22 peribadatan kepada Allah dan pelaksanaan kasih. Jadi liturgy adalah perayaan
misteri karya keselamatan Allah dalam Kristus, yang dilaksanakan oleh Yesus Kristus, Sang Imam Agung, bersama Gereja-Nya di dalam ikatan Roh Kudus
Martasudjita,1999: 18-27. Kepenuhan hidup umat beriman Katolik tercapai dalam sakramen-sakramen dan
hidup doa. Melalui sakramen-sakramen dan hidup doa, keluarga bertemu dan berdialog dengan Allah. Relasi antara Kristus dengan Gereja terwujud nyata dalam
Sakramen Perkawinan, yang menjadi dasar panggilan dan tugas perutusan suami istri. Suami istri mempunyai tanggungjawab membangun kesejahteraan rohani dan
jasmani keluarganya, dengan setia akan memberi kekuatan iman dalam hidup mereka terutama ketika mereka sedang menghadapi dan mengalami persoalan sulit
dan berat, dan membuahkan berkat rohani, yaitu relasi yang mesra dengan Allah sehingga mereka dapat merasakan hidup dalam kedamaian dan saling meneguhkan
Pedoman Pastoral Keluarga, 2011:16.
3 Pewartaan Injil Kerygma
Keluarga mengambil bagian dalam tugas Gereja untuk mewartakan Injil. Tugas itu dilaksanakan terutama dengan mendengarkan, menghayati, melaksanakan, dan
mewartakan Sabda Allah.“ Keluarga, seperti Gereja, harus menjadi tempat Injil disalurkan dan memancarkan sinarnya”. Orangtua tidak sekadar menyampaikan Injil
kepada anak-anak, melainkan dari anak-anak mereka juga mampu menyampaikan Injil. Keluarga Kristiani menerima injil dalam bentuk penghayatan yang mendalam.
Sabda Allah termuat dalam Kitab Suci yang tidak selalu dipahami, maka keluarga sebaiknya ikut mengambil bagian secara aktif dalam kegiatan-kegiatan pendalaman
Kitab Suci Pedoman Pastoral Keluarga, 201: 16.
23
4 Pelayanan Diakonia
Keluarga merupakan persekutuan cinta kasih, maka keluarga dipanggil untuk mengamalkan cinta kasih itu melalui pengabdiaannya kepada sesama, terutama bagi
mereka yang papa. Dijiwai oleh cinta kasih dan semangat pelayanan, keluarga Katolik menyediakan diri untuk melayani setiap orang sebagai pribadi dan anak
Allah. Pelayanan keluarga hendaknya bertujuan memberdayakan mereka yang dilayani, sehingga mereka dapat mandiri Pedoman Pastoral keluarga, 2011:17.
5 Kesaksian Iman Martyria
Keluarga hendaknya berani memberi kesaksian imannya dengan perkataan maupun tindakan serta siap menanggung risiko yang muncul dari imannya itu.
Kesaksian iman dilakukan dengan berani menyuarakan kebenaran, bersikap kritis terhadap berbagai ketidakadilan dan tindak kekerasan yang merendahkan martabat
manusia serta merugikan masyarakat umum. Dalam situasi sulit apapun keluarga Kristiani harus tetap setia mempertahankan imannya akan Yesus dan berani menjadi
saksi iman ditengah situasi yang tidak menentu Pedoman Pastoral Keluarga, 201:17.
d. Keluarga adalah “ Sel Terkecil Masyarakat”
Gereja juga mengakui, bahwa keluarga adalah sel terkecil dalam masyarakat, karena di sana seluruh jaringan hubungan sosial dibangun. Melalui kehadiran dan
peran anggota-anggotanya, keluarga menjadi tempat asal dan upaya efektif untuk membangun masyarakat yang manusiawi dan rukun. Oleh karena itu keluarga
Katolik diharapkan dapat menyumbangkan keutamaan-keutamaan dan nilai-nilai Katolik yang dimiliki dan dihayatinya.
Dalam hidup bermasyarakat keluarga Katolik hendaknya mempunyai sikap terbuka, toleran, dan menghargai pluralitas yang ada. Pluralitas ini tidak hanya
24 dalam masyarakat tapi juga ditemukan dan dialami oleh keluarga. Untuk mencapai
tujuan tersebut, dibutuhkan keterlibatan keluarga dalam kehidupan bermasyarakat berdasarkan prinsip solidaritas. Solidaritas dapat terwujud dalam semangat gotong-
royong, keluarga secara konkret menyumbangkan keutamaan hidup dan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur Pedoman Pastoral Keluarga, 2011: 17.
e. Tanggungjawab Keluarga Kristiani
Setiap keluarga pasti memiliki peran dan tanggungjawabnya yang khas. Peran ini bisa berbeda-beda dalam setiap jenjang usia perkawinan. Keluarga yang baru saja
terbentuk pasti memiliki peran dan tanggungjawab berbeda bila dibandingkan dengan keluarga yang sudah lama dibangun. Peran dan tanggungjawab keluarga
yang baru saja dibangun bisa jadi berkisar di level adaptasi. Mereka berada dalam proses pengenalan dan penyesuaian dalam segala aspek kehidupan pasangannya,
baik fisik, karakter, sosial maupun spiritualitas. Peran keluarga dalam kehidupan menggereja dan masyarakat semakin diakui
dan dirasakan oleh semua pihak. Keberadaannya sebagai “sel pertama dan utama Gereja dan masyarakat” sangat mewarnai dan menentukan kehidupan menggereja
dan bermasyarakat. Kehadiran dan keterlibatan anggota keluarga sangat menentukan terbangunnya kehidupan bersama yang harmonis, bahagia dan sejahtera. Dalam
kehidupan dan tugas perutusan Gereja, keluarga memegang peranan yang sangat penting bagi masa depan pewartaan Injil.
