Kriteria Kemiskinan Kemiskinan Rumah Tangga

21 kemiskinan. Proses eksploitasi tersebut misalnya pembayaran yang tidak adil atas jasa yang telah diberikan oleh seseorang atau sekelompok orang yang tidak memiliki kekuatan untuk melakukan tawar menawar Arif, 1990. Apabila keadaan ini berlangsung terus menerus, maka kesenjangan gap kesejahteraan antara si kaya dan si miskin akan semakin melebar. Tidak dipungkiri, proses tersebut memberikan andil bagi terciptanya keterbelakangan dan kemiskinan sebagian besar masyarakat miskin di Indonesia. Sehingga masalah kemiskinan di Indonesia tidak hanya merupakan fenomena kemelaratan materi, tetapi telah merupakan suatu fenomena sosio cultural yang lebih komplek. Dalam konteks pembangunan wilayah, kemiskinan juga dipengaruhi oleh ketersediaan sumberdaya resources endowment di suatu wilayah, yaitu lahan yang subur, tenaga kerja yang terampil dan ketersediaan modal serta kemampuan mengelola sumberdaya tersebut. Dengan demikian perbedaan intensitas pembangunan antar wilayah akan memunculkan permasalahan kesenjangan pendapatan income disparity atau permasalahan kemiskinan antar wilayah. Menurut Sapuan dan Silitonga 1994, sumber-sumber kemiskinan di daerah perdesaan dapat diidentifikasi diantaranya sebagai berikut: 1 para petani yang memiliki lahan kurang dari 0.25 ha, 2 buruh tani yang pendapatannya kurang atau cukup dikonsumsi hari itu saja, 3 nelayan yang belum terjamah bantuan kredit lunak pemerintah, dan 4 perambah hutan dan pengangguran. Sedangkan untuk daerah perkotaan yaitu: 1 buruh kecil di pabrik-pabrik, 2 pegawai negeri atau swasta golongan rendah, 3 pegawai harian lepas, 4 pembantu rumah tangga, 5 pedagang asongan, 6 pemulung, dan 7 pengangguran.

2.3.2. Kriteria Kemiskinan

Rumah tangga miskin dapat dibedakan menjadi beberapa kelas. Sumodiningrat 1988 menggolongkan kemiskinan menjadi lima kelas, yaitu kemiskinan absolut, 22 kemiskinan relatif, kemiskinan kultural, kemiskinan kronis dan kemiskinan sementara. Seseorang disebut miskin secara absolut apabila tingkat pendapatannya dibawah garis kemiskinan atau pendapatannya tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup minimum basic need seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan. Kemiskinan relatif adalah bila seseorang memiliki penghasilan di atas garis kemiskinan, namun relatif lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat sekitarnya. Kemiskinan kultural mengacu pada sikap atau perilaku seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, yaitu tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupan meskipun ada usaha pihak luar untuk membantunya. Kemiskian kronis adalah kemiskinan yang disebabkan secara simultan oleh berbagai faktor, baik faktor-faktor internal maupun eksternal, yaitu diantaranya: 1 kondisi sosial dan budaya yang mendorong kebiasaan masyarakat tidak produktif, 2 keterbatasan sumberdaya dan keterisolasian, 3 rendahnya tingkat pendidikan, dan 4 terbatasnya lapangan pekerjaan dan ketidakmampuan masyarakat mengikuti ekonomi pasar. Sedangkan kemiskinan sementara terjadi akibat adanya perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi, perubahan musiman seperti contohnya kemiskinan para nelayan dan petani tanaman pangan pada musim paceklik, karena bencana alam atau dampak suatu kebijakan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Deklarasi Milenium pada tahun 2000 yang disepakati oleh 189 negara anggota PBB termasuk Indonesia memunculkan tujuan pembangunan milenium Millenium Development GoalMDG yang salah satunya adalah menurunkan angka kemiskinan. Dalam hal ini Indonesia telah ikut menyepakati MDG dengan adanya komitmen menurunkan jumlah penduduk miskin dunia yang jumlahnya mencapai 1.3 milliar dapat dikurangi menjadi setengahnya pada tahun 2015. Definisi kemiskinan yang disepakati dunia melalui MDG 23 adalah yang tidak memenuhi 10 hak dasar, antara lain pangan, pendidikan, kesehatan, lapangan kerja dan perumahan, disamping standar pendapatan sebesar US 1 per hari. 1 Sedangkan BPS 1992 menggunakan ukuran konsumsi energi minimum sebanyak 2100 kilo kalori per kapita per hari dan pengeluaran minimal untuk perumahan, pendidikan, kesehatan dan transportasi sebagai batas miskin. Besaran tersebut disesuaikan setiap tahun menurut perubahan harga-harga barang atau tingkat inflasi. Seseorang yang memiliki pengeluaran berada di bawah garis kemiskinan tersebut diklasifikasikan sebagai penduduk atau rumah tangga miskin. Untuk tahun 2003, BPS menetapkan batas kemiskinan sebesar Rp. 143 455 per orang untuk rumah tangga di kota dan Rp. 108 725 per orang untuk rumah tangga di desa. Sayogyo menggunakan ukuran ekivalen beras 240 kilogram dan 360 kilogram per kapita per tahun sebagai garis kemiskinan untuk masing-masing daerah perdesaan dan daerah kota Arief, 1990. Standar ukuran kemiskinan seperti disebutkan diatas terkait pengukuran kemiskinan dalam pengertian absolut.

2.4. Keterkaitan Antara Pembangunan Pertanian dan Kemiskinan