227
Gambar 3.14.21 Kecenderungan prevalensi obesitas sentral penduduk umur ≥15 tahun menurut provinsi,
Indonesia 2007 dan 2013 Secara lebih rinci, data status gizi penduduk dewasa 18 tahun menurut provinsi disajikan
pada buku Riskesdas 2013 dalam Angka Tabel 3.14.19 dan menurut karakteristik penduduk dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam angka Tabel 3.14.20. sampai Tabel 3.14.21.
Prevalensi obesitas sentral 15 tahun menurut provinsi disajikan pada Tabel 3.14.22 dan menurut karakteristik pada Tabel 3.14.23.
3. Status risiko kurang energi kronis KEK pada wanita usia subur WUS 15–49 tahun
Gambar 3.14.22 dan Gambar 3.14.23 menyajikan informasi masalah kurang energi kronis KEK pada wanita usia subur WUS dan wanita hamil yang berumur 15-49
tahun, berdasarkan indikator Lingkar Lengan Atas LiLA. Untuk menggambarkan adanya risiko KEK dalam kaitannya dengan kesehatan reproduksi pada wanita hamil dan WUS digunakan
ambang batas nilai rerata LILA 23,5 cm. Tabel 3.14.22 menyajikan prevalensi risiko KEK wanita hamil umur 15–49 tahun, secara nasional
sebanyak 24,2 persen. Prevalensi risiko KEK terendah di Bali 10,1 dan tertinggi di Nusa Tenggara Timur 45,5. Sebanyak 13 provinsi dengan prevalensi risiko KEK diatas nasional,
yaitu Maluku Utara, Papua Barat, Kepulauan Riau, Banten, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Maluku, Papua dan
Nusa Tenggara Timur.
18,8 26,6
0,0 10,0
20,0 30,0
40,0 50,0
NTT La
m pu
ng Ka
lb ar
Ja m
bi Ka
lte ng
NTB Su
m se
l Su
lb ar
Be ng
ku lu
Ja te
ng Ka
ls el
Ban te
n Ac
eh Su
ltra Ja
ba r
In do
ne si
a Ja
tim Ba li
Ria u
DIY Su
lte ng
M al
uk u
M al
ut Ke
p.Ri au
Su m
ba r
Su m
ut Su
ls el
Pa ba
r Ka
lti m
Ba be
l Pa
pu a
G oro
nta lo
Su lu
t DKI
2007 2013
228
Gambar 3.14.22 Prevalensi risiko KEK wanita hamil umur 15-49 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013
Gambar 3.14.23 menunjukkan prevalensi risiko KEK wanita usia subur tidak hamil. Secara nasional prevalensi risiko KEK WUS sebanyak 20,8 persen. Prevalensi terendah di Bali 14
dan prevalensi tertinggi di Nusa Tenggara Timur 46,5. Enam belas provinsi dengan prevalensi risiko KEK diatas nasional, yaitu Kalimantan Tengah, Jawa Timur, Banten, Kalimantan Selatan,
Aceh, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Papua Barat, Maluku, Papua dan Nusa Tenggara Timur.
Gambar 3.14.23 Prevalensi risiko KEK wanita usia subur WUS 15–49 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013
Gambar 3.14.24 menyajikan prevalensi wanita usia subur risiko kurang energi kronis KEK menurut umur tahun 2007 dan 2013. Secara keseluruhan, prevalensi risiko kurang energi
kronis naik pada semua kelompok umur dan kondisi wanita hamil dan tidak hamil. Pada wanita tidak hamil kelompok umur 15-19 tahun prevalensinya naik 15,7 persen. Demikian
juga pada wanita hamil kelompok umur 45-49 tahun naik 15,1 persen.
