Deskripsi Tema HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
140
Timur dan warga Yogyakarta terjadi karena faktor perbedaan individu. Perbedaan antar individu dilihat dari segi fisik misalnya warna kulit
para mahasiswa asal Indonesia Timur berwarna hitam, rambut keriting, tampang yang tegas menimbulkan prasangka yang keliru mengenai
watak mahasiswa asal Indonesia Timur. Dengan perbedaan fisik dan tampang yang kelihatan tegas, membuat warga Yogyakarta menilai
bahwa watak mahasiswa asal Indonesia Timur yang menjalani kuliah di Yogyakarta keras dan jahat. Hal ini terungkap dalam kutipan
wawancara subjek berikut ini: Subjek II, YD
“…Mungkin yang membedakan antara orang Jawa dan orang Timur adalah warna kulit dan rambut tapi kita semua
kan tetap sama. Padahal saya rasa kita semua satu ”.
II.no.257-262
Subjek III, AS
“…orang-orang Jawa melihat sifat orang Timur karena fisik dan perawakannya. Kulit hitam, rambut keriting, dan
perawakan yang tegas, membuat orang Jawa berpikir bahwa orang Timur adalah orang jahat dan
keras”. III.no.126-135
Selain itu, kurang pemahaman akan perbedaan antar individu menjadi faktor yang dapat menimbulkan terjadinya konflik dan
kekerasan. Akhirnya terbentuk prasangka keliru yang digeneralisasikan oleh warga Yogyakarta bagi semua mahasiswa asal Indonesia Timur
yang menjalani kuliah di Yogyakarta. Berikut ini adalah kutipan pernyataan subjek:
141
Subjek I, AT
“…misalnya anggapan orang Jawa bahwa orang Timur memiliki karakter keras tapi pada kenyataannya tidak semua
orang Timur keras .” I.no.45-49
Perasaan frustasi karena dianggap berwatak keras, pembuat keributan serta sikap diskriminatif warga Yogyakarta mengakibatkan
terjadinya kekerasan. Para mahasiswa yang menjadi korban pengucilan sosial yang tidak terima dianggap pembuat keributan merasa frustasi.
Akibatnya frustasi mengarahkan pada kebiasaan mabuk, sehingga tidak jarang terjadi kekerasan yang dilakukan oleh mahasiswa yang
berasal dari Indonesia Timur. Berikut adalah kutipan dari pernyataan subjek ketika:
Subjek III, AS
“…orang Timur merasa tidak terima dipandang berwatak keras dan pembuat keributan. Akhirnya mereka frustasi dan
kebiasaan mabuk dibawa ke Yogyakarta .” III.no.153-158
Perasaan frustasi juga diarasakan oleh warga Yogyakarta. Atas tindakan mabuk dan keributan yang selama ini dilakukan oleh orang-
orang Timur. Karena tidak dapat menahan rasa sabar dari dalam diri maka warga Yogyakarta melakukan tindakan diskriminasi hingga
dalam bentuk kekerasan. Berikut adalah pernyataan subjek ketiga berkaitan dengan perasaan frustasi warga Yogyakarta:
142
subjek III, AS
“Sikap kesabaran yang selama ini dirasakan oleh Jawa tidak terbendung lagi dan akhirnya timbul diskriminasi dan
kekerasan juga dari beberapa orang Jawa. ” III.no.46-52
b. Perbedaan Budaya Perbedaan
budaya menjadi
salah satu
faktor yang
mengakibatkan terjadinya kekerasan etnis di Yogyakarta. Berdasarkan data yang didapatkan dari subjek kedua YD, perbedaan pada
kebiasaan berbicara misalnya orang Timur berbicara dengan nada yang tinggi dan keras sementara pada orang Jawa memiliki nada berbicara
yang halus dan sopan. Perbedaan pada gaya berbicara antara dua budaya ini dapat menimbulkan konflik. Hal tersebut dapat dilihat pada
kutipan berikut: Subjek II, YD
“…nada berbicara orang papua tinggi dan kasar sedangkan orang jawa halus. Teman-teman saya kadang kaget jika ada
anak papua yang berbicara.” II.no.52-57
Selain kebiasaan pada nada dan gaya berbicara, konflik dan kekerasan dapat terjadi karena kebiasaan saat berkumpul dengan
kerabat atau teman-teman. Saat berkumpul dengan teman-teman asal satu daerah, mahasiswa asal Indonesia Timur yang berada di
Yogyakarta juga mengkonsumsi minuman beralkohol hingga akhirnya menimbulkan kondisi mabuk. Dalam kondisi mabuk, suasana menjadi
143
