Profil Subjek HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
84
khusus bagi ibunya yang berstatus sebagai
single parent
yang saat
ini mengasuh adik bungsunya. AT memiliki hubungan yang cukup baik dengan
keluarganya, meskipun relasinya dengan sang ayah tidak begitu dekat. Orang tua AT telah bercerai sejak tahun 2002 dan sejak saat
itu ayahnya telah menikah lagi. Karena perceraiaan kedua orangtuanya, AT bersama saudara-saudaranya mengikuti sang ibu
untuk pindah kampung. Sejak saat itu, sang ibu berjuang membesarkan dan mendidik ke-empat anaknya tanpa didampingi
seorang suami. AT merasa bahwa hubungannya dengan sang ayah tidak begitu dekat sejak SD hingga SMA. Namun saat di perguruan
tinggi, AT berusaha membangun komunikasi yang baik dengan ayahnya melalui
telephone
. Hal ini disadari bahwa bagaimanapun juga menurut AT, dia tetap adalah ayahnya. Sementara itu,
hubungan AT dengan ibu dan para saudaranya sangat baik. Pola asuh orang tua dalam keluarga AT cukup disiplin.
Sejak kedua orangtuanya belum bercerai, hingga telah bercerai pola asuh disiplin dan tegas yang ditunjukan oleh orangtuanya
saat ini ibunya. Selain itu dukungan berupa motivasi dan nasehat sering diberikan oleh sang ibu kepada subyek. Walaupun sikap
yang tegas dan disiplin menjadi pedoman dalam mendidik ke- empat anaknya, AT menyadari bahwa sang ibu sangat menyayangi
85
mereka. Hal ini yang membuat AT sangat bersyukur karena diajarkan untuk hidup disiplin, dan menghargai waktu sejak kecil.
Disiplin yang ditanamkan oleh orangtua AT dapat berupa keteladanan, teguran, maupun nasehat. Dampak pola asuh tersebut
bagi AT adalah menimbulkan efek jera dan patuh terhadap orangtua. Pola asuh yang dirasakan AT setelah memasuki
perguruan tinggi adalah pola asuh yang demokrasi dan tidak otoriter.
Sejak kecil AT disekolahkan di sekolah katolik. Sebagai keluarga katolik, peran pendidikan dan agama sangat dihayatinya
dan keluarga. Sehingga orangtua AT mempercayakannya untuk bersekolah di yayasan katolik. Nilai-nilai yang diajarkan di
sekolah, juga turut membentuk watak serta kepribadian AT. Setelah Menyelesaikan SMA Sekolah Menengah Atas, AT
mendapatkan beasiswa oleh SMA Adhi Luhur yang dikelolah oleh para Pastor Serikat Yesus untuk melanjutkan Kuliah di
Yogyakarta. Saat ini, AT sedang menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Keguruan Pendidikan Matematika Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta.
86
2 Gambaran Umum Mengenai Kehidupan Subjek 1 di Yogyakarta AT
Selama tinggal di Yogyakarta, AT berusaha untuk tidak bergantung pada oranglain dan berusaha berbaur dengan warga
Yogyakarta. Sikap yang ditunjukan oleh AT adalah sikap yang ramah, terbuka dan berani untuk menyesuaikan diri dengan
masyarakat Yogyakarta. Sikap untuk menyesuaikan diri di tempat yang baru dibiasakan sejak kecil agar mandiri dan tidak bergantung
dengan oranglain. Hal ini yang membuat AT mampu bergaul dan menyesuaikan diri pada masyarakat Yogyakarta.
Dalam relasinya dengan teman-teman maupun warga setempat, AT mengaku cukup baik. Bagi AT yang terpenting
dalam menjalin relasi dengan teman-teman maupun warga dari budaya yang berbeda adalah keterbukaan diri. Dengan membuka
diri maka seseorang akan diterima, walaupun dari budaya yang berbeda. Selain itu dengan teman-teman yang berasal dari budaya
yang sama, relasi yang dibangun cukup baik. Hal ini karena prinsip AT dalam menjalin relasi adalah jika dalam relasi dengan teman-
teman dari budaya yang berbeda sudah baik, maka dengan teman- teman yang berasal dari budaya yang sama secara otomatis harus
baik dahulu.
87
Peran Budaya dari suku Mee sangat mempengaruhi AT dalam melangsungkan hidup maupun dalam berelasi dengan orang
lain. Dalam suku Mee diajarkan tiga unsur penting dalam berelasi seperti Dou yaitu melihat dengan mata, Gai yang artinya berpikir
dengan otak, dan Ekowai yaitu bekerja dengan tangan maupun kaki. Ketiga pedoman tersebut merupakan dasar dari hidup
menurut suku Mee yang dihayati oleh AT.
3 Pandangan Subjek 1 Mengenai Kekerasan Etnis di Yogyakarta AT
a Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Etnis
Sebagai mahasiswa semester akhir yang berasal dari Papua, AT melihat bahwa kekerasan antar etnis sering terjadi
karena pemahaman budaya antara etnis satu dengan yang lain berbeda. Orang Timur menganggap bahwa orang Jawa
memiliki watak yang lembut dan sopan, sedangkan orang Jawa menganggap bahwa orang Timur memiliki watak yang keras
dan emosional. Pandangan ini yang kadang menimbulkan kesalahpahaman dari dua etnis yang berbeda. Padahal belum
tentu pandangan tersebut berlaku pada semua orang Timur atau orang Jawa. Pandangan ini yang mengakibatkan antara kedua
88
budaya ini ada salah persepsi. Akibatnya kekerasan antar etnis timbul di kota Yogyakarta.
b Tanggapan Subjek Mengenai Kekerasan Etnis di Yogyakarta Sebagai orang Papua, AT memandang bahwa kekerasan
yang dilakukan oleh orang yang berasal dari Indonesia Timur secara khusus Papua, hanya dilakukan oleh segelintir orang
saja. Menurut AT tidak adil jika semua mahasiswa Papua maupun yang berasal dari Indonesia Timur dianggap
“penjahat” hanya karena kesalahan satu atau dua orang. AT memberi perumpamaan seperti suatu rak telur yang
“di dalam rak tersebut pasti ada telur yang busuk namun ada juga telur
yang masih baik ”. Namun AT juga merasa malu karena pelaku
kejahatan kadang orang yang berasal dari Timur khususnya Papua.
4 Pengalaman Diskriminasi dan Kekerasan yang Dialami Subjek 1 serta Dampak Psikologis AT
Pengalaman AT mendapat diskriminasi dan stereotype atas kekerasan yang terjadi di Yogya yaitu saat dia hendak mencari kos-
kosan. AT pernah ditolak karena berasal dari Papua dengan ciri-ciri rambut keriting dan warna kulit hitam. Perasaan sedih, jengkel dan
terpukul sangat dirasakan oleh AT ketika ditolak oleh pemiliki kos
89
pada saat itu padahal ada kamar kosong. Ada pengalaman emosional yang dirasakan AT saat bersepeda ke daerah Jawa
Timur. Di sana, AT pernah dianggap sepele oleh orang Jawa setempat setelah melihat subyek sambil menggunakan bahasa Jawa
“Ahh…wong Papua saja”. Saat mendengar kalimat ejekan yang dilontakan tersebut AT sangat emosional dan merasa minder,
namun AT berusaha tenang kembali. Perlakukan-perlakukan diskriminasi tersebut masih dialami AT maupun teman-teman yang
juga berasal dari Papua. Pengalaman lain yang dialami AT saat mendapat
diskriminasi dari warga Yogya yaitu saat AT bersama keempat adiknya diracun oleh orang yang tidak dikenal. Pengalaman
tersebut terjadi pada saat AT bersama dua saudara sepupunya yang kebetulan berasal dari suku yang sama hendak makan di warung.
Saat makan, minuman yang dipesan diberi obat. Pada saat itu, AT tidak menyadarinya bahwa minumannya diberi obat, hanya adik
sepupunya yang melihat bahwa seseorang mencampurkan obat kedalam minuman mereka. Tanpa berpikir negatif, akhirnya
mereka tetap meminumnya. Sepulangnya dari warung tersebut, mereka muntah-muntah dan merasakan sakit kepala. Untungnya
mereka cepat diobati sehingga tidak menimbulkan efek yang parah. Pengalaman diskriminasi lain yaitu saat dikos-kosan. Waktu itu
90
adik sepupu AT sedang mengingap di kosnya dan kebetulan AT sedang keluar. Saat itu memang AT tinggal bersama adik
sepupunya yang berstatus mahasiswa baru, tiba-tiba saudaranya didatangi oleh pemilik kos dan disuruh untuk membayar uang
tambahan karena menginap. Saudara Agus menerima pesan pemilik kos pada saat itu namun yang membuat AT sedih adalah
kata- kata yang dilontarkan selanjutnya oleh pemilik kos “tinggal
disini jangan membuat saya menjadi rugi” dengan nada yang
tinggi. Pernyataan ini yang membuat saudara AT maupun AT sendiri sangat kecewa dan tak berdaya. Akhirnya saat ini AT
bersama saudaranya memutuskan untuk pindah kos-kosan. Pengalaman lain yang membuat AT menjadi cemas, takut
dan tidak bebas untuk tinggal sebagai mahasiswa Papua di Yogyakarta adalah saat teman satu suku yang di pukul di
kepalanya hingga tewas oleh orang tidak dikenal. Pada saat itu, sepulang pertemuan rutin mahasiswa Papua, dua orang teman AT
meminta ijin dengan ketua asrama untuk makan. Pada saat itu sekitar jam sebelas malam setibanya di warung, kedua temannya
dipukul menggunakan sebuah benda tumpul oleh orang yang tidak dikenal. Orang yang tidak dikenal menggunakan penutup muka
sehingga tidak diketahui wajahnya. Kedua teman AT terkena pukulan yang satu di daerah kepala dan yang satu di bahunya.
