C. Kultur Sekolah
1. Pengertian kultur sekolah Kultur merupakan pandangan hidup yang diakui bersama oleh
suatu kelompok masyarakat, yang mencakup cara berfikir, perilaku, sikap, nilai yang tercermin baik dalam bentuk fisik maupun abstrak. Kultur ini
juga dapat dilihat sebagai suatu perilaku, nilai-nilai, sikap hidup, dan cara hidup untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungan, dan sekaligus
cara untuk memandang persoalan dan memecahkannya. Oleh karena itu, suatu kultur secara alami akan diwariskan oleh satu generasi kepada
generasi berikutnya. Sekolah merupakan lembaga utama yang didesain untuk
memperlancar proses transmisi kultural antar generasi tersebut. Antropolog Clifford Geertz dalam Sumarni, 2005 mendefinisikan kultur
sebagai pola nilai, norma, sikap hidup, ritual, dan kebiasaan yang baik dalam lingkungan sekolah, sekaligus cara memandang persoalan dan
memecahkannya. Merujuk pada konteks organisasi Depdiknas, 2002 kultur adalah kualitas kehidupan yang diwujudkan dalam aturan-aturan
atau norma, tata kerja, kebiasaan, gaya seorang anggota. Kualitas itu tumbuh dan berkembang sesuai nilai-nilai dan spirit atau keyakinan yang
dianut oleh organisasi. Kultur dapat dipahami dari dua sisi batiniah dan lahiriah. Dari sisi batiniah berupa nilai, prinsip, semangat, keyakinan yang
dianut oleh organisasi. Pada sisi lahiriah berupa aturan atau prosedur yang mengatur hubungan antar anggota organisasi baik formal maupun
informal, prosedur kerja yang harus diikuti anggota organisasi, kebiasaan kerja yang dimiliki keseluruhan anggota kelompok.
Kultur sekolah merupakan suatu sistem sosial yang mempunyai organisasi yang unik dan pola relasi sosial diantara anggotanya yang
bersifat unik pula Vembrianto, 1993:81-82. Tiap-tiap sekolah mempunyai kultur yang bersifat unik. Tiap-tiap sekolah mempunyai
aturan, kebiasaan, serta lambang-lambang yang memberikan corak khas kepada sekolah yang bersangkutan. Kultur mempunyai pengaruh
mendalam terhadap proses dan cara belajar siswa. Apa yang dihayati siswa berupa sikap dalam belajar, sikap terhadap kewibawaan dan juga sikap
terhadap nilai-nilai bukan berasal dari kurikulum sekolah yang bersifat formal melainkan berasal dari kultur sekolah.
Kultur sekolah diartikan sebagai kualitas kehidupan sebuah sekolah yang tumbuh dan berkembangan berdasarkan nilai atau spirit yang
dianut sekolah tersebut. Kualitas ini mewujudkan pada keseluruhan anggota sekolah Depdiknas, 2002. Jadi, sesuai dengan hal yang terkait
dengan kultur, maka kultur sekolah bisa diartikan sebagai suatu nilai yang dianut oleh sekolah yang mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya
kualitas kehidupan sekolah. Menurut Dapiyanta 1995:93, kultur sekolah merupakan
perilaku lahir batin dari komunitas sekolah dalam menjalankan kehidupan sekolah yang berpola dan mentradisi. Mentradisi disini tidak berarti
berhenti, melainkan dinamis dan selalu berproses. Kultur sekolah yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
positif dapat menghasilkan produk kultur yang baik seperti: peningkatan kinerja individu dan kelompok, peningkatan kinerja sekolah dan institusi,
terjamin hubungan yang sinergi antara warga sekolah, timbul iklim akademik yang baik serta interaksi yang menyenangkan.
Berdasarkan pengertian kultur tersebut di atas, kultur sekolah dapat dideskripsikan sebagai pola nilai-nilai, norma-norma, sikap, ritual,
mitos dan kebiasaan-kebiasaan yang dibentuk dalam perjalanan panjang sekolah.
2. Dimensi kultur sekolah Kultur dapat dibedakan ke dalam enam tingkatan, yaitu: a
national level, a regional level etc, a gender level, a generation level, a social class level, dan an organizational or corporate level Hofstede,
1991:10. Pada tingkat nasional kultur dapat dikenali berdasarkan dimensi yang mencakup: power distance, collectivism vs individualism, femininity
vs masculinity, dan uncertainty avoidance from weak to strong. Dimensi power distance jarak kekuasaan merupakan tingkat
dalam nama kekuasaan anggota dalam institusi didistribusikan secara berbeda. Dimensi individualism menggambarkan suatu masyarakat dimana
pertalian antar individu cenderung memudar. Dimensi collectivism menunjukkan suatu kondisi kelompok dimana individu sejak lahir
diintegrasikan secara kuat sehingga mereka menjadi sangat loyal. Dimensi masculinity menunjukkan suatu kelompok dimana peran sosial gender
terhadap perbedaan yang jelas. Dimensi femininity menunjukkan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
masyarakat dimana individu akan merasa terancam dalam suatu ketidakpastian. Dimensi uncertainty avoidance menunjukkan suatu
perasaan cemas masyarakat dan adanya ketidakpastian serta situasi dualisme serta usaha untuk menghindarinya.
Dimensi power distance mencakup indikator: perlakuan guru terhadap proses pembelajaran, proses pembelajaran terpusat pada siswa,
kesempatan bertanya, kebebasan menyampaikan kritik, komunikasi dua arah di kelas, peran orang tua di sekolah, aturan dan norma di sekolah,
pengembangan kemampuan dan bakat, dan orang tua diuntungkan dengan proses pembelajaran sekolah. Indikator dari collectivism vs individualism,
mencakup: kebebasan mengungkapkan pendapat, penyelesaian tugas dari guru, tingkat penerimaan diri oleh orang lain, sikap positif dalam
mengerjakan tugas, dan tujuan berprestasi. Indikator dari femininity vs masculinity, mencakup: suasana kompetisi kelas, berorientasi pada
prestasi, dan kompetesi guru. Indikator dari uncertainty avoidance, mencakup: tingkat penerimaan siswa dengan kekurangan guru, kejelasan
guru dalam menerangkan, dan kedekatan hubungan antara guru, siswa dan orang tua.
D. Kecerdasan Emosional