Komunikasi fatis dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi pada Program Studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta semester genap tahun akademik 2015/2016.

(1)

viii ABSTRAK

Rimawati, Agnes Wiga. 2016. Komunikasi Fatis dalam Wacana Konsultatif Pembimbingan Skripsi pada Program Studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Semester Genap Tahun Akademik 2015/2016. Skripsi. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD. Penelitian ini membahas komunikasi fatis dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi pada program studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakartasemester genap tahun akademik 2015/2016. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan wujud kefatisan dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi, dan (2) mendeskripsikan makna pragmatik kefatisan dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi.

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah tuturan dosen dan mahasiswa pada program studi Sastra Indonesia Univeritas Sanata Dharma Yogyakarta semester genap tahun akademik 2015/2016, dengan data berupa tuturan yang di dalamnya terdapat kefatisan. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara (konfirmasi kepada informan) dengan bekal teori komunikasi fatis. Metode pengumpulan data menggunakan metode simak dengan teknik sadap dan diikuti dengan teknik lanjutan yang berupa teknik catat. Analisis data menggunakan metode padan ekstralingual untuk menganalisis unsur yang bersifat ekstralingual, yaitu menghubungkan masalah bahasa dengan hal yang berada di luar bahasa.

Simpulan dari penelitian ini adalah (1) wujud kefatisan dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi pada program studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta semester genap tahun akademik 2015/2016 yang didasarkan pada subkategori acknowledgements (menerima, mengundang, menolak, terima kasih, salam, selamat, dan meminta maaf) terbagi atas tuturan fatis murni, basa-basi murni, dan basa-basi polar. (2) Makna pragmatik tuturan fatis yang dihasilkan dari penelitian ini terbagi dalam 7 subkategori acknowledgements, yaitu menerima, menolak, mengundang, salam, terima kasih, selamat, dan berduka cita, untuk menjaga agar percakapan tetap berlangsung, menarik perhatian lawan bicaaranya, memulai dan mengakhiri percakapan, memecah kesenyapan, menciptakan keharmonisan dan perasaaan nyaman, mengungkapkan kesopanan atau kesantunan, dan menyampaikan pesan.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan pengetahuan mengenai komunikasi fatis antara dosen dan mahasiswa. Komunikasi fatis yang digunakan oleh dosen dan mahasiswa pada pembimbingan skripsi untuk memulai pembicaraan, mempertahankan komunikasi, dan menyampaikan informasi dengan melibatkan fungsi sosialnya.

Kata kunci: komunikasi fatis, acknowledgements, penanda linguistik, makna kefatisan


(2)

ix ABSTRACT

Rimawati, Agnes Wiga. 2016. The Phatic Communication in Discourse Consultative Thesis Mentoring in Indonesian Literature Department in the Academic Year 2015/2016, Sanata Dharma University. Thesis. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.

This research describes the phatic communication in discourse consultative thesis mentoring in Indonesian Literature Department in the academic year 2015/2016 Sanata Dharma University. The objectives of this research are to (1) describe the form of phatic communication in the discourse consultative thesis mentoring and (2) describe the phatic pragmatic meanings in the discourse consultative thesis mentoring.

This research is categorized into descriptive qualitative research. The data sources of this research was gained from the lecturers and the students of Indonesian Literature Department in the second semester in the academic year 2015/2016 Sanata Dharma University. In this research, the researcher used interview (confirmation to informant) as the instrument with the theory of phatic communication as the guidance. The gathered data are in the form of speeches which convey phatic communication. The data collection technique used in this research is observation method using tapping technique and then followed by writing technique which is the continuation technique applied in the research. The data are further analyzed using Metode Padan Ekstralingual to analyze the ekstralingual elements, which is connecting the language problems with things beyond the language.

In this research, it can be concluded that (1) the form of phatic communication in discourse consultative thesis mentoring in Indonesian Literature Department in the second semester in the academic year 2015/2016 Sanata Dharma University which is based on acknowledgements subcategory (accepting, inviting, rejecting, thanking, greeting, congratulating, and apologizing) are divided into several parts, which are pure phatic utterances, pure pleasantries and polar pleasantries. (2) The pragmatic signification in the phatic utterances which are resulted from this research is divided into seven acknowledgment subcategories, which are accepting, rejecting, inviting, greeting, showing gratitude, congratulating, showing condolences, keeping the conversation going, attracting the interlocutors, beginning and ending the conversation, breaking the silence, creating harmony and comfort, expressing politeness or courtesy and delivering messages.

This research is expected to be able to provide some contributions and knowledge related to the phatic communication among the lecturers and the students. The phatic communication is used by the lecturers and the students in their thesis mentoring to start the conversation, keep the conversation going on, delivering information by involving the social functions.

Keywords: phatic communication, acknowledgment, linguistic marks, phatic meanings


(3)

i

KOMUNIKASI FATIS DALAM WACANA KONSULTATIF PEMBIMBINGAN SKRIPSI

PADA PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA SEMESTER GENAP TAHUN AKADEMIK 2015/2016

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia

Oleh:

Agnes Wiga Rimawati NIM. 121224032

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2016


(4)

(5)

(6)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini saya persembahkan kepada

Tuhan Yesus Kristus, Bunda Maria, Santo Yosef, dan Santa Agnes yang senantiasa memberikan berkat yang berlimpah kepada saya dalam setiap proses

kehidupan yang telah saya lalui hingga saat ini.

Kedua orang tua saya, Anastasius Wagirin dan Christina Winarni yang selalu memberikan dukungan dalam bentuk doa dan kasih sayang kepada saya. Adik saya tercinta Margaretha Aufrida Putranti yang selalu memberikan keceriaan

dan semangat kepada saya agar terus berjuang dalam keadaan apapun. Teman sepayung saya, Dewi, Markus, Alfon, dan Citra yang selalu memberikan waktu, tenaga, dan pikiran untuk bekerja, berdiskusi, dan bercanda bersama yang

luar biasa.

Kekasih tercinta, Andronikus Kresna Dewantara yang tak pernah bosan untuk mengingatkan dan mendukung saya dalam menyelesaikan skripsi ini. Teman-teman PBSI 2012 khususnya kelas A yang sangat saya cintai.


(7)

v MOTTO

Kalau kamu tidak melakukannya sekarang kapan lagi? Kalau bukan kamu yang memulai siapa lagi?

(Agnes Wiga Rimawati)

Hidup ini seperti seseorang naik sepeda, untuk menjaga keseimbangan, anda harus tetap bergerak

(Albert Einstein)

Hiduplah seperti pohon kayu yang lebaat buahnya, hidup di tepi jalan dan dilempari dengan batu, tetapi membalasnya dengan buah


(8)

(9)

(10)

viii ABSTRAK

Rimawati, Agnes Wiga. 2016. Komunikasi Fatis dalam Wacana Konsultatif Pembimbingan Skripsi pada Program Studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Semester Genap Tahun Akademik 2015/2016. Skripsi. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD. Penelitian ini membahas komunikasi fatis dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi pada program studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakartasemester genap tahun akademik 2015/2016. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan wujud kefatisan dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi, dan (2) mendeskripsikan makna pragmatik kefatisan dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi.

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah tuturan dosen dan mahasiswa pada program studi Sastra Indonesia Univeritas Sanata Dharma Yogyakarta semester genap tahun akademik 2015/2016, dengan data berupa tuturan yang di dalamnya terdapat kefatisan. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara (konfirmasi kepada informan) dengan bekal teori komunikasi fatis. Metode pengumpulan data menggunakan metode simak dengan teknik sadap dan diikuti dengan teknik lanjutan yang berupa teknik catat. Analisis data menggunakan metode padan ekstralingual untuk menganalisis unsur yang bersifat ekstralingual, yaitu menghubungkan masalah bahasa dengan hal yang berada di luar bahasa.

Simpulan dari penelitian ini adalah (1) wujud kefatisan dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi pada program studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta semester genap tahun akademik 2015/2016 yang didasarkan pada subkategori acknowledgements (menerima, mengundang, menolak, terima kasih, salam, selamat, dan meminta maaf) terbagi atas tuturan fatis murni, basa-basi murni, dan basa-basi polar. (2) Makna pragmatik tuturan fatis yang dihasilkan dari penelitian ini terbagi dalam 7 subkategori acknowledgements, yaitu menerima, menolak, mengundang, salam, terima kasih, selamat, dan berduka cita, untuk menjaga agar percakapan tetap berlangsung, menarik perhatian lawan bicaaranya, memulai dan mengakhiri percakapan, memecah kesenyapan, menciptakan keharmonisan dan perasaaan nyaman, mengungkapkan kesopanan atau kesantunan, dan menyampaikan pesan.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan pengetahuan mengenai komunikasi fatis antara dosen dan mahasiswa. Komunikasi fatis yang digunakan oleh dosen dan mahasiswa pada pembimbingan skripsi untuk memulai pembicaraan, mempertahankan komunikasi, dan menyampaikan informasi dengan melibatkan fungsi sosialnya.

Kata kunci: komunikasi fatis, acknowledgements, penanda linguistik, makna kefatisan


(11)

ix ABSTRACT

Rimawati, Agnes Wiga. 2016. The Phatic Communication in Discourse Consultative Thesis Mentoring in Indonesian Literature Department in the Academic Year 2015/2016, Sanata Dharma University. Thesis. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.

This research describes the phatic communication in discourse consultative thesis mentoring in Indonesian Literature Department in the academic year 2015/2016 Sanata Dharma University. The objectives of this research are to (1) describe the form of phatic communication in the discourse consultative thesis mentoring and (2) describe the phatic pragmatic meanings in the discourse consultative thesis mentoring.

This research is categorized into descriptive qualitative research. The data sources of this research was gained from the lecturers and the students of Indonesian Literature Department in the second semester in the academic year 2015/2016 Sanata Dharma University. In this research, the researcher used interview (confirmation to informant) as the instrument with the theory of phatic communication as the guidance. The gathered data are in the form of speeches which convey phatic communication. The data collection technique used in this research is observation method using tapping technique and then followed by writing technique which is the continuation technique applied in the research. The data are further analyzed using Metode Padan Ekstralingual to analyze the ekstralingual elements, which is connecting the language problems with things beyond the language.

In this research, it can be concluded that (1) the form of phatic communication in discourse consultative thesis mentoring in Indonesian Literature Department in the second semester in the academic year 2015/2016 Sanata Dharma University which is based on acknowledgements subcategory (accepting, inviting, rejecting, thanking, greeting, congratulating, and apologizing) are divided into several parts, which are pure phatic utterances, pure pleasantries and polar pleasantries. (2) The pragmatic signification in the phatic utterances which are resulted from this research is divided into seven acknowledgment subcategories, which are accepting, rejecting, inviting, greeting, showing gratitude, congratulating, showing condolences, keeping the conversation going, attracting the interlocutors, beginning and ending the conversation, breaking the silence, creating harmony and comfort, expressing politeness or courtesy and delivering messages.

