Belajar dari novel The Devil and Miss Prym: Memaknai Pengorbanan Yesus dan Aplikasinya melalui katekese model Shared Christian Praxis (SCP).

(1)

viii

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul BELAJAR DARI NOVEL “THE DEVIL AND

MISS PRYM: MEMAKNAI PENGORBANAN YESUS DAN

APLIKASINYA DALAM KATEKESE MODEL SHARED CHRISTIAN

PRAXIS (SCP). Skripsi ini ditulis berdasarkan fakta bahwa ritus korban merupakan bagian dari masyarakat. Ritus korban muncul dalam banyak hal, di antaranya adalah dalam karya sastra.

Penulis mengulas teori tentang fiksi sebagai salah satu bentuk karya sastra. Novel merupakan salah satu karya sastra fiksi. Penulis menggunakan novel “The Devil and Miss Prym” sebagai sumber data utama dalam penulisan skripsi ini. Penulis mencoba mengaitkan konflik tentang korban dan pengorbanan dalam novel ini dengan kisah tentang pengorbanan Yesus. Dengan demikian, akan terlihat pula unsur-unsur teologi dalam sastra.

Fokus utama dalam skripsi ini adalah menemukan makna teologi tentang pengorbanan Yesus yang terkandung dalam novel “The Devil and Miss Prym”. Oleh karena itu, penulis menggunakan metodologi penelitian sastra dengan teknik analisis hermeneutika Paul Ricoeur. Metode hermeneutika digunakan untuk menemukan makna yang paling optimal dalam karya sastra dengan bantuan beberapa teori sebagai batas-batas proses analisis. Teknik analisis hermeneutika bergerak dalam tiga langkah kerja, yaitu langkah objektif (analisis unsur-unsur pembangun karya sastra), langkah reflektif (menghubungkan dunia objektif teks dengan dunia yang diacu), kemudian langkah filosofis (pemahaman pada tingkat keberadaan makna).

Proses analisis bergerak dengan tokoh pastor sebagai sampelnya. Dalam langkah objektif, penulis menemukan karakter pastor yang taat, cerdas, namun sombong. Pastor ingin memperlihatkan bahwa dirinya adalah hamba Tuhan yang baik dengan berbuat jahat. Pada langkah reflektif, penulis menemukan bahwa Berta merupakan korban dari hasrat segitiga yang muncul dalam diri pastor. Sedangkan dalam langkah filosofis penulis menemukan keterkaitan antara korban dalam novel dengan kisah pengorbanan Yesus. Korban dalam novel dimaknai sebagai kambing hitam seperti Yesus yang menjadi korban pembunuhan para pemimpin agama Yahudi. Dengan demikian, segi historis pengorbanan Yesus menjadi makna yang terkandung dalam novel.

Penemuan makna dalam proses analisis novel ini selanjutnya digunakan sebagai bahan dalam proses katekese model Shared Christian Praxis (SCP).Teks sinopsis novel digunakan sebagai sarana untuk membantu umat mengungkapkan pengalaman hidupnya. Dengan SCP ini, umat diharapkan semakin mendalami makna pengorbanan Yesus dan mampu melakukan tindakan pengorbanan sejati yang membawa perdamaian.


(2)

ix ABSTRACT

This small thesis title is LEARNING FROM THE NOVEL “THE DEVIL AND MISS PRYM: INTERPRET JESUS’ SACRIFICE AND ITS APPLICATION IN CATECHESIS MODEL OF SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP). This small thesis was written based on the fact that the sacrifice rites were part of the community. The sacrifice rites appears in many ways, among which is the literary work.

The writer reviewed the theory of fiction as a form of literary work. The novel is one of the literary works of fiction. The writer uses the novel “The Devil and Miss Prym” as the primary data source in writing this small thesis. The writer tried to link the conflict on victims and sacrifices in this novel with the story of Jesus’ sacrifice. Thus, it will be seen also elements of theology in the literature.

The main focus of this small thesis is to find the meaning of the theology of the Jesus’ sacrifice which is contained in the novel “The Devil and Miss Prym”. Therefore, the writer uses literature research methodology with analysis techniques of Paul Ricoeur’s hermeneutic. Hermeneutical method is used to find the most optimal meaning in literature with the help of several theories as the boundaries of the analysis process. Hermeneutics analysis technique has three working steps, namely objective measures (analysis of elements of the literature), reflective step (linking the objective world with the world of the text referred to), then the philosophical step (understanding the meaning).

The analysis process took the priest as the sample figure. In objective measures, the writer found that the priest character was devout, intelligent, but arrogant. The priest wanted to show that he was a servant of God who was good by evil doing. In reflective step, the writer found that Berta was the victim of the triangular desire that arose in a priest. While the philosophical step, the writer found a link between the victims in the novel with the story of Jesus’ sacrifice. The victim in the novel was interpreted as a scapegoat as Jesus being the victim of the murder of the Jewish religious leaders. Thus, the historical sacrifice of Jesus in was found its meaning in the novel.

The discovery of the meaning in the process of further analysis of this novel was used as a component part in the process of catechesis model of Shared Christian Praxis (SCP). Text synopsis of the novel was used as a means to help the faithful expressing their life experiences. With the SCP, the faithful are expected to further deepen the meaning of Jesus’ sacrifice and to be able to do true sacrificial act that brings peace.


(3)

BELAJAR DARI NOVEL THE DEVIL AND MISS PRYM: MEMAKNAI PENGORBANAN YESUS

DAN APLIKASINYA MELALUI KATEKESE MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP)

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Theresia Bekti Lestari NIM: 091124047

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2015


(4)

i

BELAJAR DARI NOVEL THE DEVIL AND MISS PRYM: MEMAKNAI PENGORBANAN YESUS

DAN APLIKASINYA MELALUI KATEKESE MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP)

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Theresia Bekti Lestari NIM: 091124047

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2015


(5)

(6)

(7)

iv

PERSEMBAHAN

Dengan penuh kebahagiaan, saya persembahkan skripsi ini kepada Yesus, keluarga, dan kampusku.


(8)

v

MOTTO

“Baik dan Jahat bertarung di hati mereka, sama seperti di dalam setiap jiwa yang ada di muka bumi ini. Tak ada perbedaan dalam hal ini. Semua hanya masalah

pengendalian diri. Dan pilihan. Tidak kurang, tidak lebih.” (Paulo Coelho, Iblis dan Miss Prym)

“Urip iku urup” (Semar)


(9)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sungguh-sungguh bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebut dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, Penulis, 30 Juli 2015


(10)

vii

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya, mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Theresia Bekti Lestari NIM : 091124047

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah yang berjudul: BELAJAR DARI NOVEL THE DEVIL AND MISS PRYM: MEMAKNAI PENGORBANAN YESUS DAN APLIKASINYA MELALUI KATEKESE MODEL SHARED

CHRISTIAN PRAXIS (SCP) beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan, membentuk media lain, mengolahnya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin maupun memberikan royalti, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikianlah, pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal, 2 Juli 2015 Yang menyatakan,


(11)

viii

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul BELAJAR DARI NOVEL “THE DEVIL AND

MISS PRYM: MEMAKNAI PENGORBANAN YESUS DAN

APLIKASINYA DALAM KATEKESE MODEL SHARED CHRISTIAN

PRAXIS (SCP). Skripsi ini ditulis berdasarkan fakta bahwa ritus korban merupakan bagian dari masyarakat. Ritus korban muncul dalam banyak hal, di antaranya adalah dalam karya sastra.

Penulis mengulas teori tentang fiksi sebagai salah satu bentuk karya sastra. Novel merupakan salah satu karya sastra fiksi. Penulis menggunakan novel “The Devil and Miss Prym” sebagai sumber data utama dalam penulisan skripsi ini. Penulis mencoba mengaitkan konflik tentang korban dan pengorbanan dalam novel ini dengan kisah tentang pengorbanan Yesus. Dengan demikian, akan terlihat pula unsur-unsur teologi dalam sastra.

Fokus utama dalam skripsi ini adalah menemukan makna teologi tentang pengorbanan Yesus yang terkandung dalam novel “The Devil and Miss Prym”. Oleh karena itu, penulis menggunakan metodologi penelitian sastra dengan teknik analisis hermeneutika Paul Ricoeur. Metode hermeneutika digunakan untuk menemukan makna yang paling optimal dalam karya sastra dengan bantuan beberapa teori sebagai batas-batas proses analisis. Teknik analisis hermeneutika bergerak dalam tiga langkah kerja, yaitu langkah objektif (analisis unsur-unsur pembangun karya sastra), langkah reflektif (menghubungkan dunia objektif teks dengan dunia yang diacu), kemudian langkah filosofis (pemahaman pada tingkat keberadaan makna).

Proses analisis bergerak dengan tokoh pastor sebagai sampelnya. Dalam langkah objektif, penulis menemukan karakter pastor yang taat, cerdas, namun sombong. Pastor ingin memperlihatkan bahwa dirinya adalah hamba Tuhan yang baik dengan berbuat jahat. Pada langkah reflektif, penulis menemukan bahwa Berta merupakan korban dari hasrat segitiga yang muncul dalam diri pastor. Sedangkan dalam langkah filosofis penulis menemukan keterkaitan antara korban dalam novel dengan kisah pengorbanan Yesus. Korban dalam novel dimaknai sebagai kambing hitam seperti Yesus yang menjadi korban pembunuhan para pemimpin agama Yahudi. Dengan demikian, segi historis pengorbanan Yesus menjadi makna yang terkandung dalam novel.

Penemuan makna dalam proses analisis novel ini selanjutnya digunakan sebagai bahan dalam proses katekese model Shared Christian Praxis (SCP).Teks sinopsis novel digunakan sebagai sarana untuk membantu umat mengungkapkan pengalaman hidupnya. Dengan SCP ini, umat diharapkan semakin mendalami makna pengorbanan Yesus dan mampu melakukan tindakan pengorbanan sejati yang membawa perdamaian.


(12)

ix ABSTRACT

This small thesis title is LEARNING FROM THE NOVEL “THE DEVIL AND MISS PRYM: INTERPRET JESUS’ SACRIFICE AND ITS APPLICATION IN CATECHESIS MODEL OF SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP). This small thesis was written based on the fact that the sacrifice rites were part of the community. The sacrifice rites appears in many ways, among which is the literary work.

The writer reviewed the theory of fiction as a form of literary work. The novel is one of the literary works of fiction. The writer uses the novel “The Devil and Miss Prym” as the primary data source in writing this small thesis. The writer tried to link the conflict on victims and sacrifices in this novel with the story of Jesus’ sacrifice. Thus, it will be seen also elements of theology in the literature.

The main focus of this small thesis is to find the meaning of the theology of the Jesus’ sacrifice which is contained in the novel “The Devil and Miss Prym”. Therefore, the writer uses literature research methodology with analysis techniques of Paul Ricoeur’s hermeneutic. Hermeneutical method is used to find the most optimal meaning in literature with the help of several theories as the boundaries of the analysis process. Hermeneutics analysis technique has three working steps, namely objective measures (analysis of elements of the literature), reflective step (linking the objective world with the world of the text referred to), then the philosophical step (understanding the meaning).