24,2
0,0 10,0
20,0 30,0
40,0 50,0
B al
i S
umu t
DK I
S um
bar G
oron tal
o NT
B S
ulb ar
A ce
h S
um sel
B ab
el La
mpu ng
Jab ar
K al
ten g
DIY Sul ut
Jam bi
Jate ng
Ri au
S ul
tra B
eng ku
lu In
do nes
ia Ma
lu t
P ab
ar K
ep .R
iau B
an te
n K
al sel
K al
tim K
alb ar
Jati m
S ul
sel S
ul ten
g Ma
lu ku
P ap
ua NT
T
20,8
0,0 10,0
20,0 30,0
40,0 50,0
B al
i DK
I B
en gk
ul u
Ri au
S um
sel La
mp ung
S um
ut Jam
bi B
abe l
K al
tim S
ul ut
G oron
tal o
K al
bar Jab
ar S
um bar
K ep
.R iau
Jate ng
In do
nes ia
K al
ten g
Jati m
B an
te n
K al
sel A
ce h
DIY NT B
S ul
sel S
ul ten
g Ma
lu t
S ul
tra S
ul bar
P ab
ar Ma
lu t
P ap
ua NT
T
229
Gambar 3.14.24 Prevalensi wanita usia subur risiko kurang energi kronis KEK, menurut umur,
Indonesia 2007 dan 2013
4. Wanita hamil berisiko tinggi Pada Riskesdas 2013 disajikan prevalensi wanita hamil berisiko tinggi yaitu wanita hamil dengan
tinggi badan150 cm WHO 2007. Gambar 3.14.25 menyajikan prevalensi wanita hamil berisiko tinggi sebesar 31,3 persen. Prevalensi wanita hamil berisiko tinggi terendah di Bali 12,1 dan
tertinggi di Sumatera Barat 39,8. Sembilan belas provinsi dengan prevalensi diatas nasional, yaitu Sulawesi Tenggara, Sumatera Utara, Jambi, Bengkulu, Aceh, Sulawesi Tengah. Gorontalo,
Sulawesi Selatan, Papua Barat, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, Jawa Barat, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Barat, Bangka Belitung
dan Sumatera Barat.
Gambar 3.14.25 Prevalensi wanita hamil berisiko tinggi tinggi badan 150 cm menurut provinsi, Indonesia 2013
31 ,3
23 ,8
16 ,1
12 ,7
12 ,6
10 ,3
5, 6
30 ,9
18 ,2
13 ,1
10 ,2
8, 9
7, 9
8, 1
0,0 10,0
20,0 30,0
40,0 50,0
15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49
2007
Hamil Tidak Hamil
38 ,5
30 ,1
20 ,9
21 ,4
17 ,3
17 ,6
20 ,7
46 ,6
30 ,6
19, 3
13 ,6
11 ,3
10 ,7
11 ,8
0,0 10,0
20,0 30,0
40,0 50,0
15-19 20-24 25=29 30-34 35-39 40-44 45-49
2013
Hamil Tidak Hamil
31,3
0,0 10,0
20,0 30,0
40,0 50,0
B al
i P
ap ua
K al
tim DK I
La m
pu ng
Ma lu
ku K
ep.R iau
B an
te n
S um
sel S
ul ut
Ri au
NT B
Ma lu
t Jate
ng In
do nes
ia S
ul tra
S um
ut Jam
bi B
en gk
ul u
A ce
h S
ul ten
g G
or on
ta lo
S ul
sel P
ab ar
K al
ten g
NT T
Jab ar
Jati m
DIY K
al bar
K al
sel S
ul bar
B ab
el S
umb ar
230
Lebih rinci, data status gizi wanita usia subur dan ibu hamil menurut provinsi disajikan pada buku Riskesdas 2013 dalam Angka Tabel 3.14.12 sampai 3.14.14, dan menurut karakteristik penduduk
dapat dilihat pada buku Riskesdas 2013 dalam Angka Tabel 3.14.27. dan 3.14.28.