Agar dapat melaksanakan tugas perutusannya keluarga perlu mempersiapkan anggota-anggotanya, terutama anak-anak melalui pendidikan, baik mengenai iman
Katolik maupun nilai-nilai kemanusiaan, karena keluarga adalah sekolah yang pertama dan utama bagi mereka. Anak-anak perlu dibimbing menjadi pribadi
25 Katolik yang dewasa dan memiliki kepedulian serta kesediaan mengambil bagian
dalam pembangunan kehidupan bersama. Oleh karena itu, keluarga Kristiani dipanggil untuk secara aktif dan bertanggung
jawab ikut serta menjalankan perutusan Gereja dengan hidup dalam “persekutuan mesra dan penuh cinta kasih”. Selain itu, keluarga Kristiani juga dapat berpartispasi
aktfi dalam kehidupan menggereja dan bermasyarakat. Peran serta keluarga dalam misi Gereja harus mengikuti pola persekutuan dimana suami-istri serentak sebagai
pasangan dan orangtua serta anak-anak selaku keluarga, menghayati pengabdian mereka kepada Gereja dan dunia. Mereka harus sehati sejiwa dalam iman dengan
semangat merasul bersama yang menjiwai mereka melalui kesanggupan mereka untuk menjalankan karya pengabdian kepada Gereja maupun pengabdian mereka
dalam hidup bermasyarakat. Selain itu keluarga Kristiani harus membangun Kerajaan Allah dalam sejarah
melalui kenyataan sehari-hari, yang berkaitan dengan status hidupnya serta kekhasannya. Dengan kata lain, dalam cinta kasih antara suami dan istri, serta antara
anggota keluargalah, cinta kasih yang dihayati beserta seluruh kekayaannya yang luar biasa berupa nilai-nilai dan tuntutannya dapat diwartakan kepada sesame
sehingga merekapun dapat merasakan kasih Allah FC, art. 78. Dalam rencana Allah keluarga tidak hanya menemukan jatidirinya, tetapi juga
menemukan tugas perutusannya, yakni apa yang akan ia laksanakan dalam hidupnya sehari-hari yakni mewartakan kasih Allah dalam hidup konkret. Keluarga
diharapkan mampu mengembangkan misi untuk selalu menjaga, mengungkapkan serta menyalurkan cinta kasih kepada semua orang, agar manusia dapat mengalami
kasih Allah.
26 Keluarga Kristiani wajib membentuk diri menjadi Gereja yang missioner,
Gereja hidup berdasarkan cinta kasih yang berwawasan luas. Orangtua berkewajiban mendidik dan membentuk semangat berdoa sejak dini dan
membangun jalinan hati dengan Allah lewat doa-doa bersama dalam keluarga. Selain itu juga semangat dalam mewartakan Injil pun sudah harus diterapkan di
rumah, dengan melatih mereka membaca Kitab Suci sebelum makan bersama dan mengadakan lomba membaca Kitab Suci di rumah dengan menyediakan hadiah-
hadiah khusus, terutama pada hari ulang tahun setiap anak Kila, 2005: 10.
f. Tujuan Keluarga Kristiani 1 Kesejahteraan Keluarga
Kesejahteraan keluarga dan kesejahteraan pribadi tiap-tiap orang di dalam masyarakat pada umumnya memiliki hubungan yang sangat erat; bahkan
keselamatan keluarga sering kali merupakan keselamatan masyarakat. Hal terpenting dalam membina sebuah keluarga adalah kejujuran dan kewajaran. Dengan kata lain,
Keluarga harus dibina dalam sebuah sikap yang terbuka. Open management membuat rencana atau pembagian kerja, tatatertib keluarga dan anggaran belanja
bersama Budyapranata, 1991 : 19-20. Selain yang sudah disebut di atas, tujuan mendasar keluarga adalah mau
menciptakan bonum coniugum kesejahteraan pasangan. Tujuan ini terjabarkan dalam bonum prolis terbuka pada kelahiran dan pendidikan anak-anak, bonum fidei
membangun kesetiaan pasangan dalam suka dan duka, untung dan malang, sehat dan sakit, serta bonum sacramenti menciptakan kesucian dan keluhuran martabat
perkawinan agar menjadi tanda kehadiran dan keselamatan Tuhan pada manusia Sutarno, 2013: 26. Hal ini ditegaskan dalam KHK 1055 art. 1 “Perjanjian foedus
perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara
27 mereka persekutuan consortium seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya
terarah pada kesejahteraan suami isteri bonum coniugum serta kelahiran anak dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke
martabat Sakramen”. Tujuan perkawinan adalah kesejahteraan suami-istri, bermakna bahwa
perkawinan menjadi sarana untuk saling memberi dan menerima secara lebih. Semua dilakukan untuk memberikan rasa nyaman dan kesejahteraan pasangannya.
Keutamaan untuk saling memberi dan menerima itu, satu sisi untuk kesejahteraan mereka dan di sisi lain, terbuka untuk prokreasi demi kelangsungan kelompok dan
diri. Secara Kristiani, prokreasi menjadi sarana untuk ikut serta dalam karya Allah bagi dunia.
Dengan menekankan hubungan pribadi antar suami istri, KV II mengoreksi pandangan dari masa lampau, yang menganggap keturunan sebagai tujuan utama
dalam perkawinan. GS, art. 50 Perkawinan diadakan bukan hanya demi adanya keturunan saja. Hubungan seksual antara suami istri mempunyai nilai yang tidak
hanya berkaitan dengan prokreasi GS, art. 49, tetapi pertama-tama demi kesejahteraan suami dan istri. Namun demikian, anak-anak merupakan karunia
perkawinan yang paling luhur GS, art. 50. Tujuan ini sejak awal harus disadari oleh pasangan suami istri. Perbedaan
pandangan, budaya, dan agama harus memberi warna positif sehingga keluarga bisa sehat, harmonis, dan stabil. Tujuan ini pasti akan berhadapan dengan tantangan.
Namun, ketahanan keluarga dalam menghadapi tantangan dapat menjadikan keluarga berkualitas dan bisa meraih tujuan yang dicanangkan Sutarno, 2013: 26.