The analysis process took the priest as the sample figure. In objective measures, the writer found that the priest character was devout, intelligent, but arrogant. The priest wanted to show that he was a servant of God who was good by evil doing. In reflective step, the writer found that Berta was the victim of the triangular desire that arose in a priest. While the philosophical step, the writer found a link between the victims in the novel with the story of Jesus’ sacrifice. The victim in the novel was interpreted as a scapegoat as Jesus being the victim of the murder of the Jewish religious leaders. Thus, the historical sacrifice of Jesus in was found its meaning in the novel.

The discovery of the meaning in the process of further analysis of this novel was used as a component part in the process of catechesis model of Shared Christian Praxis (SCP). Text synopsis of the novel was used as a means to help the faithful expressing their life experiences. With the SCP, the faithful are expected to further deepen the meaning of Jesus’ sacrifice and to be able to do true sacrificial act that brings peace.


(13)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan penyertaan-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul:

BELAJAR DARI NOVEL THE DEVIL AND MISS PRYM: MEMAKNAI

PENGORBANAN YESUS DAN APLIKASINYA MELALUI KATEKESE

MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP).

Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis menemui banyak hal yang mendukung maupun yang membuat tersendatnya penulisan. Pergulatan dari dalam diri maupun faktor-faktor dari luar diri membuat penulis semakin tangguh. Pengalaman suka yang penulis dapatkan adalah adanya kesesuaian yang penulis temukan antara teori yang terdapat dalam skripsi ini dengan realitas yang penulis alami secara pribadi. Sedangkan pengalaman duka yang penulis alami adalah pengalaman ketika penulis sempat kehilangan semangat selama proses penulisan skripsi ini. Berbagai pengalaman suka duka tersebut membawa pengaruh besar bagi perkembangan kepribadian maupun spiritualitas penulis.

Dengan segala suka duka yang penulis alami, penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, perkenankan penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. B.A. Rukiyanto S.J., sebagai dosen pembimbing utama yang telah memberikan bantuan, perhatian, kesabaran, waktu, dan masukan serta kritik yang membangun sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.


(14)

xi

2. F.X. Dapiyanta, SFK., M.Pd., selaku dosen pembimbing akademik, dosen penguji II yang membantu penelitian dan yang selalu memberikan semangat, masukan, dan kritikan dalam proses penelitian dan penulisan skripsi serta selama menjalani kuliah di Prodi IPPAK.

3. Yoseph Kristianto, SFK., M.Pd., selaku dosen penguji ke III yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan semangat bagi penulis dalam perjalanan kuliah dan selama penulis menyelesaikan skripsi ini.

4. Drs. F.X. Heryatno W.W., S.J., M.Ed., selaku Kaprodi IPPAK-USD yang telah mendukung dan memberi kesempatan kepada penulis untuk mempertanggungjawabkan skripsi ini.

5. Keluarga Menur 100, terutama Bapak Agus Karno, yang telah memberikan bantuan dalam bentuk doa dan finansial bagi penulis hingga penulis mendapatkan kesempatan untuk kuliah hingga menyelesaikan skripsi ini. Ungkapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Agus, Mas Anka, Mbak Tasya, Mas Ringgo, Marcellos, Maura, Mbak Ika Mendez, Christo, Mbak Diah, Mbak Ari, Puri, Kak Corry, Eni, Clara, Mbak Tris.

6. Keluargaku tercinta, bapak, mamak, mas Frans, mas Handi, mbok Ichi, buk Erla, kak Asep, Hendy, Donny, Rere, tante Pri, bapak Marno dan mamak, mbak Tutik, mbak Dwik, bang Pitua, El, mas Agus, mbak Rina, Sr. Marlisa, CB., Sr. Liani, CB., yang selalu mendoakan, mendukung, dan memberikan kepercayaan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.


(15)

xii

7. Sahabat tercinta, Clement Wahyu Yuliono, yang selalu menginspirasi, menemani, mengingatkan, menyemangati dan mendampingi penulis selama kuliah dan proses penulisan skripsi ini.

8. Segenap Staff Dosen, Karyawan, dan Mahasiswa Prodi IPPAK, Universitas Sanata Dharma yang telah mendidik, membimbing, serta mendukung penulis selama belajar sampai selesainya skripsi ini.

9. Teman-teman angkatan 2009 yang telah memberi perhatian dan dukungan dalam semangat perjuangan dan persahabatan selama kuliah dan proses penulisan hingga penyelesaian skripsi ini. Terutama untuk Oom Alex Guruh, Marga, Dhanie, Lia dan Sisca.

10. Para sahabat dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan dukungan dan semangat kepada penulis dengan caranya masing-masing.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dan keterbatasan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis terbuka untuk menerima segala kritikan dan saran yang membangun, sehingga dapat menerima skripsi ini dengan senang hati. Penulis berharap semoga skripsi ini memberi manfaat dan inspirasi bagi pembaca.

Yogyakarta, 2 Juli 2015 Penulis


(16)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xvi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penulisan ... 7

D. Manfaat Penulisan ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II. KAJIAN TEORI ... 11

A. Fiksi ... 11

Novel ... 12

Bentuk Percakapan dalam Novel ... 14

1. Narasi dan Dialog ... 14

2. Unsur Pragmatik dalam Percakapan ... 15

3. Tindak Ujar ... 15

B. Kajian Fiksi ... 17

1. Kajian Struktural dan Postruktural ... 17

Tokoh dan Penokohan ... 18


(17)

xiv

3. Kajian Intertekstual ... 21

C. Teologi ... 22

1. Teologi Kristiani ... 24

2. Teologi dalam Sastra ... 26

3. Kurban dalam Pandangan Teologi Kristiani ... 27

D. Kristologi ... 31

Yesus ... 31

1. Sejarah Yesus ... 35

2. Yesus sebagai Manusia ... 41

3. Yesus yang Ilahi ... 44

4. Pengorbanan Yesus ... 46

a. Alasan secara Historis ... 46

b. Alasan secara Ilahi ... 48

c. Makna Pengorbanan Yesus ... 49

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 51

A. Latar Belakang Penelitian ... 51

B. Tujuan Penelitian ... 52

C. Manfaat Penelitian ... 52

D. Metodologi Penelitian ... 52

1. Data ... 52

a. Sumber Data Primer ... 53

b. Sumber Data Sekunder ... 53

2. Pendekatan ... 53

3. Populasi ... 53

4. Sampel ... 54

5. Metode Penelitian ... 54

E. Landasan Teori ... 55

1. Teori Hermeneutika ... 55

a. Pemikiran Ricoeur: dari simbol ke teks ... 57

b. Appropriasi ... 59


(18)

xv

a. Teori Hasrat Segitiga ... 60

b. Teori Kambing Hitam ... 65

F. Teknik Analisis ... 66

1. Langkah Objektif ……….. 67

2. Langkah Reflektif ………. 67

3. Langkah Filosofis ………. 67

BAB IV: ANALISIS NOVEL “THE DEVIL AND MISS PRYM” DENGAN TEKNIK ANALISIS HERMENEUTIKA DAN CONTOH PERSIAPAN KATEKESE MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP) SEBAGAI BENTUK APLIKASI... 68 A. Analisis Novel “The Devil and Miss Prym” dengan Teknik Analisis Hermeneutika ... 68

1. Langkah Objektif ... 68

2. Langkah Reflektif ... 77

3. Langkah Filosofis ... 85

B. Contoh Persiapan Katekese Model Shared Christian Praxis (SCP) sebagai Bentuk Aplikasi... 94

1. Latar Belakang Contoh Persiapan Katekese ... 95

2. Alasan Pemilihan Tema dan Tujuan ... 96

3. Contoh Persiapan Katekese ... 97

BAB V: PENUTUP ... 109

A. Kesimpulan ... 109

B. Saran ... 111

DAFTAR PUSTAKA ... 113

LAMPIRAN ... 115

Lampiran 1: Sinopsis Novel “The Devil and Miss Prym” ... (1)

Lampiran 2 : Kutipan Sisnopsis sebagai Bahan SCP ... (15)


(19)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hidup manusia tidak akan pernah bisa lepas dari sejarah. Sejarah dalam setiap aspek hidup manusia memiliki peranan yang penting dalam perkembangan hidup manusia itu sendiri. Baik dari segi ilmu, pengetahuan, kebudayaan, cara hidup, maupun pola pikir. Manusia hidup dari apa yang ada di masa lalu. Dengan mengikutinya mentah-mentah ataupun mengubahnya ke arah yang menurut mereka mungkin akan lebih baik hasilnya. Namun pada dasarnya, sejarah merupakan suatu pengalaman yang bersifat pribadi yang mempunyai konteks dalam kehidupan bersama. Dalam kehidupan bersama, terdapat hal-hal yang memiliki peranan besar yang berhubungan dengan pengalaman religius asali. Hal-hal tersebut bersifat verbal, yakni mitos dan sesuatu yang dikerjakan bersama dalam suatu upacara, yakni ritus korban (Banawiratma, 1986: 44).

Sejarah pula yang membawa manusia pada suatu ritus atau upacara tertentu yang menjadikannya hal penting dalam keselamatan umat manusia. Salah satu diantaranya adalah upacara korban. Dalam bukunya, JB. Banawiratma (1986: 48) mendeskripsikan bahwa upacara korban merupakan peristiwa pengosongan kekerasan secara kolektif, sehingga masyarakat mengalami hidup yang damai dan selamat.

Dengan dasar itu tentu dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa korban atau pengorbanan memang perlu dilakukan. Dengan alasan untuk mendapatkan


(20)

keselamatan yang bersifat universal. Beberapa contoh bentuk upacara korban atau pengorbanan dapat dilihat dalam banyak hal. Salah satunya adalah upacara korban yang terjadi di Flores, Indonesia. Di kecamatan Soa dan Kecamatan Riung, Kabupaten Ngadha, Flores, masih ada upacara korban yang telah lama dilaksanakan hingga saat ini. Upacara korban itu desebut para atau sese. Para atau sese merupakan upacara upacara yang khas di daerah-daerah ini. Oleh karena itu, banyak di setiap pelaksanaannya banyak orang yang datang untuk mengikuti upacara korban tersebut. Upacara korban ini sebenarnya merupakan perayaan syukur atas keberhasilan seseorang atau atas hasil panen yang didapat warga kampung. Karena itu, perayaan ini dilasanakan setelah panen (Banawiratma, 1986: 47).

Halaman rumah diberi pagar sebagai pembatas antara rumah dan halaman kampung. Pagar ini dibuat sedemikian rupa hingga kuat untuk menahan amukan kerbau. Dalam perayaan ini, kerbaulah yang digunakan sebagai “korban”. Tetua Adat dan pemimpin upacara menempati tempat khusus di halaman. Satu persatu kerbau yang dijadikan korban dibawa oleh setiap orang ke hadapan ketua adat dan pemimpin upacara. Pemimpin upacara akan menyampaikan ujud pemilik kerbau tanpa lupa menyebutkan “demi kesejahteraan masyarakat kampung; permohonan ampun dan maaf untuk semua tindakan masyarakat kampung (Banawiratma, 1986: 47).

