Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada Era globalisasi dan modern ini, konflik dan kekerasan sering sekali terjadi. Hampir setiap hari di media cetak maupun elektronik memberitakan tentang penembakan, perampokan, pembacokan, dan penyerangan antar geng yang menelan korban jiwa Berkowitz, 1995. Maraknya konflik dan kekerasan di masyarakat mengakibatkan kerugian bagi para korbannya mulai dari melukai hingga menghilangkan nyawa manusia Sarwono, 2009. Konflik dan kekerasan sebenarnya bukan baru saja ini terjadi Rahman, 2013. Konflik dan kekerasan etnis di Indonesia sejak lama terjadi misalnya konflik Poso, konflik Sanggoledo, konflik Ambon, konflik Sambas yang terjadi pada awal milenium baru Tohari, dkk 2011. Dampak yang dirasakan dari konflik dan kekerasan etnis pada saat itu ialah banyak korban yang meninggal dunia serta meningkatnya jumlah pengungsi yang pergi meninggalkan daerah konflik Tohari, 2011. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Tohari 2008, konflik dan kekerasan di Indonesia terbagi dalam delapan jenis. Konflik dan kekerasan tersebut meliputi, konflik agama, konflik etnis, konflik politik, konflik sumber daya alam, konflik sumber daya ekonomi, kekerasan rutin tawuran, 2 penghakiman massa, pengeroyokan, konflik antar aparat negara, dan lain- lain. Berdasarkan data presentase konflik dan kekerasan di Indonesia yang terjadi dari tahun 2008 hingga 2010, kekerasan etnis yang terjadi sekitar 2,2 dari total keseluruhan. Itu berarti jumlah kekerasan etnis yang terjadi sejak tahun 2008 hingga 2010 sebanyak 90 kali dan tiap tahunnya terjadi 30 kali kasus konflik dan kekerasan etnis yang terjadi di Indonesia. Konfik dan kekerasan etnis masih terjadi di kota Yogyakarta. Sebagai kota pelajar dan kota yang menjunjung keberagaman, masih marak terjadi konflik dan kekerasan antara mahasiswa asal Indonesia Timur dengan warga Yogyakarta. Pada tanggal 6 Mei 2013, dua Tentara Nasional Indonesia dikeroyok oleh 4 mahasiswa Papua yang sedang menjalani kuliah di Yogyakarta Hasan, 2013. Selain itu, seorang mahasiswa asal Indonesia Timur melakukan tindakan kriminal yaitu mengamuk dan memecahkan kaca di Mapolsek Mergangsan pada hari rabu 9 Oktober 2013 Fernandez, 2013. Kekerasan lain yang terjadi adalah tanggal 8 Mei 2012 terjadi pembacokan di Babarsari Yogyakarta. Awal mula kejadian ketika mahasiswa asal Timor Leste tidak mau membayar parkir di depan sebuah cafe. Karena emosi, mahasiswa tersebut kembali ke asrama dan mengajak rombongan teman- temannya sambil membawa sebilah parang. Sesampainya di cafe, mahasiswa tersebut membacok tukang parkir yang saat itu berjaga Surya, 2012. Pada malam yang sama tidak jauh dari lokasi kejadian, terjadi juga pembacokan 2 orang pemuda dan pemudi di daerah selokan mataram. Pada waktu yang 3 berurutan, sebuah ATM di depan Sekolah Tinggi YKPN, dibobol dan kemudian dirusak Surya, 2012. Selain kasus kekerasan di atas, kasus penembakan yang terjadi di Lapas Cebongan merupakan salah satu kasus kekerasan menyangkut etnis di Yogyakarta. Penembakan yang terjadi di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 23 Maret 2013 dilakukan oleh beberapa anggota kopasus terhadap warga NTT karena motif balas dendam. Empat korban penembakan merupakan pelaku pengeroyokan seorang anggota kopasus bernama Heru Santosa yang tewas di Hugo‟s Café beberapa hari sebelumnya. Keempat korban tersebut merupakan perantau asal Nusa Tenggara Timur Iwe, 2013. Berdasarkan media elektronik dan media cetak, konflik dan kekerasan etnis di Yogyakarta memberi dampak psikologis seperti traumatik dan ketakutan bagi mahasiswa asal NTT lainnya yang tidak melakukan kekerasan yang saat ini kuliah di Yogyakarta. Perasaan ketakutan dan trauma tersebut muncul karena beredar isu melalui pesan singkat SMS dan blackberry messenger BBM akan adanya sweeping terhadap masyarakat asal NTT. Dari pemberitaan koran SINDO, salah seorang mahasiswa asal NTT yang berhasil ditemui di RSUP Sardjito Yogyakarta, bernama Max Nani berumur 26 tahun mengaku pasca kejadian penembakan ini, mahasiswa dan masyarakat asal NTT yang berada di DIY merasa trauma dan ketakutan Hanafi, 2013. Ketakutan