28
2 Demi Keturunan
Kitab Kej 1:28 mengatakan “Beranakcuculah dan bertambah banyaklah; penuhilah bumi dan taklukanlah itu…”Melalui sabda di atas, Allah menghendaki
agar manusia pria dan wanita memiliki keturunan. Oleh karena itu perkawinan bukan sekedar untuk kebahagian suami dan istri melainkan atas dasar cinta mereka
berdua inilah tumbuh keturunan. Yang diperhatikan adalah bahwa “berkembang biaknya manusia”. Dalam hal ini dapat diartikan bahwa persetubuhan diadakan
bukan sekedar menuruti hawa nafsu, melainkan dengan kesadaran dan tanggung jawab bahwa itu merupakan pelaksanaan dari Sabda Tuhan. Maka, setiap
persetubuhan antar suami-isteri harus terbuka pada keturuan. Prokreasi atau hubungan suami-isteri bukan tujuan tunggal atau utama perkawinan, namun tetap
merupakan suatu tugas luhur. Maka prokreasi pun bukan peristiwa alam, melainkan peristiwa pribadi, yang dijalankan dengan tanggung jawab manusiawi dan Kristiani
serta penuh hormat dan patuh taat kepada Allah. Disini orang perlu berembug dan berusaha bersama guna membentuk pendirian
yang sehat, sambil mengindahkan baik kesejahteraan mereka sendiri maupun kesejahteraan anak-anak, baik yang sudah lahir maupun yang diperkirakan masih
akan ada. Sementara itu hendaknya mereka mempertimbangkan juga kondisi-kondisi zaman dan status hidup mereka yang bersifat jasmani maupun rohani. Akhirnya
mereka perlu memperhitungkan juga kesejahteraan dan kerukunan keluarga, masyarakat serta Gereja sendiri GS, art. 50. Dalam mempertimbangkan semua
kepentingan itu, mungkin akan timbul konflik lagi antara keinginan mempunyai anak di satu pihak, dan kemampuan ekonomi keluarga, kesehatan dan kekuatan
psikis ibu serta keadaan masyarakat di pihak lain. Lebih lagi, dapat timbul konflik
29 antara keinginan mengungkapkan kemesraan kasih dalam perkawinan dan
tanggungjawab untuk tidak menambah jumlah anak GS, art. 51. Apabila hubungan suami istri ini diletakkan dalam konteks penciptaan, maka
menjadi jelas juga bahwa sifat monogam dan tak terceraikan itu sangat terkait dengan cita-cita Kitab Suci atau masuk dalam rencana Allah yang menghendaki manusia
untuk menjadi citra-Nya, “...menjadikan manusia menurut gambar dan rupa kita ...”lih. Kej.1:26, yaitu Tritunggal yang sekaligus Maha Esa karena dipersatukan
oleh kasih yang sempurna. Yang khas dari perkawinan adalah bahwa ikatan mereka adalah ikatan cinta
kasih.Ikatan cinta kasih inilah yang mendasar dan merupakan jiwa perkawinan. Cinta bukan semata-mata dorongan nafsu, rasa tertarik, melainkan hubungan pribadi
yang mendorong mereka untuk bersatu dan saling menyerahkan diri demi kebahagiaan yang lain Budyapranata,1981:17-18.
3 Perkembangan Pribadi
Cinta itu memperkembangkan dan mengisi hidup manusia. Hal ini menjadi jelas bahwa setiap manusia sangat membutuhkan cinta, dimengerti dan diterima dalam
seluruh hidupnya, sekurang-kurangnya oleh satu orang yang diharapkan. Keluarga Kristiani mampu menjadi teladan dalam hal mencintai setiap anggota keluarganya
dengan utuh, mereka saling menghargai dan menerima setiap keunikan dalam keluarganya sehingga menjadi anggota keluarga yang benar-benar harmonis. Tuhan
menciptakan pria dan wanita bertujuan untuk melengkapi satu dengan yang lain sehingga apa yang menjadi milik suami harus juga menjadi milik istri demikian juga
dengan anak-anak Budyapranata, 1998:17-18.
30
g. Tugas Keluarga Kristiani
Sinode para uskup yang dilaksanakan tanggal 26 September-25 Oktober 1980 menekankan empat tugas umum bagi keluarga Kristiani yakni:
1 Membentuk Kesatuan Pribadi-pribadi a Cinta Kasih sebagai Asas Kekuatan Persatuan
Keluarga yang didasarkan pada cintakasih serta dihidupkan olehnya merupakan persekutuan pribadi: suami dan isteri, orangtua dan anak-anak. Tugas seluruh
anggota keluarga adalah dengan setia menghayati kenyataan persekutuan, disertai usaha terus menerus untuk mengembangkan rukun hidup yang otentik antara
pribadi-pribadi. Seluruh anggota keluarga dalam hidup bersama harus tetap menjaga satu sama lain
dan mengingat bahwa tujuan hidup adalah cintakasih. Tanpa cintakasih keluarga tidak mengalami hidup rukun dan berkembang sebagai persekutuan pribadi-pribadi.
Manusia tidak dapat hidup tanpa cintakasih karena hidup tidak ada artinya bila cintakasih tidak dapat diungkapkan dan dibagikan kepada orang lain FC, art. 18.
b Persatuan Utuh Suami-Istri
Keluarga terbentuk karena hubungan cinta kasih antara pria dan wanita, yang dengan ketulusannya saling memberikan diri dalam kehidupan perkawinan bdk.
