BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa kemajuan pada berbagai aspek kehidupan. Hal tersebut menuntut setiap orang untuk bisa
mengikuti perkembangan agar tidak ketinggalan jaman. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi perlu ada usaha peningkatan
kualitas sumber daya manusia. Seseorang perlu belajar agar terus dapat mengembangkan potensi dan daya yang mereka miliki. Dengan kata lain perlu
ada kegiatan pendidikan bagi individu-individu menjadi orang yang berkemampuan.
Sekolah telah menjadi tempat bagi orang-orang menimba ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin hari semakin berkembang. Di
sekolah, kemampuan individu siswa sebagai orang yang mencari ilmu akan dikembangkan. Perkembangan kemampuan siswa tersebut ditunjukkan dari
capaian prestasi belajar. Tentu saja prestasi yang dicapai siswa dalam belajar di sekolah ini tidak hanya dari apa yang telah diberikan dan dipelajari di
sekolah, tetapi juga dari pengalaman belajar serta dorongan baik dari dalam dan luar diri siswa
http:www.pikiran-rakyat.comcetak 20050505161104
.htm. Tinggi rendahnya prestasi belajar siswa diduga kuat berhubungan
dengan tingkat kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional adalah 1
kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi
dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain Goleman, 1999:512. Siswa yang bisa memotivasi diri untuk belajar dan
dapat mengolah emosi untuk mendorong diri sendiri dalam hal membangun sikap positif menanggapi masalah, maka akan mudah meraih prestasi
belajarnya. Sebaliknya pada siswa yang tidak dapat memotivasi diri dan mengolah, maka akan menghambat mereka dalam mencapai prestasi
belajarnya. Derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa
diduga kuat dipengaruhi oleh locus of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah. Locus of control merupakan suatu keyakinan atau kepercayaan dari
individu atas penentu hidupnya. Ada individu yang memiliki kepercayaan diri tinggi, namun ada individu yang hidupnya ditentukan dari luar dirinya.
Dengan demikian derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa diduga kuat berbeda pada locus of control yang berbeda. Pada
locus of control internal, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang
memiliki locus of control eksternal. Hal demikian disebabkan siswa memiliki keyakinan bahwa apa yang terjadi pada dirinya disebabkan oleh dirinya sendiri
sehingga berdasarkan kesadaran itu siswa akan belajar giat untuk mencapai prestasi belajar. Sebaliknya siswa dengan locus of control eksternal cenderung
lebih pasrah dan menerima nasibnya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kultur keluarga adalah suatu nilai-nilai yang dimiliki suatu masyarakatkeluarga yang merupakan hasil kajianpengalaman yang
berlangsung turun temurun. Derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa diduga kuat berbeda pada kultur keluarga yang berbeda.
Pada kultur keluarga yang bercirikan power distance kecil, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa lebih tinggi dibandingkan
siswa yang berasal dari kultur keluarga dengan power distance besar. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari kultur keluarga dengan power distance
kecil yang tampak dari ketaatan pada norma keluarga, menghormati orang tua, orang tua punya otoritas, dan punya ketergantungan orang tua maka
kecerdasan emosionalnya lebih tinggi. Sebaliknya pada siswa yang berasal dari kultur keluarga dengan power distance besar, maka kecerdasan
emosionalnya rendah. Pada kultur keluarga yang bercirikan collectivism, derajat hubungan
kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa lebih tinggi dibandingkan siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan individualism. Hal ini
disebabkan siswa yang berasal dari kultur keluarga bercirikan collectivism yang tampak dari adanya demokrasi dalam keluarga, setia pada kelompok,
mampu mengelola keuangan untuk keluarga, merasa bersalah jika melanggar peraturan, dan keluarga menjadi tempat berkumpul anggota keluarga maka
kecerdasan emosionalnya lebih tinggi. Sebaliknya pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan individualism, maka kecerdasan
emosionalnya rendah. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pada kultur keluarga yang bercirikan femininity, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa lebih rendah dibandingkan
siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan masculinity. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari kultur keluarga bercirikan femininity yang
tampak dari adanya jarak relasi antara anak dan orang tua, perbedaan peran orang tua, peran wanita lebih rendah dari pria, dan belajar bersama menjadi
rendah hati maka kecerdasan emosionalnya lebih rendah. Sebaliknya pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan masculinity, maka
kecerdasan emosionalnya lebih tinggi. Pada kultur keluarga yang bercirikan uncertainty avoidance lemah,
derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa lebih tinggi dibandingkan siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan
uncertainty avoidance kuat. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari kultur keluarga bercirikan uncertainty avoidance lemah yang tampak dari adanya
inisiatif terhadap situasi yang tidak pasti, keluarga menjadi tempat untuk belajar, dan memiliki aturan maka kecerdasan emosionalnya lebih tinggi.
