Pengaruh jenis kelamin dan locus of control terhadap hubungan kultur keluarga, kultur lingkungan kerja, dan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru : survei pada guru SMA di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta.

(1)

ABSTRAK

PENGARUH JENIS KELAMIN DAN LOCUS OF CONTROL

TERHADAP HUBUNGAN KULTUR KELUARGA, KULTUR LINGKUNGAN KERJA, DAN KULTUR LINGKUNGAN MASYARAKAT DENGAN

KECERDASAN EMOSIONAL GURU

Survei Pada Guru SMA Di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta.

M.M. Tri Suprapti Universitas Sanata Dharma

2007

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru; (2) penga ruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru; (3) pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru; (4) pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru; (5) pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru; (6) pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru.

Penelitian ini dilaksanakan di 8 SMA di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta pada bulan Desember 2006. Jumlah populasi penelitian ini adalah 542 guru. Jumlah sampel penelitian ini sebanyak 263 guru. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner. Teknik penarikan sampel menggunakan teknik purposive sampling dan proportional random sampling. Teknik analisis data menggunakan model persamaan regresi yang dikembangkan oleh Chow.

Penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) ada pengaruh positif jenis kelamin terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru (? = 0,049 < a = 0,050); (2) ada pengaruh positif jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru (? = 0,018 < a = 0,050); (3) ada pengaruh positif jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru (? = 0,049 < a = 0,050); (4) ada pengaruh positif locus of control terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru (? = 0,036 < a = 0,050); (5) tidak ada pengaruh positif locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru (? = 0,106 > a = 0,050); (6) tidak ada pengaruh positif locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru (? = 0,251 > a = 0,050).


(2)

ABSTRACT

THE INFLUENCE OF SEX AND LOCUS OF CONTROL TOWARD THE RELATION AMONG FAMILY CULTURE, WORKPLACE CULTURE,

AND SOCIETY CULTURE WITH TEACHER’S EMOTIONAL INTELLIGENCE

Survey on Teachers of Senior High Schools in Kulon Progo Regency, Yogyakarta.

M.M. Tri Suprapti Sanata Dharma University

2007

This study aims to know: (1) the influence of sex in the relation between family culture and teacher’s emotional intelligence; (2) the influence of sex in the relation between workplace culture and teacher’s emotional intelligence; (3) the influence of sex in the relation between society culture and teacher’s emotional intelligence; (4) the influence of locus of control in the relation between family culture and teacher’s emotional intelligence; (5) the influence of locus of control in the relation between workplace culture and teacher’s emotional intelligence; (6) the influence of locus of control in the relation between society culture and teacher’s emotional intelligence.

This study was done in 8 Senior High Schools in Kulon Progo Regency, Yogyakarta in December, 2006. The technique in gathering data was questionnaire. By using purposive sampling technique and proportional random sampling. The researcher gained 542 teachers as populations and 263 teachers as samples.The technique of analysing the data was regression model that was developed by Chow.

The result shows: (1) there is influence of sex in the relation between family culture and teacher’s emotional intelligence (? = 0,049 < a = 0,05); (2) there is influence of sex in the relation between workplace culture and teacher’s emotional intelligence (? = 0,018 < a = 0,05); (3) there is influence of sex in the relation between society culture and teacher’s emotional intelligence (? = 0,049 < a = 0,05); (4) there is influence of locus of control in the relation between family culture and teacher’s emotional intelligence (? = 0,036 < a = 0,05); (5) there is not influence of locus of control in the relation between workplace culture and teacher’s emotional intelligence (? = 0,106 > a = 0,05); (6) there is not influence of locus of control in the relation between society culture and teacher’s emotional intelligence (? = 0,251 > a = 0,05).


(3)

PENGARUH JENIS KELAMIN DAN LOCUS OF CONTROL TERHADAP HUBUNGAN KULTUR KELUARGA, KULTUR LINGKUNGAN KERJA, DAN KULTUR LINGKUNGAN MASYARAKAT

DENGAN KECERDASAN EMOSIONAL GURU Survei Pada Guru SMA Di Kabupaten Kulon Progo,Yogyakarta

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Akuntansi

Oleh: M.M. Tri Suprapti

NIM: 021334094

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AKUNTANSI

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2007


(4)

(5)

(6)

MOTTO

Va ‘Dove Ti Por t a I l Cuor e

( Per gilah Ke Mana Hat i Membawamu)

Dan kelak, disaat begit u banyak j alan t er bent ang di hadapanmu dan kau t ak t ahu j alan mana yang har us kau ambil

j anganlah memilihnya dengan asal saj a, t et api duduklah dan t unggulah sesaat .

Tar iklah naf as dalam- dalam dengan penuh keper cayaan, seper t i saat kau ber naf as di har i per t amamu di dunia ini. J angan biar kan apapun mengalihkan per hat ianmu,

t unggulah dan t unggulah lebih lama lagi.

Ber diam dir ilah, t et ap hening, dan dengar kanlah hat imu. Lalu, ket ika hat i it u bicar a,

ber anj aklah dan per gilah ke mana hat i membawamu...


(7)

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya ini untuk keluargaku: (Kedua orang-tua ku, M as Anto, M ba Rina, M ba W iwie, L ia, Aa)


(8)

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah Bapa di surga dan Bunda Maria karena skripsi ini akhirnya terselesaikan juga. Skripsi ini ditulis dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Akuntansi. Penulis menyadari bahwa proses penyusunan skripsi ini mendapatkan berbagai masukan, kritik dan saran dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Allah Bapa di surga dan Bunda Maria yang tak pernah berhenti memberikan rahmat berlimpahNya melalui orang-orang di sekitar saya.

2. Bapak Drs. T. Sarkim, M.Ed., Ph.D. selaku Dekan Fakultas keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

3. Bapak Sebastianus Widanarto Prijowuntato, S.Pd., M.Si. selaku Ketua Program Studi Pendidikan Akuntansi, Fakultas keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

4. Bapak Laurentius Saptono, S.Pd., M.Si. selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak meluangkan pikiran dan waktu dalam memberikan bimbingan. 5. Bapak Agustinus Heri Nugroho, S.Pd. selaku Dosen Pembimbing II yang

telah banyak meluangkan pikiran dan waktu dalam memberikan bimbingan. 6. Ibu Natalina Premastuti Brataningrum, S.Pd. selaku Dosen Penguji yang telah

banyak memberikan kritik dan saran untuk kesempurnaan skripsi ini.

7. Staf pengajar Program Studi Pendidikan Akuntansi yang telah memberikan tambahan pengetahuan dalam proses perkuliahan.


(10)

8. Bapak Drs. Wawiek Wakidjo dan Mbak Theresia Aris Sudarsilah selaku tenaga administrasi Program Studi Pendidikan Akuntansi yang telah membantu kelancaran proses belajar selama ini.

9. Bapak dan Ibu Kepala Sekolah SMAN 1 Wates, SMAN 2 Wates, SMAN 1 Pengasih, SMAN 1 Sentolo, SMA BOPKRI Wates, SMA SANJAYA Nanggulan, SMA PGRI Pengasih, dan SMA MA’ARIF Wates yang telah memberikan ijin tempat penelitian dan membantu kelancaran penelitian dengan memberikan data yang penulis butuhkan.

10.Bapak dan Ibu guru SMAN 1 Wates, SMAN 2 Wates, SMAN 1 Pengasih, SMAN 1 Sentolo, SMA BOPKRI Wates, SMA SANJAYA Nanggulan, SMA PGRI Pengasih, dan SMA MA’ARIF Wates yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.

