Latar Belakang Belajar dari Kitab Ayub menemukan makna dibalik penderitaan manusia dan aplikasinya melalui katekese pembebasan model Shared Christian Praxis (SCP)
6
adanya manusia; sekurang-kurangnya sejak manusia menyadari dirinya sebagai makhluk reflektif; makhluk yang berpikir dan memiliki akal budi.
Dalam menemukan makna penderitaan, penulis mengutip pernyataan dari Bapa Suci Yohanes Paulus II dalam Salvifici Doloris, bahwa: “…dalam bentuk
yang bagaimanapun penderitaan agaknya dan memang hampir tak terpisahkan dari eksistensi manusia di dunia ini” SD art. 3. Pernyataan ini menegaskan bahwa
ada keterikatan yang kuat antara penderitaan dan hidup manusia. Selama manusia masih bernafas di dunia ini, maka permasalahan yang menimbulkan penderitaan
akan selalu datang silih berganti. Kebanyakan orang, pasrah menghadapi penderitaan, tanpa mau berjuang dan
menemukan makna di balik penderitaan, sehingga penderitaan dilihat sebagai pengalaman yang menakutkan. Pertanyaan reflektif bagi kita, bagaimana kita
menemukan makna dibalik penderitaan?. Sebagai wujud kesadaran sebagai makhluk reflektif, penulis di sini turut mengambil bagian dalam memaknai
penderitaan manusia zaman sekarang. Penderitaan merupakan misteri dalam hidup. Penderitaan tidak selalu dapat
dimengerti secara tuntas oleh manusia. Memaknai penderitaan adalah upaya manusia menyadari dirinya yang lemah dan tidak berdaya ketika berhadapan
dengan kejadian buruk, menakutkan dan menyakitkan. Penderitaan manusia adalah realitas yang tidak terelakkan dari dunia ini.
Penderitaan yang dialami manusia hendaknya dimaknai. Iman kitalah yang mampu memberi makna pada hal tersebut. Pertanyaannya, apakah iman kita sudah mampu
memberikan makna atas semua yang terjadi dalam hidup kita? Atau, kita membiarkan iman mati dan terkikis oleh kekhawatiran kita? Haryatno, 2011:
335.
7
Penderitaan menjadi problema ketuhanan bagi orang-orang yang percaya bahwa Allah Mahabaik, Mahaadil dan Mahacinta. Mengenai hal ini, apakah kita
akan menyimpulkan bahwa Allah melakukan sesuatu yang salah terhadap segala yang diciptakan di dunia ini? Di mana keadilan Allah? Apakah maksud Allah
dengan persoalan yang sulit dipahami ini? Apakah iman kita dapat memberi jawaban atas semua ini Atkinson, 1996: 31.
Dalam kesadaran sebagai orang beriman, tentunya kita dapat kembali melihat ke dalam sumber wahyu tertulis kita, Kitab Suci. Mengikuti Bapa Suci
Paus Yohanes Paulus II, yang mengatakan: “Kitab Suci merupakan sebuah buku yang besar tentang penderitaan” SD Art 6, Dalam rangka memaknai penderitaan,
akhirnya kita dapat belajar dari sana. Untuk tujuan inilah, maka penulis akhirnya mengupas sebuah kitab yang secara istimewa mengungkapkan penderitaan yang
dialami oleh manusia. Isi cerita dari kitab ini sangat menarik dan juga inspiratif. Kitab ini merupakan kitab yang banyak berbicara tentang penderitaan orang benar.
Kitab yang besar berbicara mengenai penderitaan manusia ini adalah Kitab Ayub. Benarkah Allah itu Mahakasih dan Mahaadil? Kalau memang benar,
mengapa penderitaan masih merajalela di bumi? Mengapa manusia dibiarkan-Nya saling menindas dan saling membunuh? Tragisnya lagi, tidak semua korban adalah
orang jahat. Di bumi ini masih banyak orang saleh jadi korban penindasan dan keserakahan sesamanya. Ini sangat memprihatinkan. benarkah Allah itu adil? Tapi
mengapa orang-orang jahat diberi kehidupan yang layak, sementara orang saleh
harus berjuang keras untuk hidupnya. Stanislaus, 2008: 51-52.
Pandangan tentang ‘menderita karena dosa’ bertumpu pada paham keyakinan akan ‘keadilan Allah’ dan paham ‘pembalasan di bumi’. kepercayaan
8
akan keadilan Allah bertumpu pada tindakan Allah mengganjar yang baik dan menghukum yang jahat.
Berpijak pada kepercayaan akan keadilan Allah dan paham pembalasan di bumi, orang sampai pada kesimpulan bahwa bencana, penyakit, penderitaan dan
segala konsekuensinya adalah hukuman dari dosa. pemikiran ini tertuang dalam buku-buku kebijaksanaan seperti Amsal Ams 10-22; 25-29 dan Yesus bin Sirakh.
