100
berusaha menemukan Allah dengan cara pandang iman dan pola hidup rohani seperti berdoa, kurban, upacara dan meditasi.
c. Manusia Mencintai Allah dan Mencintai Sesama
Kebebasan adalah ciri manusia yang membuatnya melampaui makhluk ciptaan lain. Kebebasan ini terungkap di dalam kesanggupan berpikir maupun
dalam kemampuan berkehendak. Untuk menjamin kebebasan itu, dibutuhkan kemahakuasaan Allah Budi Kleden, 1998: 247. Kemahakuasaan Allah sangat
dibutuhkan, karena tanpa kekuasaan Allah kekuasaan manusia menjadi absolute dan tidak ada batasnya, dan orang yang tidak punya kuasa akan semakin menderita
Budi Kleden, 1998: 249. Dalam tindakan kasih kepada sesama, kasih kepada Allah menjadi nyata lih
Mat 22: 37-39. Allah mengharapkan manusia dengan kehendak bebas yang Dia berikan, manusia dapat secara bebas dan sadar saling mengasihi satu sama lain,
saling meneguhkan dalam setiap perkara hidup. Inilah salah satu panggilan manusia, dan cara manusia menjawab panggilan Allah yakni dapat mencinta Allah
dan mencintai sesama. Mencintai sesama berarti juga mencintai Allah. Perlu diketahui bahwa kasih kepada sesama bukan hanya sebatas relasi yang baik antara
satu sama lain, melainkan lebih dari itu yakni melalui pengalaman pribadi hidupnya yang penuh misteri, manusia dapat menyadari keterbatasan dan
kelemahannya sendiri. Dalam kasih manusia mau menerima kenyataan itu juga di dalam diri sesama KWI, 1996: 191.
2. Pergulatan Orang Beriman dalam Penderitaan
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, manusia adalah ciptaan Allah yang secitra dengan-Nya. Karena itu manusia diberi anugerah kebebasan dan akal
101
budi untuk menentukan pilihan hidupnya, termasuk pengalaman penderitaan, itu adalah hasil dari pilihan bebas manusia sendiri.
Dari kebebasan manusia timbul kejahatan. Dalam gambaran yang mengesankan, Perjanjian Lama memperlihatkan sumber kejahatan dan
kesengsaraan Dreher,1973: 36. Ini adalah lukisan tentang jatuhnya manusia dalam dosa. Masih ingat tentang dosa asal? Manusia pertama menolak hakikat
dirinya sebagai ciptaan. Hakikat dari ciptaan adalah terbatas dan tergantung pada Sang Penciptanya. Namun manusia tidak menerima hakikat dirinya sebagai
ciptaan. Dengan bebas ia memutuskan untuk melanggar dan merusak batas-batas yang telah ditetapkan oleh Sang Penciptanya; “Perempuan itu melihat…lalu ia
mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminya pun memakannya” Kej 3: 6. Inilah
awal dari dosa asal manusia. Manusia tergiur oleh hawa nafsunya sendiri dan tidak peduli dengan aturan
yang ditentukan oleh Sang Penciptanya. Kesalahan manusia pertama adalah menyalahgunakan kebebasan yang diberikan oleh Sang Pencipta. Dengan sadar
dan bebas, manusia melepaskan diri dari rangkulan Allah. Ini terjadi karena manusia ingin seperti Allah dan tidak menerima keterbatasan dan
ketergantungannya kepada Allah, ini adalah unsur terdalam dari dosa asal manusia yang berasal dari pilihan bebas manusia pertama Stanislaus, 2008: 26.
Penjelasan tadi menunjukkan adanya ketegangan antara kedosaan dan pertobatan untuk tetap memilih Allah, serta ketegangan antara usaha mencari
kehendak Allah dan kehendaknya sendiri. Seperti yang telah dituliskan sebelumnya, bahwa ada dialektika antara kecenderungan manusia yang didorong
oleh rahmat dan kecenderungan kepada dosa Mardi Prasetya, 1992: 15.