KHK. 1057 art. 2. Hanya pribadi-pribadi yang cakap dan dewasalah yang mampu mengatakan, “saya akan setia kepadamu dalam kesatuan ini sepanjang seluruh hidup
saya”. Hal ini nampak dalam janji perkawinan yang mereka ikrarkan. Dalam hubungan cinta suami-istri itulah, Gereja menemukan juga salah satu lambang
persatuannya dengan Kristus. Kasih suami-istri menggambarkan cinta Kristus kepada mempelai-Nya, yakni Gereja. Ada relasi timbal balik yakni di satu pihak
31 persatuan Gereja mendukung persatuan suami istri, dan di lain pihak persatuan
suami isteri turut membentuk persatuan Gereja. Persatuan yang pertama ialah: yang dijalin dan berkembang antara suami dan
isteri: berdasarkan perjanjian pernikahan pria dan wanita ”bukan lagi dua, melainkan satu daging”. Mereka dipanggil untuk tetap bertumbuh dalam persekutuan mereka
melalui kesetiaan dari hari ke hari terhadap janji pernikahan mereka untuk saling menyerahkan diri seutuhnya FC, art. 19.
c Kesatuan Persekutuan Suami-Isteri yang Tak Terceraikan
Persatuan suami-istri tidak hanya berciri monogam unitas tetapi juga tak terceraikan indisolubilitas. Hal ini berarti bahwa perkawinan yang telah
dilangsungkan secara sah menurut hukum, mempunyai akibat tetap dan tidak terceraikan atau diputuskan oleh kuasa manapun, kecuali oleh kematian. Ciri tak
terceraikan ini mengarah pada ”pemberian diri timbal balik” antar suami istri demi kesejahteraan keluarga. Persatuan suami istri maupun kesejahteraan anak-anak
mewajibkan suami-istri untuk setia seutuhnya-utuhnya dan menuntut adanya kesatuan yang tak terceraikan antara mereka FC, art. 19
d Persatuan Keluarga yang Lebih Luas
Persatuan suami-istri merupakan landasan pembangunan persatuan keluarga yang lebih luas, persatuan orang tua dan anak-anak, persatuan saudara laki-laki dan
saudara perempuan, persatuan sanak saudara dan anggota-anggota yang lain dalam rumah tangga.
Keluarga Kristiani dipanggil untuk mengalami persatuan yang baru dan sejati yang kodrati dan manusiawi. Persatuan keluarga dapat dilestarikan dan
disempurnakan dengan semangat berkorban yang besar. Semangat berkorban menuntut dari masing-masing anggota keluarga untuk bersikap terbuka, siap sedia,
32 saling memahami, bersabar serta memiliki sikap pengampunan karena keluarga
dipanggil oleh Allah untuk membawa perdamaian, kegembiraan dan sukacita FC, art. 21
e Hak-hak Serta Peranan Wanita
Karena keluarga adalah dan harus selalu menjadi persatuan dan persekutuan pribadi-pribadi, keluarga menemukan cinta kasih sumber dan daya dorong yang
tetap untuk menyambut, menghormati, dan meningkatkan anggotanya masing- masing dalam martabatnya yang luhur sebagai pribadi, yakni sebagai citra Allah
yang hidup. Sinode memberi perhatian istimewa kepada kaum wanita, hak-hak dan peranan
mereka dalam keluarga dan masyarakat. Penting digarisbawahi martabat dan tanggung jawab wanita yang sederajat dengan pria. Kesamaan ini diwujudkan secara
unik dalam pemberian diri timbal balik antara suami dan istri dan pemberian diri kepada anak-anaknya FC, art. 22
f Kaum Wanita dan Masyarakat
Dengan menghormati secara semestinya perbedaan panggilan pria dan wanita, Gereja haruslah dalam hidupnya sendiri meningkatkan sebaik mungkin kesamaan
hak-hak dan martabat mereka. Tujuannya adalah demi kebaikan semua keluarga, Gereja dan masyarakat. Wanita harus mencapai kepenuhan kemanusiaan
kewanitaannya yang sejati, yang harus diungkapkan dalam kegiatannya, di dalam keluarga maupun di luar keluarga, tanpa mengabaikan perbedaan-perbedaan adat
istiadat dan kebudayaan FC, art. 23.
g Pria sebagai Suami dan Ayah
Di dalam persatuan persekutuan suami-istri dan keluarga, pria dipanggil untuk menghayati karisma dan peranannya sebagai suami dan ayah. Cinta kasih suami-istri
33 yang sejati mengandaikan dan menuntut bahwa seorang suami mempunyai
penghormatan yang mendalam pada martabat istrinya yang sederajat bdk. 1 Kor 7:3-4. Cinta kasih kepada istrinya sebagai ibu anak-anak mereka dan cinta kasih
kepada anak-anak sendiri merupakan bagi suami cara kodrati untuk memahami dan memenuhi peranannya sebagai ayah FC, art. 25
h Hak-hak Anak
Anak yang dilahirkan merupakan buah cinta suami istri. Oleh karena itu, anak memiliki hak untuk dicintai dan dikasihi oleh orangtuanya. Maka tugas suami isteri
sebagai orangtua adalah mendidik anak-anaknya dengan mengembangkan penghargaan yang dalam atas martabat pribadi mereka dan penghormatan yang
besar serta kepedulian yang murah hati atas hak-hak mereka. Dengan kata lain, orang tua harus mendidik anak-anaknya dengan baik agar mereka dapat berkembang
dalam iman dan moral Kristiani. Dengan memupuk dan mengembangkan kepedulian yang penuh kasih sayang
dan kekuatan kepada setiap anak yang datang ke dunia ini, Gereja memenuhi suatu tugas asasi: sebab Gereja dipanggil untuk melaksanakan perinta Kristus Tuhan yang
menempatkan anak pada pusat Kerajaan Allah FC, art. 26
2. Melayani Kehidupan a Penerusan Hidup
1 Bekerja Sama dalam Kasih Allah Pencipta
Allah menciptakan pria dan wanita menurut gambar dan rupa-Nya sendiri dan memahkotai serta menyempurnakan karya tangan-Nya. Ia memanggil mereka
untuk ambil bagian yang istimewa dalam kasih-Nya dan dalam Kuasa-Nya sebagai pencipta dan Bapa, dengan bekerja sama dan bertanggung jawab dalam meneruskan
anugerah hidup manusiawi: “Allah memberkati mereka, lalu berfirman kepada
34 mereka, ‘beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah
itu” Kej 1:28. Maka tugas pokok keluarga ialah melayani dan meneruskan hidup, mewujudkan dalam sejarah berkat sejati Allah yakni meneruskan citra ilahi dari
orang ke orang dengan menurunkan anak FC, art. 28
2 Ajaran dan Kaidah Gereja, Sudah Lama Tetapi Selalu Baru
Cinta kasih suami istri merupakan partisipasi unik dalam misteri hidup dan kasih Allah sendiri. Gereja mengetahui bahwa ia menerima perutusan istimewa
menjaga dan melindungi martabat luhur perkawinan dan tanggungjawab besar untuk meneruskan hidup manusia. Untuk itu Gereja perlu menegaskan dan
memperjelaskan ajaran dan kaidah Gereja yang sudah lama tetapi selalu baru tentang perkawinan dan tentang penerusan hidup manusia sehingga setiap suami dan istri
tetap terbuka dan jujur dalam membina rumah tangga diwarnai dengan cinta kasih FC, art. 29
3 Gereja Membela
Kehidupan
Dengan perkembangan zaman yang semakin maju membuat manusia ikut terlibat dalam menguasai alam, bukannya memberi harapan yang baik tetapi
menyebabkan kegelisahan yang makin besar tentang masa depan. Ada yang bertanya tentang kehidupan “apakah baik untuk hidup atau lebih baik tidak pernah lahir?