Fakta bahwa orang-orang baik menderita dan mati dibunuh, memicu refleksi seseorang untuk mempersoalkan kebenaran ‘paham pembalasan di bumi’. Salah
satunya Kitab Ayub. Kitab ini ingin memaparkan diskusi yang sangat panjang yang menyajikan argumentasi bahwa paham pembalasan di bumi tidak dapat
dipertahankan lagi. Penderitaan orang benar adalah tema yang menjadikan Kitab Ayub istimewa
dalam konteks sekarang. Kitab Ayub menghadirkan gagasan baru mengenai ajaran tradisional yang berbicara bahwa penderitaan adalah akibat dari dosa. Kitab Ayub
mau menunjukan bahwa tidak ada hubungan langsung antara penderitaan dan dosa. oleh karena itu, penderitaan tidak boleh secara langsung dikaitkan dengan
dosa Stanislaus, 2008: 55-58. Segala sesuatu di bumi diciptakan Allah baik adanya, ini jelas menunjukan
bahwa Allah tidak menghendaki sesuatu yang tidak baik, termasuk penderitaan Kej 1: 31. Terkadang kitalah yang sulit memahami maksud Allah. Menjadi
pertanyaan; “apakah orang benar mampu menanggapi penderitaan yang dialaminya secara benar atau tenggelam dalam penderitaan? Apakah penderitaan
merupakan hukuman dari Allah? Mungkin manusia dapat lebih merasakan kehadiran Allah jika pernah merasakan penderitaan.
9
Orang benar atau orang beriman juga mengalami penderitaan dalam hidup. Dengan iman yang teguh orang beriman mampu menerima, menggulati dan
memaknai penderitaan. Bagi orang benar memaknai penderitaan berarti dengan iman membangun relasi dengan Allah. Orang benar menyerahkan hidupnya dalam
bimbingan dan penyelenggaraan Allah dan dengan sikap iman mengupayakan sikap-sikap positif dalam menghadapi penderitaan. Orang benar akan menemukan
bahwa Allah itu penuh kasih meskipun mengalami penderitaan dalam hidup. Orang benar memiliki harapan dalam menghadapi penderitaan. Orang benar
mengharapkan Allah yang senantiasa memberi kekuatan. Harapan tersebut merupakan reaksi orang benar ketika menghadapi penderitaan seperti bencana
alam, kelaparan, kemiskinan, kematian dan sebagainya. Harapan tersebut juga merupakan ungkapan bahwa orang benar merasa lemah, tak berdaya, kecil
sehingga membutuhkan Allah dalam menghadapi penderitaan. Dalam Kitab Ayub, yang menjadi permasalahan di dalamnya adalah
mengenai persoalan dan maksud Allah mengapa membiarkan orang baik menderita. Ayub adalah orang yang saleh dan takut akan Allah. Namun dia
menderita. Mengapa orang benar seperti Ayub harus menderita? Pertanyaan ini seakan ingin menunjukan adanya ketidakadilan yang dialami oleh manusia.
Penderitaan Ayub disebabkan oleh iblis, dan dilakukannya iblis atas izin dari Allah. Mari kita lihat Ayub 1:6-12, sbb:
6
Pada suatu hari datanglah anak-anak Allah menghadap Tuhan dan diantara mereka datanglah juga iblis.
7
Maka bertanyalah Tuhan kepada iblis: “Dari mana engkau?” Lalu jawab Iblis kepada Tuhan: “Dari perjalanan
mengelilingi dan menjelajahi bumi.”
8
Lalu bertanyalah Tuhan kepada Iblis: “Apakah engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub? Sebab tiada seorangpun
di bumi seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan.
9
Lalu jawab Iblis kepada Tuhan: “Apakah dengan tidak mendapatkan apa-apa Ayub takut akan Allah?
10
Bukankah Engkau yang membuat pagar sekeliling dia dan rumahnya serta segala yang
10
dimilikinya? Apa yang dikerjakannya telah Kauberkati dan apa yang dimilikinya makin bertambah di negeri itu.
11
Tetapi ulurkanlah tanganMu dan jamahlah segala yang dipunyainya, ia pasti mengutuki Engkau
dihadapan-Mu.
12
Maka firman Tuhan kepada Iblis: “Nah, segala yang dipunyainya ada dalam kuasamu; hanya janganlah engkau mengulurkan
tanganmu terhadap dirinya.