11.Keluargaku (kedua orang-tuaku, mas Anto, mbak Rina, mbak Wiwie, adeku Lia, dan keponakanku Dinda) yang selalu memberikan dukungan doa, perhatian, semangat, kasih sayang, dan dana yang tak terbilang jumlahnya. 12.Keluarga Gancahan, terima kasih telah menjadi keluarga kedua yang sangat

menyenangkan.

13.Aa, terima kasih untuk kasih sayang dan doa-doanya, jangan bosen ya!!

14.Teman-teman seperjuangan (Sarinah terima kasih ya untuk komputer, printer, kamar, dan semuanya, tanpa kamu mungkin aku belum bisa lulus secepat ini. Herlina terima kasih untuk kesabarannya nungguin aku, dan power point yang sangat menarik. Suprapti, terima kasih sering menjaga aku saat tidur. Tuti, terima kasih untuk notebooknya).


(11)

15.Herlina, Suprapti, Sarinah, Tuti, Toro (terima kasih sudah menjadi teknisi komputer), Nina dan Dika, Dian, Puteri, Dewi Kurniawati, Risa, Catrin, Tiara, Dika Mayasari (terima kasih notebooknya), Esti, Valent, Thomas, Banu, Dwi, Lusi, Yuni, Wisnu, Yoyok, Goris, Vera, Desi, Santi, Dhani, Kris Suminar, Edi, Thomas ’01, terima kasih untuk doa, dukungan dan sudah setia menunggu selama ujian pendadaran.

16.Teman-teman PAK C ‘02 dan teman-teman PAK ‘02

17.Teman-teman kost Brojowikalpo 14 A (Lusi, Vivin, Dian) terima kasih untuk kebersamaan dan kekeluargaannya.

18.Teman-teman P3W (Yanu, Raya, Nyoman, Lisa, Ully, Eka, Yongkie, Qwod, Paula, Lelly, Trisna, Rita, Cipluk, Ziko) kapan jalan-jalan lagi?

19.dan semua yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu karena keterbatasan tempat.

Akhirnya, semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi calon-calon guru, guru-guru, dan semua pihak dalam meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia

Penulis


(12)

ABSTRAK

PENGARUH JENIS KELAMIN DAN LOCUS OF CONTROL

TERHADAP HUBUNGAN KULTUR KELUARGA, KULTUR LINGKUNGAN KERJA, DAN KULTUR LINGKUNGAN MASYARAKAT DENGAN

KECERDASAN EMOSIONAL GURU

Survei Pada Guru SMA Di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta.

M.M. Tri Suprapti Universitas Sanata Dharma

2007

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru; (2) penga ruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru; (3) pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru; (4) pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru; (5) pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru; (6) pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru.

Penelitian ini dilaksanakan di 8 SMA di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta pada bulan Desember 2006. Jumlah populasi penelitian ini adalah 542 guru. Jumlah sampel penelitian ini sebanyak 263 guru. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner. Teknik penarikan sampel menggunakan teknik purposive sampling dan proportional random sampling. Teknik analisis data menggunakan model persamaan regresi yang dikembangkan oleh Chow.

Penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) ada pengaruh positif jenis kelamin terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru (? = 0,049 < a = 0,050); (2) ada pengaruh positif jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru (? = 0,018 < a = 0,050); (3) ada pengaruh positif jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru (? = 0,049 < a = 0,050); (4) ada pengaruh positif locus of control terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru (? = 0,036 < a = 0,050); (5) tidak ada pengaruh positif locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru (? = 0,106 > a = 0,050); (6) tidak ada pengaruh positif locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru (? = 0,251 > a = 0,050).


(13)

ABSTRACT

THE INFLUENCE OF SEX AND LOCUS OF CONTROL TOWARD THE RELATION AMONG FAMILY CULTURE, WORKPLACE CULTURE,

AND SOCIETY CULTURE WITH TEACHER’S EMOTIONAL INTELLIGENCE

Survey on Teachers of Senior High Schools in Kulon Progo Regency, Yogyakarta.

M.M. Tri Suprapti Sanata Dharma University

2007

This study aims to know: (1) the influence of sex in the relation between family culture and teacher’s emotional intelligence; (2) the influence of sex in the relation between workplace culture and teacher’s emotional intelligence; (3) the influence of sex in the relation between society culture and teacher’s emotional intelligence; (4) the influence of locus of control in the relation between family culture and teacher’s emotional intelligence; (5) the influence of locus of control in the relation between workplace culture and teacher’s emotional intelligence; (6) the influence of locus of control in the relation between society culture and teacher’s emotional intelligence.

This study was done in 8 Senior High Schools in Kulon Progo Regency, Yogyakarta in December, 2006. The technique in gathering data was questionnaire. By using purposive sampling technique and proportional random sampling. The researcher gained 542 teachers as populations and 263 teachers as samples.The technique of analysing the data was regression model that was developed by Chow.

The result shows: (1) there is influence of sex in the relation between family culture and teacher’s emotional intelligence (? = 0,049 < a = 0,05); (2) there is influence of sex in the relation between workplace culture and teacher’s emotional intelligence (? = 0,018 < a = 0,05); (3) there is influence of sex in the relation between society culture and teacher’s emotional intelligence (? = 0,049 < a = 0,05); (4) there is influence of locus of control in the relation between family culture and teacher’s emotional intelligence (? = 0,036 < a = 0,05); (5) there is not influence of locus of control in the relation between workplace culture and teacher’s emotional intelligence (? = 0,106 > a = 0,05); (6) there is not influence of locus of control in the relation between society culture and teacher’s emotional intelligence (? = 0,251 > a = 0,05).


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ………... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……… ii

HALAMAN PENGESAHAN ……… iii

MOTTO ……… iv

PERSEMBAHAN ……… v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……… vi

KATA PENGANTAR ………. vii

ABSTRAK ……… x

ABSTRACT ……… xi

DAFTAR ISI ……… xii

DAFTAR TABEL ……… xviii

DAFTAR LAMPIRAN ……… xx

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……… 1

B. Identifikasi Masalah……… 5

C. Rumusan Masalah ……… 6

D. Tujuan Penelitian……… 6

E. Manfaat Penelitian ……… 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kultur Keluarga ……… 8

1. Pengertian Kultur ……… 8

2. Pengertian Keluarga ……… 9

3. Dimensi Kultur Keluarga ……… 11

B. Kultur Lingkungan Kerja ……… 14

1. Pengertian Lingkungan Kerja ……… 14

2. Dimensi Kultur Lingkungan Kerja ……… 15

C. Kultur Lingkungan Masyarakat ……… 17

1. Pengertian Masyarakat ……….. 17


(15)

D. Kecerdasan Emosional ………. 21

1. Pengertian Emosi ……… 21

2. Pengertian Kecerdasan Emosiona l ………. 22

3. Dimensi Kecerdasan Emosional ……… 23

4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional …. 27 E. Jenis Kelamin ……… 29

F. Locus of Control ……… 31

G. Kerangka Berpikir ……… 34

1. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Keluarga Dengan Kecerdasan Emosional Guru ………... 34

2. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Kerja Dengan Kecerdasan Emosional Guru ……… 40

3. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Masyarakat Dengan Kecerdasan Emosional Guru .. 45

4. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Keluarga Dengan Kecerdasan Emosional Guru ……….. 49

5. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Kerja Dengan Kecerdasan Emosional Guru ……… 52

6. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Masyarakat Dengan Kecerdasan Emosional Guru .. 56