This research is expected to be able to provide some contributions and knowledge related to the phatic communication among the lecturers and the students. The phatic communication is used by the lecturers and the students in their thesis mentoring to start the conversation, keep the conversation going on, delivering information by involving the social functions.

Keywords: phatic communication, acknowledgment, linguistic marks, phatic meanings


(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yesus yang senantiasa memberi berkat dan karunia, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Komunikasi Fatis dalam Wacana Konsultatif Pembimbingan Skripsi pada Program Studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Semester Genap Tahun Akademik 2015/2016”. Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk menyelesaikan studi dalam kurikulum Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia (PBSI), Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni (JPBS), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini berhasil diselesaikan karena bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

2. Dr. Yuliana Setyaningsih, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia yang telah memberikan banyak dukungan, pendamping, saran, dan nasihat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum., sebagai dosen pembimbing yang dengan bijaksana, sabar, memotivasi dan memberikan berbagai masukan yang sangat berharga bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Seluruh dosen Prodi PBSI yang dengan penuh dedikasi mendidik, mengarahkan, membimbing, membagi ilmu pengetahuan, memberikan dukungan, dan bantuan kepada penulis dari awal perkuliahan sampai selesai.

5. Robertus Marsidiq, selaku karyawan sekretariat Prodi PBSI yang dengan sabar memberikan pelayanan administrative kepada penulis dalam menyelesaikan berbagai urusan administrasi.


(13)

xi

6. Dosen Program Studi Sastra Indonesia dan mahasiswa Prodi Sastra Indonesia yang telah membantu dan bersedia menjadi narasumber dalam skripsi ini.

7. Teman-teman sepayung dan teman-teman lain yang selalu mendukung dan memberi semangat dan doa kepada saya yaitu: Dewi Yulianti, Markus Jalu Vianugrah, Alfonsus Novendi, Citra Astutiningsih.

8. Seluruh teman-teman PBSI 2012 khususnya kelas A yang telah berdinamika bersama selama menjalani perkuliahan di PBSI.

9. Semua pihak yang belum disebutkan yang turut membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak sekali kekurnagan dalam penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan memberikan inspirasi bagi penelitian selanjutnya.

Yogyakarta, 1 Agustus 2016

Penulis


(14)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING...ii

HALAMAN PENGESAHAN...iii

HALAMAN PERSEMBAHAN...iv

HALAMAN MOTTO...v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA...vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI...vii

ABSTRAK...viii

ABSTRACT...ix

KATA PENGANTAR...x

DAFTAR ISI...xii

BAB I PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang Masalah...1

1.2 Rumusan Masalah ...5

1.3 Tujuan Penelitian ...5

1.4 Manfaat Penelitian ...6

1.5 Batasan Istilah ...7

1.6 Sistematika Penyajian ...8

BAB II KAJIAN PUSTAKA...9

2.1 Penelitian yang Relevan...9

2.2 Landasan Teori...12

2.2.1 Pragmatik ...12

2.2.2 Fenomena Pragmatik...15

2.2.2.1 Deiksis...15

2.2.2.2 Praanggapan ...16

2.2.2.3 Implikatur...16

2.2.2.4 Kesantunan Berbahasa ...19

2.2.2.5 Ketidaksantunan Berbahasa ...20

2.2.2.6 Kefatisan dalam Berbahasa ...22

2.2.3 Konteks sebagai Penentu Makna Pragmatik ...30


(15)

xiii

BAB III METODE PENELITIAN...36

3.1 Jenis Penelitian...36

3.2 Data dan Sumber Data ...37

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data...38

3.4 Metode dan Teknik Analisis Data...39

3.5 Triangulasi Data ...41

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...42

4.1 Deskripsi Data...42

4.2 Analisis Data ...51

4.2.1 Wujud Tuturan Fatis ...51

4.2.1.1 Wujud Tuturan Fatis Subkategori Meminta Maaf ...52

4.2.1.2 Wujud Tuturan Fatis Subkategori Menerima...54

4.2.1.3 Wujud Tuturan Fatis Subkategori Menolak ...71

4.2.1.4 Wujud Tuturan Fatis Subkategori Mengundang ...75

4.2.1.5 Wujud Tuturan Fatis Subkategori Selamat ...80

4.2.1.6 Wujud Tuturan Fatis Subkategori Salam ...81

4.2.1.7 Wujud Tuturan Fatis Subkategori Terima Kasih ...83

4.2.2 Maksud Tuturan Fatis ...85

4.2.2.1 Maksud Tuturan Fatis Subkategori Meminta Maaf ...86

4.2.2.2 Maksud Tuturan Fatis Subkategori Menerima...87

4.2.2.3 Maksud Tuturan Fatis Subkategori Menolak ...98

4.2.2.4 Maksud Tuturan Fatis Subkategori Mengundang ...102

4.2.2.5 Maksud Tuturan Fatis Subkategori Selamat ...106

4.2.2.6 Maksud Tuturan Fatis Subaktegori Salam ...107

4.2.2.7 Maksud Tuturan Fatis Subaktegori Terima Kasih ...108

4.3 Pembahasan...110

BAB V PENUTUP...118

5.1 Kesimpulan ...118

5.2 Saran...121

DAFTAR PUSTAKA...123

LAMPIRAN...125


(16)

1 BAB I

PENDAHULUAN

Bab pendahuluan ini akan memaparkan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, dan sistematika penyajian. Paparan selengkapnya disampaikan berikut ini.

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk sosial yang akan selalu melakukan kegiatan interaksi dengan orang lain. Interaksi yang terjalin antara satu orang dengan yang lainnya tidak akan tercapai jika penyampai pesan tidak dapat mengirimkan pesannya dengan baik. Sejalan dengan hal itu, maka diperlukan bahasa untuk menjembatani interaksi itu.

Bahasa digunakan manusia untuk berkomunikasi. Komunikasi adalah kegiatan pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami (Dept. Pend. Nasional, 2008: 721). Saat berkomunikasi seseorang harus memperhatikan siapa lawan biacaranya, situasinya formal atau informal, publik atau pribadi, dan siapa yang ikut mendengarkan kata-kata tersebut, sehingga penutur bahasa bisa memilih kata yang tepat untuk diujarkan. Saat berkomunikasi seorang penutur biasanya tidak secara langsung mengungkapkan tujuan utamanya namun melalui pembukaan. Tujuannya untuk memelihara hubungan penutur dan lawan tutur yang biasa dikenal dengan istilah basa-basi. Basa-basi itu sejalan dengan fungsi fatis yaitu


(17)

untuk pembuka, pembentuk, pemelihara hubungan atau kontak antara pembicara dengan penyimak, jadi fungsi fatis ini sejajar dengan faktor kontak awal dalam komunikasi (Sudaryanto, 1990:12). Halliday (dalam Sudaryanto, 1990: 17) menyatakan fungsi fatis bisa diartikan dengan fungsi bahasa secara interpersonal yaitu berkaitan dengan peranan bahasa untuk membangun dan memelihara hubungan sosial, untuk pengungkapan peranan-peranan sosial, termasuk peranan komunikasi yang diciptakan oleh bahasa itu sendiri.

Manusia memerlukan bahasa untuk berkomunikasi, karena melalui bahasa manusia dapat memahami maksud yang ingin disampaikan oleh seseorang. Bahasa yang digunakan manusia untuk berkomunikasi adalah bahasa verbal dan nonverbal. Dalam komunikasi verbal, bahasa yang digunakan penutur bersifat informatif. Namun, ada juga satu fungsi bahasa yang baru yaitu fungsi fatis. Fungsi fatis biasanya dilakukan dengan menggunakan ungkapan fatis. Ungkapan fatis ini tidak bertujuan untuk memberikan informasi seperti layaknya komunikasi verbal, namun hanya untuk menjaga hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur. Sebagian besar ungkapan fatis merupakan ciri ragam lisan yang pada umumnya adalah ragam non-standar. Komunikasi fatis selain sebagai fenomena sosial dan fenomena budaya, juga merupakan fenomena lingual. Menurut para ahli, fenomena lingual berfungsi sebagai alat indikator atau alat pembuktian sebuah tuturan yang tergolong dalam tuturan komunikasi fatis.

Vladimir dalam “What is Phatic Communication” (2009) mengatakan bahwa upaya untuk menimbulkan rasa kesenangan saat berkomunikasi adalah dengan menggunakan apa yang disebut dengan komunikasi fatis (phatic


(18)

communication). Komunikasi fatis yaitu suatu kondisi dimana komunikasi yang berlangsung tidak bertujuan untuk memperoleh suatu informasi yang berarti melainkan hanya untuk menimbulkan kesenangan antara pihak yang terliat di dalamnya semata. Komunikasi fatis mencakup seluruh ruang lingkup komunikasi, baik di sekolah, pasar, masyarakat, bahkan di kalangan akademis. Komunikasi fatis biasanya dilakukan melalui komunikasi verbal dan verbal. Bentuk komunikasi nonverbal adalah sentuhan di pundak atau di punggung lawan bicara juga dapat mengekspresikan gaya komunikasi fatis. Tubbs dan Sylvia (2009) mengatakan bahwa komunikasi fatis sangat berguna untuk mempertahankan kelangsungan hubungan sosial dalam keadaan yang baik dan menyenangkan. Hubungan yang baik dan menyenangkan ini sangat diperlukan bagi seseorang untuk mengembangkan kepribadiannya. Komunikasi fatis sangat lekat dengan pengaruh budaya masing-masing individu. Adanya perbedaan konteks komunikasi dalam keberagaman komunikasi antar budaya terkadang menjadikan komunikasi yang berjalan tidak efektif. Hal ini terjadi karena keberagaman budaya yang melatarbelakangi individu sangat berperan terhadap gaya komunikasi seseorang. Gaya komunikasi ini juga akan berpengaruh ketika individu berbaur pada saat menempuh pendidikan. Asumsi tersebut menghantarkan pada satu pemikiran bahwa komunikasi fatis dapat memunculkan komunikasi yang efektif dalam interaksi antara penutur dan mitra tutur, baik bersifat pribadi maupun kelompok.

Komunikasi fatis sangat berperan penting dalam menentukan hubungan antarmanusia. Komunikasi fatis sangat dipengaruhi oleh adanya konteks yang dapat membangun situasi dan kondisi penutur maupun mitra tuturnya.


(19)

Komunikasi fatis tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat saja, namun juga dapat terjadi di kalangan akademis, dalam hal ini dosen dan mahasiswa. Penelitian ini akan mengungkap bagaimana seorang mahasiswa ketika akan melakukan bimbingan skripsi terlebih dahulu melakukan komunikasi fatis yang bertujuan untuk menciptakan suasana yang nyaman baik baik mahasiswa itu sendiri maupun dosen. Selain itu, komunikasi fatis yang terjadi antara dosen dan mahasiswa ini juga bertujuan untuk memudahkan mahasiswa dalam proses pembimbingan skripsi, karena dengan berkomunikasi fatis mahasiswa dapat mengetahui situasi dan kondisi yang akan terjadi.