Setelah pembacaan ujud selesai, kemudian dahi kerbau itu dilempari dengan sebutir telur. Tali yang mengikat kerbau pun dilepaskan sehingga kerbau bebas. Sorak sorai dari orang-orang yang di sana, juga suara gong dan gendang


(21)

terus digemakan untuk merangsang amarah kerbau agar kerbau itu mengamuk. Para lelaki yang merasa dirinya cukup berani memiliki kesempatan untuk melukai kerbau. Meski begitu, para lelaki ini dilarang keras untuk membunuh kerbau. Rasa sakit yang ditimbulkan oleh luka ditubuh kerbau itu membuat kerbau semakin mengamuk dan mengejar orang-orang yang berkeliling ditengah halaman kampung. Lambat laun kerbau akan rebah karena kehabisan darah dan rasa sakit yang dideritanya. Kerbau yang telah roboh tetap dibiarakan seperti itu sampai seluruh kerbau yang dikorbankan selesai dipotong (Banawiratma, 1986: 48).

Inti dari upacara ini adalah pembersihan kampung dan seluruh isi nya dengan binatang korban. Dengan korban ini diharapkan warga kampung akan mendapatkan panen yang baik, hewan peliharaan terhindar dari wabah, kesejahteraan warga kampung dan tentunya keselamatan (Banawiratma, 1986: 48).

Selain korban hewan, sepertinya terjadi pula korban manusia. Dalam bukunya, Banawiratma (1986: 50) mengutip tulisan Rachmat Subagya tentang korban manusia pada zaman kuno. Dalam perang Brotoyudo, akan dipilih seorang korban untuk disembelih sebelum perang agar memperoleh kemenangan. Dalam Babad Tanah Jawi (±1750) diberitakan tentang korban manusia untuk Roh Bumi yang bahurekso atau disebut dengan wadal. Ada pula nama-nama lain (selain wadal yang digunakan untuk merajuk kea rah korban manusia, yakni tawur, bebanten, tumbal dan landhesan. Di Sulawesi Tengah, anak-anak bangsa To Seko, tandasong ada pula korban manusia di sana. Sebelum ia dibunuh, ia


(22)

diantar untuk keliling di seluruh daerah dengan alasan agar daya hidupnya menguntungkan seluruh daerah itu. Pada puncak perayaan akhirnya ia dibunuh untuk memancarkan daya hidupnya.

Banjir lahar menimpa desa-desa di sekitar lereng merapi pada tahun 1929. Dan untuk menentramkan kemarahan Kyai Semar, keempat lurah dari desa-desa yang dilanda banjir itu melemparkan diri mereka ke dalam kawah merapi. Tahun 1972, pipa minyak bawah tanah dipasang dari Cilacap sampai Yogyakarta. Dan untuk hasil yang baik dari pembangunan itu, orang-orang memiliki keyakinan bahwa di Kedu Selatan seorang anak telah diculik untuk dijadikan korban persembahan (tumbal) (Banawiratma, 1986: 51-52).

Korban, ternyata tak hanya terjadi dalam dunia nyata saja. Dalam novel “The Devil and Miss Prym” karya Paulo Coelho yang penulis baca, juga memuat kisah tentang korban. Dikisahkan bahwa seorang musafir yang mengaku bernama Carlos datang ke sebuah desa yang damai dan terpencil bernama Viscos. Kedatangan Carlos ke Viscos tak hanya sekedar untuk berlibur. Ia memiliki misinya sendiri, yakni untuk menemukan jawaban atas pergulatan hidupnya tentang sisi hidup atau jati diri manusia, yaitu “baik” atau “jahat”. Dengan membawa 11 batang emas, ia mempertaruhkan segalanya untuk menemukan jawaban atas pergulatannya itu. Ia menanam 1 batang emas di satu tempat, dan 10 batang emas di tempat lainnya. Carlos memanfaatkan seorang gadis termuda di desa itu, Chantal Prym untuk melaksanakan misinya dengan imbalan 1 batang emas yang ia tanam. Carlos meminta Chantal untuk memberitahukan kepada penduduk desa yang berjumlah 281 orang itu, bahwa


(23)

ada 10 batang emas di gunung. Semua emas itu akan menjadi milik penduduk jika dalam waktu 1 minggu ada serang penduduk yang meninggal sebagai korban. Dengan emas 10 batang yang masing-masing beratnya sekitar dua kilogram, tentu dapat menjamin kesejahteraan penduduk Viscos. Selain itu juga dapat menjadikan desa yang telah dianggap tidak memiliki masa depan itu berkesempatan mengembangkan dirinya dari berbagai aspek. Baik dari segi kehidupan, pertaniannya maupun pariwisata.

Pertanyaan besar bagi penduduk adalah siapakah yang hendak dikorbankan ? Apakah Chantal Prym, gadis yang telah membawakan kabar mengenai keberadaan emas itu? Ataukah Berta, orang paling tua di Vicos yang dianggap penduduk sebagai seorang penyihir? Ataukah Pastor, yang memiliki keyakinan bahwa mengorbankan satu orang dapat menyelamatkan banyak orang? Ataukah emas itu dibiarkan tetap pada tempatnya hingga batas waktu yang ditentukan tanpa seorangpun yang dikorbankan, dan itu artinya emas itu tetap menjadi milik pria asing? Selama berhari-hari penduduk mengadakan pertemuan untuk menemukan hal terbaik yang dapat mereka pilih dan lakukan demi kepentingan bersama (Coelho, 2005: 15-179).

Dalam sejarah keselamatan Kristiani, umat tentu menyakini akan Pengorbanan Yesus. Ia yang rela wafat di kayu salib untuk menebus dosa manusia. Yesus menjadi kurban kebencian dan permusuhan para pemimpin agama Yahudi. Atas nama hukum Allah, Yesus disingkirkan. Yesus dianggap berbahaya bagi kedudukan dan kuasa para pemimpin agama Yahudi karena pewartaan yang dilakukan-Nya (KWI, 2012: 274).


(24)

Dari berbagai contoh di atas, baik tentang upacara korban, maupun “korban” yang diceritakan dalam novel “The Devil and Miss Prym”, dapat dilihat bahwa pada dasarnya pengorbanan itu dilakukan untuk mendapatkan keselamatan universal. Namun ada beberapa fakta lain yang tidak dapat terpisahkan dari beberapa contoh di atas, yakni tentang kekerasan. Pengorbanan tidak lepas dari kekerasan entah fisik maupun mental juga dalam beberapa hal dapat dilihat pula unsur ketidakadilan.

Pada kenyataannya, hidup bersama dalam masyarakat memang memiliki hubungan dengan mitos dan upacara korban. Kekerasan yang terkandung dalam upacara korban sengaja ditutupi bahkan dilaksanakan secara kolektif untuk memenuhi kepuasan masyarakat akan kehidupan yang damai dan selamat. Tidak jarang pula pada akhirnya muncul tokoh yang disebut sebagai “kambing hitam” dalam upacara korban.

Baik apa yang dilakukan pastor dalam kisah “The Devil and Miss Prym”, maupun kisah pengorbanan Yesus, satu hal yang terlihat di sana adalah adanya mekanisme kambing hitam. Mekanisme kambing hitam ini tak hanya menandai religi-religi dan kebudayaan-kebudayaan sederhana, namun tetap terjadi sampai saat ini. Sayangnya mekanisme ini dapat disembunyikan. Dalam kehidupan bermasyarakat modern, praktek mekanisme kambing hitam yang akhirnya menuju kepada upacara korban memang tampak masih ada. Misalnya dalam kekuasaan yang sewenang-wenang (Banawiratma, 1986: 52-53)

Menjadi suatu tantangan tersendiri bagi penulis bahwa menemukan makna pengorbanan Yesus dalam suatu novel adalah suatu hal yang mungkin


(25)

terjadi. Bagi penulis, novel memiliki jiwanya tersendiri. Di balik kemelut para tokoh yang memainkan perannya masing-masing, pengarang memberikan suatu gambaran yang luar biasa mengenai jiwa yang dimiliki novel itu. Novel karya Paolo Coelho yang berjudul “The Devil and Miss Prym” memberikan daya tarik tersendiri bagi penulis. Alur cerita yang jelas dan pergulatan batin dari setiap tokoh di dalamnya memberikan inspirasi nyata bagi penulis untuk menemukan makna pengorbanan. Untuk menanggapi hal ini, penulis akan menggali makna pengorbanan dari novel karya Paolo Coelho yang berjudul “The Devil and Miss Prym” menggunakan sudut pandang teologi. Penulis juga menjabarkan contoh program katekese yang relevan bagi umat katolik melalui katekese model Shared Christian Praxis (SCP). Untuk itu penulis memilih judul untuk skripsi ini: BELAJAR DARI NOVEL “THE DEVIL AND MISS PRYM”:

MEMAKNAI PENGORBANAN YESUS DAN APLIKASINYA MELALUI

KATEKESE MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana memaknai nilai pengorbanan yang terkandung dalam novel “The Devil and Miss Prym” secara teologis?

2. Bagaimana sebuah karya sastra diaplikasikan dalam berkatekese?

C. Tujuan Penulisan


(26)

1. Dapat mengungkapkan makna tentang pengorbanan yang terkandung dalam novel The Devil and Miss Prym dari sudut pandang teologi.

2. Memaparkan katekese model Shared Christian Praxis (SCP) sebagai bentuk pengaplikasian sebuah karya sastra.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Dari segi akademis, penulisan skripsi ini dapat menambah wawasan pembaca untuk dapat menemukan makna pengorbanan yang terdapat dalam novel karya Paolo Coellho, “The Devil and Miss Prym”. Skripsi ini juga memberikan wawasan baru bagi pembaca tentang teologi dalam sastra. 2. Dari segi praktis, penulisan skripsi ini dapat memberikan informasi

sehubungan dengan pengorbanan Yesus dan memberikan gambaran bahwa suatu karya fiksi seperti novel dapat membantu umat menjadi sarana praktis untuk mendalami makna pengorbanan. Selain itu, penulisan skripsi ini juga dapat memberikan gambaran bahwa katekese model Shared Christian Praxis (SCP) dapat digunakan sebagai aplikasi praktis dengan sumber bahan sebuah karya sastra.

3. Dari segi penulis, penulisan skripsi ini dapat menemukan ilham dan inspirasi sebagai calon katekis untuk memaknai secara sungguh-sungguh dan mendalam tentang pengorbanan Yesus.


(27)

E. Sistematika Penulisan

Judul skripsi yang dipilih adalah “Belajar dari Novel “The Devil and Miss Prym”: Memaknai Pengorbanan Yesus dan Aplikasinya Melalui Katekese Model Shared Christian Praxis (SCP). Penulis akan menguraikan judul ini dalam 4 bab.

Bab I : Pendahuluan

Bab ini merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab II : Kajian Teori

Dalam bab dua ini penulis akan memaparkan teori-teori tentang novel, kajian fiksi dan teologi dalam sastra. Penulis juga akan memaparkan teori tentang korban, Yesus dan Pengorbanan Yesus.

Bab III : Metodologi Penelitian

Dalam bab tiga ini penulis akan memaparkan metodologi penelitian untuk menemukan makna yang terkandung dalam novel The Devil and Miss Prym.

Bab IV: Analisis Novel “The Devil and Miss Prym” dan Contoh Persiapan Katekese Umat Model Shared Christian Praxis (SCP) sebagai Bentuk Aplikasi Dalam bab empat ini penulis akan memaparkan hasil kajian analisis atas novel berdasarkan metodologi penelitian pada Bab III dan kajian teori dalam Bab II untuk menemukan makna pengorbanan. Selain itu, penulis juga akan memaparkan contoh aplikasi katekese model Shared Christian Praxis berdasarkan analisis novel.