H. Perumusan Hipotesis ……… 59

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ……… 61

B. Tempat dan Waktu Penelitian ……….. 61

1. Tempat Penelitian ……… 61

2. Waktu Penelitian ……… 61

C. Subyek dan Obyek Penelitian ……… 62

1. Subyek Penelitian ……… 62


(16)

D. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel ……… 62

1. Populasi Penelitian ……… 62

2. Sampel Penelitian dan Teknik Pengambilan Sampel ………… 63

E. Variabel Penelitian dan Pengukurannya ……… 63

1. Kecerdasan Emosional ……… 63

2. Kultur Keluarga ……… 66

3. Kultur Lingkungan Kerja ……… 68

4. Kultur Lingkungan Masyarakat ……….. 69

5. Jenis Kelamin ……….. 71

6. Locus of Control ………... 72

F. Teknik Pengumpulan Data ………... 73

G. Pengujian Validitas dan Reliabilitas ………... 73

1. Uji Validitas ……….... 73

a. Kecerdasan Emosional ……….. 74

b. Kultur Keluarga ……… 75

c. Kultur Lingkungan Kerja ……….. 75

d. Kultur Lingkungan Masyarakat ……….... 76

e. Locus of Control ……… 76

2. Uji Reliabilitas ……… 77

H. Teknik Analisis Data ……… 81

1. Statistik Deskriptif……… 81

2. Pengujian Normalitas dan Linieritas ……….. 81

a. Uji Normalitas ……….. 81

b. Uji Linieritas ……… 82

3. Pengujian Hipotesis Penelitian ……… 83

a. Hipotesis I ………. 83

1) Rumusan hipotesis ……….. 83


(17)

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data ……….. 85

1. Deskripsi Responden Penelitian ………. 85

2. Deskripsi Variabel Penelitian ………. 86

a. Kecerdasan Emosional ………... 86

b. Kultur Keluarga ……… 87

1) Power Distance ………... 87

2) Individualism vs Collectivism ………. 89

3) Femininity vs Masculinity ………... 90

4) Uncertainty Avoidance ……… 92

c. Kultur Lingkungan Kerja ………. 94

1) Power Distance ……….. 94

2) Individualism vs Collectivism ………. 96

3) Femininity vs Masculinity ……… 97

4) Uncertainty Avoidance ……… 98

d. Kultur Lingkungan Masyarakat ……… 101

1) Power Distance ………... 101

2) Individualism vs Collectivism ………. 103

3) Femininity vs Masculinity ………... 104

4) Uncertainty Avoidance ……… 106

e. Locus of Control ………... 108

B. Analisis Data ………... 109

1. Pengujian Prasyarat Analisis Data ……….. 109

a. Pengujian Normalitas ……… 109

b. Pengujian Linieritas ………. 110

2 Pengujian Hipotesis ……… 112

a. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Keluarga Dengan Kecerdasan Emosional Guru …………... 112

1) Rumusan hipotesis I ……… 112


(18)

b. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur

Lingkungan Kerja Dengan Kecerdasan Emosional Guru ….. 114

1) Rumusan hipotesis II ……….. 114

2) Pengujian hipotesis ………. 114

c. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Masyarakat Dengan Kecerdasan Emosional Guru ……….. 116

1) Rumusan hipotesis III ………. 116

2) Pengujian hipotesis ………. 116

d. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Keluarga Dengan Kecerdasan Emosional Guru …………... 118

1) Rumusan hipotesis IV ………. 118

2) Penguj ian hipotesis ……… 118

e. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Kerja Dengan Kecerdasan Emosional Guru …. 120 1) Rumusan hipotesis V……… 120

2) Pengujian hipotesis ………. 120

f. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Masyarakat Dengan Kecerdasan Emosional Guru ……….. 122

1) Rumusan hipotesis VI ………. 122

2) Pengujian hipotesis ………. 122

C. Pembahasan Hasil Penelitian ……… 124

1. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Keluarga Dengan Kecerdasan Emosional Guru ………. 124

2. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Kerja Dengan Kecerdasan Emosional Guru ……… 127

3. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Masyarakat Dengan Kecerdasan Emosional Guru .. 130

4. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Keluarga Dengan Kecerdasan Emosional Guru ……… 133


(19)

5. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur

Lingkungan Kerja Dengan Kecerdasan Emosional Guru ……… 136

6. Pengaruh Locus of Control Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Masyarakat Dengan Kecerdasan Emosional Guru ……… 138

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ……….. 142

B. Keterbatasan ………. 143

C. Saran ………. 144

DAFTAR PUSTAKA ……….. 148


(20)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 3. 1 Operasionalisasi Variabel Kecerdasan Emosional Guru ….. 64 Tabel 3. 2 Operasionalisasi Variabel Kultur Keluarga ………... 67 Tabel 3. 3 Operasionalisasi Variabel Kultur Lingkungan Kerja ……... 69 Tabel 3. 4 Operasionalisasi Variabel Kultur Lingkungan Masyarakat ... 70 Tabel 3. 5 Operasionalisasi Variabel Locus of Control ………... 72 Tabel 3. 6 Hasil Pengujian Validitas Variabel Kecerdasan Emosional .. 74 Tabel 3. 7 Hasil Pengujian Validitas Variabel Kultur Keluarga ……… 75 Tabel 3. 8 Hasil Pengujian Validitas Variabel Kultur Lingkungan

Kerja……… 76

Tabel 3. 9 Hasil Pengujian Validitas Variabel Kultur Lingkungan

Masyarakat……… . 76

Tabel 3. 10 Hasil Pengujian Validitas Variabel Locus of Control ……… 77 Tabel 3. 11 Rangkuman Hasil Pengujian Reliabilitas ……….. 79 Tabel 4. 1 Deskripsi Jenis Kelamin Responden ……… 85 Tabel 4. 2 Deskripsi Variabel Kecerdasan Emosional……… 86 Tabel 4. 3 Deskripsi Variabel Kultur Keluarga Pada Dimensi

Power Distance ……… . 88 Tabel 4. 4 Deskripsi Variabel Kultur Keluarga Pada Dimensi

Individualism vs Collectivism ……… 89 Tabel 4. 5 Deskripsi Variabel Kultur Keluarga Pada Dimensi

Femininity vs Masculinity ……….. 90 Tabel 4. 6 Deskripsi Variabel Kultur Keluarga Pada Dimensi

Uncertainty Avoidance ……….. 92 Tabel 4. 7 Deskripsi Variabel Kultur Keluarga ……… 93 Tabel 4. 8 Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Kerja Pada Dimensi


(21)

Tabel 4. 9 Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Kerja Pada Dimensi

Individualism vs Collectivism ……… 96 Tabel 4. 10 Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Kerja Pada Dimensi

Femininity vs Masculinity ……….. 97 Tabel 4. 11 Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Kerja Pada Dimensi

Uncertainty Avoidance ……….. 99 Tabel 4. 12 Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Kerja ……… 100 Tabel 4. 13 Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Masyarakat Pada

Dimensi Power Distance ……… 101 Tabel 4. 14 Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Masyarakat Pada

Dimensi Individualism vs Collectivism ……… 103 Tabel 4. 15 Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Masyarakat Pada

Dimensi Femininity vs Masculinity ………... 104 Tabel 4. 16 Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Masyarakat Pada

Dimensi Uncertainty Avoidance ……… 106 Tabel 4. 17 Deskripsi Variabel Kultur Lingkungan Masyarakat ……… 107 Tabel 4. 18 Deskripsi Variabel Locus of Control ……… 108 Tabel 4. 19 Hasil Pengujian Normalitas……… 110 Tabel 4. 20 Hasil Pengujian Linieritas Variabel Kultur Keluarga