Peneliti mengambil topik tentang komunikasi fatis dalam proses pembimbingan skripsi ini karena penelitian yang terkait dengan komunikasi fatis masing sangat jarang diteliti dalam kajian pragmatik. Selain itu, peneliti juga melihat bahwa komunikasi fatis dapat terjadi dimana saja, maksudnya adalah komunikasi fatis tidak hanya terjadi dalam kehidupan sehari-hari saja namun komunikasi fatis juga dapat terjadi dalam proses pembimbingan skripsi di program studi manapun. Komunikasi fatis yang terjadi antara dosen dan mahasiswa pasti memiliki maksud dan tujuan tertentu. Oleh karena itu, penelitian tentang komunikasi fatis antara dosen dan mahasiswa dalam proses pembimbingan skripsi ini sangat menarik untuk diteliti.


(20)

1.2 Rumusan Masalah

Bedasarkan latar belakang masalah di atas, disusunlah dua rumusan masalah sebagai berikut :

1. Apa sajakah wujud komunikasi fatis dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi pada Program Studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta semester genap tahun akademik 2015/2016?

2. Apa sajakah maksud/makna pragmatik dari setiap wujud komunikasi fatis dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi pada Program Studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta semester genap tahun akademik 2015/2016?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan sebagai berikut :

1. Mendeskripsikan wujud komunikasi fatis dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi pada Program Studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta semester genap tahun akademik 2015/2016.

2. Mendeskripsikan maksud/makna pragmatik dari setiap wujud komunikasi fatis dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi pada Program Studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta semester genap tahun akademik 2015/2016.


(21)

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian komunikasi fatis antara dosen dan mahasiswa dalam proses pembimbingan karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak yang memerlukan. Terdapat dua manfaat yang dapat diperoleh dari pelaksanaan penelitian ini, yaitu:

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat mendalami pengembangan pragmatik khususnya yang berkaitan dengan komunikasi fatis sebagai fenomena pragmatik. Penelitian ini dapat dikatakan memiliki manfaat teoritis karena memiliki teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli dengan memahaminya. Penelitian ini juga dapat digunakan sebagai referensi atau acuan dalam melakukan kegiatan komunikasi antara penutur dan mitra tutur.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi dosen dan mahasiswa untuk membuka serta mempererat hubungan sosial dalam berkomunikasi. Demikian pula, penelitian ini dapat memberikan masukan kepada para praktisi terutama bagi dosen dan mahasiswa untuk mengetahui pentingnya komunikasi fatis dalam proses pembimbingan skripsi.


(22)

1.5 Batasan Istilah

Batasan istilah yang digunakan dalam penelitian ini tentu saja tidak lepas dari teori komunikasi fatis dan teori lain yang mendukung dalam penelitian ini. Maka peneliti memberikan batasan istilah sebagai berikut:

1. Pragmatik

Yule (2006) mendefinisikan pragmatik adalah studi tentang maksud. Pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur dan ditafsirkan oleh pendengar.

2. Konteks

Rahardi (2005: 51) mendefinisikan konteks sebagai semua latar belakang pengetahuan yang diasumsikan sama-sama dimiliki penutur dan mitra tutur serta yang mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang dimaksudkan penutur itu dalam proses bertutur.

3. Fatis

Fatis merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menamai suatu kategori kata. Kategori fatis adalah kategori yang bertugas memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan pembicaraan antara penutur dan mitra tutur (Kridalaksana 1986).

4. Komunikasi

Komunikasi manusia adalah proses melalui mana individu dalam hubungan, kelompok, organisasi, dan masyarakat membuat dan menggunakan


(23)

informasi untuk berhubungan satu sama lain dan dengan lingkungan (Ruben dan Stewart, 2013).

1.6 Sistematika Penyajian

Sistematika penyajian penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I pendahuluan berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, dan sistematika penyajian. Bab II kajian pustaka berisi penelitian yang relevan, landasan teori, dan kerangka berpikir. Bab III metodologi penelitian berisi jenis penelitian, data dan sumber data, metode dan teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan triangulasi data. Bab IV berisi hasil penelitian dan pembahasan kefatisan dalam wacana konsultatif pembimbingan skripsi pada Program Studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta semester genap tahun akademik 2015/2016. Bab V berisi kesimpulan dan saran.


(24)

9 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Bab ini memaparkan tentang penelitian yang relevan, landasan teori, dan kerangka berpikir. Penelitian yang relevan berisi tinjauan terhadap topik-topik sejenis yang dilakukan oleh peneliti-peneliti yang lain. Landasan teori berisi teori-teori yang dijadikan pisau analisis dari penelitian ini yang terdiri atas teori-teori pragmatik, fenomena-fenomena pragmatik, dan konteks sebagai penentu makna pragmatik. Kerangka berpikir berisi deskripsi alur proses berpikir yang menjadi dasar penyusunan skripsi.

2.1 Penelitian yang Relevan

Dalam penelitian ini, peneliti mempunyai acuan agar penelitian bisa tercipta lebih baik lagi. Acuan untuk peneliti ini menggunakan pernelitian terdahulu yang berjudul “Basa-Basi Berbahasa Antara Keluarga Kesultanan dan Masyarakat di Lingkungan Keraton Yogyakarta” ditulis oleh Nurahman (2015), Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Penelitian tersebut membahas basa-basi linguistik dan nonlinguistik berbahasa yang dituturkan antara keluarga kesultanan keratin Yogyakarta dan masyarakat di lingkungan keratin Yogyakarta. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan wujud basa-basi dalam berbahasa, (2) mendeskripsikan penanda basa-basa-basi linguistik dan nonlinguistik dalam berbahasa, dan (3) mendeskripsikan makna basa-basi dalam berbahasa yang digunakan antara keluarga kesultanan Keraton Yogyakarta dan


(25)

masyarakat di lingkungan keraton Yogyakarta. Penelitian tersebut adalah penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data pada penelitian ini adalah keluarga kesultanan keraton Yogyakarta. Dalam penelitian ini, peneliti mencoba memahami fenomena basa-basi yang digunakan oleh penutur maupun penutur untuk menyampaikan maksud tuturannya.

Simpulan dalam penelitian ini adalah (1) wujud basa-basi linguistik dapat dilihat dari tuturan keluarga kesultanan dan masyarakat yang terdiri dari meminta maaf, simpati, memberi salam, berterima kasih, meminta, menerima dan menolak. Lalu wujud basa-basi nonlinguistik dilihat berdasarkan konteks yaitu penutur, mitra tutur, situasi, suasana, dan tujuan tutur; (2) penanda basa-basi linguistik yang ditemukan berupa nada, tekanan, intonasi, dan diksi. Penanda basa-basi nonlinguistik dapat dilihat berdasarkan konteks tuturan yang berupa penutur dan mitra tutur, situasi dan suasana, dan tujuan tutur, dan (3) maksud basa-basi berbahasa yaitu a) meminta maaf, menghormati mitra tutur b) simpati, memperdulikan mitra tutur c) memberi slaam, menyenangkan mitra tutur d) berterimakasih menyenangkan mitra tutur e) meminta menghormati mitra tutur f) menerima menghargai mitra tutur g) menolak, memberikan rasa sungkan.

Penelitian kedua yaitu tentang “Basa-Basi dalam Berbahasa Antara Guru dan Siswa di SMP N 12 Yogyakarta Tahun Ajaran 2013/2014” ditulis oleh Lundiarti (2014), Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Penelitian tersebut membahas tentang wujud basa-basi, dan maksud basa-basi dalam berbahasa di dalam ranah pendidikan. Tujuan dari penelitian tersebut


(26)

adalah mendeskripsikan wujud basa-basi berbahasa dan mendeskripsikan maksud basa-basi berbahasa antara guru dan siswa di SMP N 12 Yogyakarta tahun ajaran 2013/2014. Penelitian tersebut termasuk dalam penelitian deskriptif kualitatif.

Simpulan dari penelitian tersebut adalah (1) wujud basa-basi berbahasa antara guru dan siswa di SMP N 12 Yogyakarta adalah basa-basi salam, basa-basi terima kasih, basi meminta, basi menolak, basi menerima, basa-basi meminta maaf, basa-basa-basi belasungkawa, dan basa-basa-basi selamat. (2) Maksud basa-basi berbahasa antara guru dan siswa adalah untuk menyela aktivitas, menjaga sopan santun, menghargai, menjaga hubungan baik, menyapa, memulai, mempertahankan, mengukuhkan, serta untuk menyampaikan berbagai maksud lainnya.

Dari kedua penelitian yang relevan tersebut memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang akan diteliti oleh peneliti. Kedua penelitian yang relevan tersebut mengkaji objek yang sama yaitu basa-basi berbahasa, dan keduanya juga memiliki rumusan masalah yang hampir sama, namun pada penelitian yang dilakukan oleh Fajar Nurahman terdapat satu rumusan masalah lagi yaitu tentang penanda basa-basi. Akan tetapi, subjek penelitian dari kedua penelitian yang relevan tersebut berbeda. Pada penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti ini memiliki perbedaan dengan penelitian yang relevan tersebut, penelitian ini akan meneliti tentang komunikasi fatis yang terjadi di ranah pendidikan dengan subjek penelitian yaitu dosen dan mahasiswa yang sedang melakukan proses pembimbingan skripsi di Program Studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Dalam penelitian tentang komunikasi


(27)

fatis ini dibatasi pada percakapan basa-basi yang dilakukan oleh dosen dan mahasiswa, maka kedua penelitian tentang basa-basi berbahasa tersebut dapat digunakan sebagai acuan untuk mengkaji fenomena basa-basi berbahasa dan komunikasi fatis yang muncul dalam percakapan dosen dan mahasiswa dalam proses pembimbingan skripsi yang belum banyak untuk diteliti.

2.2 Landasan Teori

Peneliti akan memaparkan beberapa materi yang terkait dengan judul penelitian. Materi-materi tersebut akan dipergunakan sebagai pedoman dalam pengerjaan penelitian ini. Teori yang digunakan peneliti dalam penelitiannya yaitu:1) pragmatik, 2) fenomena pragmatik, 3) kesantunan berbahasa, 4) ketidaksantunan berbahasa, 5) basa-basi berbahasa, 6) konteks sebagai penentu makna pragmatik.

2.2.1 Pragmatik

Pragmatik merupakan kajian hubungan antara bahasa dan konteks yang tergramatikaliasasi atau terkodifikasi dalam struktur bahasa (Levinson, 1983:9). Selain itu, Levinson juga mencatat sejumlah definisi mengenai pragmatik dari berbagai sumber antara lain: Pragmatik merupakan suatu istilah yang mengesankan bahwa sesuatu yang sangat khusus dan teknis sedang menjadi objek pembicaraan, padahal istilah tersebut tidak mempunyai arti yang jelas (Searle, Kiefer, dan Bierwisch, 1980: viii). Topik pragmatik adalah beberapa aspek yang tidak dapat dijelaskan dengan acuan langsung pada kondisi sebenarnya dari kalimat yang dituturkan (Gazdar, 1979: 2). Pragmatik adalah kajian antara lain


(28)

mengenai deiksis, implikatur, presuposisi, tindak tutur dan aspek-aspek struktur wacana (Stalnaker, 1972). Mengenai definisi pragmatik yang bervariasi, Levinson mengatakan bahwa beranekaragamnya definisi pragmatik tersebut bukanlah sesuatu yang janggal atau sesuatu yang perlu dirisaukan karena satu definisi sering tidak sepenuhnya memuaskan (Nadar, 2009: 4-6).