102
Realitas hidup yang terjadi pada dunia dewasa ini, orang beriman sering mengalami kesulitan dalam mengikuti suara hati. Padahal suara hati adalah bisikan
dari Allah sendiri. Secara tradisional, suara hati dipahami dalam pengertian psikologis, yaitu “kesadaran”, dan dalam pengertian moral, yaitu kesadaran
tentang yang benar dan yang salah” Billy dan Keating., 2009: 21. Manusia memiliki keterbatasan pengetahuan untuk memahami maksud
Allah. Dalam hidupnya sehari-hari, orang beriman selalu berhadapan dengan berbagai masalah yang bervariasi, dan cara menyikapinya juga bervariasi.
Seringkali terjadi konflik dalam hidup bersama yang terkadang berciri patologi, emosional, moral, rohani dan eksistensial. Semua itu menunjukkan kelemahan
kodrat manusia yang cenderung berpihak pada dosa Mardi Prasetya, 1992: 16. Allah telah menciptakan dunia baik adanya Kej 1-2, dan Allah
menciptakan manusia secitra dengan-Nya Kej 2: 7. Orang beriman percaya bahwa Allah adalah Mahabaik. Segala yang direncanakan Allah adalah baik.
Segala yang berasal dari Allah itu baik. Bagaimana mungkin Allah membiarkan manusia menderita? Allah tidak pernah merencanakan hal yang jahat untuk
menimpa manusia, karena Allah Mahacinta. Cinta Allah terbukti melalui anugerah kebebasan dan kesadaran yang diberikan kepada manusia sebagai ciptaan yang
secitra dengan-Nya. Allah tidak pernah berpikir untuk merenggut kebahagiaan manusia, justru sebaliknya. Allah ingin manusia terbebas dari penderitaan akibat
dosa. Cinta kasih Allah yang luar biasa juga terbukti ketika Allah mengirimkan putra-Nya yang tunggal di tengah hidup manusia, untuk menyampaikan kabar
gembira Kerajaan Allah dan akhirnya sengsara dan wafat untuk menebus dosa umat manusia. Jadi, sungguh bukan hal yang benar jika mengatakan penderitaan
semata-mata berasal dari Allah dan merupakan hukuman atas dosa manusia.
103
Yesus menolak penderitaan sebagai hukuman atas dosa orang yang menderita Luk 13;2. Bila Kerajaan Allah sudah sampai pada kemuliaannya,
semua penderitaan terhapuskan. Yesus menyerahkan diri ke dalam tangan orang jahat untuk menderita dan wafat di kayu Salib sebagai bukti ketaatan-Nya sampai
mati. Dengan demikian Yesus sebagai manusia sempurna mengalahkan segala bentuk penolakan pemberontahan terhadap Allah dan mendamaikan dunia ciptaan
dengan Sang Pencipta. Manusia ditebus dari dosa, pangkal dari segala deritanya. Umat Kristen perdana memandang penderitaan sebagai rahmat untuk ikut ambil
bagian dalam penderitaan Yesus Kristus dan dalam kemuliaan-Nya Heuken, 2005: 168.
Setelah melihat bagaimana pergulatan orang beriman dalam menghadapi penderitaan, akhirnya kita terdorong untuk menyikapinya secara tepat. Tentu saja
semua itu tidak terlepas dari iman. Berikut akan dijelaskan bagaimana seharusnya kita sebagai orang Kristiani mengambil sikap yang tepat dalam menghadapi
penderitaan hidup.
a. Kesadaran Untuk Beriman dan Terlibat Dalam Memperjuangkan
Martabat Manusia yang Menderita
Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, manusia itu lemah, diciptakan memiliki keterbatasan dan ketergantungan pada Allah Sang Pencipta Stanislaus,
2008: 26. Namun manusia adalah makhluk kesayangan Allah yang paling berbahagia karena diberi anugerah akal budi dan suara hati. Dengan akal budi dan
suara hatinya, manusia mempunyai kesadaran untuk menentukan pilihan dalam hidup, termasuk kesadaran untuk beriman.