Dengan Variabel Kecerdasan Emosional Guru……….. 111 Tabel 4. 21 Hasil Pengujian Linieritas Variabel Kultur Lingkungan

Kerja Dengan Variabel Kecerdasan Emosional Guru……… 111 Tabel 4. 22 Hasil Pengujian Linieritas Variabel Kultur Lingkungan


(22)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Kuesioner Penelitian ………. 151 Lampiran 2. Data Prapenelitian ……….. 152 Lampiran 3. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ……… 157 Lampiran 4. Data Induk Penelitian ……… 167 Lampiran 5. Data Distribusi Frekuensi ……….. 207 Lampiran 6. Hasil Uji Normalitas dan Linearitas ……….. 227 Lampiran 7. Hasil Uji Regresi ……… 229 Lampiran 8. Daftar Tabel ………... 241 Lampiran 9. Surat Ijin Penelitian ……… 243


(23)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan sebagai salah satu aspek penting dalam kehidupan merupakan proses pengembangan diri dari setiap manusia baik dari segi kognitif, afektif, maupun psikomotorik sepanjang hidupnya. Dengan pendidikan, manusia diharapkan dapat bertindak bijaksana dengan mempertimbangkan lingkungannya. Sebagai sebuah kebutuhan, mutlak maka pendidikan dirasa sangat penting dan setiap manusia berhak mendapatkan pendidikan.

Pendidikan dapat diperoleh dalam lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah. Sebagai sebuah institusi pendidikan formal, sekolah dewasa ini sangat dibutuhkan karena mengarahkan peserta didiknya agar memperoleh pengetahuan, pemahaman, ketrampilan, sikap dan nilai yang semuanya akan menunjang pengembangan diri agar menjadi manusia yang berkualitas.

Proses belajar- mengajar di sekolah merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Guru sebagai tenaga pendidik memiliki tiga tugas dan tanggung jawab, yakni: (a) guru sebagai pengajar; (b) guru sebagai pembimbing; (c) guru sebagai administrator kelas (Peters dalam Sudjana, 1989:15). Guru sebagai pengajar bertugas merencanakan dan melaksanakan pengajaran. Guru sebagai pembimbing bertugas memberikan bantuan kepada peserta didik dalam


(24)

memecahkan masalah yang dihadapi oleh para peserta didik. Sedangkan, guru sebagai administrator kelas bertugas melaksanakan ketatalaksanaan bidang pengajaran dan ketatalaksanaan pada umumnya. Untuk dapat menjalankan tugas dan tanggung jawab tersebut, guru tidak hanya dituntut untuk kompeten dibidangnya, namun guru juga harus memiliki tingkat kecerdasan emosional tertentu. Harapannya, guru dapat membantu peserta didik dan menjadikan kegiatan belajar- mengajar di kelas menjadi lebih efektif.

Guru dengan tingkat kecerdasan emosional tinggi akan mengetahui dan menangani perasaan mereka sendiri dengan baik, dan mampu membaca serta menghadapi perasaan orang lain dengan efektif. Sehingga kemungkinan besar guru tersebut akan bahagia dan berhasil dalam setiap bidang kehidupan. Hal ini berbeda dengan guru yang memiliki tingkat kecerdasan emosional rendah, yang cenderung memiliki emosi yang tinggi, cepat bertindak berdasarkan emosinya, dan tidak sensitif terhadap perasaan orang lain. Pendeknya, guru denga n tingkat kecerdasan emosional rendah memiliki kecenderungan untuk menyakiti dan memusuhi orang lain (peserta didik).

Ada beberapa faktor yang berperan penting dalam pembentukan dan perkembangan tingkat kecerdasan emosional guru. Secara umum faktor- faktor tersebut dibedakan menjadi dua, yaitu: faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang ada dalam individu sendiri. Sedangkan faktor eksternal adalah perlakuan yang diperoleh dari lingkungan yang mempengaruhi kecerdasan emosional, seperti keluarga, lingkungan teman sebaya (lingkungan kerja), dan lingkungan masyarakat sosial.


(25)

Kultur keluarga merupakan pandangan hidup yang diakui bersama oleh suatu keluarga, yang mencakup cara berpikir, berperilaku, sikap, dan nilai yang tercermin baik dalam wujud fisik maupun abstrak. Dalam lingkungan keluarga, seseorang belajar bagaimana mengolah perasaan dirinya sendiri, bagaimana berpikir tentang perasaan ini, menentukan pilihan-pilihan untuk bereaksi, dan bagaimana membaca dan mengungkapkan harapan dan rasa takut. Pembelajaran tersebut nantinya akan melahirkan pikiran, perilaku, dan sikap nilai yang tertanam dalam diri seseorang, yang merupakan cerminan dari tingkat kecerdasan emosional seseorang.

Kultur lingkungan kerja merupakan pandangan hidup ya ng diakui bersama dalam suatu lingkungan kerja, yang tercermin baik dalam wujud fisik maupun abstrak. Dalam lingkungan kerja, seseorang berinteraksi dengan individu lain yang berbeda karakteristik budayanya. Kebiasaan-kebiasaan yang terbentuk dalam lingkungan ini praktis akan menentukan tinggi atau rendahnya tingkat kecerdasan emosional seseorang.

Kultur lingkungan masyarakat merupakan suatu perilaku, nilai- nilai, sikap hidup, dan sekaligus cara untuk memandang persoalan dan memecahkannya, yang diakui bersama oleh suatu kelompok masyarakat, dan secara alami akan diwariskan oleh satu generasi kepada generasi berikutnya. Sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat hidup sendiri, untuk dapat memenuhi kebutuhannya manusia membutuhkan orang lain. Karenanya, setiap orang perlu melakukan aktivitas bermasyarakat. Selain itu dalam lingkungan masyarakat seseorang juga akan berhadapan dengan etika, moral, dan


(26)

nilai-nilai keagamaan. Interaksi seseorang terhadap hal-hal tersebut juga praktis menentukan tingkat kecerdasan emosional.

Diduga bahwa hubungan kultur keluarga, kultur lingkungan kerja, dan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional akan berbeda pada jenis kelamin dan locus of control yang berbeda. Berdasarkan sifat dan karakteristik psikologisnya, emosi dan perasaan pada perempuan lebih menonjol dan mempengaruhi pikirannya daripada laki- laki. Karenanya, profesi guru lebih didominasi oleh kaum perempuan. Dengan demikian diduga kuat bahwa derajat pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur keluarga, kultur lingkungan kerja, dan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru akan lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki- laki. Hubungan kultur keluarga, kultur lingkungan kerja, dan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru juga dipengaruhi oleh locus of control. Individu dengan locus of control internal melihat independency yang besar dalam kehidupan dimana hidupnya sangat ditentukan oleh dirinya sendiri. Sementara individu dengan locus of control eksternal melihat diri mereka sangat ditentukan oleh bagaimana lingkungan dan orang lain melihat mereka. Berdasarkan ciri-ciri tersebut diduga kuat bahwa derajat pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur kelurga, kultur lingkungan kerja, dan kultur lingkungan masya rakat dengan kecerdasan emosional guru akan lebih tinggi pada guru dengan locus of control internal dibandingkan guru dengan locus of control eksternal.