Pragmatik adalah studi tentang hubungan antara bentuk-bentuk linguistik dan pemakai bentuk-bentuk itu. Pragmatik memungkinkan orang dapat masuk ke dalam suatu analisis. Manfaat belajar bahasa melalui pragmatik ialah bahwa seseorang dapat bertutur kata tentang makna yang dimaksudkan orang, asumsi mereka, maksud atau tujuan mereka, dan jenis-jenis tindakan (sebagai contoh dalam hal ini: permohonan) yang mereka perlihatkan ketika mereka sedang berbicara (Yule, 2006: 5).

Misalnya ada dua orang teman yang sedang bercakap-cakap mungkin menyatakan secara tidak langsung beberapa hal dan menyimpulkan suatu hal lain tanpa memberikan bukti linguistic apa pun yang dapat kita tunjuk sebagai sumber ‘makna’ yang jelas atau pasti tentang apa yang sedang disampaikan. Seorang mitra tutur mendengar penutur dan ia tahu apa yang dikatakan, tetapi ia ‘tidak tahu’ (tidak mempunyai) gagasan apa yang dikomunikasikan oleh penutur. Jadi pragmatik itu menarik karena melibatkan bagaimana orang saling memahami satu sama lain secara linguistic, tetapi pragmatik dapat juga merupakan ruang lingkup studi yang mematahkan semangat karena studi ini mengharuskan kita untuk memahami orang lain dan apa yang ada dalam pikiran mereka (Yule, 2006: 5-6).


(29)

Cruse dalam Cumming (2007: 2-6) mengatakan bahwa pragmatik dapat dianggap berurusan dengan aspek-aspek informasi yang disampaikan melalui bahasa yang (a) tidak dikodekanolehkonvensi yang diterima secara umum dalam bentuk-bentuk linguistik yang digunakan, namun yang (b) juga muncul secara alamiah dari dan tergantung pada makna-makna yang dikodekan secara konvensional dengankontekstempat penggunaan bentuk-bentuk tersebut. Masing-masing kata yang dicetak miring dalam kutipan di atas memasukkan berbagai pertimbangan yang benar-benar bersifat muldisipliner ke dalam definisi pragmatik ini.

Rahardi (2003: 10) mengatakan bahwa pragmatik merupakan cabang dari linguistik yang mempelajari dan mendalami apa saja yang termasuk di dalam struktur bahasa sebagai alat komunikasi dan interaksi antara si penutur dengan sang mitra tutur, serta sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa yang sifatnya ekstralinguistik atau luar bahasa. George (1964) dalam Rahardi (2003: 12) telah menunjukkan bahwa ilmu bahasa pragmatik sesungguhnya adalah ilmu tentang makna bahasa, dalam kaitan dengan keseluruhan perilaku umat manusia dan tanda-tanda atau lambang-lambang bahasa yang ada di sekelilingnya. Terhadap tanda atau lambang bahasa yang mencuat di sekelilingnya itu, manusia akan selalu bereaksi dengan aneka kemungkinan sikap dan variasi tindakan atau perilakunya. Dari definisi beberapa ahli tersebut, dapat dikatakan bahwa pragmatik merupakan ilmu kebahasaan yang mengkaji maksud sebuah tuturan dengan mengacu dari unsur luar bahasa, dalam hal ini adalah konteks situasi dan lingkungan di mana tuturan itu terjadi. Kajian ilmu pragmatik sangat dipengaruhi oleh konteksnya.


(30)

Sebagai cabang ilmu linguistik, pragmatik sangatlah penting dalam kajian ilmu kebahasaan.

2.2.2 Fenomena Pragmatik

Fenomena pragmatik yang telah ada sampai saat ini ada empat yaitu (1) deiksis, (2) praanggapan, (3) tindak tutur, dan (4) implikatur percakapan.

2.2.2.1 Deiksis

Kata deiksis berasal dari kata Yunani deiktikos yang berarti “hal penunjukkan secara langsung”. Sebuah kata dikatakan bersifat deiktis apabila referennya berpindah-pindah atau berganti-ganti, tergantung pada saat dan tempat dituturkannya kata itu (Purwo: 1983 dalam Nadar, 2009: 54). Seorang penutur yang berbicara dengan lawan tuturnya seringkali mengggunakan kata-kata yang menunjukkan baik pada orang, waktu maupun tempat. Kata-kata yang lazim disebut dengan deiksis tersebut berfungsi menunjukkan sesuatu, sehingga keberhasilan suatu interaksi antara penutur dan lawan tutur sedikit banyak akan tergantung pada pemahaman deiksis yang dipergunakan oleh seorang penutur.

Purwo (1990: 17) menjelaskan bahwa kata seperti saya, sini, sekarang adalah kata-kata yang deiktis. Kata-kata tersebut tidak memiliki referen yang tetap. Berbeda halnya dengan katarumah, kereta, kursi di tempat manapun, pada waktu kapan pun, referen yang diacu tetaplah sama. Akan tetapi, referen dari kata saya, sini, sekarang barukah dapat diketahui pula siapa, di tempat mana, dan pada waktu kapan kata-kata itu diucapkan.


(31)

2.2.2.2 Praanggapan/Presuposisi

Pada mulanya presuposisi merupakan kajian dalam lingkup semantik, namun dalam perkembangannya para linguis cenderung berpendapat bahwa kajian presuposisi dalam lingkup semantik saja tidak dapat memuaskan mereka. Levinson (1983: 169) dalam Nadar (2009: 64) menyatakan bahwa presuposisi pragmatik merupakan inferensi pragmatik yang sangat sensitif terhadap faktor-faktor konteks, dan membedakan terminologi presuposisi menjadi dua macam. Pertama, kata “presuposisi” sebagai terminologi umum dalam penggunaan bahasa Inggris sehari-hari, serta kata “presuposisi” sebagai terminologi teknis dalam kajian pragmatik. Dibandingkan dengan luasnya makna presuposisi secara umum dalam pengguanaan sehari-hari, makna presuposisi dalam pragmatik related lebih sempit. Presuposisi dapat dijelaskan sebagai berbagai inferensi atau asumsi pragmatik yang nampaknya dibangun menjadi ungkapan linguistik (Nadar, 2009: 64-64).

2.2.2.3 Implikatur Percakapan

Konsep implikatur pertama kali dikenalkan oleh Grice (1975) untuk memecahkan persoalan makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan oleh teori semantik biasa. Implikatur dipakai untuk memperhitungkan apa yang disarankan atau apa yang dimaksud oleh penutur sebagai hal yang berbeda dari apa yang dinyatakan secara harfiah (Brown dan Yule dalam Rani, 2006: 170). Sebagai contoh, kalau ujaran Panas di sini bukan? Maka secara implisit penutur menghendaki agar mesin pendingin dihidupkan atau jendela dibuka.


(32)

Menurut Grice (1975 dalam Rani, 2006: 171), dalam pemakaian bahasa terdapat implikatur yang disebut implikatur konvensional, yaitu implikatur yang ditentukan oleh ‘arti konvensional kata-kata yang dipakai’. Contoh untuk implikatur konvensional adalah sebagai berikut.

“Dia orang Madura karena itu dia pemberani.”

Pada contoh tersebut, penutur tidak secara langsung menyatakan bahwa suatu ciri (pemberani) disebabkan oleh ciri lain (jadi orang Madura), tetapi bentuk ungkapan yang dipakai secara konvensional berimplikasi bahwa hubungan seperti itu ada. Kalau individu yang dimaksud itu orang Madura dan tidak pemberani, implikaturnya yang keliru, tetapi ujarannya tidak salah.

Konsep implikatur percakapan diturunkan dari asas umum percakapan ditambah sejumlah prinsip (maxims) yang biasanya dipatuhi para penutur. Implikatur percakapan itu mengutip prinsip kerjasama atau kesepakatan bersama, yakni kesepakatan bahwa hal yang dibicarakan oleh partisipan harus saling berkait (Grice dalam Rani, 2006: 171). Dalam penerapannya, prinsip kerjasama tersebut ditopang oleh seperangkat asumsi yang disebut prinsip-prinsip percakapan, yaitu: prinsip kuantitas: berikan sumbangan anda seinformatif yang diperlukan (dengan tujuan pertukaran yang sekarang), jangan memberikan sumbangan informasi yang melebihi yang dibutuhkan; prinsip kualitas: jangan mengatakan sesuatu yang anda yakini tidak benar dan jangan mengatakan sesuatu yang bukti kebenarannya kurang meyakinkan; prinsip hubungan: usahakan perkataan anda ada relevansinya; prinsip cara: hindari peryataan-peryataan yang samar, hindari


(33)

ketaksaan, usahakan agar ringkas, dan usahakan agar berbicara dengan teratur (Grice dalam Rani, 2006: 172).

Tuturan yang berbunyi Bapak datang, jangan menangis! Tidak semata-mata dimaksudkan untuk memberitahukan bahwa sang ayah sudah datang dari tempat tertentu. Si penutur bermaksud memperingkatkan mitra tutur bahwa sang ayah yang bersikap keras dan sangat kejam itu akan melakukan sesuatu terhadapny apabila ia terus menangis. Dengan perkataan lain, tuturan itu mengimplikasikan bahwa sang ayah adalah orang yang keras, sangat kejam dan sering marah-narah pada anaknya yang sedang menangis. Di dalam implikatur, hubungan antara tuturan yang sesungguhnya dengan maksud yang tidak dituturkan itu bersifat tidak mutalk. Inferensi maksud tuturan itu harus didasarkan pada konteks situasi tutur yang mewadahi munculnya tuturan tersebut (Rahardi, 2005: 43).

2.2.2.4 Kesantunan Berbahasa

Ketika seseorang sedang berkomunikasi, hendaknya di samping baik dan benar juga santun. Kaidah kesantunan dipakai dalam setiap tindak bahasa. Ketika seseorang sedang menyampaikan maksud ingin meminta tolong pada orang lain, hendaknya maksud tersebut disampaikan menggunakan bentuk santun. Bahkan agar pemakaian bahasa terasa semakin santun, penutur dapat berbahasa menggunakan bentuk-bentuk tertentu yang dapat dirasakan sebagai bahasa santun seperti menggunakan tuturan tidak langsung, pemakaian bahasa dengan kata-kata


(34)

kias, ungkapan memakai gaya bahasa penghalus, tuturan yang dikatakan berbeda dengan yang dimaksud, tuturan yang dikatakan secara implisit.