Sebaliknya pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan uncertainty avoidance kuat, maka kecerdasan emosionalnya lebih rendah.
Kultur sekolah adalah suatu nilai yang dianut oleh sekolah yang mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya kualitas kehidupan sekolah.
Derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa diduga kuat berbeda pada kultur sekolah yang berbeda. Pada kultur sekolah yang
bercirikan power distance kecil, derajat hubungan kecerdasan emosional siswa PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang berasal dari kultur sekolah dengan power distance besar. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari
sekolah dengan power distance kecil yang tampak dari adanya pembelajaran berpusat pada siswa, kesempatan bertanya, bebas berpendapat, ada komunikasi
dua arah, orang tua mempunyai peran, pengembangan kemampuan dan bakat, dan aturan serta norma di sekolah maka kecerdasan emosionalnya lebih tinggi.
Sebaliknya siswa yang berasal dari kultur sekolah dengan power distance besar, maka kecerdasan emosionalnya lebih rendah.
Pada kultur sekolah yang bercirikan collectivism, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa lebih rendah dibandingkan
siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan individualism. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari kultur sekolah bercirikan individualism
yang tampak dari adanya kebebasan mengungkapkan pendapat, penyelesaian tugas, tingkat penerimaan diri terhadap orang lain, bersikap positif dalam
mengerjakan tugas, dan punya tujuan untuk berprestasi maka kecerdasan emosionalnya lebih tinggi. Sebaliknya pada siswa yang berasal dari kultur
sekolah yang bercirikan collectivism, maka kecerdasan emosionalnya rendah. Pada kultur sekolah yang bercirikan femininity, derajat hubungan
kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa lebih rendah dibandingkan siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan masculinity. Hal ini
disebabkan siswa yang berasal dari kultur sekolah bercirikan femininity yang tampak dari kurang adanya kompetensi di dalam kelas, siswa tidak
berorientasi pada prestasi, dan kurangnya kompetensi guru maka kecerdasan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
emosionalnya lebih rendah. Sebaliknya pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan masculinity, maka kecerdasan emosionalnya lebih
tinggi. Pada kultur sekolah yang bercirikan uncertainty avoidance lemah,
derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa lebih tinggi dibandingkan siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan
uncertainty avoidance kuat. Hal ini disebabkan siswa yang berasal dari kultur sekolah bercirikan uncertainty avoidance lemah yang tampak dari adanya
kejelasan guru dalam menerangkan, kedekatan hubungan antara guru, siswa dan orang tua, dan tingkat penerimaan siswa dengan kekurangan guru maka
kecerdasan emosionalnya lebih tinggi. Sebaliknya pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan uncertainty avoidance kuat, maka
kecerdasan emosionalnya lebih rendah. Berdasarkan uraian di atas peneliti ingin mengidentifikasi apakah locus
of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah yang berbeda berpengaruh pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa yang
berbeda pula. Penelitian ini selanjutnya dituangkan dalam judul “Pengaruh Locus of Control, Kultur Keluarga, dan Kultur Sekolah pada Hubungan
Antara Kecerdasan Emosional dengan Prestasi Belajar Siswa”. Penelitian
ini merupakan survei pada siswa SMP Negeri dan Swasta di Kabupaten Bantul.
B. Batasan Masalah