(27)

Penelitian ini dimaksudkan untuk menyelidiki faktor yang memiliki peran penting dalam pembentukan dan perkembangan tingkat kecerdasan emosional guru. Selanjutnya penelitian ini dituangkan dalam judul “PENGARUH JENIS KELAMIN DAN LOCUS OF CONTROL TERHADAP HUBUNGAN KULTUR KELUARGA, KULTUR LINGKUNGAN KERJA, DAN KULTUR LINGKUNGAN MASYARAKAT DENGAN KECERDASAN EMOSIONAL GURU. Penelitian ini merupakan survei pada guru SMA di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta.

B. Identifikasi Masalah

Ada dua faktor yang memiliki peran penting dalam pembentukan dan perkembangan kecerdasan emosional, yaitu: faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari faktor fisiologis dan faktor psikologis. Sedangkan faktor eksternal terdiri dari lingkungan keluarga, lingkungan kerja, dan lingkungan masyarakat. Dari berbagai faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional tersebut, penulis lebih memfokuskan pada kultur keluarga, kultur lingkungan kerja, kultur lingkungan masyarakat, dengan variabel pemoderasi jenis kelamin dan locus of control. Secara lebih spesifik penelitian ini dimaksudkan untuk menyelidiki apakah ada pengaruh positif jenis kelamin dan locus of control terhadap hubungan kultur keluarga, kultur lingkungan kerja, dan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru.


(28)

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Apakah ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru?

2. Apakah ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru?

3. Apakah ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru?

4. Apakah ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru?

5. Apakah ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru?

6. Apakah ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru?

D. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru.

2. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru.

3. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru.


(29)

4. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru.

5. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru. 6. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh locus of control terhadap

hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru.

E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, yaitu:

1. Subyek Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi guru untuk memperluas pengetahuan mereka tentang pentingnya memiliki kecerdasan emosional dalam upaya meningkatkan profesionalitas sebagai tenaga pendidik.

2. Peneliti Lain

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan inspirasi untuk mengadakan dan mengembangkan penelitian lanjutan dalam bidang kecerdasan emosional.


(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kultur Keluarga 1. Pengertian Kultur

Banyak ahli mendefinisikan kultur secara berbeda-beda. The American Heritage Dictionary (dalam Kotter, 1992:4) mendefinisikan kultur sebagai:

The totality of socially transmitted behavior patterns, arts, beliefs, institutions, and all other products of human work and thought characteristics of a community or population.

Kultur merupakan keseluruhan pola keperilakuan manusia, seni, kepercayaan, lembaga- lembaga, dan keseluruhan hasil karya manusia yang mewujudkan karakteristik-karakteristik yang dibawa dari komunitas atau masyarakatnya.

Tylor dalam Conrad Phillip Kottak (1991:37) mendefinisikan kultur sebagai berikut:

Cultur is that complex whole which includes knowledge, belief, arts, morals, law, custom, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society.

Kultur merupakan sesuatu yang kompleks/menyeluruh mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan serta kebiasaan yang diperlukan manusia sebagai anggota masyarakat.


(31)

Sementara itu, Hofstede (1994:5) mengartikan kultur sebagai: A collective phenomenon, because it is at least partly shared with people who live or lived within the same social environment, which is there it was learned. It is collective programming of the mind which distinguishes the members of the one group or category of people from another.

Kultur merupakan bentuk pemprograman mental secara kolektif yang membedakan anggota kelompok satu dengan kelompok yang lainnya dalam pola pikir, perasaan, dan tindakan anggota suatu kelompok. Hofstede (1994:4) karenanya menyebutkan kultur sebagai “software of the mind”. Sebagai bentuk pemprograman mental secara kolektif, kultur cenderung sulit berubah karena telah terkristalisasi dalam lembaga yang telah mereka bangun.

Dengan demikian kultur merupakan pandangan hidup yang diakui bersama dalam suatu kelompok, yang mencakup pola berpikir, berperilaku, sikap nilai yang tercermin dalam wujud fisik maupun abstrak yang membedakan anggota kelompok satu dengan kelompok yang lainnya.

2. Pengertian Keluarga

Yang dimaksud keluarga adalah keluarga asal anak, dimana anak dilahirkan, dibesarkan, dan hidup bersama ayah, ibu, dan saudaranya (Kartono, 1985:27). Sedangkan Paul B. Horton dalam Manurung (1995:47) mendefinisikan keluarga sebagai berikut:

The family is defined as a kinship grouping which provides for the rearing of children and for certain other human needs.


(32)

Keluarga diartikan sebagai suatu kelompok pertalian nasib keluarga yang dapat dijadikan tempat untuk membimbing anak-anak dan untuk pemenuhan kebutuhan hidup lainnya.

Sementara menurut Ahmadi (1991:239), keluarga dalam bentuk murni merupakan satu kesatuan sosial yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak yang belum dewasa. Satuan ini mempunyai sifat-sifat tertentu yang sama dimana saja dalam satuan masyarakat manusia. Keluarga merupakan suatu kesatuan sosial yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak, yang dapat dijadikan tempat untuk membimbing anak-anak dan untuk pemenuhan kebutuhan hidup, baik kebutuhan fisik maupun psikis.

Dari definisi tentang kultur dan keluarga di atas, dapat disimpulkan bahwa kultur keluarga merupakan pandangan hidup yang mencakup cara berpikir, berperilaku, dan sikap nilai, yang diakui bersama dalam suatu kesatuan sosial yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak, yang dapat dijadikan tempat untuk membimbing anak-anak sekaligus sebagai tempat untuk pemenuhan kebutuhan hidup, baik kebutuhan fisik maupun psikis.

Sebagai tempat untuk membimbing anak, keluarga mempunyai peranan yang sangat besar bagi perkembangan anak, baik itu fisik maupun psikis. Dalam lingkungan keluarga, seseorang belajar bagaimana mengolah perasaan dirinya sendiri, bagaimana berpikir tentang perasaan ini, menentukan pilihan-pilihan untuk bereaksi, dan bagaimana membaca dan mengungkapkan harapan dan rasa takut. Pembelajaran tersebut nantinya akan melahirkan pikiran, perilaku, dan sikap nilai yang tertanam


(33)

dalam diri seseorang, yang merupakan cerminan dari tingkat kecerdasan emosional seseorang. Misalnya saja dalam keluarga yang mempunyai kebiasaan untuk saling bertukar pendapat mengenai kebijakan keluarga, akan melahirkan seseorang yang mampu berkomunikasi dengan baik dan mampu menghormati pendapat orang lain. Selain itu, keluarga juga berperan dalam pembentukan konsep tentang keberadaan orang lain ataupun konsep tentang hal-hal yang dilihat di sekitarnya. Misalnya, jika sejak kecil seseorang telah dididik untuk menghormati orang lain, maka akan tumbuh pemahaman dalam dirinya bahwa semua orang harus dihormati.

3. Dimensi Kultur Keluarga

Kultur keluarga terbagi menjadi 4 dimensi yaitu: (a) jarak kekuasaan (power distance); (b) individualisme versus kolektivisme (individualism versus collectivism); (c) femininitas versus maskulinitas (femininity versus masculinity); (d) penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance).

Jarak kekuasaan (power distance) menunjukkan tingkatan atau sejauhmana tiap keluarga mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan diantara anggota-anggotanya. Keluarga dengan latar belakang budaya power distance kecil akan berusaha untuk meminimalkan perbedaan-perbedaan status atau mengutamakan kesejajaran (equality). Sementara keluarga dengan latar belakang budaya power distance besar


(34)

akan cenderung mengembangkan aturan, mekanisme atau kebiasaan-kebiasaan dalam mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan.