104
Umat Kristiani dipanggil untuk beriman. Panggilan ini menumbuhkan sikap hati yang pasrah, aktif, setia, tekun, mencintai Allah dan sesama,
bertanggungjawab walau mengalami kesulitan, dan hidupnya berpusat pada Kristus Mardi Prasetya, 1992: 17. Allah menghendaki manusia untuk saling
mengasihi, dan ikut terlibat dalam memperjuangkan dan membebaskan sesamanya KLMTD kaum, miskin, tersingkir, lemah, dan difabel dari ketidakadilan dan
kejahatan-kejahatan dunia. Jika kita mencintai Allah, kita juga harus mencintai sesama manusia.
Mencintai Allah dapat kita wujudkan dengan cinta kepada sesama misalnya; berupa perhatian, sikap murah hati, dst. Dalam injil Matius Allah berfirman “Aku
berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk
Aku.” Mat. 25: 40 Egan, 2001: 7. Allah menggambarkan dirinya sebagai orang yang paling hina. Jadi, menurut penulis bahwa perbuatan baik atau buruk yang kita
lakukan di dunia ini, terutama kepada saudara kita KLMTD Kaum lemah, miskin, tersingkir, dan difabel merupakan perbuatan yang kita lakukan langsung
menyentuh hati Allah. Hal ini juga sesuai dengan maksud dari ARDAS KAS 2011. Selain memiliki kesadaran untuk beriman, kita juga hendaknya memiliki
sikap berani bersyukur dalam pengalaman penderitaan. Hal ini merupakan sikap yang juga tidak dapat dilakukan tanpa iman. Dengan iman yang teguh kepada
Allah, kita dapat menghadapi penderitaan seberat apapun. Berikut penulis akan memaparkan bagaimana orang beriman berani bersyukur dalam pengalaman
penderitaannya. Berani bersyukur adalah sikap yang mencerminkan kesetiaan seseorang pada Allah.
105
b. Berani Bersyukur dalam Pengalaman Penderitaan: Kesetiaan Orang
Beriman
Bagi orang beriman, penderitaan karena dosanya adalah konsekuensi. Konsekuensi ini tidak semata-mata untuk menjadi penyesalan, namun sebaliknya,
sebagaimana dikatakan Yesus Kristus dalam “sabda bahagia di bukit”, penderitaan itu patut disyukuri. Berikut sabda-Nya:
Berbahagialah orang yang dianiaya sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah kamu jika karena Aku kamu dicela
dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah
dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu Mat 5: 10-12; bdk. Luk 6: 20-23.
Selain dari perkataan Yesus dalam injil tersebut, kita juga dapat menemukan pesan yang serupa dari Petrus dalam suratnya;
“13
…, bersukacitalah, sesuai dengan bagian yang kamu dapat dalam penderitaan Kristus, supaya kamu juga boleh bergembira dan bersukacita
pada waktu Ia menyatakan kemuliaan-Nya.
14
Berbahagialah kamu, jika kamu dinista karena nama Kristus, sebab Roh kemuliaan, yaitu Roh Allah
ada padamu.
15
Janganlah ada diantara kamu yang harus menderita sebagai pembunuh atau pencuri atau penjahat, atau pengacau.
16
Tetapi, jika ia menderita sebagai orang Kristen, maka janganlah ia malu, melainkan
hendaklah ia memuliakan Allah dalam nama Kristus itu” 1 Pet 4: 13-16.
Menyadari hal itu, penderitaan karena iman bukanlah sesuatu yang sia-sia, dan menjadi penyesalan melainkan suatu sarana yang dapat semakin mendekatkan
manusia dengan Sang Penciptanya. Sebagai orang beriman, kita diajak untuk percaya bahwa penderitaan memiliki nilai dan makna. Yesus sendiri adalah alasan
yang nyata bagi orang beriman untuk mengharapkan kebahagiaan, seperti janji Kristus.