Bahasa dan perilaku seseorang akan dilihat menggunakan tolok ukur kesantunan pemakaian bahasa. Bahasa yang digunakan dapat berupa bahasa verbal maupun bahasa nonverbal. Bahasa verbal adalah bahasa yang berupa rangkaian kata-kata atau tuturan yang membentuk wacana/teks baik lisan maupun tertulis. Sedangkan bahasa nonverbal adalah bahasa yang dinyatakan berupa tindakan, kinestik, kinestetik, gesture, nada, mimik, dan sebagainya ketika seseorang sedang mengaktualisasi diri. Santun tidaknya pemakaiaan bahasa dapat dilihat setidaknya dari dua hal, yakni pilihan kata (diksi) dan gaya bahasa. Kesanggupan memilih kata seorang penutur dapat menjadi salah satu penentu santun-tidaknya bahasa yang digunakan. Pilihan kata yang dimaksud adalah ketepatan pemakaian kata untuk mengungkapkan makna dan maksud dalam konteks tertentu sehingga menimbulkan efek tertentu pada mitra tutur.

Kesantunan sendiri memiliki faktor penentu kesantunan. Faktor penentu kesantunan adalah segala hal yang dapat memengaruhi pemakaian bahasa menjadi santun atau tidak santun. Aspek penentu kesantunan dalam bahasa verbal lisan, antara lain aspek intonasi (keras lembutnya intonasi ketika seseorang berbicara), aspek nada bicara (berkaitan dengan suasana emosi penutur), faktor pilihan kata, dam faktor struktur kalimat. Selain aspek penentu kesantunan dalam bahasa verbal lisan, ada pula aspek penentu kesantunan dalam bahasa verbal tulis. Faktor penentu kesantunan yang dapat diidentifikasi dari bahasa verbal tulis, seperti pilihan kata yang berkaitan dengan nilai rasa, panjang pendeknya struktur kalimat,


(35)

ungkapan, gaya bahasa, dan sebagainya. Selain itu ada juga faktor penentu kesantunan dari aspek nonkebahasaan berupa pranata sosial budaya masyarakat. Ketika seseorang berkomunikasi tidak hanya menggunakan bahasa (verbal maupun nonverbal), tetapi juga memperhatikan faktor nonkebahasaan, yaitu pranata sosial budaya masyarakat (Pranowo, 2009: 76-79).

2.2.2.5 Ketidaksantunan Berbahasa

Terkourafi (2008 dalam Jurnal Rahardi dkk. 2014) memandang ketidaksantunan berbahasa sebagai berikut, ‘impoliteness occurs when the expression used is not conventionalized relative to the context of occurrence; it threatens the addressee’s face but no face-threatening intention is attributed to the speaker by the hearer’. Perilaku berbahasa tidak santun dalam pandangan Terkourafi terjadi jika mitra tutur (addressee) merasakan adanya ancaman terhadap kehilangan muka (face threaten), dan penutur (speaker) tidak mendapatkan maksud ancaman muka itu dari mitra tuturnya. Berbeda dengan pandangan Locher (2008:3), ketidaksantunan berbahasa merupakan perilaku berbahasa yang memperburuk ‘muka’ mitra tutur pada konteks kebahasaan tertentu.

Maka dari itu, ketidaksantunan berbahasa itu menunjukkan pada perilaku ‘melecehkan’ muka. Pemahaman lain yang berkaitan dengan definisi Locher tentang ketidaksantunan berbahasa adalah bahwa tindakan tersebut sesungguhnya bukanlah sekadar perilaku yang ‘melecehkan muka’, melainkan perilaku yang ‘memain-mainkan muka’. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa


(36)

ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher adalah tindak berbahasa yang bersifat melecehkan dan memain-mainkan muka pada konteks tertentu sebagaimana dilambangkan dengan makna kata ‘aggravateI’itu.

Pemahaman Culpeper (2008 dalam Jurnal Rahardi dkk. 2014: 152) tentang ketidaksantunan berbahasa dapat disebutkan sebagai berikut, ‘impoliteness, as I would define it, involves communicate behavior intending to cause the “face loss” of a target or perceived by the target to be so’. Culpeper memberikan penekanan pada fakta ‘face loss’ atau ‘kehilangan muka’. Sebuah tuturan dianggap tidak santun jika tuturan itu menjadikan muka seseorang hilang.Jadi, ketidaksantunan berbahasa merupakan perilaku komunikatif yang diperantikan secara internasional untuk membuat orang benar-benar kehilangan muka (face loss), atau setidaknya orang tersebut ‘merasa’ kehilangan muka.

Bousfield (2008: 3) mengemukakan bahwa ketidaksantunan berbahasa sebagai berikut: “…the issuing of intentionally gratuitous and conflictive face-threatening acts (FTAs) that are purposefully performed”. Bousfield memberikan penekanan pada dimensi ‘kesembronoan’ dan dimensi konfliktif (conflictive) dalam praktik berbahasa yang tidak santun.Jadi, apabila perilaku berbahasa seseorang itu mengancam muka dan dilakukan secara sembrono (gratuitous) yang mengakibatkan konflik atau bahkan kesengajaan (purposeful), tindakan berbahasa itu merupakan relitas ketidaksantunan dalam praktik berbahasa.


(37)

2.2.2.6 Kefatisan dalam Berbahasa

Komunikasi fatis adalah komunikasi yang bertujuan untuk menimbulkan kesenangan diantara pihak-pihak yang terlibat di dalamnya (Devito, 2012 dalam jurnal Ramadanty, 2014). Komunikasi fatis dalam bahasa Inggris disebut juga small talk atau chit chat. Orang-orang menyadari bahwa beberapa ungkapan seperti, “Hari yang cerah, bukan?” dan “bagaimana dengan liburanmu?” adalah percakapan yang bersifat sosial. Mereka juga memahami cara melakukan komunikasi fatis tertentu yang mempersyaratkan terlibatnya mental dan memakan waktu.

Malinowski (1923) dalam skripsi Jayanti (2010: 9) mengatakan terdapat suatu fungsi bahasa dalam percakapan yang bebas, tanpa tujuan atau maksud tertentu. Misalnya dalam situasi beberapa orang di sela-sela waktu istirahat kerja mereka, duduk di sekeliling api unggun melakukan pembicaraan ringan yang tidak ada hubungannya dengan apa yang sedang mereka lakukan atau bergosip. Pembicaraan ringan yang mereka lakukan antara lain mengenai kondisi kesehatan, mengomentari cuaca, dan penegasan terhadap sesuatu yang sudah jelas. Percakapan tersebut tidak bertujuan untuk bertukar informasi atau mengungkapkan perasaan melainkan hanya untuk memecah kebisuan dan merupakan tahap awal untuk memulai komunikasi dengan seseorang.Bentuk komunikasi baru ini oleh Malinowski disebut phatic communion. Menurut Malinowski, phatic communion merupakan tipe ujaran yang mengikat suatu komunitas yang tercipta melalui pertukaran kata-kata. Tujuan mendasar dari tipe


(38)

ujaran ini adalah untuk memenuhi fungsi sosial dan sama sekali tidak memiliki fungsi untuk bertukar informasi atau bertukar pikiran.

Kridalaksana (1986: 111) menjelaskan bahwa basa-basi merupakan tuturan yang dipergunakan untuk memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan pembicaraan antara pembicara dan kawan bicara. Malinowski dalam tesis Arimi (1998) mendefinisikan phatic communion atau basa-basi digunakan dalam suasana ramah tamah dan dalam ikatan personal antar peserta komunikasi. Situasi tersebut diciptakan dengan pertukaran kata-kata dalam pembicaraan ringan yang disertai dengan perasaan tertentu untuk membentuk hidup bersama yang menyenangkan.

Arimi (1998: 95) mengatakan bahwa secara praktis basa-basi didefinisikan sebagai fenomena bahasa yang secara sadar dipakai oleh penutur, akan tetapi secara sadar pula tidak diakuinya ketika ditanyakan kebasa-basian itu. Dengan kata lain, basa-basi adalah fenomena lingual yang alamiah, tetapi penggunaannya mental atau menolak jika ditanyakan apakah penutur berbasa-basi. Basa-basi memiliki peranan penting dalam hubungan manusia dalam berkomunikasi. Dalam penggunaan bahasa untuk keperluan basa-basi ini tentulah bukan isi pembicaraan tetapi sikap yang diperlihatkan oleh si pembicara. Si pembicara dapat melakukan gerak atau sikap badan tertentu dan alunan suara tertentu yang dilazimkan dalam sesuatu masyarakat bahasa. Di Indonesia sering terjadi basa-basi ketika seseorang bertemu dengan orang lain yang mungkin dikenalnya dan kemudian menanyakan “Hendak kemana?”. Biasanya dalam hal ini si penanya tidak mempunyai minat untuk mengetahui hendak kemana orang yang ditanya itu, pertanyaan tadi


(39)

sebenarmua hanya untuk mempertahnkan hubungan baik antara si penutur dan lawan tutur.

Arimi (1998) membagi tuturan basa-basi yang dipakai dalam masyarakat bahasa Indonesia berdasarkan daya tuturannya digolongkan atas dua jenis, yaitu basa-basi murni dan polar. Basa-basi murni adalah ungkapan-ungkapan yang dipakai secara otomatis sesuai dengan peristiwa tutur yang muncul, maksudnya apa yang diucapkan oleh penutur selaras dengan kenyataan. Basa-basi murni digolongkan menjadi tiga subjenis, yaitu basa-basi murni keniscayaan, basa-basi keteralamian, dan basa-basi keakraban. Basa-basi polar adalah tuturan yang berlawanan dengan realitasnya, dimana orang harus memilih tuturan yang tidak sebenarnya untuk menunjukkan hal yang lebih sopan. Basa-basi polar dibagi menjadi dua, yaitu basa-basi polar sosial dan basa-basi polar personal. Berikut ini contoh pemakaian basa-basi murni dan basa-basi polar.

Karyawan : “Selamat siangpak. Ada yang bisa saya bantu?”

Direktur : “Siang. Mana data yang saya minta diserahkan hari ini? Konteks : seorang karyawan memasuki ruang direkturnya.

Basa-basi tersebut termasuk basa-basi murni karena digunakan saat berjumpa. Tuturan yang dipakai adalah selamat siang. Ungkapan selamat siang dipakai secara otomatis sesuai dengan peristiwa tutur yang muncul yang menandai realitas siang.


(40)

Berbeda dengan basa-basi murni, dalam basa-basi polar orang harus memilih tuturan yang tidak sebenarnya untuk menunjukkan hal yang lebih sopan. Berikut contoh dari basa-basi polar.

Tuan rumah :Mari makan.

Tamu :Saya baru saja(makan) Pak, Bu, terima kasih.

Konteks : seseorang bertamu saat tuan rumah dan keluarganya sedang makan.