(28)

Bab V : Penutup

Dalam bab ini penulis akan menutup penulisan skripsi ini dengan membuat kesimpulan dan saran.


(29)

BAB II

KAJIAN TEORI

Bab ini memaparkan teori-teori tentang fiksi, novel, kajian fiksi dan teologi dalam sastra. Penulis juga akan memaparkan teori tentang kurban, Yesus dan Pengorbanan Yesus.

A. Fiksi

Istilah fiksi dapat berarti cerita rekaan atau cerita khayalan sebab fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak menyaran pada kebenaran sejarah. Dengan demikian, karya fiksi menyaran pada suatu karya yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan tidak terjadi sungguh-sungguh sehingga tidak perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata. Meski begitu, fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Oleh karena itu, fiksi juga dapat diartikan sebagai prosa naratif yang bersifat imaginatif, namun bisa masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antar manusia.

Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama, diri sendiri, serta interaksinya dengan Tuhan. Fiksi merupakan karya imaginatif yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreatifitas sebagai karya seni. Melalui sarana cerita, pembaca secara tidak langsung dapat belajar, merasakan, menghayati berbagai permasalahan kehidupan yang ditawarkan pengarang. Cerita fiksi akan


(30)

mendorong pembaca untuk merenungkan masalah hidup dan kehidupan dan oleh karenanya terkadang karya fiksi dianggap dapat membuat manusia menjadi lebih arif, atau dapat dikatakan sebagai “memanusiakan manusia”.

Dunia kesastraan tidak hanya mengenal karya fiksi imaginer saja, namun terdapat juga suatu bentuk karya sastra yang mendasarkan diri pada fakta. Karya sastra jenis ini disebut juga fiksi historis (historical fiction), fiksi biografis (biographical fiction), dan fiksi sains (science fiction). Disebut fiksi historis jika yang menjadi dasar penulisannya adalah sejarah. Fiksi biografis jika dasar penulisannya adalah biografis, dan fiksi sains jika dasar penulisannya adalah ilmu pengetahuan. Ketiga jenis karya fiksi ini disebut dengan sebutan fiksi nonfiksi (nonfiction fiction) (Burhan, 2007: 1-4).

Novel

Novel merupakan bentuk karya sastra yang sekaligus disebut fiksi. Dalam perkembangannya, novel dianggap bersinonim dengan fiksi. Sedangkan fiksi itu sendiri diartikan sebagai cerita rekaan yang dibatasi pada karya yang berbentuk prosa, prosa naratif dan teks naratif. Dari segi formalitas bentuk dan segi panjang cerita, novel memiliki ciri khas cerita yang panjang, berjumlah ratusan halaman. Karena novel memiliki ciri cerita yang panjang, maka novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detail, dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks. Meski begitu, novel memiliki unsur-unsur cerita yang membangun novel itu. Unsur-unsur tersebut disebut sebagai unsur


(31)

cerita atau unsur intrinsik meliputi plot, tema, penokohan, dan latar. Setiap unsur ini akan saling berhubungan secara saling menentukan dan menyebabkan novel menjadi sebuah karya yang bermakna dan hidup (Burhan, 2007: 8-12, 31).

Skripsi ini menggunakan salah satu karya sastra berjudul “The Devil and Miss Prym” karya Paulo Coelho sebagai buku pokok. “The Devil and Miss Prym”, merupakan salah satu bentuk karya sastra novel karena dari segi panjang cerita karya sastra ini memuat 250 halaman. Dalam karya sastra ini juga terdapat berbagai macam unsur pembangun (unsur intrinsik) yang akan penulis uraikan dalam bagian Kajian Fiksi. Paulo Coelho juga dikenal sebagai seorang novelis yang telah diakui dunia dan mendapat berbagai macam penghargaan lewat karya-karyanya.

Novel “The Devil and Miss Prym” (Iblis dan Nona Prym) pertama kali dicetak pada tahun 2000 dan dipublikasikan oleh Sant Jordi Asociados di Barcelona, Spanyol. Pada tahun 2005, penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama menerbitkan novel ini dengan bahasa Indonesia untuk pertama kali dan Rosi L. Simamora mengerjakan alih bahasa atas buku ini. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan PT. Ikrar Mandiriabadi, Jakarta dalam hal percetakannya (Coelho, 2005:4).

Novel “The Devil and Miss Prym” (Iblis dan Nona Prym) adalah salah satu masterpiece novelis terkemuka Paulo Coelho. Buku yang masuk dalam daftar 1001 Books You Must Read Before You Die ini merupakan buku ketiga dari trilogi “And on The Seventh Day”. Dua buku sebelumnya adalah By the


(32)

River Piedra I Sat Down and Wept dan Veronika Decides to Die. Seperti dua novel sebelumnya, novel The Devil and Miss Prym mengisahkan tentang tujuh hari dalam kehidupan manusia yang sarat pesan dan nilai-nilai filosofis kehidupan. Plot novel ini menyajikan pilihan dalam keseharian hidup manusia, di mana ada pertempuran tersendiri antara baik dan jahat. Hingga pada akhirnya, setiap orang memiliki pilihan yang berbeda, namun mereka tetap harus mempertanggungjawabkan setiap pilihan masing-masing (Collins, 2001).

Bentuk Percakapan Dalam Novel

1. Narasi dan Dialog

Sebuah karya fiksi pada umumnya dikembangkan dalam dua bentuk penuturan, yaitu narasi dan dialog. Kedua hal tersebut hadir secara bergantian sehingga cerita yang ditampilkan terasa variatif, segar dan tidak monoton. Pengungkapan bahasa dengan gaya narasi yang dimaksudkan dalam hal ini adalah semua penuturan yang bukan bentuk percakapan, sering dapat menyampaikan sesuatu secara lebih singkat dan langsung, pengungkapan yang bersifat menceritakan (telling). Jika dilihat dari segi hubungan antara tokoh cerita dengan pembaca, komunikasi yang dilakukan jadi bersifat tidak langsung. Sedangkan pengungkapan bahasa dalam bentuk percakapan disebut dengan dialog. Seolah-olah pengarang membiarkan pembaca untuk melihat dan mendengar sendiri kata-kata seorang tokoh, percakapan antar tokoh, bagaimana wujud kata-katanya dan apa isi percakapannya. Penuturan bentuk dialog tidak mungkin hadir sendiri tanpa disertai bentuk narasi. Sebaliknya, bentuk narasi


(33)

dapat hadir tanpa dialog, walau mungkin terasa dipaksakan (Burhan, 2007: 310-311).

2. Unsur Pragmatik Dalam Percakapan

Istilah pragmatik diartikan pada beberapa pengertian berbeda, namun intinya adalah mengacu pada (telaah) penggunaan bahasa yang mencerminkan kenyataan. Bentuk percakapan yang bersifat pragmatik adalah percakapan yang hidup dan wajar; sesuai dengan konteks pemakainya; percakapan yang mirip dengan situasi nyata penggunaan bahasa meskipun terdapat dalam sebuah novel. Penggunaan bahasa secara pragmatik melihat tiga jenis unsur ketepatan, yaitu ketepatan leksial, ketepatan sintaksis, dan ketepatan sesuai dengan konteks pembicaraan. Ketepatan penggunaam bahasa percakapan adalah ketepatan konteks situasi, maka bentuk percakapan dalam sebuah situasi belum tentu tepat untuk situasi yang lain. Novel dapat menghadirkan konteks situasi yang bermacam-macam. Dalam artian ini, penyesuaian penggunaan unsur-unsur kalimat menjadi penting. Unsur-unsur kalimat bisa digunakan secara lengkap, tapi juga bisa dihilangkan sebagian tergantung dari konteks atau situasinya untuk menghindari percakapan yang bersifat kaku dan tidak pragmatis. Penghilangan unsur-unsur kalimat dalam percakapan tidak akan mengaburkan informasi sebab penuturan yang bersangkutan didukung oleh konteks (Burhan, 2007: 312-316).

3. Tindak Ujar

Konsep tindak ujar (speech acts) menjadi salah satu hal penting dalam interpretasi percakapan secara pragmatik karena konsep ini menghubungkan


(34)

antara makna percakapan dengan konteks. Adanya kenyataan bahwa pengucapan kalimat-kalimat dalam percakapan umumnya disertai oleh adanya perform acts yang berbeda-beda, mengakibatkan adanya konsep tindak ujar ini. Konteks percakapan yang tergantung pada “keperluan” menentukan bagaimana dan apa wujud penampilan tindak ujar para pelaku percakapan. Bentuk penampilan tindak ujar dapat diketahui dari makna kalimat (-kalimat) yang bersangkutan, namun sering juga pembicara menekankannya dalam wujud kata kerja tertentu.

Penampilan tindak ujar dibedakan dalam tiga macam tindak ujar, yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Tindak bahasa lokusi (locucionary speech acts) adalah suatu bentuk ujaran yang mengandung makna adanya hubungan antara subjek dengan predikat, pokok dengan sebutan, atau antara topik dengan penjelasan. Tindak ujar ilokusi merupakan bentuk-bentuk ujaran yang dibedakan berdasarkan intonasi kalimat. Walau hanya berwujud kalimat-kalimat tulisan yang bisu, pada hakikatnya kalimat-kalimat percakapan dalam sebuah novel merupakan rekaman dan visualisasi kalimat ujaran yang menyaran pada intonasi tertentu. Tindak bahasa perlokusi (perlocutionary speech acts) melihat pada adanya bentuk pengucapan yang menyaran pada makna yang lebih dalam, yang tersembunyi di balik ucapan itu sendiri. Makna itu secara tidak langsung disampaikan lewat percakapan dan dapat ditafsirkan berdasarkan konteks percakapan yang bersangkutan. Tindak perlokusi menyawan pada penafsiran makna yang tersirat daripada yang tersurat. Dengan demikian, tindak perlokusi lebih mengandalkan kemampuan penafsiran pembaca (Burhan, 2007: 316-319).


(35)

B. Kajian Fiksi

Pada hakikatnya, kajian fiksi berarti penelaahan, penyelidikan atau mengkaji, menelaah, menyelidiki suatu karya fiksi. Pengkajian dilakukan terhadap unsur-unsur pembentuk karya sastra yang disertai oleh kerja analisis. Maksud dari analisis ini adalah sebagai sarana untuk lebih memahami karya kesastraan sebagai suatu kesatuan yang padu dan bermakna (Burhan, 2007: 30-32).

1. Kajian Struktural dan Postruktural

Dalam kajian kesastraan, dikenal adanya analisis struktural. Dalam pendekatan struktural, hubungan antar unsur menjadi hal yang terpenting. Menurut kaum strukturalisme, sebuah karya sastra adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur (pembangun)-nya. Struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah. Struktur karya sastra juga menyaran pada pengertian hubungan antar unsur (intrinsik) yang secara bersama membentuk suatu kesatuan yang utuh. Analisis struktural karya fiksi dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik fiksi yang bersangkutan, dalam hal ini novel. Analisis struktural juga dapat berupa kajian yang menyangkut relasi unsur-unsur dalam mikroteks. Analisis unsur mikroteks itu misalnya berupa analisis kata-kata dalam kalimat, atau kalimat-kalimat dalam alinea atau konteks wacana yang lebih besar (Burhan, 2007: 35-38).


