terjadi pada diri sendiri; condole belasungkawa yaitu fungsi tuturan untuk mengekspresikan penyesalan atas peristiwa yang terjadi pada orang lain;
congratulate mengucapkan selamat yaitu fungsi tuturan mengekspresikan kegembiraan karena adanya kabar baik tentang orang lain; great memberi salam
yaitu fungsi tuturan untuk menyatakan rasa senang karena bertemu seseorang; thanks berterimakasih yaitu fungsi tuturan untuk menyatakan terima kasih
karena mendapat bantuan; bid mengundang yaitu fungsi tuturan untuk mengekspresikan harapan baik ketika sesuatu yang berhubungan dengan masa
depan seseorang akan terjadi; accept menerima yaitu fungsi tuturan untuk menerima menghargai basa-basi dari lawan tutu; dan reject menolak yaitu
fungsi tuturan untuk menolak melanggar basa-basi dari mitra tutur. Kategori fatis menurut Kridalaksana 1986: 111-113 adalah kategori yang
bertugas memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan pembicaraan antara pembicara dan kawan bicara. Kelas kata ini biasanya terdapat dalam konteks
dialog atau wawancara bersambut, yaitu kalimat-kalimat yang diucapkan oleh pembicara dan kawan bicara. Sebagian besar kategori fatis merupakan ciri ragam
lisan. Karena ragam lisan pada umumnya merupakan ragam non-standar, maka kebanyakan kategori fatis terdapat dalam kalimat-kalimat non-standar yang
banyak mengandung unsur-unsur daerah atau dialek regional. Bentuk dan kategori fatis tersebut terbagi atas: ah yang bertugas menekankan rasa penolakan atau acuh
tak acuh; ayo bertugas menekankan ajakan, ayo juga mempunyai variasi yo bila diletakkan di akhir kalimat. Ayo juga bervariasi dengan ayuk dan ayuh; deh
digunakan untuk menekankan: pemaksaan dengan membujuk, pemberian PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
persetujuan, pemberian garansi, dan sekedar penekanan. Bentuk fatis dong digunakan untuk: menghaluskan perintah dan menekankan kesalahan lawan
bicara. Selain itu ada bentuk fatis ding yang bertugas menekankan pengakuan kesalahn pembicara. Bentuk fatis halo digunakan untuk: memulai dan
mengukuhkan pembicaraan di telepon dan menyalami kawan bicara yang dianggap akrab.
Bentuk fatis kan yang apabila terletak pada akhir kalimat atau awal kalimat, maka kan merupakan kependekan dari kata bukan atau bukankah,
tugasnya ialah menekankan pembuktian, namun apabila kan terletak di tengah kalimat, maka kan juga bersifat menekankan pembuktian atau bantahan. Selain
itu, ada pula bentuk fatis kek mempunyai tugas: menekankan pemerincian, menekankan perintah, dan menggantikan kata saja. Bentuk fatis kok bertugas
menekankan alasan dan pengingkaran, kok dapat juga bertugas sebagai pengganti kata tanya mengapa atau kenapa bila diletakkan di awal kalimat. Ada pula bentuk
fatis –lah yang bertugas menekankan kalimat imperatif, dan penguat sebutan dalam kalimat. Bentuk fatis lho bila terletak di awal kalimat, bersifat seperti
interjeksi yang menyatakan kekagetan, dan bila terletak di tengah atau di akhir kalimat, maka lho bertugas menekankan kepastian.