Orang-orang saling bersaing, menganggap diri mereka lebih hebat, saling menjatuhkan satu sama lain dan mengejar harta jasmani dan menolak kekayaan
rohani, karena di hati mereka tidak ada lagi Allah yang cinta kasih-Nya lebih kuat dari pada ketakutan-ketakutan dunia.
Melihat realitas ini Gereja dipanggil untuk memperlihatkan kepada setiap orang, dengan keyakinan yang jelas dan lebih kuat untuk mendukung hidup
manusia.Meingat maraknya aborsi, euthanasia dan program kontrasepsi, Gereja
35 mengajak Keluarga Kristiani untuk membela kehidupan dan melawan setiap
serangan, bagaimanapun situasi dan taraf perkembanganya Orang tua diharapkan agar mendidik anak-anaknya agar mereka dapat
bertumbuh dewasa dan beriman, serta mempunyai keutamaan-keutamaan sosial yang dibutuhkan di dalam masyarakat sehingga mereka tidak dengan mudah
meninggalkan imannya akan Kristus FC, Art. 30.
b Pendidikan
1 Hak dan Kewajiban Orangtua untuk Mendidik
Tugas untuk
memberikan pendidikan
berakar dalam panggilan utama orang- orang yang menikah untuk ambil bagian dalam karya penciptaan Allah. Hak dan
kewajiban orangtua untuk memberikan pendidikan adalah hal yang esensial, sebab berhubungan dengan meneruskan hidup manusia. Pendidikan bagi anak-anaknya
merupakan salah satu hal yang penting dan juga ditekankan dalam Konsili Vatikan II. Konsili Vatikan II menyatakan bahwa, “suami-isteri yang mengemban martabat
serta tugas kebapaan dan keibuan, akan melaksanakan dengan tekun kewajiban memberi pendidikan terutama di bidang keagamaan, yang memang pertama-tama
termasuk tugas mereka” GS, art. 48. Dari kutipan ini, dapat dikatakan bahwa pendidikan anak merupakan hal yang penting dan orang tua adalah pendidik pertama
dan utama. Hal ini juga ditegaskan dalam dokumen GE, art. 3 yang mengatakan, “karena mereka meneruskan kehidupan kepada anak-anaknya, maka orangtua
mengemban tugas mahaberat: yaitu mendidik putera-puterinya dan sebab itu mereka harus diakui sebagai pendidik pertama dan utama”.
2 Mendidik Menuju Nilai-nilai Hakiki Hidup Manusia.
Di tengah-tengah
kesulitan-kesulitan karya pendidikan yang kerap kali
makin besar, orang tua harus dengan penuh percaya dan berani melatih nilai-nilai
36 hakiki hidup manusia pada diri anak-anak mereka.Anak-anak harus menjadi besar
dan dewasa dengan sikap bebas yang tepat terhadap barang-barang jasmani, dengan menjalani hidup sederhana dan keras dan berkeyakinan bahwa manusia lebih
berharga dari pada barang yang dipunyainya. Mereka dididik untuk menghormati martabat pribadi tiap-tiap individu, melatih mereka untuk hidup peduli dengan
sesama terutama dengan orang-orang yang paling miskin, pelayanan yang tulus dan cinta kasih kepada semua orang sehingga tanpa membeda-bedakan siapa dia FC,
art. 37.
3 Hubungan dengan Para Pelaksana Pendidikan yang Lain
Keluarga adalah
persekutuan pendidikan yang utama tetapi bukan eksklusif
dan satu-satunya, sehingga perlu juga melaksanakan pendidikan lain di luar rumah. Maka peranan keluarga Kristiani dalam mendidik mempunyai tempat yang sangat
penting dalam karya pastoral di mana bentuk kerja sama antara orang-orang tua dan jemaat-jemaat Kristiani dan dengan berbagai kelompok pendidikan dan para pastor
perlu ditingkatkan. Oleh karena itu, tugas orang tua adalah memilih sekolah-sekolah yang cocok agar pendidikan yang didapat dari sekolah tersebut selaras dengan iman
agamanya. FC, art. 40
3. Turut Serta Mengembangkan Masyarakat a. Keluarga sebagai Sel Masyarakat yang pertama dan Amat Penting
Di satu sisi keluarga merupakan bagian dari masyarakat dan di sisi lain masyarakat terbentuk melalui keluarga. Oleh karena itu, keluarga mempunyai
hubungan-hubungan yang amat penting dan organik dengan masyarakat karena keluarga merupakan landasan masyarakat dan selalu menghidupi masyarakat
melalui peranannya sebagai pelayan kehidupan. Maka dapat dikatakan bahwa tidak ada masyarakat tanpa keluarga dan tidak keluarga tanpa masyarakat FC art. 42
37
b. Hidup Berkeluarga sebagai Pengalaman Hidup Bersatu dan Berbagi
Pengalaman hidup bersatu dan berbagi rasa yang semestinya mencirikan hidup keluarga sehari-hari merupakan sumbangan keluarga yang pertama dan mendasar
bagi masyarakat. Pengembangan persatuan yang sejati dan matang antara pribadi-pribadi dalam
keluarga merupakan sekolah hidup sosial yang pertama dan tak tergantikan.Selain itu, persatuan dalam keluarga juga menjadi teladan dan rangsangan untuk hubungan-
hubungan persekutuan yang lebih luas dalam masyarakat. Hal ini ditandai dengan sikap hormat terhadap sesama manusia, membangun dialog dengan umat beragama
lain, mewujukan keadilan dan cinta kasih dalam hidup bersama dengan orang lain FC, art. 43.