91
Teman yang terkena pukulan di daerah kepala seketika itu langsung meninggal di tempat karena diperkirakan benda tumpul
tersebut mengenai otak. Sedangkan teman yang lain hanya mendapatkan memar di bahunya. Atas pengalaman tersebut, AT
merasakan sedih karena dua teman tersebut tidak pernah melakukan tindakan kriminal. Mereka adalah teman-teman yang
baik dan saat itu mereka masih berstatus mahasiswa baru. Setelah pengalaman itu, AT merasa takut dan trauma untuk keluar malam.
Perasaan sedih, takut, trauma dan tidak bebas ini membuat AT memutuskan untuk mengurangi waktu untuk berpergian apalagi di
saat malam hari, di keramaian atau tempat sepi. Perasaan takut dan cemas dirasakan AT saat berkendara sepeda gayung maupun
sepeda motor. AT takut saat sedang membawa sepeda, ada orang yang tidak dikenal yang melukainya secara tiba-tiba. Maka ketika
mengendarai sepeda motor helm dan kaca spion sangat penting bagi AT. Hal ini karena teman AT pernah di tabrak oleh truk pada
hari Minggu tahun 2012. Setelah pulang dari malam keakraban Ikatan Pelajar Suku Mee, teman tersebut hendak beribadah ke
gereja namun di jalan dia di tabrak truk.
92
5 Upaya Subjek I dalam Membentuk Pandangan Positif Warga Yogya AT
Tidak hanya secara internal, dampak eksternal dirasakan AT dalam berelasi dengan orang Jawa setempat. Akibatnya AT
semakin bertindak lebih sopan baik itu dalam bertutur kata maupun dalam menjaga sikap. Melalui tindakan-tindakan yang positif
seperti mengajar les matematika, mengikuti kegiatan-kegiatan kampus maupun organisasi diharapkan menjadi sarana untuk
membuka cara pandang warga Yogya yang menomorduakan orang Timur secara khusus Papua. Tidak hanya itu, AT pernah
mendiskusikan masalah ini dengan kepala RT setempat mengenai hal ini. Pada saat itu, AT menyampaikan bahwa tidak semua orang
Timur maupun Papua adalah orang yang jahat dan tidak seharusnya disisihkan. Harapannya melalui diskusi tersebut pandangan warga
setempat di RT tersebut berada dapat semakin positif. Dampak lain yang dirasakan oleh AT adalah penghayatan
terhadap agama semakin meningkat. Selain beribadah semakin dihayati, AT mengimbanginya dengan sikap yang ditunjukannya
kepada sesama baik itu kepada orang dari satu daerah maupun dari daerah lain. Menurut AT yang pertama harus dilakukan untuk
membuat warga Yogya tidak memandang sebelah mata orang Timur adalah melalui sikap positif dari dalam diri terlebih dahulu
93
yang ditunjukan. Misalnya menaati peraturan lalu lintas, mengenakan helm, maupun bertindak sopan di tanah rantauan.
Setelah kesadaran dimulai dari dalam diri, baru hal lain dilakukan agar menciptakan cara pandang yang positif dari warga
Yogyakarta. Sebagai mahasiswa semester akhir, AT juga sering
menasehati maupun memberi wejangan kepada adik-adik mahasiswa Papua yang baru di Yogya untuk menjaga sikap positif.
Sikap positif itu dibangun dari dalam diri misalnya tidak mengonsumsi alkohol, menaati peraturan lalu lintas, tidak
membuat kericuhan, dan membuka diri terhadap warga Yogya. Upaya yang dilakukan Komunitas Mahasiswa Papua juga
ikut andil dalam mengurangi kekerasan maupun konflik. Selain itu sering dilakukan dialog intern antar mahasiswa Papua yang
kemudian hasil dialog tersebut diberikan kepada Pemerintah Yogya untuk disikapi. Dalam komunitas Papua, dibuat suatu aturan
bagi mahasiswa agar tidak mabuk dan membuat kericuhan di Yogyakarta. Komunitas Mahasiswa Papua juga membuat tim
keamanan malam. Tim ini bertugas untuk memantau keamanan di jalan, jika mahasiswa Papua sebagai pelaku kekerasan akan
ditangkap dan diproses. Komunitas juga membuat aturan untuk dilarang keluar malam karena banyak pembunuhan yang terjadi di
94
malam hari. Aturan untuk mentaati lalu lintas seperti mengenakan helm dan kaca spion.
6 Harapan Subjek I Berkaitan dengan kekerasan Etnis di Yogyakarta AT
Harapan AT sebagai mahasiswa asal Papua yang menjalani kuliah di Yogyakarta adalah agar cara pandang antar etnis semakin
terbuka. Terbuka dalam arti kita semua baik itu orang Papua, Jawa, adalah sama warga Indonesia. Kita tetap harus saling menghargai
suku, budaya, etnis, warna kulit. Selain itu, semoga tidak adanya pandangan negatif menomorduakan terhadap orang Timur begitu
pula sebaliknya. Kesejahteraan kiranya dapat dirasakan oleh masyarakat Yogya maupun Papua.
c. Hasil Observasi AT seorang remaja yang sopan dan murah senyum, dengan
kulit berwarna coklat, rambut keriting. AT memiliki postur tubuh yang tidak terlalu tinggi, namun tegap dan agak gemuk. AT dalam
berpenampilan sangat sederhana dan sopan. Dalam aktivitas sehari- hari AT senang menggunakan baju kaos oblong atau kaos berkerah dan
senang mengenakan celana panjang. Selain itu, AT sering mengenakan sepatu sandal yang agak kusam, sehingga dia tampak sangat sederhana.
95
Sarana yang sering digunakan untuk berpergian adalah sebuah sepeda gayung. Hal ini sesuai dengan hobinya mengendarai sepeda.
Wawancara dilakukan sebanyak dua kali. Wawancara pertama dilakukan dilakukan tanggal 15 Juni 2014 di Kampus Sanata Dharma
Paingan pada pukul 10.00 WIB hingga pukul 11.30 WIB. Sedangkan wawancara kedua dilakukan tanggal 20 Juni 2014 di kantin Kampus
Sanata Dharma Mrican pada pukul 17.00 hingga pukul 17.45 WIB. Wawancara dilakukan sebanyak dua kali karena peneliti merasa masih
ada data-data yang kurang. Saat wawancara pertama, AT mengenakan baju kemeja hijau,
celana jeans dan sebuah tas ransel. Suasana kampus yang tenang karena bertepatan dengan liburan semester, membuat wawancara
berlangsung dengan lancar. Selama wawancara subjek tampak mengatupkan kedua tangannya. Sesekali AT menggerak-gerakan
tangannya. AT dan peneliti duduk di bangku kampus lantai dua fakultas psikologi, diantara meja yang saat itu digunakan peneliti untuk
meletakan alat perekam dan buku catatan. Saat wawancara kedua di kantin Mrican, suasana kampus
sedang sepi karena para mahasiswa lainnya sedang menjalani liburan semester. AT mengenakan baju kaos oblong dengan celana jeans
hitam. AT dan peneliti duduk berhadapan dengan dipisahkan sebuah
96
meja. Di atas meja itu peneliti meletakan sebuah alat perekam, sebuah pulpen dan kertas untuk mencatat.
Secara umum pada kedua proses wawancara jawaban AT tampak cukup antusias. Hal ini tampak dari jawaban-jawaban AT yang
lancar dan terkesan bahwa AT cukup terbuka. AT menjawab semua pertanyaan peneliti dengan sangat seksama. Selain itu, jawaban yang
diberikan AT tampak serius dan sungguh-sungguh sehingga tidak tampak kesan asal-asalan dalam menjawab. Sesekali dalam menjawab
AT tampak tersenyum atau ketawa. Namun secara keseluruhan proses wawancara, AT menjalaninya dengan lancar tampa hambatan.
2. Subjek 2 YD a. Identitas
Nama : YD
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat Tanggal Lahir : Dogiyai, 23 Agustus 1992
Usia : 22 tahun
Pendidikan Terakhir : SMA YPPK Adhi Luhur, Nabire
Urutan Kelahiran : Anak ke-tiga dari delapan bersaudara
Status : Mahasiswa
Hobi : Menyanyi
97
b. Hasil Wawancara
1 Deskripsi Subjek YD Subjek kedua berinisial YD. YD dilahirkan dari orangtua
yang berasal dari suku Mee di daerah pegunungan tengah Dogiai- Papua. Selain itu, keluarga YD beragama Katolik. Mata
pencaharian keluarga YD adalah berkebun. Selain itu, status ekonominya termasuk dalam golongan bawah. Dalam keluarganya,
YD merupakan anak ke-tiga dari delapan bersaudara. Ayah, ibu dan ketujuh saudaranya tinggal di Kota Nabire. Saat ini YD
menjalani pendidikan di Fakultas Ekonomi Akutansi Universitas Teknologi Yogyakarta UTY.