ramai dan tidak jarang menimbulkan keributan. Hal ini sesuai dengan kutipan pernyataan dari subjek ketiga AS:
Subjek III, AS
“...konflik dan kekerasan di Yogya itu dikarenakan orang Jawa dan orang Timur belum saling kenal. Orang Timur
kalau berkumpul atau menyambut teman yang datang dengan cara minum-minuman beralkohol
.” III.no.218-225
faktor lain yang mengakibatkan konflik dan kekerasan etnis di Yogyakarta adalah kebiasaan mahasiswa asal Indonesia Timur yang
tidak terlalu memperhatikan peraturan dalam berlalu lintas. Kebiasaan tidak mengenakan helm atau melengkapi atribut kendaraan seperti
kaca spion da sebagainya masih dibawa di kota Yogyakarta. Akibatnya mahasiswa yang tidak menaati peraturan lalu lintas akan mendapatkan
pengucilan dari lingkungan masyarakat Yogyakarta. Berikut ini adalah pernyataan dari subjek pertama mengenai faktor ketidaktaatan
mahasiswa Timur dalam berlalu lintas yang dapat memicu terjadinya pengucilan:
Subjek I, AT
“...Menurut saya karena hal-hal kecil seperti orang Papua sering tidak menaati lalu lintas. Akhirnya pandangan orang
setempat menganggap rata-rata orang T imur negatif.”
I.no.81-86
c. Bentrokan Kepentingan Faktor lain yang mengakibatkan terjadinya kekerasan etnis
adalah bentrokan kepentingan. Bentrokan kepentingan dialami oleh
144
subjek kedua kedua, saat dosen di kampus mengeluarkan pernyataan yang bertujuan memotivasi para mahasiswa lain namun dengan
kalimat remehan bagi mahasiswa asal Indonesia Timur. Pernyataan tersebut sesuai dengan kutipan wawancara subjek kedua di bawah ini:
Subjek II, YD
“...dosen pembimbing saat itu melihat nilai saya memuaskan dan dosen tersebut menyatakan bahwa,
“masa anak Papua lebih bisa dalam belajar dari anak Jawa
” II.no.138-144
Selain itu, biaya hidup yang lebih murah dari biaya hidup di daerah Indonesia Timur mengakibatkan mahasiswa asal Indonesia
Timur menggunakan uang pegangan untuk bersenang-senang dan membeli minuman beralkohol. Berikut ini adalah kutipan dari subjek
kedua: Subjek II, YD
“...Di papua biaya hidup mahal, namun di Yogya biaya hidup murah. Kebanyakan anak-anak Timur kaget dengan
uang banyak yang dikirim dari orangtua dan menggunakan uangnya untuk mabuk-mabukan di Yogyakarta.
” II.no.38- 46
Peran media massa dalam meinformasikan berita juga mengakibatkan terjadinya konflik dan kekerasan di Yogyakarta.
Informasi dari media massa biasanya memberi penekanan pada budaya dari individu yang melakukan kekerasan. Informasi menjadi
melenceng dan warga Yogya pada akhirnya menyalahkan kelompok budaya dari Indonesia Timur bukan pada individunya. Berikut ini
145
kutipan mengenai peran media yang mengakibatkan terjadinya konflik pada subjek kedua dan keempat:
Subjek II, YD
“...di media memberitakan bahwa ada mahasiswa asal Indonesia Timur yang mabuk dan buat keributan. Orang
yang mabuk dan membuat keributan itu yang harus diadili, bukan mahasiswa Indonesia Timur yang lainnya yang tidak
tahu menau tentang keributan yang mereka lakukan. Jadi
media juga harus bersikap adil.” II.no.280-292
Subjek IV, MR
“...Peran media juga terlalu membesar-besarkan pemberitaan bahwa orang etnis atau suku tertentu dalam hal
ini Papua, NTT, Ambon dan sebagainya menjadi biang kerok dari masalah kekerasan etnis di Yogya. Padahal
sebenarnya yang harus diangkat adalah orangnya atau individu yang melakukan kekerasan bukan budaya atau
sukunya.” IV.no.108-123
d. Persaingan Berdasarkan data yang didapatkan, faktor persaingan juga
menjadi salah satu faktor yang dapat mengakibatkan terjadinya konflik dan kekerasan etnis di Yogyakarta. Persaingan ini meliputi persaingan
budaya dan persaingan ras. Berikut merupakan pernyataan dari subjek ketiga mengenai persaingan yang terjadi:
Subjek III, AS
“...perasaan bangga sebagai tuan rumah sangat besar, sehingga yang dilihat adalah perbedaan bukan persamaan.