c. Peranan Sosial dan Politis
Peranan sosial keluarga tidak dapat berhenti pada penurunan dan pendidikan anak saja, tetapi terutama membaktikan diri pada aneka macam kegiatan pelayanan sosial
terutama demi kepentingan orang-orang miskin, atau demi keuntungan semua orang dan pada hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh organisasi kesejahteraan yang
diadakan oleh penguasa penguasa masyarakat. Sumbangan keluarga di bidang sosial memiliki sifat yang khas, sifat yang harus diberi pengakuan yang lebih besar dan
dukungan yang lebih mantap, terutama ketika anak-anak besar dan betul-betul melibatkan mereka semua dalam kegiatan yang ada di masyarakat.
Peranan keluarga di bidang sosial diharapkan akan diungkapkan juga dalam bentuk intervensi politis: keluarga-keluarga haruslah yang pertama mengambil
bagian langkah-langkah untuk mengupayakan agar undang-undang dan lembaga- lembaga Negara tidak hanya tidak melanggar tetapi juga mendukung dan membela
secara positif hak-hak dan kewajiban-kewajiban keluarga. Keluarga harus semakin
38 sadar bahwa mereka menjadi tokoh utama yang dikenal sebagai politik keluarga dan
memikul tanggung jawab untuk mengubah masyarakat FC, art. 44.
d. Masyarakat Melayani Keluarga
Keluarga dan masyarakat mempunyai fungsi yang saling melengkapi satu sama lain. Keluarga dan masyarakat dipanggil untuk membela dan mengembangkan
kebaikan setiap orang. Masyarakat, dalam hal ini negara harus mengakui bahwa “keluarga merupakan masyarakat dengan haknya sendiri”. Oleh karena itu
masyarakat dalam hubungan-hubungannya dengan keluarga mempunyai kewajiban serius untuk berpegang teguh pada asas subsidiaritas FC, Art. 45.
Asas Subsidiaritas mau menegaskan bahwa lembaga tinggi wajib membantu lembaga-lembaga yang lebih rendah apabila mereka tidak dapat menyelesaikan
keperluan-keperluan mereka sendiri. Dan sebaliknya, tugas-tugas yang dapat diselesaikan secara memuaskan oleh lembaga-lembaga yang lebih rendah, tidak
boleh diambil alih oleh lembaga lebih tinggi QA, art. 79, LE, art. 17, MM, art. 51- 52, 54-55. Prinsip inilah yang melatarbelakangi “otonomi keluarga”.Apa yang
dapat menjadi hak dan kewajiaban keluarga, tidak boleh dipersoalkan bahkan diambil alih oleh Negara.
e. Piagam Hak-Hak Keluarga
Di satu sisi, Keluarga dan masyarakat merupakan dua lembaga yang saling mendukung satu sama lain, namun di sisi lain, keluarga dan masyarakat juga
seringkali bertentangan satu sama lain. Dalam kenyataan ini, Gereja dipanggil untuk membela hak-hak keluarga. Gereja juga terpanggil untuk memperjuangkan keadilan
dan kebenaran bagi keluarga dari pelangggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Negara dan masyarakat FC, art. 46.
39
f. Rahmat dan Tanggung Jawab Keluarga Kristiani
Dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, keluarga Kristiani juga terpanggil untuk terlibat aktif dalam bidang sosial dan politik. Panggilan untuk terlibat dalam
bidang sosial dan politik merupakan salah satu tugas keluarga Kristiani sebagai raja. Tugas ini diterima oleh pasangan suami-istri berkat sakramen perkawinan. Dalam
menjalankan tugas ini, mereka menerima baik perintah yang tidak dapat mereka abaikan maupun rahmat yang menopang dan menggugah mereka.
Tugas rajawi pertama-tama adalah tugas melayani sesama seturut teladan Kristus yang sepanjang hidup-Nya melayani sesama. Maka keluarga Kristiani
dipanggil untuk memberikan kepada setiap orang kesaksian hidup dengan murah hati dan tanpa pamrih mengabdi pada perkara-perkara sosial, melalui pilihan yang
mengutamakan orang-orang miskin dan kurang beruntung. Keluarga Kristiani diharapkan melayani sesamanya, karena digerakan dan didorong oleh cinta, entah di
dalam maupun di luar rumah FC, art. 47.
g. Menuju Tatanan Internasional yang Baru
Persatuan rohani antara keluarga-keluarga Kristiani, yang berakar dalam iman dan pengharapan bersama dan dihidupkan oleh cinta kasih, merupakan daya
kekuatan batin yang melahirkan, menyebarluaskan, dan mengembangkan keadilan, kerukunan, persaudaraan, dan perdamaian bagi semua orang. Sebagai Gereja kecil,
keluarga Kristiani dipanggil, seperti “Gereja Besar“ untuk menjadi tanda kesatuan bagi dunia. keluarga Kristiani sebagai “Gereja Kecil” juga dipanggil untuk
menuaikan peranan kenabiannya memberikan kesaksian tentang Kerajaan dan damai sejahtera Kristus, yang menjadi tujuan perjalanan hidup semua orang.
Keluarga-keluarga Kristiani dapat melaksanakan tugas kenabian melalui kegiatan pendidikan dan teladan hidup. Mereka dapat mendidik anak-anaknya
40 dengan memperkenalkan nilai-nilai kebenaran, kebebasan, keadilan dan cinta kasih
sekaligus memberikan teladan yang baik dalam hidupnya. Dengan teladan hidup yang baik, suami isteri secara tidak langsung melibatkan diri dan mengajak anak-
anaknya untuk terlibat dalam mewartakan kasih Tuhan FC, Art. 48.
