PraanggapanPresuposisi Implikatur Percakapan Fenomena Pragmatik

ungkapan, gaya bahasa, dan sebagainya. Selain itu ada juga faktor penentu kesantunan dari aspek nonkebahasaan berupa pranata sosial budaya masyarakat. Ketika seseorang berkomunikasi tidak hanya menggunakan bahasa verbal maupun nonverbal, tetapi juga memperhatikan faktor nonkebahasaan, yaitu pranata sosial budaya masyarakat Pranowo, 2009: 76-79.

2.2.2.5 Ketidaksantunan Berbahasa

Terkourafi 2008 dalam Jurnal Rahardi dkk. 2014 memandang ketidaksantunan berbahasa sebagai berikut, ‘impoliteness occurs when the expression used is not conventionalized relative to the context of occurrence; it threatens the addressee’s face but no face-threatening intention is attributed to the speaker by the hearer’. Perilaku berbahasa tidak santun dalam pandangan Terkourafi terjadi jika mitra tutur addressee merasakan adanya ancaman terhadap kehilangan muka face threaten, dan penutur speaker tidak mendapatkan maksud ancaman muka itu dari mitra tuturnya. Berbeda dengan pandangan Locher 2008:3, ketidaksantunan berbahasa merupakan perilaku berbahasa yang memperburuk ‘muka’ mitra tutur pada konteks kebahasaan tertentu. Maka dari itu, ketidaksantunan berbahasa itu menunjukkan pada perilaku ‘melecehkan’ muka. Pemahaman lain yang berkaitan dengan definisi Locher tentang ketidaksantunan berbahasa adalah bahwa tindakan tersebut sesungguhnya bukanlah sekadar perilaku yang ‘melecehkan muka’, melainkan perilaku yang ‘memain-mainkan muka’. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher adalah tindak berbahasa yang bersifat melecehkan dan memain-mainkan muka pada konteks tertentu sebagaimana dilambangkan dengan makna kata ‘aggravateI’ itu. Pemahaman Culpeper 2008 dalam Jurnal Rahardi dkk. 2014: 152 tentang ketidaksantunan berbahasa dapat disebutkan sebagai berikut, ‘impoliteness, as I would define it, involves communicate behavior intending to cause the “face loss” of a target or perceived by the target to be so’. Culpeper memberikan penekanan pada fakta ‘face loss’ atau ‘kehilangan muka’. Sebuah tuturan dianggap tidak santun jika tuturan itu menjadikan muka seseorang hilang.Jadi, ketidaksantunan berbahasa merupakan perilaku komunikatif yang diperantikan secara internasional untuk membuat orang benar-benar kehilangan muka face loss, atau setidaknya orang tersebut ‘merasa’ kehilangan muka. Bousfield 2008: 3 mengemukakan bahwa ketidaksantunan berbahasa sebagai berikut: “…the issuing of intentionally gratuitous and conflictive face- threatening acts FTAs that are purposefully performed”. Bousfield memberikan penekanan pada dimensi ‘kesembronoan’ dan dimensi konfliktif conflictive dalam praktik berbahasa yang tidak santun.Jadi, apabila perilaku berbahasa seseorang itu mengancam muka dan dilakukan secara sembrono gratuitous yang mengakibatkan konflik atau bahkan kesengajaan purposeful, tindakan berbahasa itu merupakan relitas ketidaksantunan dalam praktik berbahasa.

2.2.2.6 Kefatisan dalam Berbahasa

Komunikasi fatis adalah komunikasi yang bertujuan untuk menimbulkan kesenangan diantara pihak-pihak yang terlibat di dalamnya Devito, 2012 dalam jurnal Ramadanty, 2014. Komunikasi fatis dalam bahasa Inggris disebut juga small talk atau chit chat. Orang-orang menyadari bahwa beberapa ungkapan seperti, “Hari yang cerah, bukan?” dan “bagaimana dengan liburanmu?” adalah percakapan yang bersifat sosial. Mereka juga memahami cara melakukan komunikasi fatis tertentu yang mempersyaratkan terlibatnya mental dan memakan waktu. Malinowski 1923 dalam skripsi Jayanti 2010: 9 mengatakan terdapat suatu fungsi bahasa dalam percakapan yang bebas, tanpa tujuan atau maksud tertentu. Misalnya dalam situasi beberapa orang di sela-sela waktu istirahat kerja mereka, duduk di sekeliling api unggun melakukan pembicaraan ringan yang tidak ada hubungannya dengan apa yang sedang mereka lakukan atau bergosip. Pembicaraan ringan yang mereka lakukan antara lain mengenai kondisi kesehatan, mengomentari cuaca, dan penegasan terhadap sesuatu yang sudah jelas. Percakapan tersebut tidak bertujuan untuk bertukar informasi atau mengungkapkan perasaan melainkan hanya untuk memecah kebisuan dan merupakan tahap awal untuk memulai komunikasi dengan seseorang.Bentuk komunikasi baru ini oleh Malinowski disebut phatic communion. Menurut Malinowski, phatic communion merupakan tipe ujaran yang mengikat suatu komunitas yang tercipta melalui pertukaran kata-kata. Tujuan mendasar dari tipe