Dimensi individualisme versus kolektivisme (individualism versus collectivism) mengacu pada sejauhmana suatu keluarga me ndukung tendensi individualisme atau kolektivisme. Keluarga dengan latar belakang budaya individualisme mendorong anggota-anggotanya untuk mandiri (otonom) dan merealisasikan hak- hak pribadinya. Sedangkan pada keluarga dengan latar belakang budaya kolektivisme menekankan kewajiban pada kelompok daripada hak- hak pribadinya.

Dimensi femininitas versus maskulinitas (femininity versus masculinity) menunjukkan sejauhmana suatu keluarga berpegang teguh pada peran gender atau nilai- nilai seksual tradisional yang didasarkan pada perbedaan biologis. Keluarga dengan latar belakang budaya femininitas mengutamakan nilai- nilai kesederhanaan, kerendahan hati, dan kesetiakawanan. Oleh karena itu, dalam hubungan antar anggota keluarga orang tua tidak menghendaki adanya perbedaan-perbedaan yang tampak diantara mereka (misalnya: kerja atau tidak kerja). Sementara keluarga dengan latar belakang budaya maskulinitas menekankan peran yang lebih dominan dari pada perempuan. Biasanya dalam keluarga ini, bapak lebih dominan dalam menetapkan aturan-aturan keluarga (tentang yang boleh atau tidak boleh dilakukan) dibandingkan pihak ibu.

Dimensi penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance) menunjuk sejauhmana pandangan anggota keluarga dalam menghadapi


(35)

situasi yang tidak pasti. Keluarga dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah, toleransi terhadap situasi tidak pasti akan menjadi lebih tinggi. Lain halnya pada keluarga dengan latar belakang uncertainty avoidance kuat, merasa terancam dengan ketidakpastian sehingga akan berusaha menciptakan mekanisme untuk mengurangi risiko. Dimensi jarak kekuasaan (power distance) mencakup indikator antara lain: kekuasaan orang tua atas aturan, kepatuhan/rasa hormat terhadap orang tua atau terhadap anggota keluarga lain yang lebih tua ataupun ketergantungan pada orang tua. Dimensi individualisme versus kolektivisme (individualism versus collectivism) mencakup indikator antara lain: kebebasan untuk menyatakan pendapat, loyalitas pada anggota keluarga yang lain, keleluasaan untuk mandiri keterikatan sosial satu sama lain dalam keluarga, kebutuhan untuk berkomunikasi, dan perasaan yang muncul akibat pelanggaran atas suatu aturan/norma tertentu. Sedangkan pada dimensi femininitas versus maskulinitas (femininity versus masculinity) mencakup indikator antara lain: peran ayah lebih dominan daripada peran ibu, keluarga menjunjung tinggi sikap kemandirian setiap anggota keluarga, keinginan yang sama (baik laki- laki maupun perempuan), dan orang tua bersikap untuk selalu menjaga hubungan antar anggota keluarga. Dimensi penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance) mencakup indikator yang meliputi: ketidakpastian hidup sebagai sesuatu yang normal, perasaan tidak nyaman dalam menghadapi


(36)

ketidakpastian antar anggota keluarga, dan aturan yang ketat tentang hal yang buruk atau tabu.

B. Kultur Lingkungan Kerja 1. Pengertian Lingkungan Kerja

Lingkungan kerja merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar para pekerja dan yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan (Nitisemito, 1982:183). Agus Ahyari (1986:125-126), mendefinisikan lingkungan kerja sebagai suatu lingkungan dimana karyawan tersebut bekerja dan melakukan tugas sehari- hari yang meliputi penafsiran perusahaan terhadap karyawan, kondisi kerja karyawan, dan hubungan karyawan di dalam perusahaan.

Pandji Anoraga dan Sri Suyati (1995:72), mendefinisikan lingkungan kerja sebagai lingkungan yang meliputi hubungan antar karyawan, hubungan dengan pimpinan, suhu, penerangan, dan sebagainya. Lingkungan kerja merupakan lingkungan di sekitar pekerja yang mempengaruhi dirinya, baik secara emosional maupun intelektual, dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan.

Dari definisi tentang kultur dan lingkungan kerja di atas, kultur lingkungan kerja merupakan pandangan hidup, mencakup cara berpikir, berperilaku, sikap nilai, yang diakui bersama dalam suatu lingkungan di sekitar pekerja yang mempengaruhi dirinya, baik secara emosional maupun intelektual, dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan.


(37)

2. Dimensi Kultur Lingkungan Kerja

Menurut Hofstede dalam Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi (2004:277), dimensi utama nilai yang berkaitan dengan kultur lingkungan kerja adalah: (a) jarak kekuasaan (power distance); (b) individualisme versus kolektivisme (individualism versus collectivism); (c) femininitas versus maskulinitas (femininity versus masculinity); (d) penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance). Masing- masing dimensi ini berkaitan dengan perbedaan secara konkrit dalam hal sikap, opini, keyakinan, dan perilaku dalam organisasi kerja dan bentuk-bentuk dasar untuk memahami norma- norma sosial tertentu.

Dimensi jarak kekuasaan (power distance) menunjukkan tingkatan atau sejauhmana tiap budaya mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan dia ntara anggota-anggotanya. Lingkungan kerja dengan latar belakang budaya power distance kecil berusaha meminimalkan perbedaan status atau kekuasaan dan dalam hubungan kerjanya didukung oleh inisiatif dari atasan dan bawahan. Sedangkan kultur lingkungan kerja dengan latar belakang budaya power distance besar akan cenderung mengembangkan aturan, mekanisme atau kebiasaan-kebiasaan dalam mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan. Implikasinya biasanya ditandai dengan adanya struktur hirarki yang tinggi.


(38)

Budaya individualisme mendorong anggota-anggotanya agar mandiri, menekankan tanggung jawab dan hak-hak pribadinya, sehingga mampu menumbuhkan kemandirian emosional pada instansi tempat seseorang bekerja. Budaya kolektivisme menekankan kewajiban kepada instansi (kelompok) tempat seseorang bekerja daripada hak-hak pribadinya.

Sedangkan dimensi femininitas versus maskulinitas (femininity versus masculinity) menunjukkan sejauhmana lingkungan kerja berpegang teguh pada peran gender. Lingkungan kerja dengan latar belakang budaya femininitas lebih mengutamakan kesederhanaan, kerendahan hati, dan kesetiakawanan. Sedangkan pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya maskulinitas menekankan pada nilai ketegasan, ambisi, dan persaingan.

Dimensi penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance) menunjuk sejauhmana pandangan anggota lingkungan kerja dalam menghadapi situasi yang tidak pasti. Lingkungan kerja dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah toleransi terhadap situasi ketidakpastian akan menjadi lebih tinggi, sehingga setiap anggotanya cenderung lebih senang mencoba hal- hal baru. Berbeda pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat merasa terancam dengan ketidakpastian sehingga setiap anggotanya akan berusaha menciptakan mekanisme untuk mengurangi risiko dan mempertahankan harga diri.


(39)

Dimensi jarak kekuasaan (power distance) mencakup indikator antara lain: perbedaan jarak antara atasan dan bawahan, tingkat pengawasan, dan sistem penggajian. Dimensi individualisme versus kolektivisme (individualism versus collectivism) mencakup indikator: dasar hubungan atasan bawahan, dasar pemberian gaji dan sistem manajemen kerja yang dianut. Dimensi femininitas versus maskulinitas (femininity versus masculinity) mencakup indikator: cara mengatasi masalah, filosofi kerja, sikap atasan dalam memimpin, dan orientasi kerja. Dimensi penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance) mencakup indikator: budaya kerja keras, orientasi waktu dalam bekerja, kebebasan mengeluarkan ide, sumber motivasi dalam bekerja, dan dasar kedisiplinan kerja.