YD memiliki hubungan yang cukup baik dengan keluarganya. Pola asuh orang tua dalam keluarga YD demokratis.
Sikap yang sering ditunjukan ayah dan ibunya dalam membimbing yaitu dengan memberikan nasehat dan contoh kepada anak-anak.
YD menilai bahwa sang ayah memiliki sifat lebih pendiam daripada ibu. Dalam mendidik YD dan para saudaranya, peran Ibu
lebih dominan. Sang ibu lebih sering mengarahkan dan membimbing kedelapan anaknya dibanding sang ayah. Peran ayah
selain sebagai kepala keluarga, beliau juga mencarikan nafkah di kantor desa sebagai karyawan.
98
Sejak kecil YD disekolahkan di sekolah katolik. Sebagai keluarga katolik, orangtua YD mempercayakannya untuk
bersekolah di Yayasan Katolik. Ilmu serta nilai-nilai yang diajarkan di sekolah, juga turut membentuk watak serta
kepribadian YD. Setelah Menyelesaikan SMA Sekolah Menengah Atas, YD mendapatkan beasiswa oleh SMA Adhi Luhur yang
dikelola oleh pastor-pastor Serikat Yesus untuk melanjutkan Kuliah di Yogyakarta. Pada saat itu, YD dihadapkan pada dua
pilihan dalam memilih tempat kuliah. Satu di Jakarta, dan satu di Yogyakarta. Saat itu, dua Kota ini dianggap memiliki perguruan
tinggi yang cukup baik. Dengan mempertimbangkan biaya hidup yang lebih murah, maka YD memutuskan untuk melanjutkan
kuliah di Yogyakarta.
2 Gambaran Umum Mengenai Kehidupan subjek 2 di Yogyakarta YD
Dalam relasinya dengan teman-teman maupun warga setempat, YD mengaku cukup baik. Pada awal tinggal di kos-
kosan, YD belajar untuk berbaur dengan teman-teman yang berasal juga dari beberapa daerah seperti Pekalongan, Pati, Purwokerto,
dan Muntilan. Teman-teman kos YD semuanya satu angkatan dengannya sehingga kedekatan mereka cukup erat. Selain karena
99
faktor usia yang rata-rata sama, teman-temannya juga merupakan mahasiswi yang merantau dari daerahnya masing-masing.
Kebersamaan diantara YD dan teman-temannya terwujud dalam kegiatan kebersamaan seperti belajar bersama, makan bersama, dan
kegiatan kebersamaan lainnya. Walaupun demikian, para teman- teman kos YD juga menciptakan suasana yang tenang ketika
belajar di kamarnya masing-masing. Kesan yang YD dapatkan setelah berbaur dengan teman-temannya kosnya adalah, pada
umumnya mereka baik dan memiliki sikap disiplin khususnya dalam mengatur waktu. Hal ini yang membuat teman-temannya
unggul dalam belajar dan juga sering mendapatkan hasil yang baik dalam perkuliahan. Kegiatan umum yang dilakukan oleh YD dan
teman-temannya adalah di kos dan kampus. Di kampus, YD juga sering mengikuti organisasi atau kegiatan kepanitiaan lainnya.
Hubungan pertemanan YD dengan dengan teman-teman yang berasal dari Papua cukup dekat walaupun jarang berjumpa
dengan mereka. YD mengaku bahwa kesehariannya lebih banyak dengan teman-teman kosnya. Teman-teman yang berasal dari
Papua juga kadang berkunjung ke kosnya. Selain itu YD mengaku bahwa teman-teman kos yang berasal dari Papua lebih banyak laki-
laki ketimbang perempuan.
100
Pada awal YD menyesuaikan diri dengan Budaya Yogya, YD merasakan cukup bingung khususnya dalam kebiasaan sehari-
hari orang setempat. Kebingungan yang pernah dialami YD adalah suatu saat teman kosnya pamit untuk makan dengan melontarkan
kata “mari makan”. Seketika itu juga YD secara spontan bergabung makan dengan temannya tersebut. YD tidak menyadari bahwa
pernyataan “mari makan” hanya sebagai suatu tanda untuk ijin makan. Baru setelah itu YD menyadari melalui penyesuaian diri
dengan teman-temannya bahwa pernyataan tersebut hanya ijin bukan mengajak orang untuk makan bersama. Selama berbaur
dengan teman-teman kosnya, YD banyak belajar tentang kesopanan dan cara berinteraksi yang ditekankan oleh orang Jawa.
Karena dekat juga dengan anak dari pemilik kos, YD banyak bertanya mengenai kebiasaan-kebiasaan orang setempat khususnya
dalam bersikap yang baik. Sikap-sikap baik yang telah dipelajari YD, diterapkan dalam kesehariannya misalnya dalam menyapa
tetangga dilingkungan RT yang kebetulan telah mengenal YD. Walaupun YD kurang paham dalam menanggapi teman atau
kerabat yang menggunakan bahasa Jawa, namun YD tetap memberikan
perhatian kepada
orang tersebut
dengan mendengarkan. Yang terutama dalam berelasi menurut YD adalah
inisiatif untuk menyesuaikan diri dan berbaur.
101
3 Pandangan Subjek 2 Mengenai Kekerasan Etnis di Yogyakarta YD
a Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Etnis Sebagai mahasiswi semester akhir yang berasal dari
Papua, YD melihat kekerasan antar etnis sering terjadi karena kelalaiaan orang Timur. Orang Timur yang tinggal di kota
asalnya, pada awalnya sulit untuk membeli minuman keras karena biaya hidup tinggi. Sedangkan ketika merantau ke
Yogya, biaya hidup yang murah membuat orang Timur membeli banyak minuman keras, senang-senang
dan dampaknya membuat keributan. Walaupun demikian bagi YD,
tidak semua orang Timur dikategorisasikan sebagai pemabuk atau pembuat keributan hanya orang-orang tertentu saja.
Menurutnya karena hal-hal sepele ini, orang Jawa membuat pandangan bahwa pada umumnya orang Timur baik itu Papua
maupun NTT memiliki sikap yang buruk. Akhirnya pandangan ini menjadi pemicu dalam suatu bentuk konflik-konflik di
Yogyakarta. Kebiasaan yang dibangun oleh dua budaya baik itu
Papua dan Jawa sangat berbeda. Perbedaan ini kadang yang dijadikan sumbu konflik dan kekerasan antar dua kelompok.
Misalnya pada bahasa dan intonasi dalam berbicara. Orang
102
Timur memiliki intonasi yang tinggi, sedangkan orang Jawa intonasi dalam berbicara sangat halus. Kadang ketika orang
Timur sedang berbicara, orang Jawa mengganggap bahwa orang Timur sedang marah, padahal memang gaya berbicara
orang Timur memiliki intonasi yang tinggi. Kondisi emosi orang Timur saat berbicara juga dalam kondisi yang normal.
Teman-teman YD juga pernah mengeluhkan hal ini “kamu
ngomong membuat saya kaget” atau “suara temanmu itu besar sekali loh..menakutkan
”, “tolong suaranya agak dikurangi”. Perbedaan yang sebenarnya harus menyatukan, bagi YD hal-
hal ini yang mengakibatkan hancurnya keberagaman dan dapat menimbulkan konflik. YD menekankan bahwa intonasi yang
tinggi bukan karena orang Timur marah atau kasar melainkan kebiasaan dalam berbicara orang Timur. YD memberikan
contoh, romo paroki di Papua adalah orang Jawa, dan gaya berbicaranya sangat halus. Orang Papua yang mendengarkan
merasa lucu. Menurut YD perbedaan persepsi mengenai gaya berbicara juga mengakibatkan timbulnya konflik. YD sudah
dapat menyesuaikan dalam berbicara dengan mengurangi intonasi.
103
4 Pengalaman Diskriminasi dan Kekerasan yang Dialami Subjek 2 serta Dampak Psikologis YD
Sebagai orang Papua, YD merasakan perasaan yang sedih saat orang Jawa memandang bahwa atas kesalahan satu dua orang
Timur, semua orang Timur jahat atau patut disisihkan. Misalnya saat mencari kos-kosan, orang Timur sangat susah di terima.
Padahal di kos tersebut tertulis menerima kos putri dan masih ada kamar yang kosong. YD menganggap bahwa keberagaman baik itu
warna kulit, rambut bahasa dan sebagainya yang kita miliki sebagai bentuk ciri khas Indonesia, namun apa salahnya
„kami‟ sebagai orang Timur yang mau menuntut kuliah di Yogya dan dianggap
kalangan nomor dua. Diskriminasi juga pernah dialami YD saat kuliah dimana saat YD menerima KHS kartu hasil studi, nilai
yang didapatkan cukup memuaskan. Dosen pembimbing pada saat itu melihat hasil studi YD yang baik, dan melontarkan pernyataan
kepada teman-temannya yang lain, “masa orang Papua lebih bisa
dari kalian yang lain ”. Seketika itu, YD mengatakan kepada dosen
tersebut bahwa soal kepintaran bukan ditentukan oleh orang suku atau warna kulit melainkan dari usaha. Perasaan YD sedih tidak
terima dan kecewa menerima perlakuan orang Jawa khusunya Yogyakarta yang bersikap diskriminasi dan menganggap orang
Timur bodoh, dan sering membuat kekerasan.