4. Turut Serta Dalam Hidup dan Perutusan Gereja. a. Keluarga dalam Misteri Gereja.
Satu di antara tugas-tugas pokok keluarga Kristiani adalah tugas menggereja: keluarga diabdikan untuk membangun Kerajaan Allah dalam sejarah dengan
mengambil bagian dalam hidup dan perutusan Gereja. Keluarga Kristiani dalam Gereja ikut ambil bagian menurut caranya sendiri, dalam tugas penyelamatan yang
merupakan perutusan khas Gereja.
b. Peranan Gerejani yang Khusus dan Asli
Keluarga Kristiani dipanggil untuk mengambil bagian secara aktif dan bertanggung jawab dalam tugas perutusan Gereja dengan cara yang asli dan khas,
dengan mendudukkan diri, dalam keberadaan dan karyanya, sebagai “komunitas hidup dan kasih mesra”, untuk melayani Gereja dan masyarakat. Perutusan keluarga
Kristiani bukanlah tugas yang ditambahkan, namun melekat dalam diri sendiri, karena keluarga Kristiani adalah “Gereja Rumah Tangga.
Sebagai persekutuan pribadi-pribadi yang beriman akan Kristus, tugas keluarga Kristiani adalah memelihara agar persekutuan itu dapat menumbuhkembangkan
pribadi manusia secara penuh dan penghayatan iman yang semakin mendalam. Iman menjadi pemersatu dan memberi makna kepada persekutuan itu.
Keluarga menjadi kenisah Allah kalau ia menjadi komunitas yang berdialog dengan Allah. hal ini tampak dalam doa bersama, pendalaman Kitab Suci bersama,
maupun dengan doa-doa yang dilakukan secara pribadi maupun bersama dengan
41 anggota keluarga lainnya FC, art. 59-62. Selain itu, keluarga Kristiani juga
dikuduskan melalui ‘sakramen-sakramen’ yang diterimanya dan diutus untuk menguduskan jemaat Gerejawi serta dunia FC, art. 56-58.
Keluarga Kristiani diharapkan menjadikan keluarga lain sebagai saudara dan itu diwujudkan dalam semangat melayani. Keluarga Kristiani membantu mereka semua
untuk bertumbuh dan berkembang dalma kedewasaan rohani dan jasmani sebagaimana yang telah dikehendaki oleh Allah.
C. Makna Hidup Rohani Keluarga Kristiani di Zaman Sekarang
Makna hidup rohani merupakan buah yang ditemukan melalui refleksi yang dilakukan oleh seluruh semua manusia dan khususnya anggota Keluarga Kristiani.
Buah refleksi lahir dari suasana hati yang tenang dan harus diolah dalam doa, sehingga anggota keluarga dapat menemukan makna rohani dari setiap pengalaman
hidup mereka. Makna rohani tersebut muncul sebagai rasa syukur atas setiap peristiwa yang telah manusia lalui. Melalui dialog antara manusia dengan Allah
maka manusia mampu mendengarkan setiap pesan yang disampaikan Allah melalui doa dan pengalaman iman dalam kehidupan sehari-hari. Dengan terus belajar
melalui pengalaman iman ini, semua keluarga dapat mengubah setiap emosi yang muncul dengan rasa syukur dan terimakasih, sehingga hidupnya menjadi lebih
makna Setiap anggota keluarga dapat mengembangkan hidup rohaninya dengan cara
selalu menyadari kehadiranAllah dalam hidup hariannya. Oleh karena itu setiap manusia terpanggil untuk benar-benar mengenal Dia yang hadir dalam batinnya.
Memang, Tuhan ada dimana-mana tetapi kehadiran Tuhan dalam batin manusia bermakna khusus: Kehadiran yang bersifat pribadi itu bukan masalah jarak yang
dapat diukur. Kehadiran dan hubungan antarpribadi berlandaskan kodrat manusia
42 sebagia makhluk yang berakal budi dan berkehendak bebas sehingga dapat mengerti
dan mencinta. Berkat kodrat inilah hubungan dapat terjalin antara manusia dan Tuhan yang adalah Roh.
Hubungan pribadi dengan Tuhan dapat terjalin dalam relasi kasih. Oleh Karena itu, manusia harus mengasihi sesamanya karena Tuhan telah mengasihi dia. Dengan
mengasihi sesamanya, manusia bisa mengerti makna kasih Tuhan. Hidup rohani atau spiritualitas menyangkut keberadaan orang beriman sejauh dialami sebagai anugerah
Roh Kudus yang meresapi seluruh dirinya Heuken, 2002:12. Senada dengan yang dikatakan oleh Heuken, untuk mencapai kehidupan rohani
yang matang manusia perlu menjalin relasi khusus dengan Tuhan Sang Pencipta dengan penuh iman agar hidup imannya semakin berkembang ke arah yang lebih
baik. Dalam hidup sehari-hari iman seseorang bertumbuh dan berkembang bukan dalam aspek rohani saja, namun juga melalui kesaksian hidupnya sehari-hari.
Keluarga Kristen harus menjadi sekolah doa yang sejati, di mana perjumpaan dengan Kristus tidak hanya merupakan moment untuk memohon dan mengadu tetapi
terutama untuk mendengarkan, merenungkan, memuji, dan bersyukur, hingga hatinya sungguh jatuh cinta dan rindu akan kehadiran Tuhan. Doa sejati tidak
terpisah dari kenyataan hidup. Dengan membuka hati untuk mencintai Tuhan serentak hati kita pun terbuka untuk mencintai sesama, dan mempukan kita untuk
menjalani hidup ini seturut rencana dan tuntunan kasih-Nya Yeremias Bala Pito, 2003: 68-71.
Makna hidup rohani dalam keluarga Kristiani sangat penting karena bisa membantu perkembangan iman setiap anggota keluarganya dan memampukan setiap
pribadi untuk bisa bertemu dengan Tuhan, saling mencintai, saling menghargai dan
43 saling menerima satu sama lain dan dapat membagikan hidupnya kepada sesama
yang mereka jumpai dan yang mereka layani.