Tuturan tuan rumah mari makan menunjukkan tuturan yang tidak sebenarnya karena tuan rumah melihat tamu datang saat mereka makan. Sebagai sopan santun tuan rumah menawarkan makan pada tamu tersebut dan bukan bersungguh-sungguh menawarkan makanan. Tuturan tamu saya baru sajamakan menunjukkan tuturan yang tidak sebenarnya. Tuturan sang tamu bukan bersungguh-sungguh meyakinkan tuan rumah bahwa dia sudah makan, melainkan hanya untuk sopan santun menolak untuk makan bersama tuan rumah.

Basa-basi sebagai pembuka, pembentuk, pemelihara hubungan atau kontak antara pembicara dengan penyimak masuk dalam klasifikasi acknowledgements. Acknowledgements merupakan tuturan yang digunakan untuk mengekspresikan perasaan tertentu kepada mitra tutur atau dalam kasus-kasus di mana ujaran berfungsi secara formal, kehendak penutur bahwa ujarannya memenuhi criteria harapan sosial untuk mengekspresikan perasaan dan kepercayaan tertentu. Tuturan yang termasuk acknowledgements adalah sebagai berikut: apologize (meminta maaf) yaitu fungsi tuturan untuk mengekspresikan penyesalan atas peristiwa yang


(41)

terjadi pada diri sendiri; condole (belasungkawa) yaitu fungsi tuturan untuk mengekspresikan penyesalan atas peristiwa yang terjadi pada orang lain; congratulate (mengucapkan selamat) yaitu fungsi tuturan mengekspresikan kegembiraan karena adanya kabar baik tentang orang lain;great(memberi salam) yaitu fungsi tuturan untuk menyatakan rasa senang karena bertemu seseorang; thanks (berterimakasih) yaitu fungsi tuturan untuk menyatakan terima kasih karena mendapat bantuan; bid (mengundang) yaitu fungsi tuturan untuk mengekspresikan harapan baik ketika sesuatu yang berhubungan dengan masa depan seseorang akan terjadi; accept (menerima) yaitu fungsi tuturan untuk menerima (menghargai) basa-basi dari lawan tutu; dan reject (menolak) yaitu fungsi tuturan untuk menolak (melanggar) basa-basi dari mitra tutur.

Kategori fatis menurut Kridalaksana (1986: 111-113) adalah kategori yang bertugas memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan pembicaraan antara pembicara dan kawan bicara. Kelas kata ini biasanya terdapat dalam konteks dialog atau wawancara bersambut, yaitu kalimat-kalimat yang diucapkan oleh pembicara dan kawan bicara. Sebagian besar kategori fatis merupakan ciri ragam lisan. Karena ragam lisan pada umumnya merupakan ragam non-standar, maka kebanyakan kategori fatis terdapat dalam kalimat-kalimat non-standar yang banyak mengandung unsur-unsur daerah atau dialek regional. Bentuk dan kategori fatis tersebut terbagi atas:ahyang bertugas menekankan rasa penolakan atau acuh tak acuh; ayo bertugas menekankan ajakan, ayo juga mempunyai variasi yo bila diletakkan di akhir kalimat. Ayo juga bervariasi dengan ayuk dan ayuh; deh digunakan untuk menekankan: pemaksaan dengan membujuk, pemberian


(42)

persetujuan, pemberian garansi, dan sekedar penekanan. Bentuk fatis dong digunakan untuk: menghaluskan perintah dan menekankan kesalahan lawan bicara. Selain itu ada bentuk fatis ding yang bertugas menekankan pengakuan kesalahn pembicara. Bentuk fatis halo digunakan untuk: memulai dan mengukuhkan pembicaraan di telepon dan menyalami kawan bicara yang dianggap akrab.

Bentuk fatis kan yang apabila terletak pada akhir kalimat atau awal kalimat, maka kan merupakan kependekan dari kata bukan atau bukankah, tugasnya ialah menekankan pembuktian, namun apabila kan terletak di tengah kalimat, maka kan juga bersifat menekankan pembuktian atau bantahan. Selain itu, ada pula bentuk fatis kek mempunyai tugas: menekankan pemerincian, menekankan perintah, dan menggantikan kata saja. Bentuk fatis kok bertugas menekankan alasan dan pengingkaran, kokdapat juga bertugas sebagai pengganti kata tanyamengapaataukenapabila diletakkan di awal kalimat. Ada pula bentuk fatis –lah yang bertugas menekankan kalimat imperatif, dan penguat sebutan dalam kalimat. Bentuk fatis lho bila terletak di awal kalimat, bersifat seperti interjeksi yang menyatakan kekagetan, dan bila terletak di tengah atau di akhir kalimat, makalhobertugas menekankan kepastian.

Bentuk fatis mari,juga terdapat dalam kategori fatis yang bertugas untuk menekankan ajakan. Bentuk fatis nah yang selalu terletak pada awal kalimat, memiliki tugas untuk meminta supaya kawan bicara mengalihkan perhatian ke hal lain. Berbeda dengan bentuk fatis nah, bentuk fatis pun selalu tertelak di ujung konstituen pertama kalimat dan bertugas menonjolkan bagian tersebut. Selain itu


(43)

ada pula bentuk fatis selamat yang diucapkan kepada kawan bicara yang mendapatkan atau mengalami sesuatu yang baik. Bentuk fatis sih memiliki tugas yang menggantikan tugas –tah, dan –kah, sebagai makna ‘memang’ atau ‘sebenarnya’, dan menekankan alasan. Bentuk fatis toh bertugas menguatkan maksud, ada kalanya memiliki arti yang sama dengan tetapi. Bentuk fatis ya bertugas mengukuhkan atau membenarkan apa yang ditanyakan kawan bicara, bila dipakai pada awal ujaran, meminta persetujuan atau pendapat kawan bicara, bila dipakai pada akhir ujaran. Bentuk fatis terakhir yang termasuk dalam kategori fatis menurut Kridalaksana adalah bentuk fatis yah yang digunakan pada awal atau di tengah-tengah ujaran, tetapi tidak pernah pada akhir ujaran, untuk mengungkapkan keragu-raguan atau ketidakpastian terhadap apa yang diungkapkan oleh kawan bicara atau yang tersebut dalam kalimat sebelumnya., bila bentuk fatis yah dipakai pada awal ujaran, atau keragu-raguan atau ketidakpastian atas isi konstituen ujaran yang mendahuluinya, bila dipakai di tengah ujaran.

2.2.3 Konteks sebagai Penentu Makna Pragmatik

Istilah konteks didefinisikan oleh Mey (1993) dalam Nadar (2009: 3-4) sebagai the surroundings, in the widest sense, that enable the participants in the communication process to interact, and that make the linguistic expressions of their interaction intelligible (“situasi lingkungan dalam arti luas yang memungkinkan peserta pertuturan untuk dapat berinteraksi, dan yang membuat ujaran mereka dapat dipahami”).


(44)

Konteks sangat penting dalam kajian pragmatik. Konteks ini didefinisikan oleh Leech (1983) dalam Nadar (2009: 6) sebagai background knowledge assumed to be shared by s and h and which contributes to h’s interpretation of what s means by a given utterance (“latar belakang pemahaman yang dimiliki oleh penutur maupun lawan tutur sehingga lawan tutur dapat membuat interpretasi mengenai apa yang dimaksud oleh penutur pada waktu membuat tuturan tertentu”) (s berarti speaker “penutur”; h berarti hearer “lawan tutur”). Dengan demikian, konteks adalah hal-hal yang gayut dengan lingkungan fisik dan sosial sebuah tuturan ataupun latar belakang pengetahuan yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan lawan tutur dan yang membantu lawan tutur menafsirkan makna tuturan.

Konteks mencakup pengertian situasi tetapi ditambah dengan pengertian lain. Konteks dari sebuah kata atau bicara dapat meliputi seluruh latarbelakang sosial budaya dari masyarakat bahasa itu. Demikianlah umpamanya kata Pancasila tidak dapat dipahami dengan baik tanpa memahami masyarakat Indonesia di bidang ketatanegaraan, sosial politik, sistem kepartaian dan lain sebagainya. Bila kita membaca kata-kata tertentu dalam sebuah buku umpamanya, kadang-kadang kita kurang memahami kata itu tanpa memahami isi buku itu secara keseluruhan. Dapat dikatakan bahwa konteks daripada kata-kata itu tadi adalah semua kata-kata yang digunakan dalam buku itu. Tentu banyak kata-kata dalam sebuah bahasa yang dapat kita pahami tanpa mengenal konteksnya, akan tetapi ada istilah-istilah atau kata-kata yang sulit memahaminya tanpa memahami konteksnya. Untuk mempelajari suatu bahasa yang bukan bahasa ibu kita, pengetahuan akan konteks


(45)

dan situasi ini amat diperlukan. Sebagai contoh kata diamankan yang sering digunakan di masa-masa sesudah Gestapu di sekitar tahun 1965 dan 1966, sering berarti ditangkap, ditahan dan sebagainya. Pengertian itu erat hubungannya dengan konteks dan situasi yang berlaku pada waktu itu. Konteks itu bisa berupa bahasa dan bukan bahasa, kedua-duanya dapat memperngaruhi arti bahasa itu. Istilah konteks sering digunakan untuk menerangkan peristiwa bahasa sebagai salah satu petunjuk untuk lebih memahami masalah arti bahasa (Anwar, 1984: 44).

Asumsi-asumsi (a set of assumptions) sebagai substansi pokok konteks pragmatik tidak selalu diungkapkan oleh sejumlah pakar pragmatik. Yan Huan dalam makalah Rahardi (2015: 18) mengatakan bahwa konteks dalam pragmatik itu dapat dimaknai dengan mengacu kepada hal-hal yang terkait dengan seting atau lingkungan dinamis tempat entitas kebahasan digunakan sistematis. Beliau mengatakan juga bahwa konteks dimaknai sebagai ‘pengetahuan umum’ atau ‘pengetahuan bersama’ yang lebih dijelaskan lagi sebagai ‘a set of background assumptions shared by the speaker and the addressee’ atau ‘seperangkat latar belakang asumsi yang dimiliki bersama oleh penututr dan mitra tutur’. Rahardi (2011) juga mengatakan bahwa hakikat konteks pragmatik itu bukanlah konteks fisik (physical context) dan konteks linguistik (linguistic context), melainkan konteks berupa pengetahuan umum (general knowledge context), yang selanjutnya dimaknai pula sebagai seperangkat latar belakang asumsi yang dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur (general knowledge shared). Frasa ‘generaal knowledge shared’ atau ‘a set of assumptions shared’, berarti bahwa pengetahuan


(46)

bersama atau seperangkat asumsi itu harus dimiliki bersama-sama baik oleh penutur maupun mitra tutur, tidak boleh hanya dimiliki oleh satu pihak saja. Asumsi yang hanya dimiliki oleh oleh satu pihak saja sama sekali tidak membentuk konteks dan tidak berkontribusi apa pun dalam proses pemaksudan. Dikatakan demikian karena asumsi yang hanya dimiliki sepihak itu justru dapat menghadirkan kesenjangan (discrepancy) yang menghasilkan kesalahpahaman. Sebaliknya asumsi-asumsi yang dimiliki secara bersama dapat menjamin interaksi berkat adanya semacam peririsan yang sama-sama dikontribusikan baik oleh penutur maupun mitra tutur dalam komunikasi. Asumsi-asumsi yang hadir dalam peririsan sebagai hakikat konteks pragmatik itu dapat mencakup dua kategori yakni asumsi berkategori komunal dan asumsi berkategori personal. Kedua asumsi dalam berkomunikasi itulah yang dapat dimaknai sebagai hakikat konteks pragmatik. Rahardi dalam makalahnya (2015: 20) menegaskan bahwa kejatian dan kehadiran kontekslah yang menjadikan interaksi terjadi antara pentur dan mitra tutur. Dengan perkataan lain dapat ditegaskan pula bahwa hanya karena adanya asumsi-asumsi tertentu yang hadir dalam entitas konteks yang sifatnya tertentu sajalah interaksi itu akan dapat dibangun. Dengan demikian dapat ditegaskan juga bahwa syarat terjadinya interaksi itu adalah konteks, dan di dalam konteks terdapat substansi hakiki yang berupa seperangkat asumsi (a set of assumptions), baik itu asumsi-asumsi atau common ground yang berdimensi personal maupun komunal.