Analoginya seperti “saya orang Jogja misalnya memecahkan kaca milik saya tidak menjadi masalah, namun jika kamu
sebagai pendatang memecahkan kaca milik saya adalah suatu
146
masalah besar”. Itu karena milik atau kepunyaan. III.no.274-287
2. Prasangka dan Diskriminasi Fenomena kekerasan yang sering dilakukan oleh orang-orang yang
berasal dari Indonesia Timur, mengakibatkan timbulnya prasangka yang digeneralisasikan kepada semua mahasiswa asal Indonesia Timur di
Yogyakarta. Prasangka tersebut akhirnya berakibat pada tindakan pengucilan dan konflik sosial. Berdasarkan hasil data wawancara,
didapatkan bahwa keempat subjek penelitian mengalami pengalaman pengucilan sosial seperti tidak diterima tinggal kos-kosan, tidak diterima
oleh teman kelompok belajar di kelas, dan mendapatkan pernyataan yang menyepelehkan. Berikut merupakan kutipan pernyataan dari keempat
subjek berkaitan dengan pengalaman pengucilan sosial:
Subjek I, AT
“…Saya punya pengalaman di tolak saat saya mencari kos. Saat saya tidak diterima oleh pemilik kos saya merasa sedih.
Pernah juga saya punya pengalaman emosi saat di Jawa Timur dimana pernah ada warga yang mengatakan
“ah wong Papua saja”. Sebagai orang Papua saya merasa sangat
emosional namun saya berusaha sabar. ” I.no.101-113
Subjek II, YD
“…Jadinya sekarang kami merasa sulit untuk mencari kos- kosan. Misalnya sebuah kos-kosan yang menerima
mahasiswa baru, akan berat menerima hingga menolak mahasiswa asal Indonesia Timur. Mereka seperti kaget
ketika yang mencari kos adalah mahasiswa asal Indonesia Timur. Padahal sudah sangat jelas bahwa sedang ada kamar
kosong di kos tersebut.
” II.no.232-245
147
Subjek III, AS
“…ketika saya mulai kos sendiri, saya merasakan bahwa ada ketidakterimaan warga setempat terhadap saya
.” III.no.98- 102
Subjek IV, MR
“…saat itu saya hendak mencari kos. Saat menemukan kos yang kosong kemudian bernegosiasi dengan pemilik kos.
Saat bertanya tentang kos, pemilik kos mengatakan bahwa kosnya telah penuh. saya berusaha mengklarifikasikan
pemilik kos bahwa di luar terpampang pemberitahuan menerima kos putra namun kenapa saya tidak diterima.
Pemilik kos mengatakan kebetulan kamar tersebut baru dipesan, dan ada keluarga yang mau tempati dengan berbagai
alasan agar saya tidak menempati kamar tersebut. Saya seketika menanyakan apa yang membuat saya tidak diterima
di sini. Pemilik kos menjawab “mungkin karena masalah Cebongan”.” IV.no.63-88
3. Dampak Sosio-Psikologis dari diskriminasi dan Kekerasan Etnis di Yogyakarta
Kekerasan etnis yang terjadi di Yogyakarta antara mahasiswa asal Indonesia Timur dengan warga setempat, berakibat pada kondisi
psikologis para mahasiswa Timur yang tidak melakukan kekerasan. Dampak Psikologis yang dialami ialah semakin rendahnya harga diri,
timbulnya perasaan cemas, depresi, stress pasca trauma, malu, dan rasa tertekan. Berikut akan dijabarkan dampak-dampak psikologis yang dialami
para subjek:
148
a. Harga Diri Rendah Perasaan harga diri rendah menjadi salah satu dampak yang
diakibatkan dari kekerasan etnis di Yogyakarta. Perasaan tidak berdaya, terpukul, sedih akibat kekerasan etnis dirasakan oleh keempat
subjek. Berikut adalah kutipan pernyataan dari keempat subjek berkaitan dengan perasaan rendah diri akibat fenomena kekerasan di
Yogya: Subjek I, AT
“…Kalaupun ada kekerasan yang dilakukan oleh orang Timur, menurut saya kekerasan itu hanya dilakukan oleh
beberapa mahasiswa Timur saja. Tidak semua orang Timur membuat keributan di sini. Namun warga Yogya setempat
menganggap bahwa semua orang Papua pembuat onar
.” I.no.65-75
“…Saya sebagai orang Papua merasa terpukul, sedih, karena dianggap sepele dengan kalimat “ah orang Papua
saja .” I.no.92-96
“…Perasaan-perasaan sedih, terpukul, dan dianggap sepele masih dirasakan sekarang
.” I.no.324-327
Subjek II, YD
“…Perasaan saya sedih karena melalui kekerasan yang dilakukan oleh beberapa orang Timur, akhirnya kami semua
dipersalahkan. Padahal yang .bersalah itu hanya orang- orang tertentu.