106
B. Pokok-Pokok Gagasan Berkatekese bagi Orang Kristiani yang Menderita
Di Zaman Sekarang
Pada bagian ini, penulis akan memaparkan gagasan-gagasan dan sikap yang diperlukan bagi katekis, serta gagasan-gagasan dan sikap yang perlu ditumbuhkan
dalam diri peserta katekese. Hal tersebut bertujuan untuk memberikan inspirasi kepada katekis supaya dapat menjalani proses katekese dengan baik, terarah dan
dapat menjawab kebutuhan peserta katekese. Selain itu, katekis juga dapat menumbuhkan sikap iman yang tepat bagi para peserta, sehingga para peserta
dapat menyadari dirinya sebagai anggota Gereja yang memiliki tugas dan juga kewajiban, misalnya: ikut terlibat dalam memperjuangkan hak-hak asasi manusia,
setiakawan ikut mengatasi atau menghadapi penderitaan sesame.
1. Gagasan dan Sikap yang Diperlukan bagi Katekis
a. Memahami Pengalaman Penderitaan Peserta
Penderitaan dapat menjadi sarana yang dipakai Allah untuk membuat manusia lebih dekat dan lebih mengenal Dia. Arus globalisasi saat ini semakin
menyeret banyak orang terperosok ke dalam berbagai macam godaan yang menghantarkan manusia kepada kesengsaraan. Manusia adalah makhluk lemah
yang mudah tergoda untuk jatuh dalam dosa. Namun, tidak jarang orang tidak menyadari kesalahan yang dilakukan, bahkan ada yang menyalahkan Allah,
menantang Tuhan “kalau memang Tuhan sayang padaku, aku ingin Tuhan memperlihatkan mujizatnya kepadaku saat ini juga”, ada juga yang menanyakan
keberadaan Tuhan “di mana Tuhan, saat bahaya menimpaku?”. inilah sisi dari kelemahan dan keterbatasan manusia.
107
Banyak sekali permasalahan yang terjadi dalam hidup manusia, dan penderitaan itu memang tidak dapat lepas dari peradaban hidup manusia. Ada
penderitaan yang terjadi akibat orang lain, demi orang lain, karena diri sendiri, penyakit menular dan bencana alam. Tidak hanya manusia yang menderita, Allah
juga menderita. Penderitaan Allah tampak jelas pada saat anak-Nya yang tunggal yakni Yesus Kristus wafat di kayu salib . Namun, penderitaan Allah ini memiliki
Tujuan untuk membebaskan umat manusia dari dosa. hal ini merupakan bentuk cinta-Nya kepada kita manusia. Kasih Allah [Bapa] kepada manusia [anak-Nya]
tidak pernah berkesudahan. Allah tidak akan membiarkan anak-anak-Nya mengalami penderitaan yang tidak berarti, artinya walaupun seseorang menderita,
ada makna yang tersirat dibalik penderitaannya itu terutama demi kedewasaan umat beriman, bagaimana mereka dapat melihat penderitaan tersebut sebagai
rahmat dari Allah. Menyambut rahmat Allah dapat membebaskan kita dengan dorongan kuat untuk mendewasakan diri dari beban berat yang ditimbulkan oleh
penderitaan Van Breemen, 2000
b. Memahami Tugas Gereja dalam Menanggapi Penderitaan Manusia
Gereja mempunyai tugas penting dalam menanggapi penderitaan yang terjadi di dunia. Untuk memahami sikap Gereja terhadap penderitaan dan mereka
yang menderita, perlu dilihat dalam konteks asal usul Gereja sebagai seluruh peristiwa hidup Yesus: keprihatinan-Nya terutama berkaitan dengan Kerajaan
Allah, kesadaran-Nya tentang peranan-Nya sendiri dalam perwujudan Kerajaan Allah, tindakan-tindakan-Nya, relasi-relasi-Nya dengan orang –orang pada
jamannya, permasalahan yang dialaminya, dan akhirnya sampai pada apa yang disaksikan oleh para murid-Nya tentang kebangkitan-Nya.