C. Kultur Lingkungan Masyarakat 1. Pengertian Masyarakat

Masyarakat merupakan orang-orang yang hidup bersama, yang menghasilkan kebudayaan (Selo Soemardjan dalam Soerjono Soekanto, 1982:22). Hal demikian berarti masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas (Ralph Linton dalam Soerjono Soekanto, 1982:22).


(40)

Sedangkan menurut Hasan Shadily, masyarakat adalah golongan besar atau kecil terdiri atas beberapa manusia, yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara golongan dan mempengaruhi satu sama lain (dalam Manurung, 1995:48). Sementara, Webster menguraikan masyarakat sebagai kehidupan suatu susunan sosial atau kehidupan suatu himpunan yang dianggap seperti suatu sistem yang olehnya kehidupan individu dibentuk, terikat oleh cita-cita atau tujuan bersama, kepentingan bersama dalam taraf kehidupan (dalam Manurung, 1995:49). Jadi, masyarakat merupakan sekelompok manusia yang membentuk kesatuan sosial dimana didalamnya kehidupan individu dibentuk, saling mempengaruhi satu sama lain, terikat oleh tujuan bersama dengan batas-batas aturan yang dirumuskan dengan jelas.

Dari definisi di atas, kultur lingkungan masyarakat merupakan pandangan hidup, mencakup cara berpikir, berperilaku, sikap nilai, yang diakui bersama dalam sekelompok manusia yang membentuk kesatuan sosial dimana didalamnya kehidupan individu dibentuk, saling mempengaruhi satu sama lain, terikat ole h tujuan bersama dengan batas-batas aturan yang dirumuskan dengan jelas.

2. Dimensi Kultur Lingkungan Masyarakat

Menurut Hofstede (1994:10) dimensi kultur lingkungan masyarakat adalah: (a) jarak kekuasaan (power distance); (b) individualisme versus kolektivisme (individualism versus collectivism); (c)


(41)

femininitas versus maskulinitas (femininity versus masculinity); (d) penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance).

Dimensi jarak kekuasaan (power distance) menunjukkan tingkatan sejauhmana tiap budaya mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan diantara anggota-anggotanya. Kultur lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya power distance kecil berusaha meminimalkan perbedaan status atau kekuasaan sehingga dalam hubungan bermasyarakat tidak menampakkan dirinya sebagai atasan dan warga tidak merasa sebagai bawahan. Lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya power distance besar akan cenderung mengembangkan aturan, mekanisme atau kebiasaan-kebiasaan dalam mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan. Hal ini ditandai dengan anggapan perangkat desa sebagai pihak yang sah dan tepat untuk dimintai pandangan tentang kriteria baik dan buruknya tindakan.

Sementara dimensi individualisme versus kolektivisme (individualism versus collectivism) mengacu pada sejauhmana suatu masyarakat mendukung tendensi individualisme atau kolektivisme. Lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya individualisme mendorong anggota-anggotanya untuk mandiri (otonom) dan merealisasikan hak- hak pribadinya. Sedangkan pada lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya kolektivisme menekankan kewajiban pada kelompok daripada hak- hak pribadinya.


(42)

Sedangkan dimensi femininitas versus maskulinitas (masculinity versus femininity) menunjukkan sejauhmana lingkungan masyarakat berpegang teguh pada peran gender. Lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya femininitas lebih mengutamakan kesederhanaan, kerendahan hati, dan kesetiakawanan. Sedangkan pada lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya maskulinitas menekankan pada nilai ketegasan, ambisi, dan persaingan.

Dimensi penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance) menunjuk sejauhmana pandangan anggota lingkungan masyarakat dalam menghadapi situasi yang tidak pasti. Lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah toleransi terhadap situasi tidak pasti akan menjadi lebih tinggi, sehingga anggota lingkungan masyarakat akan merubah aturan bersama jika dirasa aturan tersebut sudah tidak dapat lagi diterapkan. Sementara pada lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat, merasa terancam dengan ketidakpastian sehingga anggota lingkungan masyarakat akan cenderung menghindari perubahan.

Dimensi jarak kekuasaan (power distance) mencakup indikator antara lain: kewenangan dalam pengunaan kekuasaan, kepemilikan hak, performance of powerfull people, dasar kekuasaan, dan fokus mana jemen terhadap aturan. Dimensi individualisme versus kolektivisme (invidualism versus collectivism) mencakup indikator antara lain: orientasi kepentingan dalam masyarakat, tingkat kepentingan kehidupan pribadi, penetapan


(43)

pendapat atas kelompok, perbedaan pelaksanaan hukum dan hak, tujuan yang ingin dicapai. Sedangkan pada dimensi femininitas versus maskulinitas (femininity versus masculinity) mencakup indikator antara lain: orientasi solidaritas, tingkat toleransi atas kesalahan, cara penyelesaian konflik, kuantitas perempuan dalam menduduki jabatan politik, pengertian kebebasan perempuan. Dimensi penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance) mencakup indikator yang meliputi: perlakuan terhadap pelanggaran aturan, sikap atasan terhadap kritik bawahan, dan letak kepercayaan.

D. Kecerdasan Emosional 1. Pengertian Emosi

Pada awal sejarahnya, pendiri psikologi yaitu William James memahami emosi sebagai sebuah hasil dari reaksi perilaku kita terhadap sebuah stimulus yang menghasilkan reaksi tersebut. Selanjutnya Buck dalam Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi (2004:76) menyempurnakan definisi emosi menjadi:

The term of feelings: subjective, affective experiences of arousal, pleasure or displeasure, and the specific oprimary affects of anger, fear, happiness, sadness, surprise, and disgust. In addition, the concept of emotion is often associated with expressive behavior such as smiling and snarling; and with peripheral physiological responding; such as heart rate changes, sweating, and defecation.

Dari definisi di atas emosi didefinisikan sebagai perasaan yang subjektif dan diasosiasikan dengan serangkaian perilaku tampak tertentu,


(44)

seperti: senyum, muka marah, dan gemeretak rahang serta dengan respon fisik pheriperal semacam debaran jantung, berkeringat, atau gangguan pencernaan. Selain itu emosi adalah satu ciri jiwa manusia yang memamerkan perasaan yang kuat berpuncak daripada psikologi (mental) seseorang dan emosi dapat berlaku secara naluri bergantung pada situasi (Francisco Burzi, http://www.pts.com.my).

Dengan demikian dapat disimpulkan emosi adalah suatu gambaran jiwa manusia yang menunjukkan keadaan psikologis seseorang, dimana keadaan ini berlaku secara naluri bergantung pada situasi tertentu, dengan melibatkan pikiran dan perasaan sebagai reaksi terhadap stimulus tertentu sehingga dapat mendorong untuk melakukan suatu tindakan yang akan dilakukan.

2. Pengertian Kecerdasan Emosional

Menurut Daniel Goleman (http://www1.unpar.ac.id/web/ column/rudiscolumn.asp.koderekaman=0245131215406176) kecerdasan emosional (emotional intelligence) adalah kemampuan merasakan, memahami, dan dengan efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi dan pengaruh yang manusiawi.