231
3.15. Kesehatan Indera
Lutfah Rif’ati, Tita Rosita, Nur Hasanah, dan Lely Indrawati Sistem indera merupakan salah satu sistem yang sangat berperan dalam mengoptimalkan
proses perkembangan setiap individu. Sejak bayi sistem indera merupakan alat utama manusia untuk mengumpulkan berbagai informasi visual, audio, olfaktoris, rasa, dan fisik. Informasi visual
ditangkap oleh mata indera penglihatan, informasi audio ditangkap oleh telinga indera pendengaran, informasi olfaktoris diterima oleh hidung indera penciuman, informasi rasa
ditangkap oleh lidah indera perasa dan informasi fisik diterima melalui permukaan kulit indera peraba. Sekitar 90 persen informasi berupa informasi visual dan audio, yang dikumpulkan
melalui indera penglihatan dan pendengaran. Pengukuran fungsi indera yang lazim dilakukan secara objektif adalah pengukuran fungsi penglihatan tajam penglihatanvisus dan fungsi
pendengaran tajam pendengaran. Data nasional yang menggambarkan besaran masalah gangguan indera penglihatan dan
pendengaran terakhir dikumpulkan antara tahun 1993-1997 dan belum diperbarui hingga saat ini. Riskesdas 2007 bermaksud menyediakan data tentang prevalensi kebutaan yang lebih mutakhir,
tetapi karena metoda pengumpulan data masih dianggap tidak adekuat oleh organisasi profesi, maka data angka kebutaan yang dihasilkan dari Riskesdas 2007 juga dinilai kontroversial. Pada
Riskesdas 2007, data termutakhir untuk prevalensi gangguan pendengaran masyarakat tidak dikumpulkan.
Riskesdas 2013 kembali mengumpulkan data prevalensi kebutaan dengan metoda yang serupa dengan Riskesdas 2007, tetapi sudah disempurnakan dan merupakan hasil diskusi dengan
organisasi profesi. Organisasi profesi Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia PERDAMI dan Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok Indonesia PERHATI juga
melengkapi Riskesdas dengan studi validasi yang akan dilaksanakan segera setelah semua data Riskesdas 2013 terkumpul. Studi validasi tersebut dimaksudkan untuk memperkuat reliabilitas
pengukuran prevalensi kebutaan dan ketulian dalam survei nasional berbasis komunitas.
3.15.1 Kesehatan mata
Data yang dikumpulkan untuk mengetahui indikator kesehatan mata pada Riskesdas 2013 meliputi pengukuran tajam penglihatan menggunakan kartu tumbling-E dengan dan tanpa pin-
hole pada responden umur 6 tahun keatas serta pemeriksaan segmen anterior mata terhadap responden semua umur. Pemeriksaan visus dan observasi morbiditas permukaan mata dilakukan
di luar ruangan dengan sumber cahaya matahari, tetapi pemeriksaan lensa dilakukan dalam ruangan redup dengan bantuan pen-light. Pemeriksaan visus dilakukan dengan jarak pengukuran
6 atau 3 meter, dengan kartu E yang dapat diputar ke segala arah tumbling E disesuaikan dengan tinggi mata responden yang diperiksa. Responden yang sakit berat dan tidak
memungkinkan untuk duduk dan diperiksa visus dieksklusi dalam penghitungan prevalensi kebutaan, begitu pula responden yang menolak atau tidak dapat bekerja sama dengan tim
enumerator. Prevalensi low vision dan kebutaan dihitung berdasarkan hasil pengukuran visus dengan atau
tanpa kaca matalensa kontak koreksi. Kebutaan didefinisikan sebagai visus pada mata terbaik 360 atau dengan kata lain buta bilateral. Severe low vision didefinisikan sebagai visus pada
mata terbaik 660-360 atau mencakup severe low vision bilateral dan buta unilateral yang disertai severe low vision unilateral. Prevalensi pterygium, kekeruhan kornea, dan katarak
dihitung berdasarkan hasil pemeriksaan dan observasi nakes pada semua responden tanpa batasan umur.
Keterbatasan pengumpulan data visus adalah tidak dilakukannya koreksi visus, tetapi dilakukan pemeriksaan visus tanpa pin-hole dan jika visus tidak normal kurang dari 66 atau 2020
dilanjutkan dengan pemeriksaan dengan pin-hole, seperti yang dilakukan saat Riskesdas 2007.