104
YD mempunyai pengalaman tentang temannya yang dibunuh oleh orang tidak dikenal. Pada saat itu, sepulang
pertemuan rutin mahasiswa Papua, dua orang teman YD meminta ijin dengan ketua asrama untuk makan. Pada saat itu sekitar jam
sebelas malam setibanya di salah satu warung di nol kilometer Yogya, kedua temannya dipukul menggunakan sebuah benda
tumpul oleh orang yang tidak dikenal. Orang yang tidak dikenal menggunakan penutup muka sehingga tidak diketahui wajahnya.
Kedua teman YD terkena pukulan yang satu di area kepala dan yang satu di bahunya. Teman yang terkena pukulan di area kepala
seketika itu langsung meninggal di tempat karena diperkirakan benda tumpul tersebut mengenai otak. Sedangkan teman yang lain
hanya mendapatkan memar di bahunya. Masalah ini telah diserahkan ke tangan KAPOLDA untuk ditindaklanjuti. Masalah
ini menurut YD sudah semakin berdampak pada pelanggaran HAM. Suatu kasus lagi pembunuhan mahasiswi Papua asal kota
Sorong yang dibuang di rel kereta API. Berdasarkan pengalaman dari YD dan teman-temannya hampir setiap tahun ada korban asal
Indonesia Timur yang meninggal akibat konflik etnis. Dari kejadian-kejadian diskriminasi yang terjadi kepada
orang Timur khususnya orang Papua, dibentuklah suatu organisasi yang bertujuan untuk membuat keberadaan orang Timur dapat
105
diterima di Yogyakarta. Organisasi ini bernama Ikatan Pelajar dan Mahasiswa
Papua IPMAPA.
Presiden IPMAPA
telah menyampaikan kepada KAPOLDA dan Pemerintah Yogya untuk
menghimbau agar bagi pelaku kekerasan yang berasal dari Papua diadili dengan hukum yang benar, namun tidak menyamaratakan
pelaku kekerasan dengan mahasiswa-mahasiswi Papua lain yang tidak tahu menahu soal kekerasan itu. Begitu pula sebaliknya jika
orang Jawa yang melakukan kekerasan hingga melanggar HAM, sebaiknya ditindaklanjuti dengan adil. Jika dalam media ada berita
mengenai kekerasan yang dilakukan orang Papua maka, berita tersebut sebaiknya memberitakan tentang individu bukan suku
yang mewakilinya. Pengalaman-pengalaman mengerikan di atas, membuat YD
merasa trauma hingga membuat YD takut untuk keluar di malam hari. Selain itu YD merasa kecewa, sedih dan tertekan tinggal di
Yogyakarta. Dengan jumlah mahasiswa Papua korban kekerasan yang semakin bertambah, YD merasakan perasaan-perasaan
tersebut. Hampir setiap tahun, asrama Papua menerima jenasah yang dibunuh akibat kekerasan etnis di Yogya. YD berharap Sultan
memiliki peran yang besar untuk menciptakan suasana damai.
106
4. Upaya Subjek 2 dalam Membentuk Pandangan Positif Warga
Yogya YD Dari pengalaman kekerasan dan diskriminasi yang
dialaminya, YD membuat tindakan-tindakan positif yang bertujuan untuk mengubah pola prasangka orang Jawa terhadap mahasiswa
Papua. Misalnya mulai dari teman-teman dekat dan teman-teman di kampus, YD memberitahukan bahwa kami orang Papua tidak
semua jahat. Kami punya hati dan tidak semua adalah sumber dari kekerasan, maka diharapkan kepada teman-temannya untuk
menerima orang Timur khususnya Papua sebagai kaum minoritas. Namun ada teman-teman yang mengerti ada juga teman-teman
yang malah menjauhi. Contohnya ketika pembagian kelompok, teman-teman YD memilih untuk berkelompok dengan teman-
teman lain yang berasal dari Jawa. Karena tidak ada yang mau bergabung, YD membentuk kelompok belajar yang anggotanya
berasal dari Indonesia Timur. Namun YD tetap mau membaur dengan teman-temannya tadi. Malahan setelah teman-temannya
mengenal YD, mereka jadi lebih dekat dengannya. Selain itu, YD juga sering memberi pesan, nasehat kepada adik-adik mahasiswa
baru asal Papua untuk bertindak baik dan mau untuk menyesuaikan diri di Yogyakarta. Program dari organisasi juga dibuat untuk
memberi pemahaman tentang cara hidup di Yogyakarta.
107
5. Harapan Subjek 2 Berkaitan dengan Kekerasan Etnis di
Yogyakarta YD Harapan YD kedepan adalah, orang Timur dapat
menyesuaikan diri dengan kebiasaan di Yogya sehingga tidak menimbulkan masalah. Selain itu semoga warga Jawa tidak
menyalahkan semua mahasiswa Timur khususnya Papua yang tinggal Yogyakarta. Dan antara warga Jawa dan Papua dalam
saling menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing.
c. Hasil Observasi YD merupakan seorang remaja putri asal Papua yang tampak
pendiam namun cukup hangat, dengan kulit berwarna coklat, rambut keriting. YD memiliki postur tubuh yang tidak terlalu tinggi, dan agak
gemuk. YD dalam berpenampilan sangat sederhana dan sopan. Gadis berkacamata ini memiliki tutur kata yang sopan dan halus. Selama
wawancara, YD mengenakan baju kaos yang dibaluti jaket dan celana jeans. Pada awal berjumpa dengan YD kesan yang penulis lihat adalah,
YD merupakan anak yang pendiam namun pada kenyataannya YD cukup terbuka dan ramah.
Wawancara dilakukan sebanyak dua kali. Wawancara pertama dilakukan dilakukan pada tanggal 25 Juni 2014 di kantin Kampus
108
Sanata Dharma Mrican pada pukul 10.00 WIB hingga pukul 11.30 WIB. Sedangkan wawancara kedua juga dilakukan tanggal 27 Juni
2014 di kantin Kampus Sanata Dharma Mrican pada pukul 17.00 hingga pukul 17.45 WIB. Wawancara dilakukan sebanyak dua kali
karena peneliti merasa masih ada data-data yang kurang. Saat wawancara pertama, YD mengenakan baju kaos putih
yang ditutupi jaket ungu, dan mengenakan celana jeans. YD dan peneliti duduk di bangku kantin. Pada saat itu kampus sedang sepi
karena para mahasiswa lainnya sedang menjalani liburan semester. YD dan peneliti duduk berhadapan dengan dipisahkan sebuah meja. Di atas
meja itu peneliti meletakan sebuah alat perekam, sebuah pulpen dan kertas untuk mencatat.
Saat wawancara kedua YD mengenakan baju kaos kuning yang ditutupi jaket ungu dan celana jeans hitam. Pada pertemuan kedua YD
tampak dekat dengan peneliti, sikapnya sangat ramah. Saat pertama datang, YD yang pertama berinisiatif untuk menjabat tangan peneliti.
YD dan peneliti duduk di bangku yang sama saat wawancara pertama berlangsung. Di atas meja peneliti tetap meletakan sebuah alat
perekam, sebuah pulpen dan kertas untuk mencatat. Secara umum kedua proses wawancara berlangsung dengan
lancar. Jawaban-jawaban YD saat pertemuan kedua lebih yang lancar karena antara peneliti dan YD semakin akrab. Ketika diberikan
109
pertanyaan-pertanyaan wawancara, YD tampak menyimak dengan seksama. Kadang tampak dahinya di kerutkan dan matanya semakin
fokus menyimak. Selama proses wawancara tangan dikatupkan di atas meja. YD menjawab semua pertanyaan peneliti dengan sangat
seksama. Selain itu, jawaban yang diberikan YD tampak serius dan sungguh-sungguh sehingga tidak tampak kesan asal-asalan dalam
menjawab. Sesekali dalam menjawab YD tampak tersenyum atau ketawa. Walaupun saat wawancara pertama YD tampak agak ragu-
ragu dalam menjawab namun secara keseluruhan proses wawancara berjalan dengan lancar tampa hambatan.
110
3. Subjek 3
a. Identitas Nama
: AS Jenis Kelamin
: Laki-laki Tempat Tanggal Lahir
: Los Palos, 14 Januari 1991 Usia
: 23 tahun Pendidikan Terakhir
: SMA Urutan Kelahiran
: Anak ke-dua dari kelima bersaudara Status
: Mahasiswa Hobi
: Pelayanan, bermain game, jalan-jalan
b. Hasil Wawancara 1 Deskripsi Subjek
Subjek ketiga bernama AS. AS dilahirkan dari orangtua yang berasal dari dua suku yang berbeda. Ayah AS berasal dari
Flores Manggarai sedangkan ibu berasal dari Timor Timur. Selain itu, keluarga AS beragama Katolik. pekerjaan dari ayah adalah
sebagai Polisi sedangkan ibu adalah ibu rumah tangga. Selain itu, status ekonominya termasuk dalam golongan menengah. Dalam
keluarganya, AS merupakan anak ke-dua dari lima bersaudara. Ayah, dan ibu berada di Maumere, sedangkan kakak tertua serta
ketiga saudaranya saat ini tinggal di Manggarai bersama nenek
111
untuk menjalani sekolah. Kakak pertamanya telah bekerja, dan akan menikah sedangkan adik ketiga kuliah, yang keempat di SMA
dan yang bungsu masih SMP. Saat ini AS menjalani pendidikan di fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma USD.
