Informasidan Komunikasi

0 32 137

Hubungan Antara Motivasi Berkelompok dengan Efektivitas Komunikasi Antarpribadi.

0 1 2

Hubungan Antara Efektivitas Komunikasi Antarpribadi Dengan Loyalitas Pada Perusahaan.

0 0 2

EFEKTIVITAS KOMUNIKASI ANTARPRIBADI DALAM PEMBENTUKAN PERILAKU TAHANAN DI RUTAN KELAS IIB KECAMATAN MATTIRO BULU KABUPATEN PINRANG

0 0 86