108
Di dalam peristiwa Paskah, Yesus adalah realisasi dari Kerajaan Allah itu sendiri. Tuhan Yesus telah memulai Gereja-Nya dengan mewartakan Kabar
Gembira yaitu tentang Kerajaan Allah. Peristiwa paskah melahirkan Gereja sebagai umat Allah dalam Kristus yang merupakan peristiwa dari penyerahan total
Kristus Wibowo Ardhi, 1993: 3. Kerajaan Allah adalah suasana atau lingkup di mana Allah secara efektif
menjadi yang paling menentukan hidup manusia dalam relasinya dengan sesamanya maupun dalam hidupnya sendiri. Kerajaan Allah mempengaruhi cara
pandang manusia terhadap dirinya sendiri, sesama, dan Allah. Bagi Yesus, Kerajaan Allah adalah hal yang sangat penting dalam dunia. Yesus sendiri prihatin
melihat situasi penindasan, kemiskinan, ketidakadilan, dan bentuk kejahatan- kejahatan lainnya yang dialami oleh umat manusia. Penderitaan yang terjadi pada
manusia bukan karena Allah, tetapi karena sikap manusia yang terlalu keras, egois, dan serakah. kejahatan-kejahatan yang terjadi di dunia menimbulkan keprihatinan
bagi Allah, sehingga dengan kemahakuasaan-Nya, Allah mengutus putera-Nya Yesus Kristus untuk lahir ke dunia, menjelma sebagai manusia, dan
menyelamatkan manusia melalui pewartaan-Nya tentang Kerajaan Allah. Yesus sendiri mempunyai pikiran bahwa dunia ini akan damai jika Allah meraja dalam
hati seluruh umat manusia Wibowo Ardhi, 1993: 3.
2. Gagasan dan Sikap yang Perlu Ditumbuhkan dalam Diri Peserta
a. Menyadari Diri sebagai Makhluk yang Terbatas dan Dapat Melihat
Wajah Allah Pada Pengalaman Penderitaan
Dalam upaya memahami arti dari penderitaan, maka dituntut suatu pemahaman manusia yang jernih mengenai hidup dan mengenai Allah. Karena
109
berhadapan dengan realitas kehidupan, sangat erat hubungannya dengan pertanyaan mengenai arti, maksud, dan tujuan hidup ini.
Dalam dunia ini, manusia mempertanyakan apa arti, maksud dan tujuan hidupnya. Di satu sisi, manusia mempunyai keinginginan akan: kesenangan,
kebahagiaan, dan akan sesuatu yang lain. Namun disisi lain, manusia memiliki keterbatasan. Seandainya “ada sesuatu yang dicari”, apakah itu? Siapakah itu?
Hidup bukan sesuatu yang dipahami, tetapi harus dijalani. Manusia lahir ke dunia, dari masa kanak-kanak menjadi tumbuh besar dan belajar. Dalam usaha mencapai
keberhasilan, tidak jarang manusia mengalami kegagalan. Akhirnya, manusia menyadari dirinya sebagai makhluk yang terbatas dan lemah: terancam dapat
mengalami sakit, menderita dan berujung kematian. Hidup adalah realitas yang perlu dijalani, tidaknya direnungkan saja.
Penderitaan dan kebahagiaan merupakan bagian dari kehidupan manusia. oleh karena hal itu, manusia harus memiliki sikap yang tepat dalam
menghadapinya. Apakah penderitaan manusia merupakan akhir dari segalanya? Tentu saja tidak, Allah tidak pernah menghendaki manusia menyerah pada
penderitaan. Manusia yang menderita harus menyadari bahwa ada tujuan yang lain yang menjadi tujuan hidupnya, tentu saja hal itu adalah sesuatu yang lebih
bermakna. Hidup di dunia ini dapat menjadi lahan bagi manusia untuk lebih mengenal dirinya, sesama dan Allah lewat penderitaan, kebahagiaan, kesuksesan,
kegagalan, dst. Makna hidup, perlu dicari dari pengalaman-pengalaman hidup.
b. Menerima Penderitaan sebagai Kenyataan Hidup
Kehidupan manusia diwarnai dengan berbagai macam penderitaan. Kalau realitas penderitaan senantiasa mengiringi kehidupan manusia, maka pertanyaan
110
yang mendasar adalah bagaimana sebaiknya sikap manusia terhadap realitas penderitaan? Menyerah atau menerima saja kenyataan yang tidak dapat dihindari?