” II.no.221-227
Subjek III, AS
“…Saya mau bagaimana lagi mengubah pandangan warga Yogya, sudah sangat susah
.” III.no.389-391
149
Subjek IV, MR
“…Saya merasa kecewa dengan sikap dari pemilik kos yang memberikan stigma dan pandangan negatif namun saya
berusaha menerima .” IV.no.97-101
b. Kecemasan Dampak lain yang dirasakan oleh para subjek akibat kekerasan
yang terjadi di Yogyakarta adalah kecemasan. Dari hasil wawancara, keempat subjek merasa cemas pasca terjadi kekerasan antar mahasiswa
asal Indonesia Timur dengan warga Yogyakarta. Kecemasan tersebut berupa kecemasan menjadi sasaran amukan warga, berpergian di
malam hari, hingga melaksanakan kegiatan lain di luar ruangan. Berikut kutipan para subjek berkaitan dengan perasaan cemas yang
mereka rasakan: Subjek I, AT
“…Yang membuat saya takut adalah ketika kami anak-anak Papua lagi kumpul-kumpul atau bercerita-cerita di tempat
umum, takutnya ada orang yang mencelakai kami dari belakang. Selain di tempat-tempat ramai saya juga takut jika
di tempat-tempat sepi. Lalu yang sering saya takutkan jika mengendarai sepeda motor ada yang mecoba melukai saya.
Jadi selama ini saya sangat berhati-hati sekali saat mengendarai sepeda motor. Setelah banyak kasus terjadi,
saya menjadi takut saat mengendarai sepeda gayung, karena sepeda gayung itu lambat dan saya takutnya ada yang
melukai saya dari belakang saat mengendarai sepeda gayung.
” I.no.188-212
Subjek II, YD
“…Dari pengalaman-pengalaman tersebut, saya mulai merasa trauma. Makanya saya menyarankan kepada adik-
adik saya untuk tidak usah melanjutkan kuliahnya di Yogya.
150
Masalahnya mau keluar malam saya juga trauma dan takut. Kami ini manusia bukan binatang. Jadi merasa kecewa dan
sedih .” II.no.410-421
Subjek III, AS
“…Saya jadi takut harus keluar, lewat jalan yang mana, padahal bukan saya pelakunya bentrokan. Intinya saya tidak
mau mencari masalah.” III.no.376-381
c. Depresi Dampak lain yang dirasakan subjek adalah perasaan depresi.
Depresi dirasakan oleh subjek akibat pengalaman menjadi korban langsung kekerasan. Pengalaman depresi yang dirasakan membuat
subjek dirundung perasaan sedih yang sangat besar, hingga putus asa. Berikut adalah kutipan hasil wawancara dari subjek keempat:
Subjek IV, MR
“…Saat itu saya mendapat dua luka bacokan di punggung dan harus dirawat dirumah sakit. Pengalaman itu membuat
saya trauma dan akhirnya cuti kuliah selama tiga tahun. Sehingga saat ini baru bisa melanjutkan kuliah lagi.
” IV.no.156-164
d. Stress Pasca Trauma Kekerasan etnis yang terjadi di Yogyakarta, mengakibatkan
perasaan timbulnya stress pasca trauma yang dirasakan oleh subjek. Stress pasca trauma yang dirasakan oleh para subjek mempengaruhi
kehidupan harian para subjek. para subjek merasa tidak aman dan nyaman tinggal di Yogyakarta, kuliah menjadi terganggu dan beberapa
151
hobi tidak dapat tersalurkan dengan baik. Berikut ini adalah kutipan tentang dampak stress pasca trauma yang dirasakan para subjek:
Subjek I, AT
“…Tentunya karena ada masalah-masalah ini, saya menjadi tidak aman dalam belajar dan harus mengurus tempat tinggal
yang nyaman. Belum lagi susah mencari tempat tinggal di Yogyakarta.