AS memiliki hubungan yang cukup baik dengan keluarganya. Walaupun AS merantau di Yogyakarta, namun AS
dan orangtua sering berkomunikasi lewat
telephone
. AS merindukan orangtua dan saudara-saudaranya di Flores. Begitu
pula orangtua dan saudaranya yang sering menanyakan kapan AS dapat pulang ke Flores. Sejak kecil sekitar umur 3 tahun, AS
bersama kakaknya diasuh oleh nenek dan tantenya di flores. Hal ini yang membuat kedekatan AS dengan kakak pertama sangat dekat.
Sementara orangtua AS dan ketiga adiknya saat itu berada di Timor Timur. Ketika SMA AS bersekolah di asrama Seminari dan
kuliah di Yogyakarta membuat AS jarang berjumpa dengan orangtua dan ketiga adiknya. Kurangnya intensitas perjumpaan
antara AS dan orangtuanya sejak kecil tidak menyurutkan kerinduannya untuk berjumpa dengan orangtua dan para
saudaranya. Sikap yang sering ditunjukan ayah dan ibu dalam
membimbing AS yaitu selain berperan sebagai orangtua yang mendidik dan memberi teladan, kedua orangtuanya bersikap
112
sebagaimana teman. AS menilai bahwa sang ayah memiliki sifat lebih pendiam daripada ibu, hal ini karena menurut AS profesi
ayahnya sebagai seorang polisi. Namun sikap ayah yang pendiam, justru mengajarkan banyak hal kepada subjek. AS banyak belajar
dari sikap dan tindakan ayahnya. Prinsip ayah yang selalu diingat dan tertanam dalam diri AS
adalah “ketika dilahirkan saya menangis dan orang lain tertawa, sedangkan ketika saya meninggal
oranglain menangis sedangkan saya tertawa”. Prinsip ini mengajarkan agar dalam hidup kita harus senantiasa berbuat baik
kepada semua orang tanpa memandang latarbelakang suku, budaya dan lain sebagainya. Selain itu sikap ayah yang sangat menghargai
keputusan dan perkembangan anak membuat AS bangga terhadap ayahnya. AS merasa bangga dengan ayahnya walaupun jarang
berkomunikasi dengan ayahnya. AS juga menilai sang ibu sangat berperan besar dalam keluarganya. Walaupun sikap ibu cerewet
namun, rasa sayang ibu sangat besar. Sang ibu sangat mengerti kondisi AS dalam kondisi apapun dengan mengarahkan anak-
anaknya menjadi pribadi yang lebih dewasa.
113
2 Gambaran Umum Mengenai Kehidupan Subjek 3 di Yogyakarta AS
Dalam relasinya dengan teman-teman maupun warga setempat, AS mengaku cukup baik. AS berusaha menjalin relasi
yang terbuka dengan siapapun tanpa memandang suku tertentu meskipun kadang AS lupa dengan nama teman-temannya. Sikap
yang terbuka dalam menjalin relasi menjadi prinsipnya walaupun, saat kecil AS sudah merasakan diskriminasi dari teman-temannya.
Saat berpindah dari Timor Timur ke Flores, AS menjalin pertemanannya dengan anak-anak Flores. Saat itu teman-temannya
menganggap AS sebagai pendatang walaupun AS memiliki darah Flores dari ayahnya. AS merasa bingung harus memiliki identitas
budaya yang mana. Pernah AS menjadi korban pengeroyokan teman-temannya di Flores karena bukan orang Flores. Saat AS
mempelajari bahasa Manggarai Flores, AS dianggap tidak pantas karena pendatang orang Timor-timur.
Saat berada di Timor-timur AS melihat bahwa orang Timor-timur pada saat itu menganggap orang Indonesia sebagai
penjajah atau dalam sebutan mereka “Javanice”. Ayahnya yang adalah orang Flores, pada saat tinggal di Timor-timur juga
mendapat perlakuan diskriminasi dari warga Timor-timur. Pengalaman diskriminasi dan kondisi diskriminasi yang dialami
114
AS sejak kecil membuatnya belajar dewasa dalam berelasi khususnya dengan budaya yang berbeda.
Pada awal tinggal di Yogyakarta, AS belajar untuk menyesuaikan diri dengan budaya setempat. Pengalaman
diskriminasi yang terjadi di masa lalu, membuat AS belajar untuk menyesuaikan diri di Yogyakarta. AS melihat, pada awal tinggal di
kos, warga setempat tidak begitu dekat dengannya. Karena jarak dari kos ke kampus cukup dekat, AS setiap harinya berjalan kaki
ke kampus. Dalam keseharian itu, AS berusaha tersenyum dan menyapa warga sekitar yang dijumpainya. Sesekali AS bersama
bapak-bapak dan pemuda setempat bermain pimpong dan hal ini membuat mereka semakin akrab. Perjumpaaan yang intens dengan
warga setempat membuatnya akhirnya merasa diterima. Prinsip AS adalah dimana dia berada disitu dia berbaur dan menyesuaikan diri
dengan senyuman. Hubungan pertemanan AS dengan dengan teman-teman
yang berasal dari Flores cukup dekat. AS mengaku bahwa kesehariannya lebih banyak dengan teman-teman komunitas San
Egidio. Komunitas ini dominan beranggotakan mahasiswa dari Flores. Namun bukan berarti kedekatan dengan teman-teman
Flores membuatnya tidak menjalin relasi yang hangat dengan orang Jawa.
115
Hubungan AS dengan teman-teman dari suku lain juga baik. Di kampus banyak teman-temannya yang berasal dari suku
dan daerah di luar pulau Jawa. AS menjaga kedekatan diantara pertemanannya dengan baik termasuk dengan teman-teman yang
berasal dari Jawa. Hingga temannya yang dulunya adalah musuh, sekarang berteman sangat baik dengannya.
3 Pandangan Subjek 3 Mengenai Kekerasan Etnis di Yogyakarta AS
a Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Etnis AS melihat bahwa kekerasan antar etnis yang sering
terjadi karena kurangnya pemahaman orang Jawa setempat maupun orang Timur dalam melihat kedua latarbelakang
budaya yang berbeda. Misalnya orang Jawa melihat bahwa orang Timur memiliki raut wajah yang menunjukan orang
Timur sebagai orang keras, emosian, dan suka marah. Namun pada kenyataannya dibalik wajah yang garang, hatinya lembut
dan baik. Pada umumnya orang Timur memiliki hati yang lembut karena kedekatan mereka sangat kuat dengan sosok ibu.
Sehingga sifat mereka sebenarnya berperasaan. Kelemahan orang Timur berada di hati mereka. Akhirnya karena salah
persepsi dari warga setempat, kebiasaan-kebiasaan orang Timur
116
dibawa ke Yogyakarta seperti mabuk-mabukan dan sebainya. Namun sebenarnya di Yogya, orang Timurlah yang harus
menyesuaikan diri terlebih dahulu dan mengikuti aturan setempat. Bukan menuntut orang Jawa yang harus berubah.
4 Pengalaman Diskriminasi dan Kekerasan yang Dialami Subjek 3 serta Dampak Psikologis AS
Perbedaan antara individu dapat menimbulkan diskriminsi. Diskriminasi ada pada setiap individu misalnya berbeda rambut,
kulit, kepribadian semuanya dapat menimbulkan diskriminasi. Namun yang terpenting melihat apa kesamaan bukan perbedaan.
Ketika orang melihat perbedaan disitulah diskriminasi. Perasaan yang dirasakan AS saat terjadi diskriminasi bagi
dirinya maupun teman-teman yang berasal dari Timur adalah perasaan sakit, sedih, cemas, tertekan, tidak bebas. Apalagi saat
timbul kekerasan atau keributan yang dilakukan oleh orang Timur perasaan-perasaan tersebut menghantui. Perasaan malu ketika
orang Timur menjadi pelaku keributan juga dirasakan oleh AS. Namun AS menyadari bahwa orang Timur juga memiliki
kesalahan dengan membuat keributan di Yogya. AS tidak ingin perasaan sakit dan sedih mengalahkan dan mengendalikan dirinya.
Sebagai orang Timur, kita harus tahu diri tinggal di tanah orang.
117
Misalnya jika mengonsumsi minum-minuman keras, sebaiknya di dalam kamar bukan di luar rumah yang akhirnya dapat memicu
timbulnya kekerasan. Bila perlu kebiasaan minum-minuman beralkohol dihilangkan. AS tidak dapat mengubah pandangan
karena memang sebagai orang Timur kita juga tidak menyesuaikan diri dengan baik. Sekarang sikap positif itu yang harus dibangun.
Pengaruh kekerasan yang berdampak pada kondisi psikologis AS, mempengaruhi dirinya dalam menjalani pendidikan
di Yogyakarta. Misalnya studinya menjadi lama. Karena perasaan tidak tenang dan bebas di Yogyakarta menghantuinya.
5 Upaya Subjek 3 dalam Membentuk Pandangan Positif Warga Yogya AS
Sebagai orang Timur, AS menunjukan sikap yang positif dalam berelasi kepada warga Jawa lewat tindakan. Misalnya AS
memberikan senyuman,
sapaan dan
memulai dalam
berkomunikasi. Kebiasaan yang baik akan dilihat oleh orang Jawa dan mereka juga akan menilai secara positif sikap kita. Sikap ini
juga sebagai bentuk teladan saat AS bersama dengan teman-teman yang berasal dari Timur.
Dalam komunitas San Egidio, AS memberikan pelayanan kepada anak-anak jalanan. Dari pelayanan tersebut, AS belajar
118
membuka diri tanpa memandang apapun. Perubahan diri dan upaya untuk melayani anak-anak jalanan sebagai bentuk kesaksian hidup
bahwa AS sebagai orang Timur memiliki semangat untuk melayani anak-anak yang berasal dari Jawa tanpa memandang perbedaan
yang ada. Sikap tulus untuk membuka diri dan membantu warga dan anak-anak jalanan merupakan pelayanan kita sebagai satu
saudara. Ketika kita merasa bahwa semua adalah saudara, tidak ada lagi perbedaan dimata kita.
Dari kejadian-kejadian diskriminasi yang terjadi kepada orang Timur, AS mengikuti komunitas San Egidio. Dalam
komunitas ini, AS mencoba melayani anak-anak, para lansia dan orang-orang yang tidak diterima di masyarakat. AS belajar untuk
mensyukuri hidup. Rasa syukur itu timbul karena AS menyadari bahwa masih banyak orang yang hidup dalam kesusahan namun
mereka masih bisa berdiri dan tersenyum. Anak-anak di jalanan, kakek nenek lansia yang menerima AS sebagai saudara tanpa
memandang perbedaan membuat AS belajar akan Kasih. Hal ini menguatkan AS meskipun dia adalah minoritas. Bersama teman-
teman komunitas, AS belajar arti kasih, dan pluralitas harus ditegakan. Agar Yogyakarta menjadi rumah bagi siapapun yang
datang.
119
6 Harapan Subjek 3 Berkaitan dengan kekerasan Etnis di Yogyakarta AS
Harapan AS tinggal di Yogyakarta adalah ingin agar kota ini dapat menjadi rumah bagi siapapun yang datang. Dengan
menjadi rumah kita dapat menjadi saudara. Sehingga kemanapun AS berada, perasaan nyaman itu yang dirasakan.
c. Hasil Observasi
AS merupakan seorang remaja Putra asal Flores yang tampak ramah dan murah senyum, cukup hangat, dengan kulit berwarna sawo
matang, rambut keriting. AS memiliki postur tubuh yang tidak terlalu tinggi, dan kurus. Pada saat dijumpai di rumah komunitas San Egidio,
AS memiliki penampilan sangat sederhana dengan mengenakan celana pendek dan kaos oblong. Sebelumnya AS membersihkan halaman
sehingga penampilan sederhana yang tampak. AS memiliki tutur kata yang sopan namun kadang intonasinya tinggi. Selama wawancara,
pakaiaan yang dikenakan adalah pakaiaan saat dia bekerja. Karena peneliti sudah cukup lama mengenal subjek, kedekatan yang dirasakan
cukup kental antara subjek dan peneliti. Hal ini yang membuat AS terbuka dan tidak canggung ketika menjawab pertanyaan dari subjek.
Wawancara dilakukan selama dua kali. Wawancara pertama dilakukan tanggal 4 Juli 2014 pukul 17.30 sampai pukul 18.30 WIB.
120
Sedangkan wawancara kedua berlangsung pada tanggal 8 Juli 2014 pukul 19.00 hingga 19.30 WIB. Wawancara dilakukan sebanyak dua
kali karena peneliti merasa masih ada data-data yang kurang. Kedua proses wawancara dilakukan di rumah komunitas komunitas San
Egidio Seturan Wawancara pertama dan kedua dilakukan di di ruang tamu
rumah komunitas. Saat wawancara pertama tampak suasana sedang sepi karena anggota komunitas lainnya sedang berada di kos-kosannya
masing-masing. AS dan peneliti duduk berhadapan dengan dipisahkan sebuah meja. Di atas meja itu peneliti meletakan sebuah alat perekam,
sebuah pulpen dan kertas untuk mencatat. Pada akhir-akhir wawancara, AS mengajak subjek untuk melanjutkan wawancara di
taman depan karena sekitar jam 19.00 WIB akan diadakan doa rutin komunitas. Saat itu sudah menunjukan pukul 18.20 WIB.
Secara proses wawancara, Alo tampak cukup antusias. Hal ini tampak dari jawaban-jawaban AS yang lancar. Namun ketika diberikan
pertanyaan-pertanyaan wawancara, yang berkaitan dengan kekerasan AS tampak memberikan jawaban yang bertele-tele. Selain itu selama
proses wawancara AS tampak menyimak dengan seksama. Kadang tampak dahinya di kerutkan dan matanya semakin fokus menyimak.
Selama proses wawancara kaki AS disilakan di atas bangku. AS menjawab semua pertanyaan peneliti dengan sangat seksama walaupun
121
ada yang diulang-ulang. Selain itu, jawaban yang diberikan AS tampak serius dan sungguh-sungguh sehingga tidak tampak kesan asal-asalan
dalam menjawab. Sesekali dalam menjawab AS tampak tersenyum atau ketawa. Namun secara keseluruhan proses wawancara, Yosi
menjalaninya dengan lancar tampa hambatan.
4. Subjek 4
a. Identitas Nama
: MR Jenis Kelamin
: Laki-laki Tempat Tanggal Lahir
: Bajawa, 15 Agustus 1991 Usia
: 23 tahun Pendidikan Terakhir
: SMA Urutan Kelahiran
: Anak ke-tiga dari tiga bersaudara Status
: Mahasiswa Hobi
: Bermain sepakbola, berorganisasi
b. Hasil Wawancara 1 Deskripsi Subjek
Subjek keempat berinisial MR. MR dilahirkan dari orangtua yang berasal dari suku Bajawa Flores. Ayah MR berasal
dari Flores Bajawa dan ibunya juga berasal dari Bajawa, sebuah
122
daerah yang berada di tengah-tengah pulau Flores. Keluarga MR beragama Katolik. Pekerjaan dari ayah adalah sebagai Pegawai
Negeri Swasta yang sekarang telah pensiun di Bajawa. Sedangkan ibu adalah seorang ibu rumah tangga yang sekarang telah
almarhumah. Selain itu, status ekonominya termasuk dalam golongan menengah. Dalam keluarganya, MR merupakan anak
bungsu dari tiga bersaudara. Ayah, dan kedua saudaranya berada di Bajawa. Kedua kakaknya telah berkeluarga dan sedang berkerja di
Bajawa. MR memiliki hubungan yang cukup baik dengan
keluarganya. Dalam menjalin relasi dengan keluarganya, MR berkomunikasi lewat
telephone
. Saat ini ayahnya merupakan
single parent
karena sang ibu telah meninggal dunia. Kedekatannya dengan saudara-saudaranya cukup dekat walaupun saat ini
saudaranya telah bekerja dan berkeluarga.
2 Gambaran Umum Mengenai Kehidupan Subjek 3 di Yogyakarta AS
Relasi MR dengan teman-teman dari budaya Flores yang tinggal di Yogyakarta cukup dekat, walaupun MR jarang berjumpa
dengan mereka. Hal ini karena aktifitas MR lebih banyak melayani di komunitas San Egidio. Kalaupun berjumpa, MR tetap menyapa
123
dan menegur mereka. Karena mereka telah mengetahui bahwa MR dari Flores dan termasuk lama tinggal di Yogyakarta maka, kadang
adik-adik mahasiswa baru datang berkunjung padanya dan menyapa terlebih dahulu. MR jarang berelasi dengan mereka juga
dikarenakan, karena MR berpikir bahwa sudah saatnya adik-adik dari Flores membangun relasi tidak hanya dengan teman-teman
satu suku melainkan berbaur dengan warga maupun mahasiswa- mahasiswa dari Jawa. Tujuannya agar mereka dapat melihat secara
lebih dekat keberagaman dimana sikap saling menghargai itu dirasakan oleh adik-adik dari Flores. Namun bukan berarti MR
menutup diri terhadap adik-adik Flores. Perjumpaan dengan saudara-saudara dari Flores sebagai bentuk jalinan relasi yang
mengingatkannya akan tanah kelahiran sehingga membuatnya tidak lupa dengan keluarganya di Flores.
3 Pandangan Subjek 4 Mengenai Kekerasan Etnis di Yogyakarta M a Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Etnis
Sebagai mahasiswa yang tinggal di Yogyakarta hampir sebelas tahun, membuat MR memandang bahwa Yogyakarta
adalah kota yang memiliki predikat yang cukup baik dalam hal keberagaman dan Pluralitas. Dengan beraneka budaya dan suku
dari para mahasiswa yang ada di Yogyakarta, membuatnya
124
memberikan rasa salut terhadap kota Yogya. Setiap suku, budaya dan agama ada di kota Yogyakarta dan setiap orang
saling menghargai keberagaman tersebut. Namun menurut MR, memang ada beberapa kelompok yang menjadi provokator
dibalik kekerasan yang terjadi. Pada tahun-tahun 2012 ke bawah, ada kasus-kasus kekerasan yang terjadi namun tidak
mencuat seperti saat ini. Misalnya saja kasus di LP Cebongan dan
pembunuhan-pembunuhan yang
pemberitaannya mengangkat etnis, agama tertentu sebagai biang kerok. Tahun
2013 dan 2014 Yogyakarta tampak keluar dari simbol keberagaman karena kasus-kasus kekerasan etnis. Penerimaan
masyarakat masih ada, namun mereka tidak sepenuhnya menerima.
Menurut MR, penyebab timbulnya konflik dan kekerasan adalah cukup banyaknya mahasiswa Timur yang
kuliah di Yogyakarta. Bervariatifnya mahasiswa Timur, membuat sulit dilakukan kontrol terhadap mereka. Selain itu
mahasiswa-mahasiswa Timur merasa memiliki kekuatan tinggal di tempat rantauaannya karena semakin banyak teman-
teman satu daerah yang kuliah di Yogyakarta. Kadang pandangan negatif yang orang Jawa berikan membuat MR
merasa sedih. Namun pandangan itu harus kita terima sebagai
125
bentuk bahan introspeksi diri untuk berubah. Orang Timur telah melewati batas-batas toleransi yang diberikan oleh orang-
orang Yogya walaupun tidak semua masalah muncul dari orang Timur, ada juga dilakukan oleh orang setempat.
Secara budaya antara orang Timur dan Jawa cukup berbeda. Orang Timur tidak terlalu suka diatur dengan aturan
yang ketat atau ditegur secara berulang-ulang. Misalnya ada teman dari daerah yang datang kemudian kami kumpul dan
minum-minum. Ini
merupakan budaya
Timur dalam
menyambut teman dengan berkumpul dan minum. Saat lingkungan warga setempat merasa terusik, mereka menegur.
Kami yang memiliki teman yang berasal dari Timur merasa tidak enak bukan hanya kepada masyarakat, namun lebih
kepada teman yang datang berkunjung. Hal ini mengakibatkan konflik dan perdebatan antara orang Timur dan warga
setempat. Masalah yang mendasari timbulnya konflik ini karena komunikasi dimana orang Jawa tidak mengerti budaya
dari Timur, dan orang Timur merasa tidak dihargai dan tidak tahu bersikap di budaya Jawa.
MR pernah menyatakan kepada teman-temannya yang berasal dari Jawa bahwa, kami memang dibentuk dari budaya
yang berbeda sehingga kami minta maaf jika mengganggu
126
kenyamanan warga setempat. Namun bukan karena masalah perbedaan itu kami dibenci. Orang Timur sebenarnya tidak tahu
bagaimana caranya bersikap di budaya Jawa yang berbeda. Karena tidak baik juga jika yang menjadi sasaran kebencian
orang Jawa adalah mereka mahasiswa yang baru kuliah di Yogyakarta dan tidak tahu menahu soal kekerasan dan konflik
di Yogyakarta. Mungkin kebiasaan di Timur masih melekat dalam diri mereka dan mereka tidak dapat disalahkan. Mungkin
orang Timur butuh waktu dan proses untuk menyesuaikan diri di Yogyakarta.
Satu-satunya cara
yang harus
dilakukan oleh
mahasiswa-mahasiswa dari Timur adalah keluar dari kelompok budaya eksklusif dan membaur dengan masyarakat dan
budaya setempat inklusif. Tujuannya dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan setempat tanpa menghilangkan budaya
yang telah dianut sejak kecil. Contohnya mahasiswa-mahasiswi asal Indonesia Timur yang dulu kakak dan om kuliah di
Yogya membuat banyak program dari organisasinya yang melibatkan warga maupun orang Jawa setempat. Akhirnya
mahasiswa Timur yang dulu dapat memahami karakter orang Jawa setempat dan budaya setempat yang dianut. Selain itu,
antara senior dari beberapa budaya di Flores, saat itu memiliki
127
kedekatan yang erat. Saat ini, antara senior kurang memiliki kedekatan. Sehingga jika ada konflik tidak dibicarakan terlebih
dahulu dan kekerasan menjadi solusi akhir. Sebagai kakak senior, MR berusaha memberitahukan kepada adik-adik dari
Timur untuk membangun relasi dengan teman-teman dari budaya yang berbeda atau dengan warga masysrakat setempat.
4 Pengalaman Diskriminasi dan Kekerasan yang Dialami Subjek 4 serta Dampak Psikologis MR
Melihat diskriminasi dan kekerasan yang terjadi di Yogyakarta membuat MR tidak sepenuhnya menyalahkan
pandangan warga setempat. Yang pertama dilakukan oleh MR adalah mengoreksi diri bahwa pandangan dari warga Jawa
sebenarnya menjadi bahan refleksi bagi mahasiswa Timur yang kuliah di Yogyakarta. Sebenarnya orang Timur harus berubah.
Sebenarnya konflik dan kekerasan antar etnis terjadi karena orang setempat tidak dapat membendung lagi kesabaran mereka yang
selama ini mereka tahan. Mereka sebenarnya telah sabar memaklumi keributan-keributan yang selama ini dilakukan oleh
beberapa orang Timur. Namun orang-orang yang melakukan kekerasan merasa bahwa orang Jawa akan mengerti dan
memaklumi kekerasan yang orang Timur lakukan. Sehingga orang
128
Timur merasa melunjak, bebas dan tidak berhenti membuat keributan di Yogyakarta. Misalnya ada beberapa kasus dimana
orang Jawa setempat menjadi korban kekerasan dan mereka memakluminya. Hari berikutnya kekerasan dilakukan lagi oleh
orang Timur hingga seterusnya. Sikap kesabaran yang selama ini dirasakan oleh Jawa tidak terbendung lagi dan akhirnya timbul
diskriminasi dan kekerasan juga dari beberapa orang Jawa. Pandangan yang diberikan oleh orang Jawa bahwa orang Timur
sebagai pembuat keributan adalah wajar. MR memiliki beberapa pengalaman diskriminasi pasca
kasus Cebongan terjadi. Pada saat itu MR hendak mencari kos. Saat menemukan kos yang kosong MR bernegosiasi dengan
pemilik kos. Saat bertanya tentang kos, pemilik kos mengatakan bahwa kosnya telah penuh. MR berusaha mengklarifikasikan
pemilik kos bahwa di luar terpampang pemberitahuan menerima kos putra namun kenapa dia tidak diterima. Pemilik kos
mengatakan kebetulan kamar tersebut baru dipesan, dan ada keluarga yang mau tempati dengan berbagai alasan agar MR tidak
menempati kamar tersebut. MR seketika menanyakan apa yang membuat saya tidak diterima di sini. Pemilik kos menjawab
“mungkin karena masalah Cebongan”. MR ingin menjelaskan, namun pemilik kos langsung mengatakan bahwa tidak punya
129
waktu. MR merasa kecewa dengan sikap dari pemilik kos yang memberikan stigma dan pandangan negatif namun dia berusaha
menerima. Peran media
juga terlalu
membesar-besarkan pemberitaan bahwa orang etnis atau suku tertentu dalam hal ini
Papua, NTT, Ambon dan sebainya menjadi biang kerok dari masalah kekerasan etnis di Yogya. Padahal sebenarnya yang harus
diangkat adalah orangnya atau individu yang melakukan kekerasan bukan budaya atau sukunya. Suku dan budaya tidak bersalah yang
bersalah adalah individunya. Sehingga peran media cukup besar dalam menimbulkan konflik dan pandangan negatif dari warga
Jawa terhadap masyarakat NTT secara umum. cemas dan takut juga dirasakan oleh MR tinggal di
Yogyakarta. MR merasa takut jika menjadi sasaran amarah dari masyarakat Yogyakarta. Saat berkendara motor MR takut dihakimi
dan dipukul oleh warga Yogya. MR mengaku takut saat keluar malam. Apalagi para korban kekerasan Cebongan merupakan
kenalan MR yang pernah berjumpa dengan MR. Perasaan cemas juga dirasakan MR kepada adik-adik mahasiswa baru yang datang
di Yogyakarta dan menjadi korban kekerasan atau diskriminasi dari orang Jawa setempat. MR berpikir dia saja yang telah lama tinggal
di Yogya memiliki masalah seperti ketakutan dan kecemasan tadi, apalagi adik-adik mahasiswa baru yang tidak tahu apa-apa menjadi
130
korban. Ada kepedualian yang dirasakan MR kepada adik-adik yang baru kuliah di Yogyakarta. Hal ini terbukti saat adik-adik kos
mau mencari kos-kosan mereka mendapat kos-kosan yang kebetulan kenalan dari teman-teman mereka. Untuk memperoleh
kos-kosan saja sulit bagi mahasiswa NTT. Pada awal-awal masuk kuliah, MR pernah menjadi korban
salah pembacokan oleh enam orang mahasiswa NNT. Saat itu MR
ditelephone
oleh teman-temannya yang sedang berselisih dengan warga NTT lain. MR yang ditelephone merasa ingin menenangkan
dan membantu mereka yang ketakutan. Bukannya membantu menenangkan
teman-temannya, malah
menjadi korban
pembacokan yang sebenarnya bukan ditujukan padanya. Saat itu MR mendapat dua luka bacokan di punggung dan harus dirawat
dirumah sakit. Pengalaman itu membuatnya trauma dan akhirnya cuti kuliah selama tiga tahun. Sehingga saat ini baru bisa
melanjutkan kuliahnya lagi. Hal ini menjadi pelajaran bagi korban untuk tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan dan juga
tidak sepenuhnya member kepercayaan kepada teman-teman dari satu daerah. Karena antar daerah juga bisa terjadi konflik dan
kekerasan. Selain itu, tidak semua masalah bisa dilakukan melalui kekerasan. Pada saat itu orangtua MR marah dan kecewa dengan
musibah yang dialaminya. Untung sang ibu sangat memahami
131
kondisi yang dialami ibu. “mungkin Tuhan memberi pembelajaran
dalam hidupmu, bahwa tidak selamanya hidup berjalan mulus. Setelah kejadian pembacokan, sebulan kemudian ibu MR
meninggal dunia. MR merasa terpukul sekali dengan musibah beruntun yang dia alami dan membuatnya tidak bisa menerima.
Pada saat itu MR tidak bebas, tidak dapat menyalurkan hobi bermain bola, atau berorganisasi yang mana hal itu sangat digemari
olehnya. MR merasa stress karena tidak bebas bergerak dan beraktifitas seperti biasanya. Dampak kekerasan member dampak
yang sangat berat. Semuanya akhirnya menjadi pembelajaran bagi MR untuk lebih tenang dalam menghadapi segala macam hal, dan
memaafkan oranglain. Kasus ini pernah dibawa hingga ke pengadilan. Namun MR tidak melanjutkan karena dia berjanji
untuk tidak membalas kejadian itu kepada pelakunya. Saat berjumpa dengan para pelaku kekerasan, MR menunjukan sikap
yang ramah dengan menegur. Namun karena merasa malu kepadanya, mereka akhirnya menghindar darinya hingga saat ini.
Bukan dengan kekerasan untuk membalas namun dengan kasih cara terbaik untuk membalasnya. Walaupun orang menganggap
pengalaman itu
adalah pengalaman
paling sial,
MR mengganggapnya sebagai pengalaman paling berharga saat
berhadapan dengan kematian. Semuanya mengajarkan banyak hal
132
positif hingga saat ini MR menjadi sangat kuat menerima semua kondisi berat yang dialami walaupun secara manusiawi dia tetap
sedih. Kadang ada rasa kangen dengan almarhum ibunya dan tidak terima dengan pengalaman tersebut. Hingga saat ini MR merasakan
hal itu saat-saat sendiri.
5 Upaya Subjek 4 dalam Membentuk Pandangan Positif Warga Yogya MR
Upaya-upaya yang dilakukan oleh MR dalam membentuk pemikiran positif dan menjadi contoh bagi adik-adik mahasiswa
baru adalah melayani di komunitas San Egidio. Pelayanan- pelayanan yang dilakukan bersama komunitas mungkin di zaman
ini tidak popular di mata teman-teman mahasiswa. Namun melaui pelayanan ini sekaligus menjadi kesaksian bagi warga Jawa bahwa
MR memiliki kepedulian kepada anak-anak jalanan, orang-orang yang membutuhkan bantuan, kaum marginal dan para lansia.
Melalui pelayanan tersebut, MR merasa dikuatkan dengan keberadaan mereka. Sudah tidak ada perbedaan lagi diantara MR
dengan mereka. Yang ada adalah perasaan sebagai satu saudara. Selain itu, pelayanan ini menjadi kesaksian bagi adik-adik
mahasiswa baru untuk membangun sikap toleransi diantara siapapun baik itu dari suku, budaya, agama yang berbeda. MR
133
belajar bahwa orang miskin tidak hanya dilihat dari harta dan kekayaan, namun miskin bisa dalam bentuk perhatian, kasih
sayang, pelukan dan sebagainya. Hal ini yang membuat MR melihat bahwa setiap orang pasti membutuhkan oranglain. Setiap
individu tidak dapat hidup sendiri tanpa individu lain. Dengan kesaksian itu, orang-orang yang dilayani memberi kesan bahwa
orang Timur atau Flores ternyata tidak seperti yang dipikirkan. Mereka juga memiliki hati untuk saling membantu dan menolong.
Seorang pemuda jalanan pernah menayakan “mengapa kalian mau m
embantu kami?”. MR menjawab “karena saya melihat kalian sebagai saudara”. MR sering menasehati adik-adik dari Timur
bahwa tinggal di Yogya bukan sekedar untuk kuliah dan pandai secara teori, namun juga harus pandai dalam membangun relasi
sosial dengan siapapun bukan hanya dari teman-teman satu budaya. Nasehat yang diberikan MR bukan sebagai suatu paksaan namun
pilihan. Yang terpenting baginya adalah contoh dan teladan melalui tindakan.
Sebagai orang Timur kita juga memiliki tugas untuk menjelaskan lewat kegiatan-kegiatan positif yang sifatnya
membangun kebersamaan antar budaya, misalnya melakukan bakti sosial, pentas budaya dan lain-lain. Kegiatan-kegiatan positif ini
sebenarnya dulu pernah dilakukan para mahasiswa dari Timur,
134
namun sekarang telah pudar. Kegiatan ini bertujuan untuk membangun relasi yang baik antara mahasiswa Timur dengan
warga setempat agar Timur rasa persaudaraan yang erat. Namun saat ini yang terjadi, suatu masalah diselesaikan dengan kekerasan
bukan dengan dialog atau diskusi. Hal ini yang dirasakan hilang dari mahasiswa-mahasiswa asal Timur.
6 Harapan Subjek 4 Berkaitan dengan kekerasan Etnis di Yogyakarta AS
Harapan MR adalah saudara-saudara dari Timur dapat sadar bahwa kita tinggal di tanah orang harus menunjukan sikap sopan
dan tahu diri ditempat rantauaan. Sikap ini ditunjukan melaui sikap positif dan baik dengan warga Yogyakarta bentuk bergaul,
menjalin relasi, senyum, menyapa, menerima aturan maupun budaya setempat dan berbaur dengan warga Jawa. Jika sikap positif
kita bangun, orang warga Yogyakarta akan bersikap positif dengan kita. Selain itu prestasi dalam kuliah dan talenta yang dimiliki
harus harus tampak dalam diri mahasiswa-mahasiswa Timur khususnya NTT. Tujuannya agar kita dapat dihargai oleh orang
Jawa setempat bukan dengan kekerasan namun lewat kualitas hidup. Sehingga kekeluargaan antara mahasiswa NTT dan warga
Yogyakarta dapat erat.
135
c. Hasil Observasi MR merupakan seorang remaja Putra asal Flores yang senang
berbicara, perawakan tegas, namun cukup hangat, dengan kulit berwarna gelap, rambut keriting. MR memiliki postur tubuh yang
sedang, dan sangat kurus. Pada saat dijumpai di rumah komunitas San Egidio, MR memiliki penampilan yang santai dengan mengenakan
celana panjang jeans dan kaos oblong berwarna hitam. Wawancara dengan MR dilakukan setelah peneliti melakukan wawancara dengan
subjek ketiga AS. Setelah melakukan wawancara dengan subjek ketiga, peneliti menunggu menunggu MR yang saat itu masih di
tempat kosnya. Kira-kira setengah jam kemudian, Mario datang diboncengi teman kosnya.
Wawancara dilakukan di rumah komunitas San Egidio. Wawancara dilakukan selama dua kali yaitu tanggal 13 Juli 2014 pada
pukul 19.30 hingga 20.15 WIB dan wawancara kedua dilakukan pada tanggal 19 Juli pada pukul 19.00 WIB hingga 19.30 WIB. Wawancara
dilakukan sebanyak dua kali karena peneliti merasa masih ada data- data yang kurang.
Saat kedua wawancara berlangsung, MR dan peneliti duduk di taman. Pada saat itu wawancara berlangsung di malam hari dengan
kondisi taman cukup terang dengan adanya lampu taman. MR dan peneliti duduk berhadapan tanpa ada meja. Hal ini karena wawancara
136
dilakukan di taman. Peneliti memegang alat perekam di tangan kiri sambil memangku buku dan tangan kanan memegang pulpen untuk
menulis. Pada awalnya peneliti cukup berhati-hati dalam memberi pertanyaan, karena belum mengenal subjek sebelumnya. Namun
setelah menjalin komunikasi, tampak subjek ramah. Selama proses wawancara, MR tampak cukup antusias. Hal ini
tampak dari jawaban-jawaban MR yang lancar dan bervariatif. Namun kadang ketika diberikan pertanyaan-pertanyaan wawancara, MR
menjawabnya dengan bertele-tele dan sesekali mengulang jawaban yang sama. Selama proses wawancara MR tampak menyimak dengan
seksama. Kadang tampak dahinya di kerutkan, matanya semakin fokus menyimak, dan tangannya diayun-ayunkan. Selama proses wawancara
MR menjawab dengan cepat, dikarenakan gaya berbicaranya yang cepat. MR menjawab semua pertanyaan peneliti dengan sangat
seksama walaupun ada yang diulang-ulang. Selain itu, jawaban yang diberikan MR tampak serius dan sungguh-sungguh sehingga tidak
tampak kesan asal-asalan dalam menjawab. Sesekali dalam menjawab MR tampak tersenyum atau ketawa. Secara keseluruhan proses
wawancara, MR menjalaninya dengan lancar tanpa hambatan.
137