Atau bahkan mengajukan protes, memberontak atau menggugat hal tersebut? Pada hakikatnya, pengalaman penderitaan itu tampak begitu kejam sehingga
sukar untuk diterima, terlebih jika penderitaan yang menimpa orang itu kurang adil dan tidak pada tempatnya, apalagi jika tidak dapat dipahami secara rasional.
Berhadapan dengan realitas penderitaan, manusia cenderung melakukan perlawanan terhadap penderitaan. Mengutip ucapan Bapa Suci Yohanes Paulus II
mengenai hal berhadapan dengan penderitaan: “…’penderitaan agaknya secara khusus bersifat hakiki bagi kodrat manusia…,justru karena hal itu, menampakkan
dengan caranya sendiri mengatasinya… “ SD art 2. Penulis menangapi maksud pernyataan itu; setiap penderitaan manusia dapat diatasi dengan caranya sendiri,
karena di dunia ini tidak ada masalah tanpa solusi, semua tergantung pada pribadi, sanggup atau tidak menerima segala konsekuensi yang akan terjadi sesudahnya.
Suatu ketika orang akan sampai pada pertanyaan yang berkaitan dengan arti dan makna hidup manusia. Pertanyaan tentang hidup manusia dengan segala
permasalahannya yang kompleks sebagai realitas dari peristiwa hidup. Berhadapan dengan realitas penderitaan, manusia cenderung melakukan perlawanan terhadap
penderitaan. Namun ternyata kesusahan menciptakan pemberontakan. Manusia tidak menghendaki pengalaman menderita, kalau saja bisa dilakukan, manusia
akan membuang itu jauh-jauh. Tetapi, itu adalah tindakan yang sia-sia. Manusia berhadapan dengan kegagalan, kekosongan dan frustasi.
Sikap yang tepat adalah menyadari diri sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki keterbatasan, menyerahkan diri secara penuh kepada kehendak Tuhan
Tuhan yang mengatur, Tuhan yang memberi dan Tuhanlah yang mengambil,
111
artinya menerima bahwa apapun yang terjadi kepada manusia pengalaman menyenangkan atau menyedihkan adalah kehendak Tuhan. Sikap lain yang dapat
dilakukan adalah menerima bahwa penderitaan merupakan bagian dari hidup manusia. Dalam hal ini perlawanan tetap mengambil peran dalam proses
penyerahan, tetapi dalam artian perlawanan itu dapat membebaskan dan menyelamatkan oleh iman manusia akan Allah.
c. Menyadari Diri sebagai Anggota Gereja
1 Ikut Memperjuangkan Hak-Hak Asasi Manusia
Bagi orang beriman kristiani, memperjuangkan hak-hak asasi manusia adalah salah satu panggilan sebagai anggota Gereja di mana Yesus Kristus sebagai
kepalanya. Semakin bersatu dengan Kristus dan semakin serupa dengan-Nya berarti semakin masuk dalam kepedulian-Nya, yakni Kerajaan Allah. Tugas pokok
Yesus Kristus adalah memperjuangkan Kerajaan Allah, kuasa, dan tindakan Allah yang menyelamatkan manusia agar manusia semakin utuh dalam iman yang
kemudian dapat membawa manusia pada jalan kebenaran Banawiratma, 1994: 141.
2 Setiakawan Melawan Penderitaan Sesama
Konsekuensi iman sebagai pengikut Kristus adalah berusaha mewujudkan imannya dalam tindakan nyata. Salah satu wadah perwujudan iman adalah rela dan
setiakawan terhadap mereka yang menderita. Setiakawan berarti ikut masuk dalam situasi si penderita, serta ikut berjuang melawan penderitaan sehingga saudaraI
kita yang menderita dapat memperoleh kebebasan untuk hidup sesuai dengan kehendak Allah.