(36)

Dalam skripsi ini penulis tidak akan menggunakan teori strukturalisme, namun penulis akan menggunakan teori postrukturalisme di mana teori ini merupakan hasil kritisisasi atas teori strukturalisme (Ratna, 2012: 145). Dasar teori poststrukturalisme adalah strukturalisme sendiri. Persamaan antara strukturalisme dan postrukturalisme terletak pada cara pandang mereka akan struktur, yaitu unsur-unsur dengan mekanisme antar hubungannya sebagai masalah utama (Ratna, 2012: 158-161). Alasan utama penulis tidak menggunakan teori strukturalisme dalam skripsi ini adalah karena teori strukturalisme cenderung mengabaikan makna dalam bahasa dan menempatkannya di bawah struktur atau sistem yang lebih mementingkan keterpaduan internal dari objek bahasa yang dianalisis (Bambang, 1993: 70). Mengingat pokok utama skripsi ini adalah menemukan makna dari novel The Devil and Miss Prym, maka penulis lebih memilih teori postrukturalisme yang tidak terlalu kaku. Penulis akan membatasi pembahasan kajian fiksi dalam pokok-pokok penting, yaitu unsur postrukturalisme novel yang akan membahas mengenai tokoh dan penokohan.

Tokoh dan Penokohan

Istilah “tokoh” menunjuk pada orang atau pelaku dalam cerita. Menurut Abrams (dalam Burhan, 2007: 165), Tokoh cerita (character) adalah orang (-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif , atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.


(37)

Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca (Burhan, 2007: 165-167).

Sementara itu, menurut Jones (dalam Burhan, 2007:165) penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Dengan demikian, istilah “penokohan” memiliki pengertian yang lebih luas daripada istilah “tokoh” dan “perwatakan” karena ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan juga menyaran pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam cerita (Burhan, 2007:166).

Tokoh-tokoh dalam sebuah novel memiliki peran yang berbeda-beda dalam membentuk keseluruhan cerita. Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya, tokoh dibedakan menjadi dua, yakni tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritanya dalam novel yang bersangkutan, tokoh yang dianggap penting sehingga ditampilkan terus-menerus sehingga mendominasi sebagian isi cerita. Tokoh utama dalam sebuah novel mungkin saja lebih dari satu orang walau kadar keutamaannya tidak selalu sama. Keberadaan tokoh(-tokoh) utama dalam sebuah novel inilah yang menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita dan dalam porsi penceritaan yang lebih pendek (Burhan, 2007: 176-177).


(38)

Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dibedakan menjadi dua bagian, yaitu tokoh sederhana (Simple atau Flat Character) dan tokoh kompleks atau bulat (complex atau round character). Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat-watak yang tertentu saja. Tokoh sederhana tidak memiliki sifat dan tingkah laku yang dapat memberikan efek kejutan bagi pembaca, cenderung bersifat datar, monoton, hanya mencerminkan satu watak tertentu. Sedangkan tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian, jati dirinya. Pengkategorian seorang tokoh kedalam sederhana atau bulat harus didahului dengan analisis perwatakan (Burhan, 2007: 181-183).

2. Kajian Semiotik

Teori Saussure memandang semiotik dalam bahasa merupakan sebuah sistem tanda, dan sebagai suatu tanda, bahasa mewakili sesuatu yang lain yang disebut makna. Bahasa sebagai suatu sistem tanda dalam teks kesastraan menyaran pada dua sistem makna, yaitu first-order semiotic system dan second-order semiotic system. Secara definitif, semiotik adalah ilmu atau metode analitis untuk mengkaji tanda. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain.

Dewasa ini teori semiotik dapat dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu semiotik komunikasi dan semiotik signifikasi. Semiotik komunikasi menekankan diri pada teori produksi tanda dan mensyaratkan adanya pengirim informasi, sumber, tanda-tanda, saluran, proses pembacaan, dan kode.


(39)

Sedangkan semiotik signifikasi menekankan bidang kajiannya pada segi pemahaman tanda-tanda serta bagaimana proses kognisi atau interpretasinya. Dengan kata lain dapat diartikan sebagai bentuk pemberian makna suatu tanda (Burhan, 2007: 39-41).

3. Kajian Intertekstual

Kajian intertekstual dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu. Secara lebih khusus dapat dikatakan bahwa kajian interteks berusaha untuk menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya sebelumnya pada karya yang lebih muncul kemudian dengan tujuan untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap suatu karya tersebut. Makna keseluruhan sebuah karya, biasanya, secara penuh baru dapat digali dan diungkap secara tuntas dalam kaitannya dengan unsur kesejarahan. Karya sastra yang ditulis lebih kemudian biasanya mendasarkan diri pada karya sastra yang sebelumnya telah ada dan hal itu menunjukkan keterikatan suatu karya dari karya-karya lain yang melatar belakanginya (Burhan, 2007: 50-51).

Karya sastra yang dijadikan dasar penulisan bagi karya yang kemudian disebut sebagai hipogram (hypogram). Wujud hipogram mungkin berupa penerusan konvensi, sesuatu yang telah bereksistensi, penyimpangan dan pemberontakan konvensi, pemutarbalikan esensi dan amanat teks-teks sebelumnya. Adanya karya (-karya) yang ditransformasikan dalam penulisan karya sesudahnya ini yang menjadi perhatian utama kajian intertekstual. Meski mengambil unsur tertentu dari teks(-teks) yang dianggap sebagai hipogramnya,


(40)

namun suatu karya baru itu tetap mengandung dan mencerminkan sifat kepribadian pengarangnya karena pengarang mengolah dengan pandangan dan daya kreativitas dengan konsep estetika dan pikiran-pikirannya sendiri. Sebuah teks yang dihasilkan dengan cara kerja demikian dapat dipandang sebagai karya yang baru (Burhan, 2007: 51-53).

Prinsip utama kajian intertekstual adalah prinsip memahami dan memberikan makna yang bersangkutan. Karya itu diprediksikan sebagai reaksi, penyerapan, atau transformasi dari karya-karya yang lain. Hubungan intertekstual dapat dikaitkan dengan teori resepsi. Penunjukan terhadap adanya unsur hipogram pada suatu karya dari karya(-karya) lain pada hakikatnya merupakan penerimaan atau reaksi pembaca. Dengan prinsip utama itu, pembacalah yang berperan memecahkan masalah intertekstual dengan memperoleh makna sebuah karya secara penuh dalam kontrasnya dengan karya yang lain yang menjadi hipogramnya (Burhan, 2007: 54).

C. Teologi

Teologi dapat diartikan sebagai keseluruhan pengetahuan adikodrati yang objektif lagi kritis dan yang disusun secara metodis, sistematis dan koheren; pengetahuan ini menyangkut hal-hal yang diimani sebagai wahyu Allah atau berkaitan dengan wahyu itu. Pengetahuan iman bersifat adikodrati karena didasarkan pada wahyu Allah yang mengatasi daya kemampuan insani. Sifat adikodrati ini berlaku juga bagi teologi yang berbentuk ilmiah. Kebenaran yang dicari oleh teologi, yang direnungkan dan diuraikan olehnya bukanlah


(41)

kebenaran yang dapat dibuktikan secara empiris, bukan juga kebenaran yang dengan sendirinya jelas karena masuk akal, melainkan kebenaran yang diterima dalam iman berdasarkan wahyu Allah. Manusia menerima wahyu Tuhan karena iman dan karena manusia percaya kepada Tuhan itu. Kepercayaan ini merupakan anugerah sendiri dari Tuhan. Anugerah ini jauh melebihi kemampuan yang dimiliki manusia demi kodratnya untuk mengetahui. Karena anugerah iman bersifat adikodrati, maka teologi yang merupakan refleksi ilmiah atas iman itu bersifat adikodrati juga (Dister, 2007: 33).

Sifat ilmiah teologi tampak dari cara teolog mengadakan penyelidikannya. Secara metodis dicarilah kebenaran mana yang diwahyukan dan apa wahyu itu sebenarnya. Terdapat sistem karena diadakan susunan dari kebenaran tersebut. Para teolog juga mengusahakan objektivitas, sebab ingin mengenal dan mengetahui objeknya sebagaimana adanya dan bukan hanya sebagaimana dibayangkan oleh manusia. Namun, landasan pembuktian bukanlah pengalaman inderawi seperti dalam ilmu empiris dan pembuktiannya juga tidak berlangsung malalui budi belaka seperti dalam filsafat. Dalam teologi pembuktian terjadi melalui budi yang diterangi oleh iman kepercayaan berkat wahyu Allah. Dengan budinya manusia mencoba memahami hal-hal yang diwahyukan, lalu berusaha untuk mengambil kesimpulan darinya. Karena semuanya itu dilakukan sambil memperhatikan tuntutan pekerjaan ilmiah, teologi adalah betul-betul sebuah ilmu iman (Dister, 2007: 33-34).

Teologi sebagai ilmu iman mempelajari wahyu Allah, maka objek material teologi ialah apa yang diwahyukan Allah. Namun isi iman tergantung


(42)

pada agama yang dianut oleh orang yang bersangkutan. Oleh sebab itu, teologi juga memiliki perbedaan sudut pandang yang ditentukan oleh masing-masing agama. Perbedaan sudut pandang inilah objek formal masing-masing teologi (Dister, 2007: 34).

1. Teologi Kristiani

Teologi Kristiani adalah refleksi ilmiah orang Kristen atas iman yang dihayati sebagai orang beragama Kristiani. Isi iman Kristen adalah bahwa Allah telah memasuki sejarah umat manusia secara istimewa, yakni dalam pewahyuan diri-Nya, mulai dari panggilan Abraham dan memuncak dalam peristiwa Yesus. Yesus Kristus itulah Sabda Allah yang menjelma menjadi manusia. Oleh karena itu, Kristus juga pusat iman (dan pusat teologi) kristiani (Dister, 2007: 35).

Iman kepada Kristus itu diterima umat kristiani melalui sejarah umat manusia, khususnya sejarah keselamatan yang terdiri dari dua pokok periode. Pertama, sejarah umat Israel yang berabad-abad lamanya dengan tekun

menantikan kedatangan Mesias. Kedua, sejarah Gereja akan “umat baru” yang

telah menjelma dalam diri Yesus dari Nazaret. Dalam Gereja itulah iman tumbuh dan berkembang serta dikomunikasikan dengan sesama warga Gereja, sesama anggota Tubuh Kristus di bawah bimbingan dan naungan Roh Kudus yang menjiwai Gereja demi kemuliaan Allah Bapa (Dister, 2007: 35-36).