Allah membiarkan Ayub kehilangan segala miliknya, namun Allah tetap mengasihi Ayub ay 12. Dari bagian awal kisah Ayub, kita melihat bahwa
penderitaan Ayub bermakna uji coba akan ketulusan, dan bukan hukuman atas dosa. Sesungguhnya apa maksud dari penderitaan Ayub orang saleh ini?
Dalam kisah digambarkan bahwa Ayub memang membuktikan ketulusan kepercayaannya. Kepercayaan Ayub akan Allah bukanlah kepercayaan yang
menuntut balasan. Kecurigaan bahwa Ayub percaya kepada Allah karena kelimpahan yang dimilikinya sebagaimana dinyatakan oleh Iblis di awal kisah lih.
Ayb 1: 9 terbukti tidak benar. Ayub tetap percaya kepada Allah meskipun segala kepunyaannya telah sirna. Dengan berseru penuh ketulusan hati Ayub berseru;
“Katanya: “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang
mengambil, terpujilah nama Tuhan Ayb 1: 21”. Bagi Ayub segala yang terjadi di atas bumi ini, semua adalah kehendak Allah termasuk juga penderitaan yang
menimpa dirinya. Di akhir kisah digambarkan bahwa karena kesetiaannya itu, Allah
mengembalikan segala milik Ayub, bahkan diberi-Nya lebih daripada apa yang dimilikinya sebelumnya lih. Ayb 42: 10-17. Dalam Kitab Ayub, penderitaan
dibicarakan secara dialektik oleh tokoh-tokohnya. Dengan adanya perdebatan atas penderitaan Ayub itulah maka penggalian makna atasnya menjadi semakin jelas
11
dan menarik. Karena itulah penulis dapat mengatakan bahwa kitab Ayub adalah kitab penderitaan.
Secara manusiawi kita pasti berpikir bahwa Tuhan tidak adil jika memberi hukuman penderitaan kepada orang benar, sedangkan orang-orang yang
melakukan penindasan, melakukan korupsi dan kejahatan lainnya dibiarkan hidup bahagia. Sebagai manusia biasa wajar saja bila Ayub mengeluh dengan
penderitaan yang ditimpakan Allah kepada dirinya, yang bisa dikatakan orang baik dan takut akan Allah. Inilah salah satu keluh kesah atau pertanyaan yang keluar
dari mulut Ayub “Mengapa aku tidak mati waktu aku lahir, atau binasa waktu aku keluar dari kandungan
?”Ayub 3 : 11. Sungguh memilukan nasib Ayub, seorang saleh dan patuh pada perintah Allah. Dia harus mengalami penderitaan yang begitu
berat. Sebenarnya apa yang ingin Allah tunjukan kepada manusia terutama melalui kisah Ayub?
Belajar dari Kitab Ayub, kita dituntut semakin peka untuk lebih peduli dan bersikap solider terhadap sesama yang menderita. Setidaknya solidaritas tersebut
dapat penulis wujudkan melalui jawaban yang tepat dari pertanyaan mengenai makna sebuah penderitaan yang terjadi menimpa hidup manusia. Dalam bukunya,
Krispurwana Cahyadi 2011: 3 memaparkan pemikiran dari Paus Yohanes Paulus II, demikian: “membela martabat dan hak asasi manusia merupakan salah satu
tugas Gereja”, beliau memandang manusia sebagai pribadi berharga dihadapan Allah dan diciptakan secitra dengan-Nya. Dengan menghargai martabat manusia
kita mewujudkan sikap iman terhadap Allah. Pertanyaannya: “Apakah kita cukup beriman untuk mewujudkan tugas tersebut?”.
Saat berada di kayu Salib, Yesus pernah mengatakan, “Eloi, Eloi, Lama Sabakhtani” yang artinya “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan
12
Aku?”. Bahkan, Yesus pun merasa Bapa-Nya telah meninggalkan Dia. Apakah memang demikian? Apakah Allah tidak peduli terhadap manusia yang menderita?
Fenomena di atas menunjukan bahwa orang seringkali tertutup oleh nuansa penderitaan sehingga tidak ada tempat bagi Allah untuk memperjelas maksudnya,
Allah selalu bertindak sesuai dengan maksud-Nya sendiri Atkinson, 2002: 55. Dalam penderitaan-Nya, Yesus tidak diam dan meratapi sengsara-Nya. Ia
memberi contoh bagaimana kita harus bersikap ketika berada dalam penderitaan. Ungkapan “Eloi, Eloi Lama Sabakhtani” adalah usaha untuk terus-menerus
mencari Allah meski penderitaan dialami begitu berat. Allah yang kita imani adalah Allah yang dekat, yang mau hadir ketika penderitaan terjadi. Hanya saja
kita tidak menyadarinya. Begitu juga Allah hadir saat Yesus di salib dan wafat, jika Allah tidak hadir maka Yesus tidak mungkin bangkit Haryatno, 2011: 335.