” I.no.261-268
Subjek II, YD
“…Saya tinggal di Yogya ini seperti ada sesuatu yang menggangu seperti tertekan, ada beban juga. Tinggal di kos
juga membuat saya merasa takut dengan kejadian-kejadian seperti itu.
” II.no.421-428
Subjek III, AS
“…Dampak yang saya rasakan dalam studi akibat kekerasan di Yogyakarta adalah membuat saya lama kuliah. Saya
merasa tidak begitu nyaman kuliah di Yogyakarta. ”
III.no.420-426
Subjek IV, MR
“…Pada saat itu saya tidak bebas, tidak dapat menyalurkan hobi bermain bola, atau berorganisasi yang mana sangat saya
gemari olehnya. Saya merasa stress karena tidak bebas bergerak dan beraktifitas seperti biasanya. Dampak
kekerasan memberi dampak yang sangat berat
.” IV.no.206- 216
e. Rasa malu Sebagai mahasiswa asal Indonesia Timur, keempat subjek
merasakan perasaan malu karena kekerasan etnis di Yogyakarta juga terjadi karena ulah orang-orang yang berasal dari Indonesia Timur.
152
Berikut adalah kutipan yang didapatkan dari keempat subjek mengenai perasaan malu berkaitan dengan kekerasan etnis di Yogyakarta:
Subjek II, YD
“…Saya kan merasa malu karena teman saya sendiri yang melakukan keributan.II.no.331-333
Subjek III, AS
“…Saya malu karena ada teman-teman dari Timur yang melakukan kekerasan, mabuk. Perasaan malu itu sangat
besar. Cuma saya prinsip bahwa dari diri saya tidak mau menambah malu atau adik-adik saya ikut membuat malu
wajah orang Timur.
” III.no.406-415
f. Tertekan Fenomena kekerasan etnis yang terjadi di Yogyakarta
mengakibatkan para subjek merasakan perasaan tertekan. Perasaan tertekan dirasakan karena mahasiswa asal Indonesia Timur masih
dianggap sebagai kaum “nomordua”, pengalaman diskrimininasi dan
prasangka dari warga membuat para subjek merasa tidak bebas. Berikut adalah kutipan dari subjek berkaitan dengan perasaan tertekan
yang dialami: Subjek II, YD
“…Saat itu saya merasa jengkel dan marah, mengapa sih orang Papua dianggap tidak mampu dan harus dianggap jadi
nomor dua. ” II.no.164-169
“…Saya tinggal di Yogya ini seperti ada sesuatu yang menggangu seperti tertekan, ada beban juga
.” II.no.421- 425
153
“…Mahasiswa juga mau menghadirkan Sultan untuk menghimbau solidaritas antar etnis. Kami juga datang ke
yogya untuk menempuh pendidikan dan studi.” II.no.437- 443
Subjek III, AS
“…. Kadang saya punya perasaan sakit karena sebagai mahasiswa Timur masih ada diskriminasi terhadap kami
.” III.no.327-331
“…Seperti disini ketika kasus dan pandangan orang Jawa terhadap orang Timur buruk, saya sangat sakit dan terpukul,
namun saya tidak boleh terlena dengan perasaan sakit itu.” III.no.351-358
4. Upaya Para Subjek dan Komunitas untuk Mengurangi Kekerasan Etnis di Yogyakarta
Kekerasaan etnis di Yogyakarta mendorong para subjek penelitian asal Indonesia Timur untuk berupaya mencegah terjadinya kekerasan
melalui upaya-upaya positif. Upaya-upaya positif tersebut dibangun dari dalam diri dan juga dari komunitas daerah yang mereka ikuti. Upaya-
upaya tersebut tampak melalui hasil wawancara dengan para subjek di bawah ini:
a. Upaya Para Subjek Dorongan agar dapat diterima oleh warga Yogyakarta
diupayakan oleh mahasiswa asal Indonesia Timur. Upaya yang dibangun melalui sikap positif seperti ramah, sopan, serta melalui
kegiatan-kegiatan positif seperti mengajar les, kor gereja, pelayanan di kampus dan masyarakat. Berikut adalah kutipan mengenai upaya dari
para subjek penelitian:
154
Subjek I, AT
“…memberi pemahaman bagi adik-adik mahasiswa baru. Agar pandangan orang setempat tentang orang papua yang
suka mabuk, sering buat kekerasan, suka senang-senang dan tidak menaati lalu lintas menjadi berkurang. Intinya saya
meyakinkan warga setempat dengan memberi les matematika di masyarakat agar mereka tahu bahwa orang Papua juga
bisa dan tidak semua orang Papua negatif. Selain memberi les saya juga memberi pengetahuan kepada teman-teman
tentang keadaan di Papua karena mereka selama ini hanya melihat kondisi Papua lewat TV.