Dalam lintasan sejarah Gereja, iman dan refleksi ilmiah atasnya semakin peka dan berbelit selaras dengan perkembangan Gereja dan jumlah warganya. Orang menjadi amat peka terhadap rumusan ajaran Gereja, dan penghayatan juga semakin beraneka. Tapi, keanekaragaman penghayatan ini menimbulkan


(43)

berbagai kemungkinan refleksi. Dengan demikian terjadi berbagai macam-macam cabang refleksi iman dan penghayatannya. Mengingat bahwa refleksi itu dilakukan secara metodis, sistematis dan koheren, maka timbullah berbagai cabang teologi, yaitu teologi dasar, tafsir Kitab Suci, teologi dogma, dan teologi praktis. Teologi Dasar membahas apa yang menjadi dasar (asas, prinsip) pengetahuan di bidang teologi, yakni wahyu dan iman. Teologi dasar juga bertugas mempertanggungjawabkan iman terhadap akal dan budi, dan membelanya terhadap mereka yang menolak atau menyangkalnya. Tafsir Kitab Suci atau “Eksegese” menafsirkan secara Ilmiah iman Yahudi-Kristiani sejauh terungkap dalam Alkitab. Teologi Dogma menguraikan ajaran-ajaran pokok dalam iman Kristen. Teologi Dogma membahas apa dan siapa Allah itu, Kristologi, Pneumatologi, antropologi teologis, Eklesiologi, dan Sakramentologi. Sementara Teologi Praktis tidak membahas mengenai “apa itu?” karena tujuannya tidak ke arah teoritis, melainkan ke arah praktis. Teologi ini memiliki empat cabang, yaitu Teologi Moral yang menanyakan norma-norma untuk menilai perbuatan manusia dan menentukan baik-buruknya kelakuan manusia, dipandang dalam terang wahyu Allah. Kedua, Teologi Spiritual yang bertujuan meningkatkan hidup rohani dan karya Roh Kudus dalam hidup manusia. Ketiga, Teologi Pastoral yang membicarakan penggembalaan dalam Gereja. Keempat, Teologi Kerygmatik yang cabangnya antara lain Homiletika (tentang pewartaan Sabda dalam rangka perayaan liturgis) dan Kateketik (tentang pewartaan di luar perayaan) (Dister, 2007: 37-39).


(44)

2. Teologi Dalam Sastra

Naben (2006: 114), dalam tulisannya memaparkan bahwa sastra dapat menjadi suatu media ekspresi pengalaman manusia dengan Tuhan. Ia berpendapat bahwa perlunya menggali karya sastra dalam kaitannya untuk menemukan ungkapan iman atau pengalaman religius seseorang dan masyarakat bersama Tuhan. Hermeneutik, adalah sarana atau kerangka acuan untuk menggali kekayaan pengalaman religius atau ungkapan iman yang ada dalam sebuah karya sastra. Hermeneutik menjadi jembatan penghubung antara teologi dan sastra agar keduanya mendapat pemaknaan demi memperkaya hidup manusia. Karya sastra dapat dijadikan sebagai bahan untuk berteologi, dan teologi dapat menjadikan sastra sebagai sarana pewartaan untuk memperdalam religiositas kaum beragama.

Sastra memiliki hubungan yang erat dengan manusia dan kebudayaan. Sastrawan adalah bagian dari masyarakat. Menurut Maman S. Mahayana (dalam Naben, 2006:115), mengatakan bahwa sastra adalah roh kebudayaan yang lahir dari proses yang rumit kegelisahan sastrawan atas kondisi masyarakat dan terjadinya ketegangan atas kebudayaannya. Sastra juga ditempatkan sebagai potret sosial yang mengungkapkan kondisi masyarakat pada masa tertentu.

Hubungan antara sastra, masyarakat dan kebudayaan dapat dijelaskan dengan tiga hal. Pertama, hubungan sebab akibat, yaitu pengaruh-pengaruh sosial merupakan sebab akibat yang menghasilkan karya sastra. Di sini karya sastra berperan sebagai refleksi atau pantulan kembali situasi masyarakatnya berdasarkan struktur sosial di mana pengarang menghasilkan karyanya. Kedua,


(45)

hubungan fungsional, di mana sastra dianggap sebagai salah satu fungsi dari perkembangan masyarakat dan kebudayaan. Ketiga, hubungan simbolik. Simbol adalah ekspresi budaya yang selalu memanggul ambivalensi dalam dirinya. Ketiga hal ini menegaskan bahwa sastra adalah suara yang berbicara tentang apa yang terjadi pada zamannya (Naben, 2006: 115-116).

Mangunwijaya (1982: 11), menegaskan bahwa segala sastra adalah religius. Dalam religiositas itu ada kedalaman relasi manusia dengan Tuhan. Menurut Mangunwijaya, karya sastra yang baik adalah karya sastra yang selalu menuntun pembacanya kepada sesuatu hal yang baik dan bermakna. Disinilah letak kereligiositasan sebuah karya sastra. Naben (2006: 118), menggunakan dasar reigiositas mangunwijaya sebagai pintu masuk untuk mempertautkan teologi dan sastra. Teologi dipahami sebagai refleksi sistematis-ilmiah tentang wahyu Ilahi yang diimani. Pengungkapan iman seseorang akan Allah dan bagaimana agama membentuk jati diri dan keimanan seseorang menjadi pokok perhatian dalam teologi. Sastra bisa menjadi sarana untuk mengungkapkan sisi kereligiositasan hidup. Demikian juga berbagai nilai dan penghayatan keagamaan dapat ditemukan dalam karya sastra.

3. Kurban dalam pandangan Teologi Kristiani

Kurban merupakan bentuk ibadat kuno dan penting, sesuatu yang dipersembahkan secara total atau sebagian pada kekuasaan gaib. Hampir semua agama dan kepercayaan memiliki tradisi kurban ini. Kurban dipersembahkan oleh para kaum Imam untuk memulihkan hubungan dengan Dewa-Dewi atau Tuhan. Menurut maksud pembawaannya, kurban dibedakan menjadi empat jenis,


(46)

yakni kurban permohonan, kurban syukuran, kurban pujian dan kurban silihan. Sementara menurut bentuknya, kurban dibedakan menjadi tiga jenis, yakni kurban darah, kurban bakaran dan kurban pemberian (Heuken, 2005: 95)

Perbedaan antara kurban binatang dan kurban manusia merupakan masalah yang cukup problematik bagi para ahli. Yoseph de maistre mengatakan bahwa prinsip substitusi kurban tidak dapat dikenakan pada kurban manusia: Orang tidak dapat membunuh orang untuk menyelamatkan orang.

Hubert dan Mauss tampaknya enggan membicarakan masalah kurban manusia ini dalam teorinya, meski dalam penyelidikannya mereka tak mengecualikan kurban manusia. Dan banyak ahli lain yang terlalu moralis mendekati kurban manusia ini, sehingga terbenam dalam aspeknya yang sadis dan biadab.

Menurut Girard, dalam suatu ritus kurban perbedaan kurban binatang dan manusia itu tidak relevan. Pelaksanaan ritus kurban tidak bertolak dari suatu pandangan nilai, tapi bertolak dari kenyataan adanya kekerasan yang menjangkiti masyarakat (Sindhunata, 2006: 108-109).

Sindhunata, pada kutipan di atas memaparkan pandangan para ahli tentang pendapat-pendapat mereka sehubungan dengan arti kurban. Pembedaan antara kurban hewan dan kurban manusia menjadi hal pokok di dalamnya. Manusia tak dapat dikurbankan dengan alasan apapun. Baik kurban manusia maupun kurban hewan tak dapat lepas dari unsur kekerasan, oleh karena alasan itu beberapa ahli tak dapat membenarkan kurban manusia.

Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, kurban merupakan penyerahan sesuatu hanya kepada Yahwe yang berdaulat atas segala-galanya. Manusia mempersembahkan kurban kepada-Nya untuk memperoleh pengampunan dan penghapusan atas dosa mereka sehingga manusia menjadi bersih dan selamat. Terdapat berbagai macam kurban dalam Kitab Suci Perjanjian Lama. Kurban bakar, kurban tumpahan dan kurban santapan. Menurut pandangan orang dahulu,


(47)

darah binatang adalah kurban yang mengandung kehidupan dan oleh karena itu, kurban darah menjadi kurban yang paling bernilai serta menjadi milik Tuhan. Bagi umat Israel, darah tidak boleh dimakan. Darah harus ditumpahkan di kaki altar untuk melambangkan keilahian. Sementara daging kurban itu dibakar di atas altar entah sebagian atau seluruhnya dan sisanya diberikan kepada pembawa kurban untuk disantap sebagai santapan kurban. Santapan ini melambangkan persekutuan Yahwe dengan bangsa-Nya dan karenanya mempersatukan umat.

Berdasarkan Kitab Keluaran 12: 21-27, Musa memanggil tua-tua Israel dan menyuruh mereka untuk menyembelih anak domba paskah. Domba paskah merupakan satu-satunya kurban santapan yang termasyur pada waktu itu. Kurban disembelih di Bait Allah dan dimakan oleh keluarga di rumah dengan mengingat pembebasan dari perbudakan di Mesir berkat kekuatan Allah pada waktu paskah pertama. Namun pengertian kurban semacam ini ditentang oleh Nabi Amos dan Nabi Yesaya. Kedua Nabi ini mengkritik cara dan sikap orang-orang yang mempersembahkan kurban, karena menurut mereka kurban yang sesungguhnya adalah syukur. Dalam Kitab Mazmur 50, 23 dikatakan bahwa

“Siapa yang mempersembahkan syukur sebagai kurban, dia memuliakan Allah”

(Heuken, 2005: 96)

Pengertian kurban dalam Perjanjian Baru sama sekali berbeda dengan pengertian kurban dalam Perjanjian Lama. Di sini kurban berarti pendekatan Tuhan dengan manusia. Bukan manusia yang mendamaikan diri dengan Tuhan, tetapi Allah mendamaikan diri-Nya dengan manusia dalam Kristus.


(48)

Sindhunata memaparkan bahwa tindakan kekerasan dalam kurban, baik dalam hal pembunuhan binatang atau manusia, mirip dengan tindakan kekerasan di luar ritus kurban. Dalam praktiknya, kurban harus mempunyai kemiripan dengan apa yang digantikannya. Jika hal ini tidak ada, maka pelampiasan kekerasan tidak terpuaskan karena merasa tidak menemukan sasarannya. Meski begitu, kekerasan itu menyangkut manusia, maka kurban juga harus mempunyai kategori-kategori “manusiawi” yang menjamin kemiripan dengan manusia yang digantikannya. Tidak hanya kurban manusia, kurban binatang juga perlu mempunyai kategori-kategori “manusiawi” (Sindhunata, 2006: 107-109).

Kehidupan dalam masyarakat selalu ada konflik keinginan dan kepentingan antara kelas yang satu dan kelas yang lain, kelompok yang satu dan kelompok yang lain, pribadi yang satu dan yang lainnya. Analisis R. Girard memaparkan bahwa konflik itu berasal dari saingan antar manusia yang muncul karena dalam diri manusia ada hasrat untuk meniru dan menjadikan model yang mereka tiru itu sekaligus menjadi rival. Amarah yang membutakan rivalitas memicu timbulnya kekerasan. Dan kekerasan ini tampak sebagai sesuatu yang pantas ditiru sebagai tanda hidup yang berhasil (Banawiratma, 1986: 55-56).