Kita tidak boleh melupakan bahwa Allah tetap menyertai umatnya dalam situasi apapun, terutama dalam pengalaman penderitaan, sebab Allah sendiri juga
mengalami penderitaan yang ditanggung oleh Yesus Kristus Putera-Nya Robini, 1998: 15.
Penderitaan Yesus adalah demi dan untuk umat yang dikasihi-Nya, demi kita semua, manusia. Karena itu, kita juga dipanggil untuk menderita bersama Dia,
seperti yang dilakukan oleh Paulus untuk Yesus Kristus yang tertulis dalam Kitab Suci, II Tim: 10-12 sbb :
Tetapi engkau telah mengikuti ajaranku, cara hidupku, pendirianku, imanku, kesabaranku, kasihku dan ketekunanku. Engkau telah ikut menderita
penganiayaan dan sengsara seperti yang telah kuderita di Antiokhia dan Ikonium dan Listra. Semua penganiayaan itu kuderita dan Tuhan telah
melepaskan aku daripada-Nya. Memang setiap orang yang mau hidup beribadah di dalam Kristus Yesus akan menderita aniaya.
13
Sanggupkah kita menderita bersama Kristus seperti yang dilakukan Paulus? Selama ini kita mempercayai penderitaan adalah ganjaran atas perbuatan dosa,
namun kisah Ayub memberi kita wajah lain dari penderitaan, yaitu penderitaan tanpa dosa. Itulah sebabnya mengapa kisah Ayub penting untuk memahami arti
dan makna penderitaan orang benar, yaitu karena penderitaan Ayub adalah penderitaan yang tidak biasa, penderitaan tanpa melakukan perbuatan dosa.
Menurut Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II: “…Penderitaan Ayub adalah penderitaan dari seseorang yang tidak bersalah; hal itu harus diterima sebagai
suatu misteri, yang tak dapat ditembus oleh manusia secara penuh berdasarkan akal budinya…” SD art. 11. Kalau bukan hukuman atas dosa, lantas apa maksud
Allah dibalik penderitaan orang benar? Memang benar bahwa penderitaan mempunyai suatu makna sebagai hukuman, bila dihubungkan dengan suatu
kesalahan, tapi tidak benarlah bahwa segala penderitaan merupakan akibat dari dan bentuk dari dosa.
Manusia yang menderita, harus dibebaskan. Gereja harus memerangi ketidakadilan yang terjadi di dunia, apa yang harus dilakukan oleh Gereja dalam
menanggapi penderitaan sesama? Sejak dahulu sudah diusahakan suatu pembebasan bagi kaum miskin, namun sampai sekarang belum tuntas juga. Negara
Indonesia ini memang banyak menyimpan sejarah hidup, penderitaan dan perjuangan manusia. Ada juga manusia yang pasrah pada nasib, dan ada juga yang
terdorong untuk menuntut keadilan. Seperti yang dilakukan oleh Marsinah, seorang buruh yang memperjuangkan keadilan, namun akhirnya ditemukan tewas
mengenaskan akibat penganiayaan yang dilakukan oleh pihak yang merasa terusik dengan aksi nekat yang dilakukannya Majalah Tempo, XXIII. Oktober, 1993.
14
Menyadari hal di atas, penulis mengupayakan suatu bentuk pendekatan reflektif kritis guna memberi gambaran baru sebagai usaha untuk membantu orang
benar zaman sekarang menemukan makna dibalik penderitaannya. Selain itu, beranjak dari situasi di mana seringkali terjadi vonis semena-mena atas
penderitaan orang lain, maka penderitaan harus dimaknai sungguh-sungguh sehingga dapat menjauhkan kita dari penilaian subjektif yang malah semakin
menambah penderitaan bagi mereka yang mengalaminya. Lalu bagaimana usaha kita dalam menemukan makna dibalik penderitaan yang menimpa orang benar?
Dan apa yang harus kita lakukan sebagai usaha membantu mereka yang menderita dapat memaknai penderitaannya?
Beranjak dari latar belakang yang telah penulis paparkan di atas, akhirnya dengan penuh kerendahan hati penulis ingin mengajak kita semua belajar bersama
untuk merefleksikan penderitaan yang terjadi di dalam hidup kita khususnya belajar bersama Kitab Ayub, melalui kacamata iman Kristiani menemukan
bersama makna dibalik penderitaan orang benar serta penerapannya melalui katekese pembebasan. Maka dari itu, penulis tertarik menulis skripsi ini dengan
judul : BELAJAR DARI KITAB AYUB: MENEMUKAN MAKNA DIBALIK PENDERITAAN MANUSIA DAN APLIKASINYA MELALUI KATEKESE
PEMBEBASAN MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS SCP