” I.no.315-340
Subjek II, YD
“...saya mengikuti cara berbicara, atau sikap orang Jawa dalam berelasi dengan warga sekitar. Saya juga banyak
bertanya dengan teman-teman kos atau anak dari ibu kos dalam menyesuaikan dengan lingkungan. Saya beranikan diri
menyapa dan lebih murah senyum dengan warga sekitar. Saya juga belajar bahasa Jawa dengan teman-teman kos.
Saya berusaha menyesuaikan saja agar dapat diterima.
” II.no.15-30
“…ya memberitahu kepada teman-teman bahwa tidak semua orang Papua jahat. Tapi ada teman yang bisa menerima ada
yang tidak menerimanya. ” II.no.457-462
“…Selain itu untuk adik-adik mahasiswa baru, saya memberikan nasehat kepada mereka untuk meyesuaikan diri
dengan budaya Yogyakarta. ” II.no.478-483
Subjek III, AS
“…Walaupun demikian saya berusaha untuk ramah dan murah senyum kepada mereka. Walaupun awalnya mereka
menganggap saya orang asing, mereka akhirnya bisa menerima saya. Hal itu menurut saya karena saya berusaha
untuk murah senyum dan menghargai mereka. Akhirnya saya sering melakukan kegiatan bersama seperti main ping-pong
dan sebagainya.” III.no.107-121
Subjek IV, MR “…membentuk pemikiran positif dan menjadi contoh bagi
adik-adik mahasiswa baru misalnya melayani di komunitas San Egidio. Pelayanan-pelayanan tersebut mungkin di zaman
155
ini tidak popular di mata teman-teman mahasiswa. Namun melaui pelayanan ini menjadi suatu kesaksian bahwa saya
peduli kepada anak-anak jalanan, orang-orang yang membutuhkan bantuan, kaum marginal dan para lansia.
” IV.no.274-290
b. Upaya dari Komunitas Selain upaya positif dibentuk dalam diri subjek,
komunitas mahasiswa Papua juga membuat upaya seperti dialog dengan pemerintah Yogyakarta dan membuat
aturan-aturan yang bertujuan untuk mengurangi tingkat kekerasan etnis di Yogyakarta. Berikut merupakan
pernyataan subjek pertama dan kedua, berkaitan dengan upaya dari komunitas mahasiswa Papua:
Subjek I, AT
“…Upaya yang kami buat di komunitas adalah dengan membuat dialog-dialog dengan warga Yogyakarta maupun
dengan pemerintah Yogya. Sedangkan berkaitan dengan peraturan, kami di komunitas telah menyepakati bersama
untuk tidak mengonsumsi minuman keras. Jika ada mahasiswa papua mabuk dan membuat kekerasan di jalan,
kami akan membawa dan mengadili mereka. Kami dari komunitas memiliki tim keamanan malam sendiri. Tim ini
akan memantau siapa yang membuat kekerasan di jalan akan diproses. Jika mahasiswa tersebut membuat keributan
dan mabuk, maka dia akan di pulangkan ke Papua. Selain itu untuk jam malam, kami di asrama di tentukan batas
keluar malam adalah pukul tujuh malam agar tidak ada korban kekerasan. Hal ini karena banyak kekerasan
dilakukan di malam hari. Selain itu kami menegaskan aturan untuk menggunakan helm saat berpergian. Selain
untuk waspada, keamanan juga harus diperhatikan karena demi keselamatan pengendara. Selain itu, kelengkapan
kendaraan seperti kaca spion, lampu sein, rem tangan dan kaki. Semua harus diperhatikan. Dan jangan terlalu banyak
berpergian tanpa tujuan
,…” I.no.344-387
156
Subjek II, YD “…Dalam komunitas juga ada diskusi-diskusi yang
dilakukan dalam menyesuaikan diri dengan masyarakat sekitar. Kita yang harus mulai terlebih dahulu dengan
senyum dan sapa .” II.no.483-490