(47)

2.3 Kerangka Berpikir

Komunikasi fatis merupakan suatu fenomena baru dalam studi pragmatik. Komunikasi fatis muncul dari perkembangan penggunaan bahasa oleh masyarakat sebagai bentuk bahasa yang digunakan untuk memulai atau mempertahankan hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur dalam kehidupan sehari-hari. Komunikasi fatis dapat terjadi dalam berbagai macam ranah, yang mana salah satunya adalah ranah pendidikan. Komunikasi fatis yang berkembang dalam ranah tersebut dilatar belakangi oleh berbagai faktor, karena ranah pendidikan juga merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari manusia sehingga tentu selalu melibatkan proses komunikasi, termasuk komunikasi fatis itu sendiri. Hal tersebut menjadi kajian penelitian ini, yang khususnya mengkaji komunikasi fatis dalam wacana konsultatif pembibingan skripsi pada program studi Sastra Indonesia semester genap tahun akademik 2015/2016 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penelitian ini menggunakan teori-teori komunikasi fatis dan beberapa teori lain yang digunakan untuk mendukung tuturan fatis dalam wacana konsultatif antara dosen dan mahasiswa. Pertama, Malinowski (1923: 315) dalam tesis Arimi mendefinisikanphatic communionsebagai “a type of speech in which ties of union are created by a mere exchange of word”. Phatic communion memiliki fungsi sosial. Phatic communion digunakan dalam susasana ramah tamah dan dalam ikatan personal antarpeserta komunikasi. Situasi tersebut diciptakan dengan


(48)

pertukaran kata-kata dalam pembicaraan ringan, dengan perasaan tertentu untuk membentuk hidup bersama yang menyenangkan.

Kedua, Jackobson (1980) mendefinisikan basa-basi tuturan yang dipergunakan untuk memulai, mempertahankan, atau memutuskan komunikasi untuk memastikan berfungsinya saluran komunikasi dan menarik perhatian lawan bicara atau menjaga agar lawan bicara tetap memperhatikan.

Ketiga, Kridalaksana (1986: 111) mendefinisikan kategori fatis sebagai kategori yang bertugas memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan pembicaraan antara pembicara dan kawan bicara. Sebagian besar kategori fatis merupakan ciri ragam lisan, karena ragam lisan pada umumnya merupakan ragam nonstandar, maka kebanyakan kategori fatis terdapat dalam kalimat nonbaku yang banyak mengandung unsur-unsur daerah atau dialek regional.

Keempat, Anwar (1984: 46) menjelaskan bahwa basa-basi merupakan sejemput kata-kata yang dipakai untuk sekedar memecah kesunyian, untuk mempertahankan suasana baik dan sebagainya, sehingga bahasa tidak hanya digunakan untuk menyampaikan perasaan atau pikiran, untuk membahas sesuatu masalah, untuk membujuk, merayu, dan sebagainya.

Kelima, Arimi (1998: 171) dalam tesisnya membagi tuturan basa-basi menjadi dua, yaitu basa-basi murni dan polar. Basa-basi murni yaitu ungkapan-ungkapan yang dipakai secara otomatis sesuai dengan peristiwa tutur yang muncul. Dengan kata lain, apa yang diucapkan oleh penutur selaras dengan kenyataan. Kata-kata


(49)

yang dipakai dalam basa-basi murni seperti: selamat siang, selamat datang, terima kasih, pamit, dan sebagainya. Sedangkan basa-basi polar yaitu tuturan yang berlawanan dengan realitasnya, di mana orang harus memilih tuturan yang tidak sebenarnya untuk menunjukkan hal yang lebih sopan.

Keenam, basa-basi dapat dikatakan termasuk tindak tutur ilokusi komunikatif. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa fungsi basa-basi yang termasuk klasifikasi tindak tutur ilokusi komunikatif, berdasarkan klasifikasi tindak tutur ilokusi menurut Ibrahim (1993: 16). Klasifikasi tindak tutur komunikatif mencangkup tindak tutur konstantif, direktif, komisif, dan acknowledgements. Basa-basi termasuk dalam acknowledgements. Hal itu dikatakan demikian karena acknowledgements merupakan tuturan yang digunakan untuk mengekspresikan perasaan tertentu kepada mitra tutur atau dalam kasus-kasus di mana ujaran berfungsi secara formal, kehendak penutur bahwa ujarannya memenuhi kriteria harapan sosial untuk mengekspresikan perasaan dan kepercayaan tertentu.


(50)

Berikut ini adalah bagan kerangka berpikir berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan:

Komunikasi Fatis dalam Kajian Pragmatik

Teori

Malinowski Jackobson Kridalaksana Anwar Arimi Ibrahim

Metode Penelitian Kualitatif

Metode dan Teknik Pengumpulan Data: Metode Simak dan Metode Cakap dengan

Teknik Catat

Metode dan Teknik Analisis Data: Metode Padan Ekstralingual dengan Teknik

Dasar dan Teknik Lanjutan

Hasil Penelitian

Wujud Kefatisan dalam Ranah Pendidikan

Maksud Kefatisan dalam Ranah Pendidikan


(51)

36 BAB III

METODE PENELITIAN

Dalam bab ini, peneliti akan memaparkan metode penelitian. Hal-hal yang berkaitan dengan metode penelitian yaitu jenis penelitian, data dan sumber data, metode dan teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan triangulasi data.

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian tentang komunikasi fatis dalam wacana konsultatif dosen dengan mahasiswa ini merupakan sebuah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif merupakan suatu penelitian yang dimaksudkan untuk menggambarkan suatu informasi mengenai suatu gejala yang ada, yaitu gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan (Arikunto, 1990: 309). Muhammad (2014: 31) menyebutkan bahwa salah satu fenomena yang dapat menjadi objek kualitatif adalah peristiwa komunikasi atau berbahasa karena peristiwa ini melibatkan tuturan, makna semantik tutur, orang yang bertutur, maksud yang bertutur, situasi tutur, peristiwa tutur, tindak tutur, dan latar tuturan. Penelitian kualitatif harus mempertimbangkan metodologi kualitatif itu sendiri. Metodologi kualitatif merupakan prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa data tertulis atau lisan di masyarakat bahasa (Djajasudarma, 2006: 11). Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendekatan kualitatif yang menggunakan data lisan suatu bahasa memerlukan informan. Pendekatan yang melibatkan masyarakat bahasa ini diarahkan pada latar dan individu yang bersangkutan secara holistik sebagai bagian dari satu kesatuan yang utuh. Oleh karena itu, dalam penelitan


(52)

bahasa jumlah informan tidak ditentukan jumlahnya. Dengan kata lain, jumlah informannya ditentukan sesuai dengan keperluan peneliti.

Penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti ini termasuk dalam penelitian kualitatif karena data yang terkumpul bukan berupa angka melainkan berupa kata-kata yang terdapat dalam percakapan dosen dan mahasiswa yang mengandung tuturan fatis. Selain itu, pendeskripsian data dan analisis dalam penelitian ini lebih dilihat dari aspek kualitasnya, bukan sekadar kuantitas tuturan. Dalam penelitian ini, peneliti mencoba memahami fenomena komunikasi fatis yang digunakan oleh penutur dan mitra tutur. Oleh sebab itulah, tujuan dilakukannya penelitian ini untuk mengungkapkan maksud/makna dari setiap wujud komunikasi fatis.

3.2 Data dan Sumber Data

Data yang akan diteliti adalah tuturan yang di dalamnya terdapat kefatisan, antara dosen dengan mahasiswa yang bersumber dari program studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, yaitu ketika para mahasiswa melakukan konsultasi untuk penulisan karya ilmiah. Data diambil dengan merekam percakapan ketika bimbimbingan skripsi berlangsung dengan menggunakan handphone. Hal itu dilakukan karena peneliti beranggapan bahwa interaksi antara dosen dengan mahasiswa dari prodi tersebut memiliki pengetahuan bahasa yang lengkap dan kaya akan bentuk-bentuk kebahasaan ragam lisan. Selain itu, peneliti berada dekat dengan data yang akan diteliti karena peneliti juga melakukan studi di universitas yang sama sehingga peneliti memiliki kesempatan yang besar untuk mengumpulkan data.


(53)

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif, maka penelitian ini berusaha menggambarkan tentang suatu variable, gejala atau keadaan secara apa adanya. Penelitian deskriptif tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu, melainkan mendeskripsikan peristiwa dan kejadian yang menjadi pusat perhatian tanpa memberikan perlakuan khusus terhadap peristiwa tersebut. Penelitian deskriptif ini menjadi dasar untuk menguraikan penelitian tentang komunikasi fatis karena penelitian ini akan menguraikan peristiwa tutur yang terjadi antara dosen dan mahasiswa program studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta semester genap 2015/2016.

Tahapan pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak. Mahsun (2007: 92) mengungkapkan metode simak adalah cara yang digunakan untuk memperoleh data dengan menyimak penggunaan bahasa, dimana dalam penelitian ini peneliti menyimak dosen dan mahasiswa program studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta semester genap 2015/2016 dalam mengucapkan sebuah tuturan. Metode ini memiliki teknik dasar yang berwujud teknik sadap. Teknik sadap disebut sebagai teknik dasar dalam metode simak karena pada hakikatnya penyimakan diwujudkan dengan penyadapan. Dalam penelitian ini, peneliti menyimak tuturan dosen dan mahasiswa Universitas Sanata Dharma dengan dibantu rekaman atau dengan kata lain juga menggunakan teknik sadap agar data percakapan dapat disimak kembali.