tersebut membuat mereka mengungsi ke kerabat yang ada di 4 Malang, Solo, dan Surabaya. Separuh dari 10 ribu mahasiswa NTT, terutama dari Kupang, melakukan eksodus Maharani, 2013. Dampak yang dirasakan di atas sesuai dengan penelitian yang dilakukan para ahli misalnya, konflik dan kekerasan di masyarakat menyangkut suku maupun etnis, ternyata memberi dampak sosio-psikologis bagi kaum minoritas yang mewakili etnis tertentu Cooley Quille, 2001. Selain itu, penelitian yang dilakukan Mahoney 2004 di Caribbean mengungkapkan bahwa ada korelasi yang kuat antara maraknya kekerasan dan gangguan stres pasca trauma Post Traumatic Stress Disorder. Penelitian lain juga melihat adanya implikasi hubungan antara kekerasan dengan masalah sosio-psikologis seperti stress pasca trauma, depresi, penyalahgunaan Zat, maupun agresi Bingenheimer, Brennan, Earls, 2005; Goldstein, Walton, Cunningham, Trowbridge, Maio, 2007. Penelitian yang dilakukan oleh Horowitz 2005, di Amerika menunjukan bahwa, ada hubungan antara kekerasan yang terjadi di masyarakat dengan kondisi psikologis anak-anak dan remaja. Penelitian ini menunjukan bahwa, dampak kekerasan yang terjadi di masyarakat dapat menimbulkan masalah psikologis seperti konsentrasi buruk, dan menimbulkan kecemasan. Kondisi kecemasan, traumatik, hingga berdampak pada masalah sosial seperti agresi, dipicu oleh faktor-faktor seperti, kekerasan yang langsung disaksikan oleh anak-anak atau remaja, memiliki kedekatan dengan 5 korban, hingga lingkungan tempat tinggal yang berada di wilayah konflik Jenkins dalam Mahoney 2008. Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat dampak psikologis yang dirasakan mahasiswa asal Indonesia Timur yang tidak melakukan kekerasan namun menjadi korban dari maraknya konflik dan kekerasan antara orang- orang Timur dengan warga Yogyakarta. Untuk itu peneliti melakukan wawancara singkat terhadap dua mahasiswa asal Papua dan dua mahasiswa asal NTT untuk melihat adanya tanda-tanda dampak psikologis dari fenomena kekerasan yang terjadi, sekaligus membuktikan pemberitaan media di atas. Berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan pada waktu dan tempat berbeda, ditemukan bahwa keempat subjek merasa sedih, terpukul, karena warga Yogyakarta telah memberi penilaiaan negatif terhadap semua mahasiswa asal Indonesia Timur yang sedang menjalani kuliah di Yogyakarta. Padahal menurut para mahasiswa tersebut, “tidak semua orang Papua atau NTT adalah orang yang keras, mudah marah, maupun bertindak seenaknya di tempat rantauaan. Hanya beberapa mahasiswa saja yang kebetulan berasal dari Timur Indonesia”. Walker dan Gresham 1997 berpendapat bahwa diskriminasi ras dan etnik terhadap individu maupun kelompok minoritas, dapat menjadi pemicu timbulnya masalah internal seperti kecemasan, depresi, traumatik hingga dapat memicu masalah eksternal seperti agresi, maupun melakukan tindak kriminal. 6 Sangat disayangkan bahwa akibat dari kekerasan yang dilakukan oleh beberapa orang yang berasal dari Indonesia Timur Papua, NTT, Maluku, membuat warga Yogyakarta semakin membentuk prasangka negatif bagi semua mahasiswa asal Indonesia Timur yang tinggal di Kota Yogyakarta. Ada pengalaman yang dialami oleh teman peneliti ketika ditolak oleh pemilik kos walaupun masih ada kamar kosong di kos tersebut. Penolakan yang diterimanya hanya karena dia berasal dari NTT. Waktu itu bapak pemilik kos bertanya, “masnya berasal dari mana?” Teman saya menjawab, “Flores Pak”. Oh, “NTT yah”, jawab bapak pemilik kos, “aduh gimana ya mas ya, saya kapok punya anak kos dari T imur” Timur baginya merujuk ke Papua, NTT dan Maluku. “Pusing saya ngurus masalah tiap hari karena mabuk lalu berantem”. Teman saya mencoba membela diri dan menyatakan bahwa itu hanya oknum, dan tidak semua mahasiswa asal NTT bertabiat buruk, tapi tetap saja bapak itu menolak teman saya. Perasaan sedih dan kecewa terhadap penilaiaan negatif tersebut membuatnya terpukul . Stereotype terhadap individu maupun kelompok tertentu, berdampak pada pengucilan sosial dan konflik sosial Putra Pitaloka, 2012. Fenomena kekerasan mengakibatkan warga Yogyakarta membentuk stereotype dan membuat