Pada kehidupan masyarakat-masyarakat sederhana semula ada seseorang yang menjadi kambing hitam, dibunuh sebagai peluapan kekerasan seluruh kelompok. Melalui pengosongan kolektif tersebut kambing hitam sekaligus menjadi sakral. Dia nampak sebagai yang terkutuk sekaligus mendatangkan keselamatan. Dari kambing hitam itu muncul suasana sakral yang menakutkan-mengerikan sekaligus menarik-mempesonakan. Di sekitar kambing hitam itu lahirlah tabu dan tata sosial baru. Kambing hitam yang asli itu selanjutnya menjelma dalam situasi kurban; yang dikurbankan misalnya tawanan, budak, anak kecil atau binatang atau barang-barang alam yang dirusak. Pengosongan kekerasan secara kolektif yang pertama diulangi dalam kurban-kurban dengan kerangka


(49)

ritual yang ketat. Dengan demikian, agresi timbal balik intern diluapkan keluar dan dihindari kehancuran hidup bersama. Kurban hanya efektif kalau mekanisme kambing hitam itu tetap tersembunyi, tidak disadari. Begitu dalam masyarakat sederhana institusi kurban menjamin hidup damai bersama. Dalam masyarakat modern dengan institusi-intitusi yang kompleks kambing hitam dan kurban masih ada dan semakin kompleks juga; selalu ada orang, kelompok, kelas tertentu, yang dijadikan kambing hitam (dikambinghitamkan), dijadikan kurban, tempat meluapnya penindasan dan kekerasan (Banawiratma, 1986: 56-57).

Kutipan di atas menerangkan bahwa kurban dapat muncul karena ia dikambinghitamkan. Kambing hitam inilah yang nanti pada akhirnya akan dikurbankan demi keselamatan masyarakat atau kelompok tertentu. Mekanisme kambing hitam banyak muncul tidak hanya di lapisan masyarakat sederhana, namun juga mencapai tingkatan yang tinggi (pemerintahan). Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa mekanisme kambing hitam dapat muncul di manapun.

D. Kristologi

Kristologi merupakan salah satu cabang dari Teologi Dogma yang membahas apa dan siapa Allah itu, dan apa dan siapakah Yesus yang disebut Kristus (Dister, 2007: 38).

Yesus

Dua puluh abad silam, Yesus dilahirkan di Betlehem pada zaman Raja Herodes (Mat 2:1; Luk 2:4-7). Ia dibesarkan di desa Galilea daerah Palestina. Dari sini muncullah dalam sejarah dunia, Yesus dari Nazaret. Segala peristiwa tentang kelahiran Yesus memang serba Istimewa. Mulai saat Maria menerima kabar gembira dari Malaikat Gabriel bahwa Ia akan mengandung dari Roh


(1)

(11)

seorang dari pastor-pastor itu mencela perbuatan pastor muda ini. Tapi uskup justru merasa bahwa hanya pastor muda inilah yang mengijinkan Baik bekerja atas dirinya. Setelah kejadian itu, uskup dan pastor muda ini teman baik. Pastor muda ini juga ditempatkan di paroki yang penting sebagai pastor kepala. Beberapa tahun kemudian, uskup yang bijaksana ini wafat. Betapa terkejutnya pastor muda ini ketika mendapati bahwa orang yang menggantikan uskupnya adalah pastor yang mencela perbuatannya tentang air pada waktu makan bersama beberapa tahun silam. Pastor muda ini dipanggil dan dipindahkan ke desa kecil bernama Viscos. Ia dapat melihat sikap iri hati pada uskup barunya. Namun karena ia ingin mendapatkan “kebijaksanaan” diri, maka ia tetap menerima apapun yang diutuskan uskup baru itu kepadanya.

Ia berangkat ke Viscos dengan penuh semangat dan kerendahan hati. Ini adalah tantangan baru yang harus dihadapinya. Namun setelah lima tahun dia tinggal di sana, ia belum berhasil menambah umatnya. Penduduk lebih percaya kepada Ahab dari pada Tuhan. Setelah sepuluh tahun berlalu, ia menyadari kesalahannya. Pencarian terhadap kebijaksanaan berubah menjadi kesombongan. Limabelas tahun kemudian, ia menyadari bahwa ia tidak akan meninggalkan Viscos. Sedangkan uskup yang mengutusnya pindah itu telah menjadi seorang kardinal penting, yang bekerja di Vatikan. Ia tidak mungkin menyebarkan cerita bahwa dirinya telah disingkirkan karena perasaan iri dan serakah. Dari kejadian yang menimpanya ini, ia mulai mempertanyakan kemurahan hati Tuhan. Ia ingin meminta kesempatan sekali lagi pada-Nya. Ia membuka Alkitab secara acak untuk mencari jawaban. Ia membuka bagian yang mengisahkan tentang perjamuan terakhir, ketika Kristus berkata kepada penghianat untuk menyerahkan diri-Nya kepada prajurit Romawi yang mencari-cari-Nya. Berjam-jam lamanya pastor memikirkan apa yang dibacanya. Mengapa Yesus meminta si penghianat untuk melakukan dosa? Yesus takkan melakukan itu. Sebenarnya, penghianat itu adalah korban, seperti layaknya Yesus sendiri. Jahat harus mewujudkan diri dan melakukan perannya, supaya pada akhirnya Baik datang dan menang. Jika tidak ada penghianatan, tidak akan ada salib, kata-kata dalam Kitab Suci tidak akan digenapi, dan pengorbanan Yesus tidak bisa menjadi teladan. Keesokan harinya, orang asing tiba di Viscos. Tapi ia tidak menganggap penting hal itu. Baru ketika Chantal Prym mengutarakan tentang tawaran itulah ia menyadari doa-doanya dijawab. Jika Baik ingin menggerakkan hati orang-orang ini, jahat perlu mewujudkan diri terlebih dahulu. Pastor ingin mengkristenkan kembali desa ini dan untuk itu ia perlu memerankan perannya dengan baik, sebagai alat Jahat. Itulah pekerjaan paling rendah hati yang bisa dipersembahkannya kepada Tuhan.

Kepala desa tiba sesuai janji. Kepala desa ingin tahu apa yang akan ia katakan kepada penduduk dari rencana pastor. Tapi pastor ingin berkata langsung kepada penduduk. Meski kepala desa merasa itu bukan tindakan yang bagus, namun pastor berhasil membuatnya takut sehingga pada akhirnya pastorlah yang memimpin pertemuan itu.


(2)

(12)

Kedua wanita itu tiba di rumah Berta, beberapa menit sebelum pertemuan di lapangan dilakukan. Berta sedang menyulam di ruang tamunya yang kecil. Berta mengatidakan bahwa hari ini berbeda dari hari-hari biasanya, termasuk kenapa dua wanita itu mengunjunginya. Kedua wanita itu, istri kepala desa dan wanita pemilik hotel mayakinkannya bahwa mereka hanya berkunjung. Meski begitu, terlihatnya Berta tahu apa yang akan mereka lakukan. Kedatangan Iblis, pertemuan rahasia, pengorbanan konyol dan kematian. Berta berbicara seolah ia mengetahui semua rencana pastor. Hal ini membuat wanita pemilik hotel dan istri kepala desa cemas. Setelah meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja, Berta meminta kedua wanita itu berjaga di luar pintu rumahnya, hawatir jika sewaktu-waktu serigala ganas datang ke rumahnya.

Pertemuan di lapangan dimulai. Pastor berdiri di atas kursi agar semua orang dapat melihatnya. Ia mengawali bicaranya dengan mengatidakan sesuatu tentang gereja. Namun ada penduduk yang memotong pembicaraan pastor dan berkata bahwa mereka butuh kepastian masa depan Viscos, bukan untuk mendengar soal gereja. Kepala desa menyela percakapan itu dan mulai mengambil alih pertemuan. Ia mengatidakan bahwa pria asing itu akan menunjukkan emas-emasnya esok pagi dan mereka akan bertindak setelah melihat emas-emas itu. Kepala desa mulai mengatidakan janji-janji kemakmuran dengan emas-emas itu, juga tentang siapa yang akan dijadikan korban. Tidak ada protes dari penduduk ketika nama Berta di ucapkan. Tapi pastor berpikir panjang. Diam tidak selalu berarti setuju. Oleh karena itu pastor ingin kepastian mereka dan satu persatu penduduk berkata setuju.

Setalah semua orang mengutarakan bahwa mereka setuju, pastor melanjutkan dengan rencana pembunuhan yang akan mereka lakukan. Pastor meminta penduduk untuk membawa sebuah senapan berisi satu peluru ke sankristi esok pagi. Dengan tidaktik regu tembak menjalankan tugasnya, begitu pula mereka akan melaksanakan rencana pembunuhan itu. Delapan puluh tujuh senapan akan dikosongkan, sedangkan delapan puluh enam senapan tetap dibiarkan terisi. Semua senapan akan diledakkan serempak, tapi tidak seorangpun akan mengetahui siapa yang memegang senapan berisi peluru. Dengan begitu, semua penduduk bisa beranggapan mereka semua tidak bersalah. Kecuali satu, pastor memastikan bahwa senapannya tetap terisi. Ia juga mengtidakan bahwa ia tidak akan mengambil emas bagiannya karena ia memiliki alasan lain. Pastor menunjuk tiga orang sukarelawan bertubuh besar untuk membawa korbannya. Kepala desa merasa posisinya akan terancam dengan rencana pastor ini, maka ia menyela pembicaraan itu dan berkata bahwa ialah yang pantas untuk menentukan tempat dilaksanakannya pengorbanan itu. Ia memilih tugu Celtic, pada waktu malam hari seperti pertemuan kali ini sebagai tempat untuk melaksanakan segala rencana itu. Pastor turun dari kursinya dan pertemuan selesai. Semua kembali kerumah mereka masing-masing dan pastor menghabiskan malam itu dengan berdoa di gereja.


(3)

(13)

Hari telah berganti, Chantal menyantap sarapan paginya dan melihat para pria berjalan membawa senapan menuju sankristi dan pulang tanpa membawa apapun. Ia merasa cemas karena masih ada kemungkinan dirinyalah yang akan menjadi korban. Namun ia merasa sedikit lega ketika ia bertemu wanita pemilik hotel ketika ia bekerja sore harinya. Wanita pemilik hotel itu menceritakan tentang hasil pertemuan semalam dan siapa yang akan dikorbankan. Wanita pemilik hotel itu juga berkata bahwa pagi tadi orang asing itu pergi ke hutan dengan membawa ransel kosong. Ia akan mengambil emas-emasnya dan menunjukkan nya pada penduduk desa.

Berta sedang memperhatikan matahari tenggelam ketika pastor dan tiga orang bertubuh besar datang mendekat ke rumahnya. Pastor menyapa Berta, dan masuk ke beranda rumahnya sementara tiga orang bertubuh besar lainnya menunggu ditempat yang agak jauh. Pastor dan Berta mulai bercakap-cakap. Berta tahu segala rencana pastor dan pastor tidak mengelak bahwa ia juga ikut menyusun segala rencana ini. Pastor merasa tidak perlu lagi berpanjang-lebar membahas sesuatu. Ia mengeluarkan beberapa butir pil tidur. Berta menolak pil-pil itu, kemudian pastor mengundang ketiga pria bertubuh besar itu dan meminumkan pil-pil yang dibawanya dengan paksa. Berta mulai merasa lemas dan tiga orang bertubuh besar itu membawanya pergi.