Bentuk fatis mari, juga terdapat dalam kategori fatis yang bertugas untuk menekankan ajakan. Bentuk fatis nah yang selalu terletak pada awal kalimat,
memiliki tugas untuk meminta supaya kawan bicara mengalihkan perhatian ke hal lain. Berbeda dengan bentuk fatis nah, bentuk fatis pun selalu tertelak di ujung
konstituen pertama kalimat dan bertugas menonjolkan bagian tersebut. Selain itu PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ada pula bentuk fatis selamat yang diucapkan kepada kawan bicara yang mendapatkan atau mengalami sesuatu yang baik. Bentuk fatis sih memiliki tugas
yang menggantikan tugas –tah, dan –kah, sebagai makna ‘memang’ atau ‘sebenarnya’, dan menekankan alasan. Bentuk fatis toh bertugas menguatkan
maksud, ada kalanya memiliki arti yang sama dengan tetapi. Bentuk fatis ya bertugas mengukuhkan atau membenarkan apa yang ditanyakan kawan bicara,
bila dipakai pada awal ujaran, meminta persetujuan atau pendapat kawan bicara, bila dipakai pada akhir ujaran. Bentuk fatis terakhir yang termasuk dalam kategori
fatis menurut Kridalaksana adalah bentuk fatis yah yang digunakan pada awal atau di tengah-tengah ujaran, tetapi tidak pernah pada akhir ujaran, untuk
mengungkapkan keragu-raguan atau ketidakpastian terhadap apa yang diungkapkan oleh kawan bicara atau yang tersebut dalam kalimat sebelumnya.,
bila bentuk fatis yah dipakai pada awal ujaran, atau keragu-raguan atau ketidakpastian atas isi konstituen ujaran yang mendahuluinya, bila dipakai di
tengah ujaran.
2.2.3 Konteks sebagai Penentu Makna Pragmatik
Istilah konteks didefinisikan oleh Mey 1993 dalam Nadar 2009: 3-4 sebagai the surroundings, in the widest sense, that enable the participants in the
communication process to interact, and that make the linguistic expressions of their interaction intelligible
“situasi lingkungan dalam arti luas yang memungkinkan peserta pertuturan untuk dapat berinteraksi, dan yang membuat
ujaran mereka dapat dipahami”. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Konteks sangat penting dalam kajian pragmatik. Konteks ini didefinisikan oleh Leech 1983 dalam Nadar 2009: 6 sebagai background knowledge
assumed to be shared by s and h and which contributes to h’s interpretation of what s means by a given utterance “latar belakang pemahaman yang dimiliki
oleh penutur maupun lawan tutur sehingga lawan tutur dapat membuat interpretasi mengenai apa yang dimaksud oleh penutur pada waktu membuat tuturan
tertentu” s berarti speaker “penutur”; h berarti hearer “lawan tutur”. Dengan demikian, konteks adalah hal-hal yang gayut dengan lingkungan fisik dan sosial
sebuah tuturan ataupun latar belakang pengetahuan yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan lawan tutur dan yang membantu lawan tutur menafsirkan makna
tuturan. Konteks mencakup pengertian situasi tetapi ditambah dengan pengertian
lain. Konteks dari sebuah kata atau bicara dapat meliputi seluruh latarbelakang sosial budaya dari masyarakat bahasa itu. Demikianlah umpamanya kata Pancasila
tidak dapat dipahami dengan baik tanpa memahami masyarakat Indonesia di bidang ketatanegaraan, sosial politik, sistem kepartaian dan lain sebagainya. Bila
kita membaca kata-kata tertentu dalam sebuah buku umpamanya, kadang-kadang kita kurang memahami kata itu tanpa memahami isi buku itu secara keseluruhan.
Dapat dikatakan bahwa konteks daripada kata-kata itu tadi adalah semua kata-kata yang digunakan dalam buku itu. Tentu banyak kata-kata dalam sebuah bahasa
yang dapat kita pahami tanpa mengenal konteksnya, akan tetapi ada istilah-istilah atau kata-kata yang sulit memahaminya tanpa memahami konteksnya. Untuk
mempelajari suatu bahasa yang bukan bahasa ibu kita, pengetahuan akan konteks PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dan situasi ini amat diperlukan. Sebagai contoh kata diamankan yang sering digunakan di masa-masa sesudah Gestapu di sekitar tahun 1965 dan 1966, sering
berarti ditangkap, ditahan dan sebagainya. Pengertian itu erat hubungannya dengan konteks dan situasi yang berlaku pada waktu itu. Konteks itu bisa berupa
bahasa dan bukan bahasa, kedua-duanya dapat memperngaruhi arti bahasa itu. Istilah konteks sering digunakan untuk menerangkan peristiwa bahasa sebagai
salah satu petunjuk untuk lebih memahami masalah arti bahasa Anwar, 1984: 44.