44
BAB III PENGHAYATAN HIDUP ROHANI KELUARGA-KELUARGA
KRISTIANI DI LINGKUNGAN SANTO PAULUS MAGUWOHARJO
Setelah melihat arti dari hidup rohani keluarga Kristiani, bentuk-bentuk hidup rohani, tujuan hidup rohani, pengertian keluarga Kristiani, pokok-pokok
keluarga Kristiani serta makna hidup rohani di zaman sekarang, maka pada bab III ini penulis akan membahas tentang gambaran penghayatan hidup rohani keluarga-
keluarga Kristiani di lingkungan santo Paulus Maguwoharjo. Penulisan ini mencakup letak lingkungan Santo Paulus, jumlah dan situasi umat
Katolik, permasalahan yang terjadi dan kegiatan kerohanian. Sedangkan bagian selanjutnya akan membahas tentang gambaran pelaksanaan hidup rohani keluarga-
keluarga Kristiani, persiapan penelitian, laporan hasil penelitian, pembahasan penelitian dan kesimpulan hasil penelitian.
A. Keadaan Umum Umat di lingkungan Santo Paulus Maguwoharjo
Lingkungan Santo Paulus merupakan salah satu lingkungan yang berada dalam Paroki Santa Maria Marganingsih Kalasan. Pada bagian ini penulis akan
mengemukakan keadaan umum lingkungan Santo Paulus Maguwoharjo yang meliputi: letak Lingkungan Santo Paulus Maguwoharjo, jumlah dan situasi umat
Katolik, permasalahan dan kegiatan kerohanian di lingkungan Santo Paulus Maguwoharjo.
1. Letak Lingkungan Santo Paulus Maguwoharjo.
Berdasarkan wawancara pada tanggal 29 November 2014 dengan bapak Yanuarius penulis mendapatkan gambaran tentang lingkungan Santo Paulus
Maguwoharjo. Lingkungan Santo Paulus merupakan bagian dari stasi Bunda Maria
45 Maguwoharjo, Paroki Marganingsih Kalasan. Umat yang berada di lingkungan
Santo Paulus menyebar di lima pedukuhan yakni, pedukuhan Demangan, pedukuhan Corongan, pedukuhan Kalongan, pedukuhan Nayan dan pedukuhan Sanggrahan.
Namun jumlah umat Katolik minoritas bila dibandingkan umat beragama lainnya, karena umat Katolik ini berasal dari luar Pulau Jawa dan luar daerah Yogyakarta.
Mereka memilih menetap di lima pedukuhan tersebut dengan berbagai alasan. Sebagian umat mengatakan bahwa dekat dengan tempat pekerjaan dan sebagian lain
merasa lebih nyaman untuk tinggal di pinggiran kota. Lingkungan Santo Paulus sebelumnya masih bergabung dengan Lingkungan Santo Petrus namun karena umat
semakin banyak maka dibagi menjadi dua lingkungan. Letak lingkungan ini berada di pinggiran kota namun masih sangat ramai. Lingkungan diwarnai dengan suasana
damai, tenang dan udara cukup bersih, karena umat dan masyarakat setempat menjunjung nilai persaudaraan. Hal ini didukung dengan semangat gotong royong
dan kerjasama yang baik sehingga mereka hidup rukun satu sama lain. Adapun batas-batas lingkungan santo Paulus Maguwoharjo ini sebagai berikut:
sebelah Utara berbatasan dengan lingkungan Santo Theresia, sebelah Timur berbatasan dengan lingkungan Santo Petrus sebelah Selatan berbatasan dengan
paroki Pangkalan dan sebelah Barat berbatasan dengan paroki Babarsari. Letak lingkungan Santo Paulus tidak jauh dari stasi Santa Maria Maguwoharjo sehingga
memudahkan umat untuk ikut terlibat dalam kegiatan menggereja. Stasi Maguwoharjo memiliki kapel yang digunakan setiap hari minggu dan
hari raya untuk merayakan perayaan ekaristi bersama. Setiap hari minggu ke III ada perayaan ekaristi dalam bahasa Jawa. Kapel ini dibangun dengan tujuan supaya
umat yang ada di stasi Maguwoharjo bisa ikut terlibat dalam kegiatan menggereja. Pada perayaan Natal dan Paskah lingkungan–lingkungan yang berada di bawah
46 naungan stasi Maguwoharjo bergabung ke pusat paroki untuk ambil bagian dalam
parayaan ekaristi bersama.
2. Jumlah dan Situasi Umat Katolik
Bersadarkan hasil wawancara pada tanggal 25 November 2014 dengan Bapak Lumaksono sebagai ketua lingkungan Santo Paulus Maguwoharjo didapat jumlah
umat adalah sebagai berikut: Kategori Umat
di lingkungan St. Paulus
Maguwoharjo Orang dewasa,
usia 25-90 tahun Remaja dan
OMK usia 14-25 tahun
Anak-anak usia 0-13
tahun
Jumlah jiwa 145 8 10
163 orang
Jumlah KK 44 KK
Jumlah umat Katolik berdasarkan data lingkungan adalah 163 jiwa. Dengan kategori orang dewasa pada rentang usia 25 tahun – 90 tahun adalah 145 orang.
Remaja dan OMK berusia 14 tahun - 24 tahun berjumlah 8 orang sedangkan anak- anak yang berusia 0-13 tahun berjumlah 10 orang. Dari keseluruhan jumlah kategori
maka jumlah umat seluruhnya adalah 163 jiwa. Dari 44 KK di lingkungan St. Paulus Maguwoharjo terdapat 25 keluarga muda dan 19 keluarga tua. Dari jumlah KK
keluarga muda yang ada situasi ekonominya sangat cukup, karena pekerjaan mereka sebagian sebagai pengusaha dan sebagian guru dan PNS sedangkan keluarga tua
kebanyakan pensiunan. Maka situasi ekonominya pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan hidup harian mereka. Dengan demikian situasi ekonomi di lingkungan
Santo Paulus Maguharjo bisa dikatakan bahwa sangat cukup dan cukup.