mahasiswa yang berasal dari Indonesia Timur mengalami pengucilan dan diskriminasi. Konflik dan kekerasan etnis juga dialami oleh mahasiswa Papua yang menjalani pendidikan di perguruan tinggi Yogyakarta. Beberapa data yang dikumpulkan oleh Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Papua IPMAPA adalah 7 tahun 2002 misalnya, warga DIY secara terang-terangan menyerang asrama mahasiswa Papua dan menghancurkan kaca-kaca asrama dan melukai seorang mahasiswi asal Merauke. Kemudian pada tahun 2002 juga mahasiswa asal Biak Mesak Ronsumre dibunuh di jalan Solo. Pada bulan Agustus 2004, seorang mahasiswa Magister Manajemen Agribisnis Universitas Gajah Mada, dipukul dengan balok pada otak kecilnya oleh warga hingga dirawat di rumah sakit selama dua minggu. Kekerasan ini mengakibatkan mahasiswa tersebut mengalami gangguan lupa ingatan. Selain itu pada tahun 2007, seorang mahasiswa asal pegunungan bintang diracuni sehingga meninggal dengan mengenaskan di tengah rumah warga. Aksi ini adalah salah satu bentuk penyerangan yang terang-terangan oleh warga Degei, 2007. Perbedaan antar invidu dan perbedaan budaya, menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan konflik dan kekerasan etnis antar kelompok, saling men- stereotype -kan kelompok satu dengan kelompok lainnya Soekanto dalam Budioyono, 2009. Bahkan menjadi sangat menyedihkan jika setiap individu yang berasal dari suku maupun etnis tertentu, diberikan label negatif. Dalam buku berjudul Psikologi Prasangka yang ditulis oleh Eka Putra dan Ardiningtiyas Pitaloka 2012, dikatakan bahwa prasangka terjadi dalam hubungannya antar kelompok bukan individu. Sedangkan individu yang menjadi sasaran dari prasangka adalah individu yang menjadi bagian kelompok etnis tertentu. Mahasiswa-mahasiswa asal Indonesia Timur merupakan bagian dari kelompok besar yaitu etnis Timur, Ambon, NTT, 8 Papua dan sebagainya. Teramat disayangkan jika mahasiswa yang berasal dari Indonesia Timur, yang tidak melakukan kekerasan mendapat perlakuan diskriminasi oleh warga Yogyakarta. Untuk membuktikan bahwa ada stereotype negatif terhadap para mahasiswa asal Indonesia Timur, penulis melakukan wawancara singkat terhadap dua orang warga asli Yogyakarta yang memiliki kos-kosan. Berdasarkan hasil wawancara terhadap mereka didapatkan jawaban bahwa, kedua pemilik kos tersebut merasa tidak ingin menerima mahasiswa baru yang berasal dari Indonesia Timur. Pernyataan kedua pemilik kos tersebut dikuatkan oleh anggapan mereka bahwa mahasiswa asal Indonesia Timur baik itu yang berasal dari Papua, NTT maupun Maluku, memiliki sikap yang kurang baik, seperti sering mabuk-mabukan, suka mengganggu ketenangan dengan memutar musik keras maupun berteriak-teriak, dan kalau sudah mabuk akan meresahkan warga sekitar. Penelitian yang dilakukan Warnaen 1979 tentang stereotype antaretnis di Indonesia, menunjukan bahwa, orang Jawa khususnya Yogyakarta, menganggap orang Maluku, maupun yang berasal dari Timur Indonesia sebagai orang yang periang, menyukai pesta, agresif, dan emosional Warnaen dalam Putra 2012. Kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari Indonesia Timur semakin menguatkan warga Yogyakarta dalam berpandangan negatif hingga akhirnya memberi perlakuan diskriminasi terhadap para mahasiswa asal Indonesia Timur. Terbentuknya prasangka sangat erat 9 kaitannya dengan sejarah, emosi, pengalaman, pengetahuan yang telah dibentuk sebelumnya, dan bentuk karakteristik masyarakat Wagner, 1993; Duveen, 1993; Scherer, 1992; Liu Hilton, 2005; Moscovici, 2001 dalam Eka Putra dkk, 2012; 86. Ibarat “bola salju” fenomena kekerasan yang terjadi semakin membuat citra mahasiswa asal Indonesia Timur semakin buruk. Seperti yang sudah dipaparkan di atas, para mahasiswa asal Indonesia Timur dianggap “suka membuat kericuhan”, “sangat emosional”, “sering mabuk- mabukan” dan “bertindak seenaknya”. Akibatnya mereka mendapatkan perlakuan diskriminasi seperti, tidak diterima tinggal di kos-kosan, dan sebagainya. Jika stereotype dan diskriminasi terus terjadi, tentunya dapat berdampak pada perkembangan psikologi maupun study para mahasiswa asal Indonesia Timur yang menjalani pendidikan di Yogyakarta. Dalam taraf perkembangannya, mahasiswa asal Indonesia Timur yang menjalani kuliah di Yogyakarta berada dalam peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Menurut Hurlock 1955 remaja adalah mereka yang berada pada usia 13-17 tahun. Monks, dkk 2003 memberi batasan usia remaja adalah 9-17 tahun. Menurut Stanley Hall dalam Santrock, 2007; 6 usia remaja berada pada rentang 12-23 tahun. Berdasarkan batasan-batasan yang diberikan para ahli, bisa dilihat bahwa mulainya masa remaja relatif sama, tetapi berakhirnya masa remaja sangat bervariasi. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan batasan usia yang dikemukakan oleh Stanley Hall karena subjek 10 penelitian merupakan mahasiswa asal Indonesia Timur yang menjalani kuliah di Yogyakarta. Masa remaja adalah masa yang ditandai oleh adanya perkembangan yang pesat dari aspek biologis, psikologis, dan juga sosialnya Santrock, 2007. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya berbagai disharmonisasi yang membutuhkan penyeimbangan sehingga remaja dapat mencapai taraf perkembangan psikososial yang matang dan adekuat sesuai dengan tingkat usianya. Kondisi ini sangat bervariasi antar remaja dan menunjukkan perbedaan yang bersifat individual, sehingga setiap remaja diharapkan mampu menyesuaikan diri mereka dengan tuntutan lingkungannya Idai, 2013. Schneiders 1951 menegaskan bahwa, individu yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya mengalami kondisi yang tertekan dan tidak dapat bertindak rasional dan efektif sehingga mengakibatkan individu tersebut dapat bertindak agresif terhadap masalah yang dihadapi. Permasalahan emosi pada masa remaja sangat menarik, sebab emosi merupakan suatu fenomena yang dimiliki oleh setiap manusia Rosenthal dalam Burdett, 2009; 99 dan pengaruhnya sangat besar terhadap aspek-aspek kehidupan lain seperti sikap, perilaku, penyesuaian pribadi dan sosial yang dilakukan Hurlock, 1955. Menurut G. Stanley Hall 1904 dalam John W. Santrock 2003, masa remaja merupakan masa dimana terjadi pergulatan yang ditandai dengan konflik dan perubahan suasana hati atau yang biasa disebut dengan istilah storm and stress. Hurlock 1955 menerangkan bahwa salah 11 satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan orang lain diluar lingkungan keluarga. Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus membuat banyak penyesuaian baru. Yang terpenting dan tersulit adalah penyesuaian diri dengan pengaruh kelompok teman sebaya agar dapat diterima dilingkungan. Rasa aman, kepercayaan, dan memberikan kebebasan untuk bereksplorasi serta menguasai lingkungan penting untuk diberikan kepada remaja agar perkembangan hidupnya menjadi sehat Erikson, 1963 dalam Burdett, 2009. Menurut Hurlock 1955 Untuk menjadikan remaja mampu berperan serta dan melaksanakan tugasnya, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat tidaklah mudah, karena masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Pada masa ini dalam diri remaja terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada fisik, psikis, maupun sosial. Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam berhubungan yang belum pernah ada dan harus menyesuaikan dengan orang dewasa diluar lingkungan keluarga. Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus banyak penyesuaian baru. Selain itu, Hill dan Jones 1997 mengatakan bahwa, dukungan sosial dari orangtua maupun kerabat sangat penting dalam 12 mengatasi masalah kecemasan dan membantu perkembangan diri remaja dalam lingkungan sosialnya. Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Pendekatan ini digunakan untuk memahami dampak sosio- psikologis yang dialami para subjek penelitian, akibat dari kekerasan etnis yang terjadi di kota Yogyakarta. Peneliti menilai bahwa pendekatan kualitatif menjadi metode penelitian yang tepat untuk memperoleh gambaran pengalaman para subjek. Melalui pendekatan kualitatif deskriptif peneliti dapat menggali secara lebih mendalam tentang dampak yang dirasakan para mahasiswa asal Indonesia Timur subjek penelitian yang menjadi korban dari fenomena kekerasan antara orang-orang Timur dengan warga Yogyakarta.

B. Rumusan Masalah