(54)

3.4 Metode dan Teknik Analisis Data

Analisis data adalah upaya yang dilakukan untuk bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memililah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskan, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. Analisis data bermaksud mengorganisasikan data sehingga mampu menjawab rumusan masalah yang dikemukakan dan membuat kesimpulan serta implikasinya agar bermanfaat untuk penelitian berikutnya. Teknik analisis data yang dipilih secara selektif disesuaikan dengan tujuan dan masalah komunikasi fatis yang terjadi itu. Pemilihan teknik analisis data dilakukan dengan mengikuti alur metode kualitatif, dalam pengetian bahwa kegiatan analisis yang dilakukan berkaitan dengan penelusuran pola-pola yang umum pada wujud dan perilaku data yang dipengaruhi dan hadir bersama dengan konteks-konteksnya (c.f. Asher, 1994: 3257 dalam tesis Arimi).

Penelitian tentang komunikasi fatis dalam wacana konsultatif dosen dan mahasiswa program studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta semester genap 2015/2016 ini menggunakan metode padan ekstralingual karena metode ini digunakan untuk menganalisis atau menghubung-bandingkan unsur-unsur yang bersifat ekstralingual, seperti menghubungkan hal-hal yang menyangkut makna, informasi, konteks tuturan, dan lain-lain. Teknik yang digunakan adalah teknik dasar teknik hubung banding yang bersifat ekstralingual. Metode padan ini dapat disejajarkan dengan metode analisis kontekstual. Teknik analisis data dilakukan menggunakan metode analisis


(55)

kontekstual, yakni dengan menerapkan dimensi-dimensi konteks dalam menafsirkan data yang telah berhasil dikumpulkan, diidentifikasi, dan diklasifikasikan (cf. Mahsun, 2005 melalui Rahardi 2009:36).

Penelitian ini memusatkan perhatian pada kajian pragmatik yang bisa dikatakan memperhatikan tuturan, konteks, dan penutur-mitra tutur. Oleh karena itu, daya pilah yang digunakan adalah daya pilah pragmatis. Daya pilah pragmatis yang digunakan menunjukkan bahwa satuan lingual yang menjadi standar pembanding adalah sesuatu yang dapat dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat pragmatik. Setelah teknik dasar dilakukan, maka teknik lanjutan digunakan. Hubungan padan dalam metode dan teknik ini berupa hubungan banding antara semua unsur penentu yang relevan (standar pembanding) dengan semua unsur data yang ditentukan. Pada dasarnya, metode dan teknik ini bersifat membandingkan. Artinya, analisis dilakukan dengan mencari semua kesamaan dan perbedaan yang ada di antara kedua hal yang dibandingkan. Maka, hal itu dapat dijabarkan menjadi hubungan penyamaan dan hubungan perbedaan. Pembandingan antara persamaan dan perbedaan itu secara otomatis juga akan menggiring analisis pada pencarian kesamaan pokok di antara keduanya yang dinamakan dengan hubungan penyamaan pokok. Pemaparan di atas menunjukkan bahwa teknik lanjutan memiliki tiga jenis, yaitu teknik hubung banding menyamakan (teknik HBS), teknik hubung banding membedakan (teknik HBB), dan teknik hubung banding menyamakan hal pokok (HBSP), yang mana masing-masing menggunakan daya banding menyamakan, daya banding membedakan, dan daya banding menyamakan hal pokok yang semuanya bersifat mental. Standar


(56)

pembanding yang ditentukan dalam tulisan ini berupa teori dan kaidah yang menjadi acuan baku seperti yang terdapat dalam landasan teori, yang pada penerapannya, standar pembanding itu bandingkan dengan data yang telah terkumpul sebagai bentuk analisis.

3.5 Triangulasi Data

Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Moleong, 1989; 195). Triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini guna mencari keterpercayaan dan keabsahan maka digunakan triangulasi sumber dan penyidik.

Triangulasi sumber dipakai untuk membandingkan data dengan hasil wawancara lalu peneliti membandingkan data yang sudah terkumpul dengan para ahli agar memiliki kesaamaan pandangan, pendapat dan pemikiran. Ahli yang dimaksud adalah Dr. Y. Karmin, M.Pd. Ahli akan melihat bagaimana peneliti melakukan penelitian, dalam hal pengumpulan data dan analisis data. Sehingga jika terdapat kesalahan dalam penelitian, ahli dapat memberikan masukan agar penelitian yang dilakukan dapat berjalan lancar. Triangulasi penyidik dapat digunakan untuk mengecek kembali derajat kepercayaan data sehingga dapat mengurangi kemelencengan dalam pengumpulan data.


(57)

42 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi uraian hasil penelitian yang tersusun secara sistematis dalam subbab (1) deskripsi data penelitian, (2) analisis data dan (3) pembahasan. Ketiga hal tersebut dipaparkan sebagai berikut.

4.1 Deskripsi Data Penelitian

Data penelitian ini berisi tuturan fatis antara dosen dan mahasiswa di Program Studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta semester genap tahun akademik 2015/2016. Peneliti membatasi penelitiannya tentang komunikasi fatis pada tuturan basa-basi antara dosen dan mahasiswa pada bulan Februari 2016 di Program Studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Setelah data tuturan fatis yang diperoleh melalui pengamatan didapatkan, peneliti menabulasikan data tersebut dan memperoleh akumulasi data tuturan fatis sebanyak 36 tuturan. Perincian jumlah data tuturan fatis tersebut sebagai berikut.

Table 1

Jumlah Data Tuturan Fatis Basa-Basi KategoriAcknowledgements No. Sub Kategori Pengamatan


(1)

(Senin, 15 Februari 2016 pukul 09.55-11.15 WIB)


(2)

TUTURAN FATIS SELAMAT

No. Data Konteks Maksud Triangulator Keterangan

Setuju Tidak Setuju 1. Tuturan E1

P : Nilai TKBI saya udah keluar lho, Pak!

MT: Oh ya? Dapat berapa? P :

A-MT:Asikkk! Selamatya! P : Kalau nilai segitu boleh toh, Pak?

MT: Boleh lah… Bagus malahan itu!

(Jumat, 26 Februari 2016 pukul 10.07-10.55 WIB)

Penutur memberitahukan kepada mitra tutur tentang hasil tes TKBI.

Tuturan tersebut merupakan tuturan fatisselamatkarena mitra tutur tidak hanya sekadar mengucapkan selamat tetapi juga merasa bangga mahasiswa mendapatkan nilai yang baik.


(3)

TUTURAN FATIS SALAM

No. Data Konteks Maksud Triangulator Keterangan

Setuju Tidak Setuju 1. Tuturan F1

P :Halo, selamat pagi, Wil. MT : Pagi, Pak.

P : Kamu bawa ini to? Bawa yang …

MT : Yang revisi, Pak.

(Senin, 15 Februari 2016 pukul 09.55-11.15 WIB)

Penutur menyambut kedatangan mitra tutur yang akan bimbingan skripsi hari itu.

Tuturan tersebut merupakan tuturan fatissalamkarena penutur bermaksud menyambut kedatangan mitra tutur yang akan bimbingan skripsi.

2. Tuturan F2

P :Permisi, selamat sore, Pak.

MT : Selamat sore, gimana kabarnya? Saudara Silvi, sebentar agak ke sini karena itu urusan lain jadi agak ke sini. Ini nanti saya hanya ingin tahu Saudara itu dari membaca ini, saya rasa kamu belum

menguasai permasalahan ya? Atau mungkin cara

membahasakannya yang belum tepat, kok pake kata wujud itu lho maksudnya apa?

P : Bentuknya itu, pak. (Senin, 22 Februari 2016 pukul 15.12-16.20 WIB)

Penutur memberi salam kepada mitra tutur karena akan bimbingan skripsi.

Tuturan tersebut merupakan tuturan fatissalamkarena penutur menyapa mitra tutur untuk memulai bimbingan pada hari itu.


(4)

TUTURAN FATIS TERIMA KASIH

No. Data Konteks Maksud Triangulator Keterangan

Setuju Tidak Setuju 1. Tuturan G1

P :Ihhuntuk saya? Makasih ya!

MT : Kalo bapak nggak ada, di tempat mbak ros?

P : Ha’a.

MT : Makasih ya, pak.

(Senin, 15 Februari 2016 pukul 09.55-11.15 WIB)

Penutur melihat mitra tutur membawa sesuatu yang dikiranya akan diberikan kepadanya.

Tuturan tersebut merupakan tuturan fatisterima kasihkarena penutur merasa sangat diperhatikan oleh mitra tutur dengan diberikan sesuatu oleh mitra tutur.

2. Tuturan G2

P : Ya sudah nanti saya baca. Tandatangan belum? Halah, belum diisi? Tanda tangan aja. Aduh, merah nggak papa ya? Wes, saya juga ditunggu ini nanti. Hari jumat nanti saya tunggu sudah jadi nanti bab 2 dengan perubahan-perubahan. Saya sudah tidak akan anu lagi. Jumat itu saya ada rapat, nanti saya sms lah.

MT :Makasihyapak.

(Senin, 15 Februari 2016 pukul 09.55-11.15 WIB)

Penutur menutup sesi bimbingan hari itu karena penutur harus segera pergi rapat.

Tuturan tersebut merupakan tuturan fatisterima kasihkarena mitra tutur sadar diri bahwa penutur sedang dalam keadaan terburu-buru maka mitra tutur segera mengakhiri bimbingan hari itu.


(5)

3. Tuturan G3

P : Lupa? Kartunya? MT: Oh iya Pak.

P : Nanti diisi ya? Begitu ya? MT:Terima kasih, Pak. P : Kembali. Mari…

(Senin, 22 Februari 2016 pukul 15.12-16.20 WIB)

Mitra tutur mengucapkan terima kasih kepada penutur karena sudah diingatkan untuk mengisi kartu bimbingan dan bimbingan hari itu sudah selesai.

Tuturan tersebut merupakan tuturan fatisterima kasihkarena mitra tutur merasa penutur tidak mempersulit mitra tutur dalam mengerjakan skripsinya.

Yogyakarta, 25 Mei 2016


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Agnes Wiga Rimawati lahir di Yogyakarta pada tanggal 11 Oktober 1993. Ia mengawali pendidikan formalnya di Taman Kanak-kanak Kanisius Demangan Baru, Yogyakarta pada tahun 2000. Pendidikan tingkat sekolah dasar ia tempuh di SD Kanisius Demangan Baru, Yogyakarta, lulus pada tahun 2006. Kemudian ia melanjutkan studinya di SMP Negeri 1 Depok, Sleman, Yogyakarta dan tamat pada tahun 2009. Pendidikan tingkat menengah atas di tempuh di SMA Stella Duce 1 Yogyakarta dan tamat pada tahun 2012.

Setelah menyelesaikan sekolah tingkat menengah atas, ia melanjutkan studinya di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Jurusan Bahasa dan Seni, Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia. Setelah menyelesaikan skripsinya yang berjudul Komunikasi Fatis dalam Wacana Konsultatif pada Program Studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Semester Genap Tahun Akademik 2015/2016, ia memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia. Masa pendidikan S1 tersebut berakhir pada tahun 2016.