Asumsi-asumsi a set of assumptions sebagai substansi pokok konteks pragmatik tidak selalu diungkapkan oleh sejumlah pakar pragmatik. Yan Huan
dalam makalah Rahardi 2015: 18 mengatakan bahwa konteks dalam pragmatik itu dapat dimaknai dengan mengacu kepada hal-hal yang terkait dengan seting
atau lingkungan dinamis tempat entitas kebahasan digunakan sistematis. Beliau mengatakan juga bahwa konteks dimaknai sebagai ‘pengetahuan umum’ atau
‘pengetahuan bersama’ yang lebih dijelaskan lagi sebagai ‘a set of background assumptions shared by the speaker and the addressee’ atau ‘seperangkat latar
belakang asumsi yang dimiliki bersama oleh penututr dan mitra tutur’. Rahardi 2011 juga mengatakan bahwa hakikat konteks pragmatik itu bukanlah konteks
fisik physical context dan konteks linguistik linguistic context, melainkan konteks berupa pengetahuan umum general knowledge context, yang selanjutnya
dimaknai pula sebagai seperangkat latar belakang asumsi yang dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur general knowledge shared. Frasa ‘generaal
knowledge shared’ atau ‘a set of assumptions shared’, berarti bahwa pengetahuan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bersama atau seperangkat asumsi itu harus dimiliki bersama-sama baik oleh penutur maupun mitra tutur, tidak boleh hanya dimiliki oleh satu pihak saja.
Asumsi yang hanya dimiliki oleh oleh satu pihak saja sama sekali tidak membentuk konteks dan tidak berkontribusi apa pun dalam proses pemaksudan.
Dikatakan demikian karena asumsi yang hanya dimiliki sepihak itu justru dapat menghadirkan kesenjangan discrepancy yang menghasilkan kesalahpahaman.
Sebaliknya asumsi-asumsi yang dimiliki secara bersama dapat menjamin interaksi berkat adanya semacam peririsan yang sama-sama dikontribusikan baik oleh
penutur maupun mitra tutur dalam komunikasi. Asumsi-asumsi yang hadir dalam peririsan sebagai hakikat konteks pragmatik itu dapat mencakup dua kategori
yakni asumsi berkategori komunal dan asumsi berkategori personal. Kedua asumsi dalam berkomunikasi itulah yang dapat dimaknai sebagai hakikat konteks
pragmatik. Rahardi dalam makalahnya 2015: 20 menegaskan bahwa kejatian dan kehadiran kontekslah yang menjadikan interaksi terjadi antara pentur dan
mitra tutur. Dengan perkataan lain dapat ditegaskan pula bahwa hanya karena adanya asumsi-asumsi tertentu yang hadir dalam entitas konteks yang sifatnya
tertentu sajalah interaksi itu akan dapat dibangun. Dengan demikian dapat ditegaskan juga bahwa syarat terjadinya interaksi itu adalah konteks, dan di dalam
konteks terdapat substansi hakiki yang berupa seperangkat asumsi a set of assumptions, baik itu asumsi-asumsi atau common ground yang berdimensi
personal maupun komunal. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2.3 Kerangka Berpikir
Komunikasi fatis merupakan suatu fenomena baru dalam studi pragmatik. Komunikasi fatis muncul dari perkembangan penggunaan bahasa oleh masyarakat
sebagai bentuk bahasa yang digunakan untuk memulai atau mempertahankan hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur dalam kehidupan sehari-hari.
Komunikasi fatis dapat terjadi dalam berbagai macam ranah, yang mana salah satunya adalah ranah pendidikan. Komunikasi fatis yang berkembang dalam ranah
tersebut dilatar belakangi oleh berbagai faktor, karena ranah pendidikan juga merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari manusia sehingga tentu selalu
melibatkan proses komunikasi, termasuk komunikasi fatis itu sendiri. Hal tersebut menjadi kajian penelitian ini, yang khususnya mengkaji komunikasi fatis dalam
wacana konsultatif pembibingan skripsi pada program studi Sastra Indonesia semester genap tahun akademik 20152016 Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta.
Penelitian ini menggunakan teori-teori komunikasi fatis dan beberapa teori lain yang digunakan untuk mendukung tuturan fatis dalam wacana konsultatif
antara dosen dan mahasiswa. Pertama, Malinowski 1923: 315 dalam tesis Arimi mendefinisikan phatic communion sebagai “a type of speech in which ties of union
are created by a mere exchange of word”. Phatic communion memiliki fungsi sosial. Phatic communion digunakan dalam susasana ramah tamah dan dalam
ikatan personal antarpeserta komunikasi. Situasi tersebut diciptakan dengan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI