Profil Subjek HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

84 khusus bagi ibunya yang berstatus sebagai single parent yang saat ini mengasuh adik bungsunya. AT memiliki hubungan yang cukup baik dengan keluarganya, meskipun relasinya dengan sang ayah tidak begitu dekat. Orang tua AT telah bercerai sejak tahun 2002 dan sejak saat itu ayahnya telah menikah lagi. Karena perceraiaan kedua orangtuanya, AT bersama saudara-saudaranya mengikuti sang ibu untuk pindah kampung. Sejak saat itu, sang ibu berjuang membesarkan dan mendidik ke-empat anaknya tanpa didampingi seorang suami. AT merasa bahwa hubungannya dengan sang ayah tidak begitu dekat sejak SD hingga SMA. Namun saat di perguruan tinggi, AT berusaha membangun komunikasi yang baik dengan ayahnya melalui telephone . Hal ini disadari bahwa bagaimanapun juga menurut AT, dia tetap adalah ayahnya. Sementara itu, hubungan AT dengan ibu dan para saudaranya sangat baik. Pola asuh orang tua dalam keluarga AT cukup disiplin. Sejak kedua orangtuanya belum bercerai, hingga telah bercerai pola asuh disiplin dan tegas yang ditunjukan oleh orangtuanya saat ini ibunya. Selain itu dukungan berupa motivasi dan nasehat sering diberikan oleh sang ibu kepada subyek. Walaupun sikap yang tegas dan disiplin menjadi pedoman dalam mendidik ke- empat anaknya, AT menyadari bahwa sang ibu sangat menyayangi 85 mereka. Hal ini yang membuat AT sangat bersyukur karena diajarkan untuk hidup disiplin, dan menghargai waktu sejak kecil. Disiplin yang ditanamkan oleh orangtua AT dapat berupa keteladanan, teguran, maupun nasehat. Dampak pola asuh tersebut bagi AT adalah menimbulkan efek jera dan patuh terhadap orangtua. Pola asuh yang dirasakan AT setelah memasuki perguruan tinggi adalah pola asuh yang demokrasi dan tidak otoriter. Sejak kecil AT disekolahkan di sekolah katolik. Sebagai keluarga katolik, peran pendidikan dan agama sangat dihayatinya dan keluarga. Sehingga orangtua AT mempercayakannya untuk bersekolah di yayasan katolik. Nilai-nilai yang diajarkan di sekolah, juga turut membentuk watak serta kepribadian AT. Setelah Menyelesaikan SMA Sekolah Menengah Atas, AT mendapatkan beasiswa oleh SMA Adhi Luhur yang dikelolah oleh para Pastor Serikat Yesus untuk melanjutkan Kuliah di Yogyakarta. Saat ini, AT sedang menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Keguruan Pendidikan Matematika Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. 86 2 Gambaran Umum Mengenai Kehidupan Subjek 1 di Yogyakarta AT Selama tinggal di Yogyakarta, AT berusaha untuk tidak bergantung pada oranglain dan berusaha berbaur dengan warga Yogyakarta. Sikap yang ditunjukan oleh AT adalah sikap yang ramah, terbuka dan berani untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat Yogyakarta. Sikap untuk menyesuaikan diri di tempat yang baru dibiasakan sejak kecil agar mandiri dan tidak bergantung dengan oranglain. Hal ini yang membuat AT mampu bergaul dan menyesuaikan diri pada masyarakat Yogyakarta. Dalam relasinya dengan teman-teman maupun warga setempat, AT mengaku cukup baik. Bagi AT yang terpenting dalam menjalin relasi dengan teman-teman maupun warga dari budaya yang berbeda adalah keterbukaan diri. Dengan membuka diri maka seseorang akan diterima, walaupun dari budaya yang berbeda. Selain itu dengan teman-teman yang berasal dari budaya yang sama, relasi yang dibangun cukup baik. Hal ini karena prinsip AT dalam menjalin relasi adalah jika dalam relasi dengan teman- teman dari budaya yang berbeda sudah baik, maka dengan teman- teman yang berasal dari budaya yang sama secara otomatis harus baik dahulu. 87 Peran Budaya dari suku Mee sangat mempengaruhi AT dalam melangsungkan hidup maupun dalam berelasi dengan orang lain. Dalam suku Mee diajarkan tiga unsur penting dalam berelasi seperti Dou yaitu melihat dengan mata, Gai yang artinya berpikir dengan otak, dan Ekowai yaitu bekerja dengan tangan maupun kaki. Ketiga pedoman tersebut merupakan dasar dari hidup menurut suku Mee yang dihayati oleh AT. 3 Pandangan Subjek 1 Mengenai Kekerasan Etnis di Yogyakarta AT a Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Etnis Sebagai mahasiswa semester akhir yang berasal dari Papua, AT melihat bahwa kekerasan antar etnis sering terjadi karena pemahaman budaya antara etnis satu dengan yang lain berbeda. Orang Timur menganggap bahwa orang Jawa memiliki watak yang lembut dan sopan, sedangkan orang Jawa menganggap bahwa orang Timur memiliki watak yang keras dan emosional. Pandangan ini yang kadang menimbulkan kesalahpahaman dari dua etnis yang berbeda. Padahal belum tentu pandangan tersebut berlaku pada semua orang Timur atau orang Jawa. Pandangan ini yang mengakibatkan antara kedua 88 budaya ini ada salah persepsi. Akibatnya kekerasan antar etnis timbul di kota Yogyakarta. b Tanggapan Subjek Mengenai Kekerasan Etnis di Yogyakarta Sebagai orang Papua, AT memandang bahwa kekerasan yang dilakukan oleh orang yang berasal dari Indonesia Timur secara khusus Papua, hanya dilakukan oleh segelintir orang saja. Menurut AT tidak adil jika semua mahasiswa Papua maupun yang berasal dari Indonesia Timur dianggap “penjahat” hanya karena kesalahan satu atau dua orang. AT memberi perumpamaan seperti suatu rak telur yang “di dalam rak tersebut pasti ada telur yang busuk namun ada juga telur yang masih baik ”. Namun AT juga merasa malu karena pelaku kejahatan kadang orang yang berasal dari Timur khususnya Papua. 4 Pengalaman Diskriminasi dan Kekerasan yang Dialami Subjek 1 serta Dampak Psikologis AT Pengalaman AT mendapat diskriminasi dan stereotype atas kekerasan yang terjadi di Yogya yaitu saat dia hendak mencari kos- kosan. AT pernah ditolak karena berasal dari Papua dengan ciri-ciri rambut keriting dan warna kulit hitam. Perasaan sedih, jengkel dan terpukul sangat dirasakan oleh AT ketika ditolak oleh pemiliki kos 89 pada saat itu padahal ada kamar kosong. Ada pengalaman emosional yang dirasakan AT saat bersepeda ke daerah Jawa Timur. Di sana, AT pernah dianggap sepele oleh orang Jawa setempat setelah melihat subyek sambil menggunakan bahasa Jawa “Ahh…wong Papua saja”. Saat mendengar kalimat ejekan yang dilontakan tersebut AT sangat emosional dan merasa minder, namun AT berusaha tenang kembali. Perlakukan-perlakukan diskriminasi tersebut masih dialami AT maupun teman-teman yang juga berasal dari Papua. Pengalaman lain yang dialami AT saat mendapat diskriminasi dari warga Yogya yaitu saat AT bersama keempat adiknya diracun oleh orang yang tidak dikenal. Pengalaman tersebut terjadi pada saat AT bersama dua saudara sepupunya yang kebetulan berasal dari suku yang sama hendak makan di warung. Saat makan, minuman yang dipesan diberi obat. Pada saat itu, AT tidak menyadarinya bahwa minumannya diberi obat, hanya adik sepupunya yang melihat bahwa seseorang mencampurkan obat kedalam minuman mereka. Tanpa berpikir negatif, akhirnya mereka tetap meminumnya. Sepulangnya dari warung tersebut, mereka muntah-muntah dan merasakan sakit kepala. Untungnya mereka cepat diobati sehingga tidak menimbulkan efek yang parah. Pengalaman diskriminasi lain yaitu saat dikos-kosan. Waktu itu 90 adik sepupu AT sedang mengingap di kosnya dan kebetulan AT sedang keluar. Saat itu memang AT tinggal bersama adik sepupunya yang berstatus mahasiswa baru, tiba-tiba saudaranya didatangi oleh pemilik kos dan disuruh untuk membayar uang tambahan karena menginap. Saudara Agus menerima pesan pemilik kos pada saat itu namun yang membuat AT sedih adalah kata- kata yang dilontarkan selanjutnya oleh pemilik kos “tinggal disini jangan membuat saya menjadi rugi” dengan nada yang tinggi. Pernyataan ini yang membuat saudara AT maupun AT sendiri sangat kecewa dan tak berdaya. Akhirnya saat ini AT bersama saudaranya memutuskan untuk pindah kos-kosan. Pengalaman lain yang membuat AT menjadi cemas, takut dan tidak bebas untuk tinggal sebagai mahasiswa Papua di Yogyakarta adalah saat teman satu suku yang di pukul di kepalanya hingga tewas oleh orang tidak dikenal. Pada saat itu, sepulang pertemuan rutin mahasiswa Papua, dua orang teman AT meminta ijin dengan ketua asrama untuk makan. Pada saat itu sekitar jam sebelas malam setibanya di warung, kedua temannya dipukul menggunakan sebuah benda tumpul oleh orang yang tidak dikenal. Orang yang tidak dikenal menggunakan penutup muka sehingga tidak diketahui wajahnya. Kedua teman AT terkena pukulan yang satu di daerah kepala dan yang satu di bahunya. 91 Teman yang terkena pukulan di daerah kepala seketika itu langsung meninggal di tempat karena diperkirakan benda tumpul tersebut mengenai otak. Sedangkan teman yang lain hanya mendapatkan memar di bahunya. Atas pengalaman tersebut, AT merasakan sedih karena dua teman tersebut tidak pernah melakukan tindakan kriminal. Mereka adalah teman-teman yang baik dan saat itu mereka masih berstatus mahasiswa baru. Setelah pengalaman itu, AT merasa takut dan trauma untuk keluar malam. Perasaan sedih, takut, trauma dan tidak bebas ini membuat AT memutuskan untuk mengurangi waktu untuk berpergian apalagi di saat malam hari, di keramaian atau tempat sepi. Perasaan takut dan cemas dirasakan AT saat berkendara sepeda gayung maupun sepeda motor. AT takut saat sedang membawa sepeda, ada orang yang tidak dikenal yang melukainya secara tiba-tiba. Maka ketika mengendarai sepeda motor helm dan kaca spion sangat penting bagi AT. Hal ini karena teman AT pernah di tabrak oleh truk pada hari Minggu tahun 2012. Setelah pulang dari malam keakraban Ikatan Pelajar Suku Mee, teman tersebut hendak beribadah ke gereja namun di jalan dia di tabrak truk. 92 5 Upaya Subjek I dalam Membentuk Pandangan Positif Warga Yogya AT Tidak hanya secara internal, dampak eksternal dirasakan AT dalam berelasi dengan orang Jawa setempat. Akibatnya AT semakin bertindak lebih sopan baik itu dalam bertutur kata maupun dalam menjaga sikap. Melalui tindakan-tindakan yang positif seperti mengajar les matematika, mengikuti kegiatan-kegiatan kampus maupun organisasi diharapkan menjadi sarana untuk membuka cara pandang warga Yogya yang menomorduakan orang Timur secara khusus Papua. Tidak hanya itu, AT pernah mendiskusikan masalah ini dengan kepala RT setempat mengenai hal ini. Pada saat itu, AT menyampaikan bahwa tidak semua orang Timur maupun Papua adalah orang yang jahat dan tidak seharusnya disisihkan. Harapannya melalui diskusi tersebut pandangan warga setempat di RT tersebut berada dapat semakin positif. Dampak lain yang dirasakan oleh AT adalah penghayatan terhadap agama semakin meningkat. Selain beribadah semakin dihayati, AT mengimbanginya dengan sikap yang ditunjukannya kepada sesama baik itu kepada orang dari satu daerah maupun dari daerah lain. Menurut AT yang pertama harus dilakukan untuk membuat warga Yogya tidak memandang sebelah mata orang Timur adalah melalui sikap positif dari dalam diri terlebih dahulu 93 yang ditunjukan. Misalnya menaati peraturan lalu lintas, mengenakan helm, maupun bertindak sopan di tanah rantauan. Setelah kesadaran dimulai dari dalam diri, baru hal lain dilakukan agar menciptakan cara pandang yang positif dari warga Yogyakarta. Sebagai mahasiswa semester akhir, AT juga sering menasehati maupun memberi wejangan kepada adik-adik mahasiswa Papua yang baru di Yogya untuk menjaga sikap positif. Sikap positif itu dibangun dari dalam diri misalnya tidak mengonsumsi alkohol, menaati peraturan lalu lintas, tidak membuat kericuhan, dan membuka diri terhadap warga Yogya. Upaya yang dilakukan Komunitas Mahasiswa Papua juga ikut andil dalam mengurangi kekerasan maupun konflik. Selain itu sering dilakukan dialog intern antar mahasiswa Papua yang kemudian hasil dialog tersebut diberikan kepada Pemerintah Yogya untuk disikapi. Dalam komunitas Papua, dibuat suatu aturan bagi mahasiswa agar tidak mabuk dan membuat kericuhan di Yogyakarta. Komunitas Mahasiswa Papua juga membuat tim keamanan malam. Tim ini bertugas untuk memantau keamanan di jalan, jika mahasiswa Papua sebagai pelaku kekerasan akan ditangkap dan diproses. Komunitas juga membuat aturan untuk dilarang keluar malam karena banyak pembunuhan yang terjadi di 94 malam hari. Aturan untuk mentaati lalu lintas seperti mengenakan helm dan kaca spion. 6 Harapan Subjek I Berkaitan dengan kekerasan Etnis di Yogyakarta AT Harapan AT sebagai mahasiswa asal Papua yang menjalani kuliah di Yogyakarta adalah agar cara pandang antar etnis semakin terbuka. Terbuka dalam arti kita semua baik itu orang Papua, Jawa, adalah sama warga Indonesia. Kita tetap harus saling menghargai suku, budaya, etnis, warna kulit. Selain itu, semoga tidak adanya pandangan negatif menomorduakan terhadap orang Timur begitu pula sebaliknya. Kesejahteraan kiranya dapat dirasakan oleh masyarakat Yogya maupun Papua. c. Hasil Observasi AT seorang remaja yang sopan dan murah senyum, dengan kulit berwarna coklat, rambut keriting. AT memiliki postur tubuh yang tidak terlalu tinggi, namun tegap dan agak gemuk. AT dalam berpenampilan sangat sederhana dan sopan. Dalam aktivitas sehari- hari AT senang menggunakan baju kaos oblong atau kaos berkerah dan senang mengenakan celana panjang. Selain itu, AT sering mengenakan sepatu sandal yang agak kusam, sehingga dia tampak sangat sederhana. 95 Sarana yang sering digunakan untuk berpergian adalah sebuah sepeda gayung. Hal ini sesuai dengan hobinya mengendarai sepeda. Wawancara dilakukan sebanyak dua kali. Wawancara pertama dilakukan dilakukan tanggal 15 Juni 2014 di Kampus Sanata Dharma Paingan pada pukul 10.00 WIB hingga pukul 11.30 WIB. Sedangkan wawancara kedua dilakukan tanggal 20 Juni 2014 di kantin Kampus Sanata Dharma Mrican pada pukul 17.00 hingga pukul 17.45 WIB. Wawancara dilakukan sebanyak dua kali karena peneliti merasa masih ada data-data yang kurang. Saat wawancara pertama, AT mengenakan baju kemeja hijau, celana jeans dan sebuah tas ransel. Suasana kampus yang tenang karena bertepatan dengan liburan semester, membuat wawancara berlangsung dengan lancar. Selama wawancara subjek tampak mengatupkan kedua tangannya. Sesekali AT menggerak-gerakan tangannya. AT dan peneliti duduk di bangku kampus lantai dua fakultas psikologi, diantara meja yang saat itu digunakan peneliti untuk meletakan alat perekam dan buku catatan. Saat wawancara kedua di kantin Mrican, suasana kampus sedang sepi karena para mahasiswa lainnya sedang menjalani liburan semester. AT mengenakan baju kaos oblong dengan celana jeans hitam. AT dan peneliti duduk berhadapan dengan dipisahkan sebuah 96 meja. Di atas meja itu peneliti meletakan sebuah alat perekam, sebuah pulpen dan kertas untuk mencatat. Secara umum pada kedua proses wawancara jawaban AT tampak cukup antusias. Hal ini tampak dari jawaban-jawaban AT yang lancar dan terkesan bahwa AT cukup terbuka. AT menjawab semua pertanyaan peneliti dengan sangat seksama. Selain itu, jawaban yang diberikan AT tampak serius dan sungguh-sungguh sehingga tidak tampak kesan asal-asalan dalam menjawab. Sesekali dalam menjawab AT tampak tersenyum atau ketawa. Namun secara keseluruhan proses wawancara, AT menjalaninya dengan lancar tampa hambatan. 2. Subjek 2 YD a. Identitas Nama : YD Jenis Kelamin : Perempuan Tempat Tanggal Lahir : Dogiyai, 23 Agustus 1992 Usia : 22 tahun Pendidikan Terakhir : SMA YPPK Adhi Luhur, Nabire Urutan Kelahiran : Anak ke-tiga dari delapan bersaudara Status : Mahasiswa Hobi : Menyanyi 97 b. Hasil Wawancara 1 Deskripsi Subjek YD Subjek kedua berinisial YD. YD dilahirkan dari orangtua yang berasal dari suku Mee di daerah pegunungan tengah Dogiai- Papua. Selain itu, keluarga YD beragama Katolik. Mata pencaharian keluarga YD adalah berkebun. Selain itu, status ekonominya termasuk dalam golongan bawah. Dalam keluarganya, YD merupakan anak ke-tiga dari delapan bersaudara. Ayah, ibu dan ketujuh saudaranya tinggal di Kota Nabire. Saat ini YD menjalani pendidikan di Fakultas Ekonomi Akutansi Universitas Teknologi Yogyakarta UTY. YD memiliki hubungan yang cukup baik dengan keluarganya. Pola asuh orang tua dalam keluarga YD demokratis. Sikap yang sering ditunjukan ayah dan ibunya dalam membimbing yaitu dengan memberikan nasehat dan contoh kepada anak-anak. YD menilai bahwa sang ayah memiliki sifat lebih pendiam daripada ibu. Dalam mendidik YD dan para saudaranya, peran Ibu lebih dominan. Sang ibu lebih sering mengarahkan dan membimbing kedelapan anaknya dibanding sang ayah. Peran ayah selain sebagai kepala keluarga, beliau juga mencarikan nafkah di kantor desa sebagai karyawan. 98 Sejak kecil YD disekolahkan di sekolah katolik. Sebagai keluarga katolik, orangtua YD mempercayakannya untuk bersekolah di Yayasan Katolik. Ilmu serta nilai-nilai yang diajarkan di sekolah, juga turut membentuk watak serta kepribadian YD. Setelah Menyelesaikan SMA Sekolah Menengah Atas, YD mendapatkan beasiswa oleh SMA Adhi Luhur yang dikelola oleh pastor-pastor Serikat Yesus untuk melanjutkan Kuliah di Yogyakarta. Pada saat itu, YD dihadapkan pada dua pilihan dalam memilih tempat kuliah. Satu di Jakarta, dan satu di Yogyakarta. Saat itu, dua Kota ini dianggap memiliki perguruan tinggi yang cukup baik. Dengan mempertimbangkan biaya hidup yang lebih murah, maka YD memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Yogyakarta. 2 Gambaran Umum Mengenai Kehidupan subjek 2 di Yogyakarta YD Dalam relasinya dengan teman-teman maupun warga setempat, YD mengaku cukup baik. Pada awal tinggal di kos- kosan, YD belajar untuk berbaur dengan teman-teman yang berasal juga dari beberapa daerah seperti Pekalongan, Pati, Purwokerto, dan Muntilan. Teman-teman kos YD semuanya satu angkatan dengannya sehingga kedekatan mereka cukup erat. Selain karena 99 faktor usia yang rata-rata sama, teman-temannya juga merupakan mahasiswi yang merantau dari daerahnya masing-masing. Kebersamaan diantara YD dan teman-temannya terwujud dalam kegiatan kebersamaan seperti belajar bersama, makan bersama, dan kegiatan kebersamaan lainnya. Walaupun demikian, para teman- teman kos YD juga menciptakan suasana yang tenang ketika belajar di kamarnya masing-masing. Kesan yang YD dapatkan setelah berbaur dengan teman-temannya kosnya adalah, pada umumnya mereka baik dan memiliki sikap disiplin khususnya dalam mengatur waktu. Hal ini yang membuat teman-temannya unggul dalam belajar dan juga sering mendapatkan hasil yang baik dalam perkuliahan. Kegiatan umum yang dilakukan oleh YD dan teman-temannya adalah di kos dan kampus. Di kampus, YD juga sering mengikuti organisasi atau kegiatan kepanitiaan lainnya. Hubungan pertemanan YD dengan dengan teman-teman yang berasal dari Papua cukup dekat walaupun jarang berjumpa dengan mereka. YD mengaku bahwa kesehariannya lebih banyak dengan teman-teman kosnya. Teman-teman yang berasal dari Papua juga kadang berkunjung ke kosnya. Selain itu YD mengaku bahwa teman-teman kos yang berasal dari Papua lebih banyak laki- laki ketimbang perempuan. 100 Pada awal YD menyesuaikan diri dengan Budaya Yogya, YD merasakan cukup bingung khususnya dalam kebiasaan sehari- hari orang setempat. Kebingungan yang pernah dialami YD adalah suatu saat teman kosnya pamit untuk makan dengan melontarkan kata “mari makan”. Seketika itu juga YD secara spontan bergabung makan dengan temannya tersebut. YD tidak menyadari bahwa pernyataan “mari makan” hanya sebagai suatu tanda untuk ijin makan. Baru setelah itu YD menyadari melalui penyesuaian diri dengan teman-temannya bahwa pernyataan tersebut hanya ijin bukan mengajak orang untuk makan bersama. Selama berbaur dengan teman-teman kosnya, YD banyak belajar tentang kesopanan dan cara berinteraksi yang ditekankan oleh orang Jawa. Karena dekat juga dengan anak dari pemilik kos, YD banyak bertanya mengenai kebiasaan-kebiasaan orang setempat khususnya dalam bersikap yang baik. Sikap-sikap baik yang telah dipelajari YD, diterapkan dalam kesehariannya misalnya dalam menyapa tetangga dilingkungan RT yang kebetulan telah mengenal YD. Walaupun YD kurang paham dalam menanggapi teman atau kerabat yang menggunakan bahasa Jawa, namun YD tetap memberikan perhatian kepada orang tersebut dengan mendengarkan. Yang terutama dalam berelasi menurut YD adalah inisiatif untuk menyesuaikan diri dan berbaur. 101 3 Pandangan Subjek 2 Mengenai Kekerasan Etnis di Yogyakarta YD a Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Etnis Sebagai mahasiswi semester akhir yang berasal dari Papua, YD melihat kekerasan antar etnis sering terjadi karena kelalaiaan orang Timur. Orang Timur yang tinggal di kota asalnya, pada awalnya sulit untuk membeli minuman keras karena biaya hidup tinggi. Sedangkan ketika merantau ke Yogya, biaya hidup yang murah membuat orang Timur membeli banyak minuman keras, senang-senang dan dampaknya membuat keributan. Walaupun demikian bagi YD, tidak semua orang Timur dikategorisasikan sebagai pemabuk atau pembuat keributan hanya orang-orang tertentu saja. Menurutnya karena hal-hal sepele ini, orang Jawa membuat pandangan bahwa pada umumnya orang Timur baik itu Papua maupun NTT memiliki sikap yang buruk. Akhirnya pandangan ini menjadi pemicu dalam suatu bentuk konflik-konflik di Yogyakarta. Kebiasaan yang dibangun oleh dua budaya baik itu Papua dan Jawa sangat berbeda. Perbedaan ini kadang yang dijadikan sumbu konflik dan kekerasan antar dua kelompok. Misalnya pada bahasa dan intonasi dalam berbicara. Orang 102 Timur memiliki intonasi yang tinggi, sedangkan orang Jawa intonasi dalam berbicara sangat halus. Kadang ketika orang Timur sedang berbicara, orang Jawa mengganggap bahwa orang Timur sedang marah, padahal memang gaya berbicara orang Timur memiliki intonasi yang tinggi. Kondisi emosi orang Timur saat berbicara juga dalam kondisi yang normal. Teman-teman YD juga pernah mengeluhkan hal ini “kamu ngomong membuat saya kaget” atau “suara temanmu itu besar sekali loh..menakutkan ”, “tolong suaranya agak dikurangi”. Perbedaan yang sebenarnya harus menyatukan, bagi YD hal- hal ini yang mengakibatkan hancurnya keberagaman dan dapat menimbulkan konflik. YD menekankan bahwa intonasi yang tinggi bukan karena orang Timur marah atau kasar melainkan kebiasaan dalam berbicara orang Timur. YD memberikan contoh, romo paroki di Papua adalah orang Jawa, dan gaya berbicaranya sangat halus. Orang Papua yang mendengarkan merasa lucu. Menurut YD perbedaan persepsi mengenai gaya berbicara juga mengakibatkan timbulnya konflik. YD sudah dapat menyesuaikan dalam berbicara dengan mengurangi intonasi. 103 4 Pengalaman Diskriminasi dan Kekerasan yang Dialami Subjek 2 serta Dampak Psikologis YD Sebagai orang Papua, YD merasakan perasaan yang sedih saat orang Jawa memandang bahwa atas kesalahan satu dua orang Timur, semua orang Timur jahat atau patut disisihkan. Misalnya saat mencari kos-kosan, orang Timur sangat susah di terima. Padahal di kos tersebut tertulis menerima kos putri dan masih ada kamar yang kosong. YD menganggap bahwa keberagaman baik itu warna kulit, rambut bahasa dan sebagainya yang kita miliki sebagai bentuk ciri khas Indonesia, namun apa salahnya „kami‟ sebagai orang Timur yang mau menuntut kuliah di Yogya dan dianggap kalangan nomor dua. Diskriminasi juga pernah dialami YD saat kuliah dimana saat YD menerima KHS kartu hasil studi, nilai yang didapatkan cukup memuaskan. Dosen pembimbing pada saat itu melihat hasil studi YD yang baik, dan melontarkan pernyataan kepada teman-temannya yang lain, “masa orang Papua lebih bisa dari kalian yang lain ”. Seketika itu, YD mengatakan kepada dosen tersebut bahwa soal kepintaran bukan ditentukan oleh orang suku atau warna kulit melainkan dari usaha. Perasaan YD sedih tidak terima dan kecewa menerima perlakuan orang Jawa khusunya Yogyakarta yang bersikap diskriminasi dan menganggap orang Timur bodoh, dan sering membuat kekerasan. 104 YD mempunyai pengalaman tentang temannya yang dibunuh oleh orang tidak dikenal. Pada saat itu, sepulang pertemuan rutin mahasiswa Papua, dua orang teman YD meminta ijin dengan ketua asrama untuk makan. Pada saat itu sekitar jam sebelas malam setibanya di salah satu warung di nol kilometer Yogya, kedua temannya dipukul menggunakan sebuah benda tumpul oleh orang yang tidak dikenal. Orang yang tidak dikenal menggunakan penutup muka sehingga tidak diketahui wajahnya. Kedua teman YD terkena pukulan yang satu di area kepala dan yang satu di bahunya. Teman yang terkena pukulan di area kepala seketika itu langsung meninggal di tempat karena diperkirakan benda tumpul tersebut mengenai otak. Sedangkan teman yang lain hanya mendapatkan memar di bahunya. Masalah ini telah diserahkan ke tangan KAPOLDA untuk ditindaklanjuti. Masalah ini menurut YD sudah semakin berdampak pada pelanggaran HAM. Suatu kasus lagi pembunuhan mahasiswi Papua asal kota Sorong yang dibuang di rel kereta API. Berdasarkan pengalaman dari YD dan teman-temannya hampir setiap tahun ada korban asal Indonesia Timur yang meninggal akibat konflik etnis. Dari kejadian-kejadian diskriminasi yang terjadi kepada orang Timur khususnya orang Papua, dibentuklah suatu organisasi yang bertujuan untuk membuat keberadaan orang Timur dapat 105 diterima di Yogyakarta. Organisasi ini bernama Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Papua IPMAPA. Presiden IPMAPA telah menyampaikan kepada KAPOLDA dan Pemerintah Yogya untuk menghimbau agar bagi pelaku kekerasan yang berasal dari Papua diadili dengan hukum yang benar, namun tidak menyamaratakan pelaku kekerasan dengan mahasiswa-mahasiswi Papua lain yang tidak tahu menahu soal kekerasan itu. Begitu pula sebaliknya jika orang Jawa yang melakukan kekerasan hingga melanggar HAM, sebaiknya ditindaklanjuti dengan adil. Jika dalam media ada berita mengenai kekerasan yang dilakukan orang Papua maka, berita tersebut sebaiknya memberitakan tentang individu bukan suku yang mewakilinya. Pengalaman-pengalaman mengerikan di atas, membuat YD merasa trauma hingga membuat YD takut untuk keluar di malam hari. Selain itu YD merasa kecewa, sedih dan tertekan tinggal di Yogyakarta. Dengan jumlah mahasiswa Papua korban kekerasan yang semakin bertambah, YD merasakan perasaan-perasaan tersebut. Hampir setiap tahun, asrama Papua menerima jenasah yang dibunuh akibat kekerasan etnis di Yogya. YD berharap Sultan memiliki peran yang besar untuk menciptakan suasana damai. 106 4. Upaya Subjek 2 dalam Membentuk Pandangan Positif Warga Yogya YD Dari pengalaman kekerasan dan diskriminasi yang dialaminya, YD membuat tindakan-tindakan positif yang bertujuan untuk mengubah pola prasangka orang Jawa terhadap mahasiswa Papua. Misalnya mulai dari teman-teman dekat dan teman-teman di kampus, YD memberitahukan bahwa kami orang Papua tidak semua jahat. Kami punya hati dan tidak semua adalah sumber dari kekerasan, maka diharapkan kepada teman-temannya untuk menerima orang Timur khususnya Papua sebagai kaum minoritas. Namun ada teman-teman yang mengerti ada juga teman-teman yang malah menjauhi. Contohnya ketika pembagian kelompok, teman-teman YD memilih untuk berkelompok dengan teman- teman lain yang berasal dari Jawa. Karena tidak ada yang mau bergabung, YD membentuk kelompok belajar yang anggotanya berasal dari Indonesia Timur. Namun YD tetap mau membaur dengan teman-temannya tadi. Malahan setelah teman-temannya mengenal YD, mereka jadi lebih dekat dengannya. Selain itu, YD juga sering memberi pesan, nasehat kepada adik-adik mahasiswa baru asal Papua untuk bertindak baik dan mau untuk menyesuaikan diri di Yogyakarta. Program dari organisasi juga dibuat untuk memberi pemahaman tentang cara hidup di Yogyakarta. 107 5. Harapan Subjek 2 Berkaitan dengan Kekerasan Etnis di Yogyakarta YD Harapan YD kedepan adalah, orang Timur dapat menyesuaikan diri dengan kebiasaan di Yogya sehingga tidak menimbulkan masalah. Selain itu semoga warga Jawa tidak menyalahkan semua mahasiswa Timur khususnya Papua yang tinggal Yogyakarta. Dan antara warga Jawa dan Papua dalam saling menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing. c. Hasil Observasi YD merupakan seorang remaja putri asal Papua yang tampak pendiam namun cukup hangat, dengan kulit berwarna coklat, rambut keriting. YD memiliki postur tubuh yang tidak terlalu tinggi, dan agak gemuk. YD dalam berpenampilan sangat sederhana dan sopan. Gadis berkacamata ini memiliki tutur kata yang sopan dan halus. Selama wawancara, YD mengenakan baju kaos yang dibaluti jaket dan celana jeans. Pada awal berjumpa dengan YD kesan yang penulis lihat adalah, YD merupakan anak yang pendiam namun pada kenyataannya YD cukup terbuka dan ramah. Wawancara dilakukan sebanyak dua kali. Wawancara pertama dilakukan dilakukan pada tanggal 25 Juni 2014 di kantin Kampus 108 Sanata Dharma Mrican pada pukul 10.00 WIB hingga pukul 11.30 WIB. Sedangkan wawancara kedua juga dilakukan tanggal 27 Juni 2014 di kantin Kampus Sanata Dharma Mrican pada pukul 17.00 hingga pukul 17.45 WIB. Wawancara dilakukan sebanyak dua kali karena peneliti merasa masih ada data-data yang kurang. Saat wawancara pertama, YD mengenakan baju kaos putih yang ditutupi jaket ungu, dan mengenakan celana jeans. YD dan peneliti duduk di bangku kantin. Pada saat itu kampus sedang sepi karena para mahasiswa lainnya sedang menjalani liburan semester. YD dan peneliti duduk berhadapan dengan dipisahkan sebuah meja. Di atas meja itu peneliti meletakan sebuah alat perekam, sebuah pulpen dan kertas untuk mencatat. Saat wawancara kedua YD mengenakan baju kaos kuning yang ditutupi jaket ungu dan celana jeans hitam. Pada pertemuan kedua YD tampak dekat dengan peneliti, sikapnya sangat ramah. Saat pertama datang, YD yang pertama berinisiatif untuk menjabat tangan peneliti. YD dan peneliti duduk di bangku yang sama saat wawancara pertama berlangsung. Di atas meja peneliti tetap meletakan sebuah alat perekam, sebuah pulpen dan kertas untuk mencatat. Secara umum kedua proses wawancara berlangsung dengan lancar. Jawaban-jawaban YD saat pertemuan kedua lebih yang lancar karena antara peneliti dan YD semakin akrab. Ketika diberikan 109 pertanyaan-pertanyaan wawancara, YD tampak menyimak dengan seksama. Kadang tampak dahinya di kerutkan dan matanya semakin fokus menyimak. Selama proses wawancara tangan dikatupkan di atas meja. YD menjawab semua pertanyaan peneliti dengan sangat seksama. Selain itu, jawaban yang diberikan YD tampak serius dan sungguh-sungguh sehingga tidak tampak kesan asal-asalan dalam menjawab. Sesekali dalam menjawab YD tampak tersenyum atau ketawa. Walaupun saat wawancara pertama YD tampak agak ragu- ragu dalam menjawab namun secara keseluruhan proses wawancara berjalan dengan lancar tampa hambatan. 110 3. Subjek 3 a. Identitas Nama : AS Jenis Kelamin : Laki-laki Tempat Tanggal Lahir : Los Palos, 14 Januari 1991 Usia : 23 tahun Pendidikan Terakhir : SMA Urutan Kelahiran : Anak ke-dua dari kelima bersaudara Status : Mahasiswa Hobi : Pelayanan, bermain game, jalan-jalan b. Hasil Wawancara 1 Deskripsi Subjek Subjek ketiga bernama AS. AS dilahirkan dari orangtua yang berasal dari dua suku yang berbeda. Ayah AS berasal dari Flores Manggarai sedangkan ibu berasal dari Timor Timur. Selain itu, keluarga AS beragama Katolik. pekerjaan dari ayah adalah sebagai Polisi sedangkan ibu adalah ibu rumah tangga. Selain itu, status ekonominya termasuk dalam golongan menengah. Dalam keluarganya, AS merupakan anak ke-dua dari lima bersaudara. Ayah, dan ibu berada di Maumere, sedangkan kakak tertua serta ketiga saudaranya saat ini tinggal di Manggarai bersama nenek 111 untuk menjalani sekolah. Kakak pertamanya telah bekerja, dan akan menikah sedangkan adik ketiga kuliah, yang keempat di SMA dan yang bungsu masih SMP. Saat ini AS menjalani pendidikan di fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma USD. AS memiliki hubungan yang cukup baik dengan keluarganya. Walaupun AS merantau di Yogyakarta, namun AS dan orangtua sering berkomunikasi lewat telephone . AS merindukan orangtua dan saudara-saudaranya di Flores. Begitu pula orangtua dan saudaranya yang sering menanyakan kapan AS dapat pulang ke Flores. Sejak kecil sekitar umur 3 tahun, AS bersama kakaknya diasuh oleh nenek dan tantenya di flores. Hal ini yang membuat kedekatan AS dengan kakak pertama sangat dekat. Sementara orangtua AS dan ketiga adiknya saat itu berada di Timor Timur. Ketika SMA AS bersekolah di asrama Seminari dan kuliah di Yogyakarta membuat AS jarang berjumpa dengan orangtua dan ketiga adiknya. Kurangnya intensitas perjumpaan antara AS dan orangtuanya sejak kecil tidak menyurutkan kerinduannya untuk berjumpa dengan orangtua dan para saudaranya. Sikap yang sering ditunjukan ayah dan ibu dalam membimbing AS yaitu selain berperan sebagai orangtua yang mendidik dan memberi teladan, kedua orangtuanya bersikap 112 sebagaimana teman. AS menilai bahwa sang ayah memiliki sifat lebih pendiam daripada ibu, hal ini karena menurut AS profesi ayahnya sebagai seorang polisi. Namun sikap ayah yang pendiam, justru mengajarkan banyak hal kepada subjek. AS banyak belajar dari sikap dan tindakan ayahnya. Prinsip ayah yang selalu diingat dan tertanam dalam diri AS adalah “ketika dilahirkan saya menangis dan orang lain tertawa, sedangkan ketika saya meninggal oranglain menangis sedangkan saya tertawa”. Prinsip ini mengajarkan agar dalam hidup kita harus senantiasa berbuat baik kepada semua orang tanpa memandang latarbelakang suku, budaya dan lain sebagainya. Selain itu sikap ayah yang sangat menghargai keputusan dan perkembangan anak membuat AS bangga terhadap ayahnya. AS merasa bangga dengan ayahnya walaupun jarang berkomunikasi dengan ayahnya. AS juga menilai sang ibu sangat berperan besar dalam keluarganya. Walaupun sikap ibu cerewet namun, rasa sayang ibu sangat besar. Sang ibu sangat mengerti kondisi AS dalam kondisi apapun dengan mengarahkan anak- anaknya menjadi pribadi yang lebih dewasa. 113 2 Gambaran Umum Mengenai Kehidupan Subjek 3 di Yogyakarta AS Dalam relasinya dengan teman-teman maupun warga setempat, AS mengaku cukup baik. AS berusaha menjalin relasi yang terbuka dengan siapapun tanpa memandang suku tertentu meskipun kadang AS lupa dengan nama teman-temannya. Sikap yang terbuka dalam menjalin relasi menjadi prinsipnya walaupun, saat kecil AS sudah merasakan diskriminasi dari teman-temannya. Saat berpindah dari Timor Timur ke Flores, AS menjalin pertemanannya dengan anak-anak Flores. Saat itu teman-temannya menganggap AS sebagai pendatang walaupun AS memiliki darah Flores dari ayahnya. AS merasa bingung harus memiliki identitas budaya yang mana. Pernah AS menjadi korban pengeroyokan teman-temannya di Flores karena bukan orang Flores. Saat AS mempelajari bahasa Manggarai Flores, AS dianggap tidak pantas karena pendatang orang Timor-timur. Saat berada di Timor-timur AS melihat bahwa orang Timor-timur pada saat itu menganggap orang Indonesia sebagai penjajah atau dalam sebutan mereka “Javanice”. Ayahnya yang adalah orang Flores, pada saat tinggal di Timor-timur juga mendapat perlakuan diskriminasi dari warga Timor-timur. Pengalaman diskriminasi dan kondisi diskriminasi yang dialami 114 AS sejak kecil membuatnya belajar dewasa dalam berelasi khususnya dengan budaya yang berbeda. Pada awal tinggal di Yogyakarta, AS belajar untuk menyesuaikan diri dengan budaya setempat. Pengalaman diskriminasi yang terjadi di masa lalu, membuat AS belajar untuk menyesuaikan diri di Yogyakarta. AS melihat, pada awal tinggal di kos, warga setempat tidak begitu dekat dengannya. Karena jarak dari kos ke kampus cukup dekat, AS setiap harinya berjalan kaki ke kampus. Dalam keseharian itu, AS berusaha tersenyum dan menyapa warga sekitar yang dijumpainya. Sesekali AS bersama bapak-bapak dan pemuda setempat bermain pimpong dan hal ini membuat mereka semakin akrab. Perjumpaaan yang intens dengan warga setempat membuatnya akhirnya merasa diterima. Prinsip AS adalah dimana dia berada disitu dia berbaur dan menyesuaikan diri dengan senyuman. Hubungan pertemanan AS dengan dengan teman-teman yang berasal dari Flores cukup dekat. AS mengaku bahwa kesehariannya lebih banyak dengan teman-teman komunitas San Egidio. Komunitas ini dominan beranggotakan mahasiswa dari Flores. Namun bukan berarti kedekatan dengan teman-teman Flores membuatnya tidak menjalin relasi yang hangat dengan orang Jawa. 115 Hubungan AS dengan teman-teman dari suku lain juga baik. Di kampus banyak teman-temannya yang berasal dari suku dan daerah di luar pulau Jawa. AS menjaga kedekatan diantara pertemanannya dengan baik termasuk dengan teman-teman yang berasal dari Jawa. Hingga temannya yang dulunya adalah musuh, sekarang berteman sangat baik dengannya. 3 Pandangan Subjek 3 Mengenai Kekerasan Etnis di Yogyakarta AS a Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Etnis AS melihat bahwa kekerasan antar etnis yang sering terjadi karena kurangnya pemahaman orang Jawa setempat maupun orang Timur dalam melihat kedua latarbelakang budaya yang berbeda. Misalnya orang Jawa melihat bahwa orang Timur memiliki raut wajah yang menunjukan orang Timur sebagai orang keras, emosian, dan suka marah. Namun pada kenyataannya dibalik wajah yang garang, hatinya lembut dan baik. Pada umumnya orang Timur memiliki hati yang lembut karena kedekatan mereka sangat kuat dengan sosok ibu. Sehingga sifat mereka sebenarnya berperasaan. Kelemahan orang Timur berada di hati mereka. Akhirnya karena salah persepsi dari warga setempat, kebiasaan-kebiasaan orang Timur 116 dibawa ke Yogyakarta seperti mabuk-mabukan dan sebainya. Namun sebenarnya di Yogya, orang Timurlah yang harus menyesuaikan diri terlebih dahulu dan mengikuti aturan setempat. Bukan menuntut orang Jawa yang harus berubah. 4 Pengalaman Diskriminasi dan Kekerasan yang Dialami Subjek 3 serta Dampak Psikologis AS Perbedaan antara individu dapat menimbulkan diskriminsi. Diskriminasi ada pada setiap individu misalnya berbeda rambut, kulit, kepribadian semuanya dapat menimbulkan diskriminasi. Namun yang terpenting melihat apa kesamaan bukan perbedaan. Ketika orang melihat perbedaan disitulah diskriminasi. Perasaan yang dirasakan AS saat terjadi diskriminasi bagi dirinya maupun teman-teman yang berasal dari Timur adalah perasaan sakit, sedih, cemas, tertekan, tidak bebas. Apalagi saat timbul kekerasan atau keributan yang dilakukan oleh orang Timur perasaan-perasaan tersebut menghantui. Perasaan malu ketika orang Timur menjadi pelaku keributan juga dirasakan oleh AS. Namun AS menyadari bahwa orang Timur juga memiliki kesalahan dengan membuat keributan di Yogya. AS tidak ingin perasaan sakit dan sedih mengalahkan dan mengendalikan dirinya. Sebagai orang Timur, kita harus tahu diri tinggal di tanah orang. 117 Misalnya jika mengonsumsi minum-minuman keras, sebaiknya di dalam kamar bukan di luar rumah yang akhirnya dapat memicu timbulnya kekerasan. Bila perlu kebiasaan minum-minuman beralkohol dihilangkan. AS tidak dapat mengubah pandangan karena memang sebagai orang Timur kita juga tidak menyesuaikan diri dengan baik. Sekarang sikap positif itu yang harus dibangun. Pengaruh kekerasan yang berdampak pada kondisi psikologis AS, mempengaruhi dirinya dalam menjalani pendidikan di Yogyakarta. Misalnya studinya menjadi lama. Karena perasaan tidak tenang dan bebas di Yogyakarta menghantuinya. 5 Upaya Subjek 3 dalam Membentuk Pandangan Positif Warga Yogya AS Sebagai orang Timur, AS menunjukan sikap yang positif dalam berelasi kepada warga Jawa lewat tindakan. Misalnya AS memberikan senyuman, sapaan dan memulai dalam berkomunikasi. Kebiasaan yang baik akan dilihat oleh orang Jawa dan mereka juga akan menilai secara positif sikap kita. Sikap ini juga sebagai bentuk teladan saat AS bersama dengan teman-teman yang berasal dari Timur. Dalam komunitas San Egidio, AS memberikan pelayanan kepada anak-anak jalanan. Dari pelayanan tersebut, AS belajar 118 membuka diri tanpa memandang apapun. Perubahan diri dan upaya untuk melayani anak-anak jalanan sebagai bentuk kesaksian hidup bahwa AS sebagai orang Timur memiliki semangat untuk melayani anak-anak yang berasal dari Jawa tanpa memandang perbedaan yang ada. Sikap tulus untuk membuka diri dan membantu warga dan anak-anak jalanan merupakan pelayanan kita sebagai satu saudara. Ketika kita merasa bahwa semua adalah saudara, tidak ada lagi perbedaan dimata kita. Dari kejadian-kejadian diskriminasi yang terjadi kepada orang Timur, AS mengikuti komunitas San Egidio. Dalam komunitas ini, AS mencoba melayani anak-anak, para lansia dan orang-orang yang tidak diterima di masyarakat. AS belajar untuk mensyukuri hidup. Rasa syukur itu timbul karena AS menyadari bahwa masih banyak orang yang hidup dalam kesusahan namun mereka masih bisa berdiri dan tersenyum. Anak-anak di jalanan, kakek nenek lansia yang menerima AS sebagai saudara tanpa memandang perbedaan membuat AS belajar akan Kasih. Hal ini menguatkan AS meskipun dia adalah minoritas. Bersama teman- teman komunitas, AS belajar arti kasih, dan pluralitas harus ditegakan. Agar Yogyakarta menjadi rumah bagi siapapun yang datang. 119 6 Harapan Subjek 3 Berkaitan dengan kekerasan Etnis di Yogyakarta AS Harapan AS tinggal di Yogyakarta adalah ingin agar kota ini dapat menjadi rumah bagi siapapun yang datang. Dengan menjadi rumah kita dapat menjadi saudara. Sehingga kemanapun AS berada, perasaan nyaman itu yang dirasakan. c. Hasil Observasi AS merupakan seorang remaja Putra asal Flores yang tampak ramah dan murah senyum, cukup hangat, dengan kulit berwarna sawo matang, rambut keriting. AS memiliki postur tubuh yang tidak terlalu tinggi, dan kurus. Pada saat dijumpai di rumah komunitas San Egidio, AS memiliki penampilan sangat sederhana dengan mengenakan celana pendek dan kaos oblong. Sebelumnya AS membersihkan halaman sehingga penampilan sederhana yang tampak. AS memiliki tutur kata yang sopan namun kadang intonasinya tinggi. Selama wawancara, pakaiaan yang dikenakan adalah pakaiaan saat dia bekerja. Karena peneliti sudah cukup lama mengenal subjek, kedekatan yang dirasakan cukup kental antara subjek dan peneliti. Hal ini yang membuat AS terbuka dan tidak canggung ketika menjawab pertanyaan dari subjek. Wawancara dilakukan selama dua kali. Wawancara pertama dilakukan tanggal 4 Juli 2014 pukul 17.30 sampai pukul 18.30 WIB. 120 Sedangkan wawancara kedua berlangsung pada tanggal 8 Juli 2014 pukul 19.00 hingga 19.30 WIB. Wawancara dilakukan sebanyak dua kali karena peneliti merasa masih ada data-data yang kurang. Kedua proses wawancara dilakukan di rumah komunitas komunitas San Egidio Seturan Wawancara pertama dan kedua dilakukan di di ruang tamu rumah komunitas. Saat wawancara pertama tampak suasana sedang sepi karena anggota komunitas lainnya sedang berada di kos-kosannya masing-masing. AS dan peneliti duduk berhadapan dengan dipisahkan sebuah meja. Di atas meja itu peneliti meletakan sebuah alat perekam, sebuah pulpen dan kertas untuk mencatat. Pada akhir-akhir wawancara, AS mengajak subjek untuk melanjutkan wawancara di taman depan karena sekitar jam 19.00 WIB akan diadakan doa rutin komunitas. Saat itu sudah menunjukan pukul 18.20 WIB. Secara proses wawancara, Alo tampak cukup antusias. Hal ini tampak dari jawaban-jawaban AS yang lancar. Namun ketika diberikan pertanyaan-pertanyaan wawancara, yang berkaitan dengan kekerasan AS tampak memberikan jawaban yang bertele-tele. Selain itu selama proses wawancara AS tampak menyimak dengan seksama. Kadang tampak dahinya di kerutkan dan matanya semakin fokus menyimak. Selama proses wawancara kaki AS disilakan di atas bangku. AS menjawab semua pertanyaan peneliti dengan sangat seksama walaupun 121 ada yang diulang-ulang. Selain itu, jawaban yang diberikan AS tampak serius dan sungguh-sungguh sehingga tidak tampak kesan asal-asalan dalam menjawab. Sesekali dalam menjawab AS tampak tersenyum atau ketawa. Namun secara keseluruhan proses wawancara, Yosi menjalaninya dengan lancar tampa hambatan. 4. Subjek 4 a. Identitas Nama : MR Jenis Kelamin : Laki-laki Tempat Tanggal Lahir : Bajawa, 15 Agustus 1991 Usia : 23 tahun Pendidikan Terakhir : SMA Urutan Kelahiran : Anak ke-tiga dari tiga bersaudara Status : Mahasiswa Hobi : Bermain sepakbola, berorganisasi b. Hasil Wawancara 1 Deskripsi Subjek Subjek keempat berinisial MR. MR dilahirkan dari orangtua yang berasal dari suku Bajawa Flores. Ayah MR berasal dari Flores Bajawa dan ibunya juga berasal dari Bajawa, sebuah 122 daerah yang berada di tengah-tengah pulau Flores. Keluarga MR beragama Katolik. Pekerjaan dari ayah adalah sebagai Pegawai Negeri Swasta yang sekarang telah pensiun di Bajawa. Sedangkan ibu adalah seorang ibu rumah tangga yang sekarang telah almarhumah. Selain itu, status ekonominya termasuk dalam golongan menengah. Dalam keluarganya, MR merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Ayah, dan kedua saudaranya berada di Bajawa. Kedua kakaknya telah berkeluarga dan sedang berkerja di Bajawa. MR memiliki hubungan yang cukup baik dengan keluarganya. Dalam menjalin relasi dengan keluarganya, MR berkomunikasi lewat telephone . Saat ini ayahnya merupakan single parent karena sang ibu telah meninggal dunia. Kedekatannya dengan saudara-saudaranya cukup dekat walaupun saat ini saudaranya telah bekerja dan berkeluarga. 2 Gambaran Umum Mengenai Kehidupan Subjek 3 di Yogyakarta AS Relasi MR dengan teman-teman dari budaya Flores yang tinggal di Yogyakarta cukup dekat, walaupun MR jarang berjumpa dengan mereka. Hal ini karena aktifitas MR lebih banyak melayani di komunitas San Egidio. Kalaupun berjumpa, MR tetap menyapa 123 dan menegur mereka. Karena mereka telah mengetahui bahwa MR dari Flores dan termasuk lama tinggal di Yogyakarta maka, kadang adik-adik mahasiswa baru datang berkunjung padanya dan menyapa terlebih dahulu. MR jarang berelasi dengan mereka juga dikarenakan, karena MR berpikir bahwa sudah saatnya adik-adik dari Flores membangun relasi tidak hanya dengan teman-teman satu suku melainkan berbaur dengan warga maupun mahasiswa- mahasiswa dari Jawa. Tujuannya agar mereka dapat melihat secara lebih dekat keberagaman dimana sikap saling menghargai itu dirasakan oleh adik-adik dari Flores. Namun bukan berarti MR menutup diri terhadap adik-adik Flores. Perjumpaan dengan saudara-saudara dari Flores sebagai bentuk jalinan relasi yang mengingatkannya akan tanah kelahiran sehingga membuatnya tidak lupa dengan keluarganya di Flores. 3 Pandangan Subjek 4 Mengenai Kekerasan Etnis di Yogyakarta M a Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Etnis Sebagai mahasiswa yang tinggal di Yogyakarta hampir sebelas tahun, membuat MR memandang bahwa Yogyakarta adalah kota yang memiliki predikat yang cukup baik dalam hal keberagaman dan Pluralitas. Dengan beraneka budaya dan suku dari para mahasiswa yang ada di Yogyakarta, membuatnya 124 memberikan rasa salut terhadap kota Yogya. Setiap suku, budaya dan agama ada di kota Yogyakarta dan setiap orang saling menghargai keberagaman tersebut. Namun menurut MR, memang ada beberapa kelompok yang menjadi provokator dibalik kekerasan yang terjadi. Pada tahun-tahun 2012 ke bawah, ada kasus-kasus kekerasan yang terjadi namun tidak mencuat seperti saat ini. Misalnya saja kasus di LP Cebongan dan pembunuhan-pembunuhan yang pemberitaannya mengangkat etnis, agama tertentu sebagai biang kerok. Tahun 2013 dan 2014 Yogyakarta tampak keluar dari simbol keberagaman karena kasus-kasus kekerasan etnis. Penerimaan masyarakat masih ada, namun mereka tidak sepenuhnya menerima. Menurut MR, penyebab timbulnya konflik dan kekerasan adalah cukup banyaknya mahasiswa Timur yang kuliah di Yogyakarta. Bervariatifnya mahasiswa Timur, membuat sulit dilakukan kontrol terhadap mereka. Selain itu mahasiswa-mahasiswa Timur merasa memiliki kekuatan tinggal di tempat rantauaannya karena semakin banyak teman- teman satu daerah yang kuliah di Yogyakarta. Kadang pandangan negatif yang orang Jawa berikan membuat MR merasa sedih. Namun pandangan itu harus kita terima sebagai 125 bentuk bahan introspeksi diri untuk berubah. Orang Timur telah melewati batas-batas toleransi yang diberikan oleh orang- orang Yogya walaupun tidak semua masalah muncul dari orang Timur, ada juga dilakukan oleh orang setempat. Secara budaya antara orang Timur dan Jawa cukup berbeda. Orang Timur tidak terlalu suka diatur dengan aturan yang ketat atau ditegur secara berulang-ulang. Misalnya ada teman dari daerah yang datang kemudian kami kumpul dan minum-minum. Ini merupakan budaya Timur dalam menyambut teman dengan berkumpul dan minum. Saat lingkungan warga setempat merasa terusik, mereka menegur. Kami yang memiliki teman yang berasal dari Timur merasa tidak enak bukan hanya kepada masyarakat, namun lebih kepada teman yang datang berkunjung. Hal ini mengakibatkan konflik dan perdebatan antara orang Timur dan warga setempat. Masalah yang mendasari timbulnya konflik ini karena komunikasi dimana orang Jawa tidak mengerti budaya dari Timur, dan orang Timur merasa tidak dihargai dan tidak tahu bersikap di budaya Jawa. MR pernah menyatakan kepada teman-temannya yang berasal dari Jawa bahwa, kami memang dibentuk dari budaya yang berbeda sehingga kami minta maaf jika mengganggu 126 kenyamanan warga setempat. Namun bukan karena masalah perbedaan itu kami dibenci. Orang Timur sebenarnya tidak tahu bagaimana caranya bersikap di budaya Jawa yang berbeda. Karena tidak baik juga jika yang menjadi sasaran kebencian orang Jawa adalah mereka mahasiswa yang baru kuliah di Yogyakarta dan tidak tahu menahu soal kekerasan dan konflik di Yogyakarta. Mungkin kebiasaan di Timur masih melekat dalam diri mereka dan mereka tidak dapat disalahkan. Mungkin orang Timur butuh waktu dan proses untuk menyesuaikan diri di Yogyakarta. Satu-satunya cara yang harus dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa dari Timur adalah keluar dari kelompok budaya eksklusif dan membaur dengan masyarakat dan budaya setempat inklusif. Tujuannya dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan setempat tanpa menghilangkan budaya yang telah dianut sejak kecil. Contohnya mahasiswa-mahasiswi asal Indonesia Timur yang dulu kakak dan om kuliah di Yogya membuat banyak program dari organisasinya yang melibatkan warga maupun orang Jawa setempat. Akhirnya mahasiswa Timur yang dulu dapat memahami karakter orang Jawa setempat dan budaya setempat yang dianut. Selain itu, antara senior dari beberapa budaya di Flores, saat itu memiliki 127 kedekatan yang erat. Saat ini, antara senior kurang memiliki kedekatan. Sehingga jika ada konflik tidak dibicarakan terlebih dahulu dan kekerasan menjadi solusi akhir. Sebagai kakak senior, MR berusaha memberitahukan kepada adik-adik dari Timur untuk membangun relasi dengan teman-teman dari budaya yang berbeda atau dengan warga masysrakat setempat. 4 Pengalaman Diskriminasi dan Kekerasan yang Dialami Subjek 4 serta Dampak Psikologis MR Melihat diskriminasi dan kekerasan yang terjadi di Yogyakarta membuat MR tidak sepenuhnya menyalahkan pandangan warga setempat. Yang pertama dilakukan oleh MR adalah mengoreksi diri bahwa pandangan dari warga Jawa sebenarnya menjadi bahan refleksi bagi mahasiswa Timur yang kuliah di Yogyakarta. Sebenarnya orang Timur harus berubah. Sebenarnya konflik dan kekerasan antar etnis terjadi karena orang setempat tidak dapat membendung lagi kesabaran mereka yang selama ini mereka tahan. Mereka sebenarnya telah sabar memaklumi keributan-keributan yang selama ini dilakukan oleh beberapa orang Timur. Namun orang-orang yang melakukan kekerasan merasa bahwa orang Jawa akan mengerti dan memaklumi kekerasan yang orang Timur lakukan. Sehingga orang 128 Timur merasa melunjak, bebas dan tidak berhenti membuat keributan di Yogyakarta. Misalnya ada beberapa kasus dimana orang Jawa setempat menjadi korban kekerasan dan mereka memakluminya. Hari berikutnya kekerasan dilakukan lagi oleh orang Timur hingga seterusnya. Sikap kesabaran yang selama ini dirasakan oleh Jawa tidak terbendung lagi dan akhirnya timbul diskriminasi dan kekerasan juga dari beberapa orang Jawa. Pandangan yang diberikan oleh orang Jawa bahwa orang Timur sebagai pembuat keributan adalah wajar. MR memiliki beberapa pengalaman diskriminasi pasca kasus Cebongan terjadi. Pada saat itu MR hendak mencari kos. Saat menemukan kos yang kosong MR bernegosiasi dengan pemilik kos. Saat bertanya tentang kos, pemilik kos mengatakan bahwa kosnya telah penuh. MR berusaha mengklarifikasikan pemilik kos bahwa di luar terpampang pemberitahuan menerima kos putra namun kenapa dia tidak diterima. Pemilik kos mengatakan kebetulan kamar tersebut baru dipesan, dan ada keluarga yang mau tempati dengan berbagai alasan agar MR tidak menempati kamar tersebut. MR seketika menanyakan apa yang membuat saya tidak diterima di sini. Pemilik kos menjawab “mungkin karena masalah Cebongan”. MR ingin menjelaskan, namun pemilik kos langsung mengatakan bahwa tidak punya 129 waktu. MR merasa kecewa dengan sikap dari pemilik kos yang memberikan stigma dan pandangan negatif namun dia berusaha menerima. Peran media juga terlalu membesar-besarkan pemberitaan bahwa orang etnis atau suku tertentu dalam hal ini Papua, NTT, Ambon dan sebainya menjadi biang kerok dari masalah kekerasan etnis di Yogya. Padahal sebenarnya yang harus diangkat adalah orangnya atau individu yang melakukan kekerasan bukan budaya atau sukunya. Suku dan budaya tidak bersalah yang bersalah adalah individunya. Sehingga peran media cukup besar dalam menimbulkan konflik dan pandangan negatif dari warga Jawa terhadap masyarakat NTT secara umum. cemas dan takut juga dirasakan oleh MR tinggal di Yogyakarta. MR merasa takut jika menjadi sasaran amarah dari masyarakat Yogyakarta. Saat berkendara motor MR takut dihakimi dan dipukul oleh warga Yogya. MR mengaku takut saat keluar malam. Apalagi para korban kekerasan Cebongan merupakan kenalan MR yang pernah berjumpa dengan MR. Perasaan cemas juga dirasakan MR kepada adik-adik mahasiswa baru yang datang di Yogyakarta dan menjadi korban kekerasan atau diskriminasi dari orang Jawa setempat. MR berpikir dia saja yang telah lama tinggal di Yogya memiliki masalah seperti ketakutan dan kecemasan tadi, apalagi adik-adik mahasiswa baru yang tidak tahu apa-apa menjadi 130 korban. Ada kepedualian yang dirasakan MR kepada adik-adik yang baru kuliah di Yogyakarta. Hal ini terbukti saat adik-adik kos mau mencari kos-kosan mereka mendapat kos-kosan yang kebetulan kenalan dari teman-teman mereka. Untuk memperoleh kos-kosan saja sulit bagi mahasiswa NTT. Pada awal-awal masuk kuliah, MR pernah menjadi korban salah pembacokan oleh enam orang mahasiswa NNT. Saat itu MR ditelephone oleh teman-temannya yang sedang berselisih dengan warga NTT lain. MR yang ditelephone merasa ingin menenangkan dan membantu mereka yang ketakutan. Bukannya membantu menenangkan teman-temannya, malah menjadi korban pembacokan yang sebenarnya bukan ditujukan padanya. Saat itu MR mendapat dua luka bacokan di punggung dan harus dirawat dirumah sakit. Pengalaman itu membuatnya trauma dan akhirnya cuti kuliah selama tiga tahun. Sehingga saat ini baru bisa melanjutkan kuliahnya lagi. Hal ini menjadi pelajaran bagi korban untuk tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan dan juga tidak sepenuhnya member kepercayaan kepada teman-teman dari satu daerah. Karena antar daerah juga bisa terjadi konflik dan kekerasan. Selain itu, tidak semua masalah bisa dilakukan melalui kekerasan. Pada saat itu orangtua MR marah dan kecewa dengan musibah yang dialaminya. Untung sang ibu sangat memahami 131 kondisi yang dialami ibu. “mungkin Tuhan memberi pembelajaran dalam hidupmu, bahwa tidak selamanya hidup berjalan mulus. Setelah kejadian pembacokan, sebulan kemudian ibu MR meninggal dunia. MR merasa terpukul sekali dengan musibah beruntun yang dia alami dan membuatnya tidak bisa menerima. Pada saat itu MR tidak bebas, tidak dapat menyalurkan hobi bermain bola, atau berorganisasi yang mana hal itu sangat digemari olehnya. MR merasa stress karena tidak bebas bergerak dan beraktifitas seperti biasanya. Dampak kekerasan member dampak yang sangat berat. Semuanya akhirnya menjadi pembelajaran bagi MR untuk lebih tenang dalam menghadapi segala macam hal, dan memaafkan oranglain. Kasus ini pernah dibawa hingga ke pengadilan. Namun MR tidak melanjutkan karena dia berjanji untuk tidak membalas kejadian itu kepada pelakunya. Saat berjumpa dengan para pelaku kekerasan, MR menunjukan sikap yang ramah dengan menegur. Namun karena merasa malu kepadanya, mereka akhirnya menghindar darinya hingga saat ini. Bukan dengan kekerasan untuk membalas namun dengan kasih cara terbaik untuk membalasnya. Walaupun orang menganggap pengalaman itu adalah pengalaman paling sial, MR mengganggapnya sebagai pengalaman paling berharga saat berhadapan dengan kematian. Semuanya mengajarkan banyak hal 132 positif hingga saat ini MR menjadi sangat kuat menerima semua kondisi berat yang dialami walaupun secara manusiawi dia tetap sedih. Kadang ada rasa kangen dengan almarhum ibunya dan tidak terima dengan pengalaman tersebut. Hingga saat ini MR merasakan hal itu saat-saat sendiri. 5 Upaya Subjek 4 dalam Membentuk Pandangan Positif Warga Yogya MR Upaya-upaya yang dilakukan oleh MR dalam membentuk pemikiran positif dan menjadi contoh bagi adik-adik mahasiswa baru adalah melayani di komunitas San Egidio. Pelayanan- pelayanan yang dilakukan bersama komunitas mungkin di zaman ini tidak popular di mata teman-teman mahasiswa. Namun melaui pelayanan ini sekaligus menjadi kesaksian bagi warga Jawa bahwa MR memiliki kepedulian kepada anak-anak jalanan, orang-orang yang membutuhkan bantuan, kaum marginal dan para lansia. Melalui pelayanan tersebut, MR merasa dikuatkan dengan keberadaan mereka. Sudah tidak ada perbedaan lagi diantara MR dengan mereka. Yang ada adalah perasaan sebagai satu saudara. Selain itu, pelayanan ini menjadi kesaksian bagi adik-adik mahasiswa baru untuk membangun sikap toleransi diantara siapapun baik itu dari suku, budaya, agama yang berbeda. MR 133 belajar bahwa orang miskin tidak hanya dilihat dari harta dan kekayaan, namun miskin bisa dalam bentuk perhatian, kasih sayang, pelukan dan sebagainya. Hal ini yang membuat MR melihat bahwa setiap orang pasti membutuhkan oranglain. Setiap individu tidak dapat hidup sendiri tanpa individu lain. Dengan kesaksian itu, orang-orang yang dilayani memberi kesan bahwa orang Timur atau Flores ternyata tidak seperti yang dipikirkan. Mereka juga memiliki hati untuk saling membantu dan menolong. Seorang pemuda jalanan pernah menayakan “mengapa kalian mau m embantu kami?”. MR menjawab “karena saya melihat kalian sebagai saudara”. MR sering menasehati adik-adik dari Timur bahwa tinggal di Yogya bukan sekedar untuk kuliah dan pandai secara teori, namun juga harus pandai dalam membangun relasi sosial dengan siapapun bukan hanya dari teman-teman satu budaya. Nasehat yang diberikan MR bukan sebagai suatu paksaan namun pilihan. Yang terpenting baginya adalah contoh dan teladan melalui tindakan. Sebagai orang Timur kita juga memiliki tugas untuk menjelaskan lewat kegiatan-kegiatan positif yang sifatnya membangun kebersamaan antar budaya, misalnya melakukan bakti sosial, pentas budaya dan lain-lain. Kegiatan-kegiatan positif ini sebenarnya dulu pernah dilakukan para mahasiswa dari Timur, 134 namun sekarang telah pudar. Kegiatan ini bertujuan untuk membangun relasi yang baik antara mahasiswa Timur dengan warga setempat agar Timur rasa persaudaraan yang erat. Namun saat ini yang terjadi, suatu masalah diselesaikan dengan kekerasan bukan dengan dialog atau diskusi. Hal ini yang dirasakan hilang dari mahasiswa-mahasiswa asal Timur. 6 Harapan Subjek 4 Berkaitan dengan kekerasan Etnis di Yogyakarta AS Harapan MR adalah saudara-saudara dari Timur dapat sadar bahwa kita tinggal di tanah orang harus menunjukan sikap sopan dan tahu diri ditempat rantauaan. Sikap ini ditunjukan melaui sikap positif dan baik dengan warga Yogyakarta bentuk bergaul, menjalin relasi, senyum, menyapa, menerima aturan maupun budaya setempat dan berbaur dengan warga Jawa. Jika sikap positif kita bangun, orang warga Yogyakarta akan bersikap positif dengan kita. Selain itu prestasi dalam kuliah dan talenta yang dimiliki harus harus tampak dalam diri mahasiswa-mahasiswa Timur khususnya NTT. Tujuannya agar kita dapat dihargai oleh orang Jawa setempat bukan dengan kekerasan namun lewat kualitas hidup. Sehingga kekeluargaan antara mahasiswa NTT dan warga Yogyakarta dapat erat. 135 c. Hasil Observasi MR merupakan seorang remaja Putra asal Flores yang senang berbicara, perawakan tegas, namun cukup hangat, dengan kulit berwarna gelap, rambut keriting. MR memiliki postur tubuh yang sedang, dan sangat kurus. Pada saat dijumpai di rumah komunitas San Egidio, MR memiliki penampilan yang santai dengan mengenakan celana panjang jeans dan kaos oblong berwarna hitam. Wawancara dengan MR dilakukan setelah peneliti melakukan wawancara dengan subjek ketiga AS. Setelah melakukan wawancara dengan subjek ketiga, peneliti menunggu menunggu MR yang saat itu masih di tempat kosnya. Kira-kira setengah jam kemudian, Mario datang diboncengi teman kosnya. Wawancara dilakukan di rumah komunitas San Egidio. Wawancara dilakukan selama dua kali yaitu tanggal 13 Juli 2014 pada pukul 19.30 hingga 20.15 WIB dan wawancara kedua dilakukan pada tanggal 19 Juli pada pukul 19.00 WIB hingga 19.30 WIB. Wawancara dilakukan sebanyak dua kali karena peneliti merasa masih ada data- data yang kurang. Saat kedua wawancara berlangsung, MR dan peneliti duduk di taman. Pada saat itu wawancara berlangsung di malam hari dengan kondisi taman cukup terang dengan adanya lampu taman. MR dan peneliti duduk berhadapan tanpa ada meja. Hal ini karena wawancara 136 dilakukan di taman. Peneliti memegang alat perekam di tangan kiri sambil memangku buku dan tangan kanan memegang pulpen untuk menulis. Pada awalnya peneliti cukup berhati-hati dalam memberi pertanyaan, karena belum mengenal subjek sebelumnya. Namun setelah menjalin komunikasi, tampak subjek ramah. Selama proses wawancara, MR tampak cukup antusias. Hal ini tampak dari jawaban-jawaban MR yang lancar dan bervariatif. Namun kadang ketika diberikan pertanyaan-pertanyaan wawancara, MR menjawabnya dengan bertele-tele dan sesekali mengulang jawaban yang sama. Selama proses wawancara MR tampak menyimak dengan seksama. Kadang tampak dahinya di kerutkan, matanya semakin fokus menyimak, dan tangannya diayun-ayunkan. Selama proses wawancara MR menjawab dengan cepat, dikarenakan gaya berbicaranya yang cepat. MR menjawab semua pertanyaan peneliti dengan sangat seksama walaupun ada yang diulang-ulang. Selain itu, jawaban yang diberikan MR tampak serius dan sungguh-sungguh sehingga tidak tampak kesan asal-asalan dalam menjawab. Sesekali dalam menjawab MR tampak tersenyum atau ketawa. Secara keseluruhan proses wawancara, MR menjalaninya dengan lancar tanpa hambatan. 137

C. Rangkuman Tema Temuan Penelitian

Tabel 6 Rangkuman Tema Temuan Penelitian Fokus Penelitian Rumusan Tema Temuan Penelitian Rincian Tema 1. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan etnis antara mahasiswa asal Indonesia Timur dan warga Yogyakarta 1.1. Perbedaan Antar Individu 1.2. Perbedaan Budaya 1.3. Bentrokan Kepentingan 1.4. Persaingan 1.1.1. Perbedaan fisik meliputi warna kulit, rambut, perawakan, dan wajah 1.1.2. Sifat dan karakter setiap individu berbeda-beda 1.1.3. Frustasi yang dialami individu korban kekerasan 1.2.1 Perbedaan pada gaya dan nada berbicara 1.2.2 Kebiasaan saat berkumpul atau menyambut kerabat dari etnis yang sama Mahasiswa Indonesia Timur  mabuk dan menimbulkan suasana ramai 1.2.3 Kebiasaan dalam menaati aturan lalu lintas pada masing- masing budaya 1.3.1. Membandingkan intelektual mahasiswa Jawa dan Indonesia Timur untuk tujuan motivasi. 1.3.2. Biaya hidup yang murah di Yogyakarta membuat mahasiswa Timur menyalahgunakan untuk mabuk. 1.3.3. Peran media dalam menginformasikan kekerasan etnis di Yogyakarta. 1.4.1. Persaingan Kebudayaan 1.4.2. Persaingan Ras 2. Prasangka dan akibat prasangka 2.1. Pengucilan sosial 2.2. Konflik dan kekerasan Sosial 2.1.1. Tidak diterima tinggal di kos- kosan, ditolak oleh teman kelas, dan pernyataan yang menyepelekan. 138 3. Dampak Sosio- Psikologis dari diskriminasi dan Kekerasan Etnis di Yogyakarta 3.1. Harga Diri Rendah 3.2. Kecemasan 3.3. Depresi 3.4. Stress Pasca Trauma 3.5. Rasa malu 3.6. Tertekan 3.1.1. Perasaan sedih, terpukul dan tidakberdaya dianggap sebagai individu yang harus dikucilkan. 3.2.1. Perasaan cemas menjadi korban kekerasan oleh warga Yogyakarta. 3.2.2. Perasaan cemas terhadap adik- adik mahasiswa baru asalTimur yang kuliah di Yogyakarta. 3.3.1. Depresi karena menjadi korban kekerasan dan tertimpa pengalaman lain yang menyakitkan. 3.4.1. Kekerasan mengakibatkan timbulnya stress pada mahasiswa misalnya tidak berkonsentrasi dalam kuliah, perasaan tidak aman tinggal di Yogya, takut menjadi korban kekerasan, dan tidak dapat beraktifitas dengan baik. 3.5.1. Perasaan malu dirasakan karena masih ada mahasiswa asal Indonesia Timur yang membawa kebiasaan buruk seperti mabuk dan membuat keributan di yogya 3.6.1. Diskriminasi dan kekerasan etnis mengakibatkan perasaan dihantui ketakutan menjadi korban kekerasan warga serta tidak nyaman menjalani kuliah di Yogyakarta. 4. Upaya untuk mengurangi Kekerasan Etnis di Yogyakarta 4.1. Upaya yang dibangun dari dalam diri 4.2. Upaya yang dilakukan bersama komunitas 4.1.1. Sikap ramah, menghormati aturan, mau menyesuaikan diri dengan warga Yogya. 4.2.1. Memberi pemahaman dalam meyesuaikan diri di Yogyakarta pada mahasiswa asal baru asal Indonesia Timur