Tugu Celtic itu jauhnya setengah jam perjalanan kaki dari Viscos. Dua ratus delapan puluh satu nyala api berbaris dalam gelap berarak menuju tugu itu. Semua berjalan kaki kecuali Berta yang tertidur pulas di tandu yang diangkat dengan susah payah oleh dua orang tukang kayu. Sesampainya di tugu tempat pengorbanan akan dilakukan, para tukang kayu meletakkan tubuh Berta di atas batu yang bentuknya menyerupai meja itu dengan posisi berlutut membelakangi penduduk yang berdiri membentuk setengah melingkar. Seratus tujuh puluh empat senapan dikokang serentak. Secara naluriah, para wanita mundur dan para pria mengarahkan senapannya ke tubuh tua Berta.

Ketika kepala desa bersiap memberikan aba-aba, terdengar suara perempuan menyela, Chantal Prym. Ia bertanya apakah penduduk telah melihat emas-emas itu. Dan saat itu pula pria asing yang menjadi pelaku utama segala rencana ini berjalan ke depan kerumunan, meletakkan tasnya dan mengeluarkan emas-emasnya. Chantal bersama Sembilan orang penduduk wanita memeriksa emas-emas itu sementara para pria kawatir kalau salah satu senapan meletus. Istri kepala desa meyakinkan penduduk bahwa batangan yang dipegang di tangannya itu adalah benar-benar emas. Chantal meminta istri kepala desa untuk tetap memegang emas itu sementara ia akan berbicara. Tapi kepala desa tidak setuju dengan tindakan Chantal ini dan menyuruh mereka menyingkir karena para pria akan menyelesaikan rencana ini.

Chantal Prym geram, seluruh tubuhnya gemetar, matanya membelalak dengan kebencian mendalam. Penduduk menyadari situasinya dan rasa takut merekapun bertambah, perasaan bersalah mereka merebak, perasaan malu mulai menguasai, tangan mereka turut gemetar dan mereka mencari-cari alasan untuk


(4)

(14)

mengubah keadaan. Ketika Chantal mendapatkan ketenangannya kembali, ia mulai berbicara tentang ketakutan yang dirasakannya ketika ia akan mencuri emas di gundukan batu berbentuk huruf Y untuk pertama kalinya. Chantal mengungkapkan hal-hal yang mungkin terjadi jika nantinya emas-emas itu ditukarkan di bank. Terjadi percakapan sengit antara Chantal, tuan tanah dan kepala desa. Bahkan kepala desa berjanji akan rela dipenjara jika asal-usul keberadaan emas itu dipertanyakan. Terdengar suara senapan diletakkan, dan begitulah seterusnya. Kini hanya tersisa dua senapan, satu di tangan kepala desa sedangkan satu senapan lain ditangan pastor. Kedua senapan itu diarahkan pada dua target yang berbeda, pada tubuh roboh Berta, dan satunya pada tubuh Chantal Pyrm. Dengan cepat, salah satu dari tukang kayu yang tadinya mengangkat tubuh Berta mendekati kepala desa dan pastor. Ia melucuti senjata kedua orang itu dengan mudah. Chantal Prym benar: mempercayai orang lain sangat berbahaya. Terlihatnya orang-orang di sana juga mempercayai hal itu. Akhirnya, seorang demi seorang pergi meninggalkan tempat itu dan kembali ke desa tanpa suara. Hanya tiga orang dan dua obor yang tersisa di tanah itu, yaitu Chantal Pyrm, Berta dan orang asing yang mengaku bernama Carlos.

Setelah beberapa waktu, orang asing itu memecah keheningan dan berkata bahwa emas-emas itu menjadi milik desa. Tapi Miss Pyrm mengelak, dan berkata bahwa emas-emas itu termasuk emas yang ditanam di tanah berbatu berbentuk huruf Y itu adalah miliknya. Chantal mengatidakan bahwa ia tahu sifat manusia, dan ia telah mendapatkan jawaban atas pertanyaan orang asing itu. Pria asing itu tentu tidak akan melakukan apa yang diminta Chantal, tapi orang asing itu ingin mendengar perkataan Chantal. Chantal mengungkapkan apa yang ada dikepalanya sembari melepaskan tali yang mengikat tubuh Berta. Chantal menceritakan tentang kisah pertemuan pertama Ahab dan St. Savin. Yang diceritakannya kali ini adalah percakapan antara Ahab dan St. Savin sebelum ia pergi tidur. Konon percakapan itu memiliki peran penting dalam menjadikan Ahab penganut katolik. Chantal tidak perlu menjelaskan kisah itu karena ia yakin orang asing itu mengerti. Ahab dan St. Savin memiliki naluri yang sama-Baik dan Jahat bertarung di hati mereka. Ketika Ahab menyadari Savin tidak berbeda darinya, ia pun menyadari dirinya tidak berdaya dengan Savin. Semuanya hanya masalah pengendalian diri.

Begitulah akhirnya. Pria asing itu mengurus semua dokumen yang menyatidakan bahwa emas-emas itu menjadi milik Chantal Pyrm. Chantal mengunjungi Berta dan berbincang sejenak dengannya. Berta berkata bahwa hidup bisa terasa amat panjang atau sangat singkat, tergantung bagaimana dijalaninya. Chantal tersenyum dan mengecup perempuan tua itu. Ia pergi meninggalkan Berta dan Viscos untuk selamanya.


(5)

(15)

Lampiran 2 : Kutipan sinopsis sebagai bahan SCP

Sejak masih belia, ia disiapkan untuk menjalani kehidupan pastor, dan itulah panggilan hidupnya. Ia ditahbiskan pada usia dua puluh satu tahun. Semua orang mengagumi kepandaian dan khotbahnya. Cerita tentangnya sampai pada telinga Uskup dan Uskup mengundangnya untuk makan bersama pastor-pastor muda lainnya. Ketika Uskup menawarkan minum kepada mereka yang hadir dalam makan malam itu, hanya dialah yang menerima tawaran uskup. Salah seorang dari pastor-pastor itu mencela perbuatan pastor muda ini. Tapi uskup justru merasa bahwa hanya pastor muda inilah yang mengijinkan Baik bekerja atas dirinya. Setelah kejadian itu, uskup dan pastor muda ini teman baik. Pastor muda ini juga ditempatkan di paroki yang penting sebagai pastor kepala. Beberapa tahun kemudian, uskup yang bijaksana ini wafat. Betapa terkejutnya pastor muda ini ketika mendapati bahwa orang yang menggantikan uskupnya adalah pastor yang mencela perbuatannya tentang air pada waktu makan bersama beberapa tahun silam. Pastor muda ini dipanggil dan dipindahkan ke desa kecil bernama Viscos. Ia dapat melihat sikap iri hati pada uskup barunya.

Namun karena ia ingin mendapatkan “kebijaksanaan” diri, maka ia tetap

menerima apapun yang diutuskan uskup baru itu kepadanya.

Ia berangkat ke Viscos dengan penuh semangat dan kerendahan hati. Ini adalah tantangan baru yang harus dihadapinya. Namun setelah lima tahun dia tinggal di sana, ia belum berhasil menambah umatnya. Penduduk lebih percaya kepada Ahab dari pada Tuhan. Setelah sepuluh tahun berlalu, ia menyadari kesalahannya. Pencarian terhadap kebijaksanaan berubah menjadi kesombongan. Limabelas tahun kemudian, ia menyadari bahwa ia tidak akan meninggalkan Viscos. Sedangkan uskup yang mengutusnya pindah itu telah menjadi seorang kardinal penting, yang bekerja di Vatikan. Ia tidak mungkin menyebarkan cerita bahwa dirinya telah disingkirkan karena perasaan iri dan serakah. Dari kejadian yang menimpanya ini, ia mulai mempertanyakan kemurahan hati Tuhan. Ia ingin meminta kesempatan sekali lagi pada-Nya. Ia membuka Alkitab secara acak untuk mencari jawaban. Ia membuka bagian yang mengisahkan tentang perjamuan terakhir, ketika Kristus berkata kepada penghianat untuk menyerahkan diri-Nya kepada prajurit Romawi yang mencari-cari-Nya. Berjam-jam lamanya pastor memikirkan apa yang dibacanya. Mengapa Yesus meminta si penghianat untuk melakukan dosa? Yesus takkan melakukan itu. Sebenarnya, penghianat itu adalah korban, seperti layaknya Yesus sendiri. Jahat harus mewujudkan diri dan melakukan perannya, supaya pada akhirnya Baik datang dan menang. Jika tidak ada penghianatan, tidak akan ada salib, kata-kata dalam Kitab Suci tidak akan digenapi, dan pengorbanan Yesus tidak bisa menjadi teladan. Keesokan harinya, orang asing tiba di Viscos. Tapi ia tidak menganggap penting hal itu. Baru ketika Chantal Prym mengutarakan tentang tawaran itulah ia menyadari doa-doanya dijawab. Jika Baik ingin menggerakkan hati orang-orang ini, jahat perlu mewujudkan diri terlebih dahulu. Pastor ingin mengkristenkan kembali desa ini dan untuk itu ia perlu memerankan perannya dengan baik, sebagai alat Jahat. Itulah pekerjaan paling rendah hati yang bisa dipersembahkannya kepada Tuhan.


(6)

(16) Lampiran 3: Teks Kitab Suci

2 Korintus 5: 15; 18-19

15. Dan Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah mati dan telah di bangkitkan untuk mereka

18. Dan semuanya ini dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diri-Nya dan yang telah mempercayakan pelayanan perdamaian itu kepada kami.

19. Sebab Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka. Ia telah mempercayakan berita pendamaian itu kepada kami.


Dokumen yang terkait

Good and Evil in Human Behavior Found in the novel The Devil and Miss Prym by Paulo Coelho.

0 70 56

Upaya meningkatkan semangat persaudaraan siswa-siswa SMA Seminari Santa Maria Immaculata Lalian Atambua Nusa Tenggara Timur, melalui katekese umat model shared Christian Praxis.

0 6 198

Upaya peningkatan pendampingan iman remaja putri di Asrama Dharmawati Sintang Kalimantan Barat dengan katekese model Shared Christian Praxis.

3 22 162

Usaha meningkatkan pelaksananaan pembinaan iman mantan penderita kusta di lingkungan Sitanala Tangerang Keuskupan Agung Jakarta melalui katekese model Shared Christian Praxis (SCP).

0 1 119

Belajar dari Kitab Ayub: menemukan makna dibalik penderitaan manusia dan aplikasinya melalui katekese pembebasan model Shared Christian Praxis (SCP).

0 4 185

Belajar dari Kitab Ayub menemukan makna dibalik penderitaan manusia dan aplikasinya melalui katekese pembebasan model Shared Christian Praxis (SCP)

0 29 183

SKRIPSI BELAJAR DARI MAZMUR 13: MEMAKNAI PENDERITAAN ORANG BENAR DAN APLIKASINYA MELALUI KATEKESE MODEL SCP (SHARED CHRISTIAN PRAXIS)

0 1 125

Usaha meningkatkan efektivitas pelayanan para suster Puteri Kasih Indonesia terhadap orang miskin melalui katekese model Shared Christian Praxis - USD Repository

0 0 170

Katekese model SCP (Shared Christian Praxis) dalam pembinaan iman remaja Katolik di Paroki St. Maria Assumpta Tanjung, Ketapang Kalimantan Barat - USD Repository

0 2 161

Sumbangan katekese umat bagi prodiakon melalui model shared christian praxis di Paroki Roh Kudus Kebonarum, Klaten, Jawa Tengah - USD Repository

0 4 178