Kecerdasan emosional juga dapat dipandang sebagai suatu ketrampilan yang dimiliki seseorang yang meliputi pengendalian diri, sema ngat dan ketekunan, serta kemampuan memotivasi diri, kesanggupan mengendalikan dorongan hati dan emosi, mengatur suasana hati,


(45)

kemampuan membaca perasaan orang lain (empati) dan memelihara hubungan dengan baik, dan kemampuan menyelesaikan konflik serta memimpin (Fransisco Burzi, http://www.pts.com.my). Sedangkan kecerdasan emosional menurut Ge Mozaik (Juni 2005) adalah kemampuan untuk mengenali, mengekspresikan dan mengelola emosi, baik emosi dirinya sendiri maupun emosi orang lain, dengan tindakan konstruktif, yang mempromosikan kerjasama sebagai tim yang mengacu pada produktivitas dan bukan pada konflik (http://www.ganeca.blogspirit.com).

Individu yang memiliki kecerdasan emosional tidak dikendalikan oleh emosi melainkan mengendalikan emosi, individu dapat memotivasi dirinya sendiri sehingga mandiri, juga mampu mempengaruhi emosi orang lain, bersikap ramah, simpati, murah hati dan toleransi. Jadi dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional merupakan ketrampilan emosional, yang meliputi mengidentifikasi dan memberi nama emosi-emosi, mengungkapkan emosi-emosi, menilai intensitas emosi-emosi, menunda pemuasan, mengendalikan dorongan hati, menangani stres, memahami sudut pandang orang lain dan empati.

3. Dimensi Kecerdasan Emosional

Dimensi kecerdasan emosional mempunyai 5 (lima) komponen dasar (http://www.ganeca.blogspirit.com/archive/2005/06/23/ge_mozaik_ juni_2005_pentingnya_pendidikan_kecerdasan_emos.html) yaitu:


(46)

a. Self-awareness (pengenalan diri)

Self-awareness merupakan kemampuan untuk mengenali emosi diri sendiri dan efeknya, mengetahui kekuatan dan batas-batas diri sendiri, dan keyakinan terhadap emosi diri sendiri berkaitan dengan ketepatan pengambilan keputusan-keputusan masalah pribadi. Seorang guru yang memiliki keyakinan yang lebih tentang perasaannya adalah pemimpin yang andal bagi kehidupannya sendiri, karena mempunyai kepekaan yang lebih tinggi akan perasaan mereka yang sesungguhnya atas pengambilan keputusan-keputusan masalah pribadinya.

Dimensi self-awareness mencakup indikator: mengenali emosi sendiri, mengetahui kekuatan, mengetahui keterbatasan diri, keyakinan akan kemampuan diri.

b. Self-regulation (penguasaan diri)

Self-regulation merupakan kemampuan untuk menangani emosi agar dapat terungkap dengan “pas”. Emosi yang dialami tidak ditekan atau diabaikan, tetapi tidak juga terjadi secara berlebihan.

Seseorang yang mempunyai penguasaan diri yang baik dapat lebih terkontrol dalam membuat tindakan agar lebih hati- hati. Penguasaan diri berarti menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat, hal ini merupakan kecakapan yang sangat tergantung pada kesadaran diri. Seorang guru yang memiliki self-regulation rendah, saat mengalami kegagalan dalam hidup, akan terus menerus dalam keadaan murung (tidak mampu menghibur dirinya sendiri), sementara


(47)

seorang guru yang memiliki self-regulation tinggi dapat bangkit kembali dengan cepat saat mengalami kegagalan dalam hidup.

Dimensi self-regulation mencakup indikator: menahan emosi dan dorongan negatif, memelihara norma kejujuran dan integritas, bertanggung-jawab atas kinerja pribadi, keluwesan dalam menghadapi perubahan terbuka terhadap ide- ide serta informasi baru.

c. Self-motivation (motivasi diri)

Self-motivation berkaitan dengan kemampuan untuk memotivasi diri agar tetap berorientasi pada sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Kemampuan seseorang memotivasi diri dapat ditelusuri melalui hal-hal sebagai berikut: (1) cara mengendalikan dorongan hati; (2) derajat kecemasan yang berpengaruh terhadap unjuk kerja seseorang; (3) kekuatan berpikir positif; (4) optimisme; (5) keadaan flow (mengikuti aliran).

Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting dalam kaitan untuk memotivasi diri sendiri, menguasai diri sendiri dan untuk berkreasi. Seorang guru yang memiliki kendali diri emosional, menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mampu menyesuaikan diri dalam “flow”, cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan.

Ketika sesuatu berjalan tidak sesuai dengan rencana, seorang guru yang mempunyai tingkat kecerdasan emosional tinggi tidak akan


(48)

bertanya “apa yang salah dengan saya ?”. Sebaliknya ia akan bertanya “apa yang dapat saya lakukan agar saya dapat memperbaiki masalah ini ?”.

Dimensi self-motivation mencakup indikator: dorongan untuk menjadi lebih baik, menyesuaikan dengan sasaran kelo mpok atau organisasi, kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan, kegigihan dalam memperjuangkan kegagalan dan hambatan.

d. Empathy (empati)

Empathy merupakan kemampuan untuk mengenali perasaan orang lain dan merasakan apa yang orang lain rasakan jika dirinya sendiri yang berada pada posisi tersebut. Empati atau mengenal emosi orang lain yang dibangun berdasarkan pada kesadaran diri emosional, merupakan “ketrampilan bergaul”. Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, maka dapat dipastikanbahwa ia akan trampil membaca perasaan orang lain. Sebaliknya orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan emosinya sendiri dapat dipastikan tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain.

Dengan empati yang tinggi, diharapkan seorang guru lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain (rekan kerja dan siswa).

Dimensi empathy mencakup indikator: understanding others, developing others, customer service, menciptakan


(49)

kesempatan-kesempatan melalui pergaulan dengan berbagai macam orang, membaca hubungan antara keadaan emosi dan kekuatan hubungan suatu kelompok.

e. Social skills (ketrampilan sosial)

Dengan adanya 4 kemampuan seperti telah disebutkan di atas seseorang dapat berkomunikasi dengan orang lain secara efektif. Kemampuan untuk memecahkan masalah bersama-sama lebih ditekankan dan bukan pada konfrontasi yang tidak penting yang sebenarnya dapat dihindari. Orang yang mempunyai tingkat kecerdasan emosional yang tinggi mempunyai tujuan konstruktif dalam pikirannya. Membina hubungan dengan orang lain merupakan ketrampilan sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain. Tanpa memiliki ketrampilan sosial seseorang akan mengalami kesulitan dalam pergaulan sosial.

Dimensi Social skills mencakup indikator: kemampuan persuasi, mendengar dengan terbuka dan memberi pesan yang jelas, kemampuan menyelesaikan pendapat, semangat leadership, kolaborasi dan kooperatif, team building.

4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional

Ada beberapa faktor yang berperan penting dalam pembentukan dan perkembangan tingkat kecerdasan emosional. Secara umum faktor-faktor tersebut dibedakan menjadi dua, yaitu: faktor-faktor internal dan faktor-faktor


(50)

eksternal. Faktor internal adalah faktor yang ada dalam individu sendiri, yaitu: faktor fisiologis dan faktor psikologis. Faktor fisiologis merupakan faktor kesehatan fisiologis yang dimiliki individu. Susunan fisiologis yang berkaitan dengan kecerdasan emosional adalah otak. Otak manusia adalah sumber pengetahuan tentang emosi karena di otak emosi dapat dideteksi dan dikenali, serta memberikan respon untuk bertindak.

Faktor psikologis berkaitan dengan sikap, motivasi, dan dorongan-dorongan internal lain yang memungkinkan sejauh mana individu memiliki kecerdasan emosional. Daniel Goleman (1999:274) menyatakan bahwa rasa keyakinan ingin tahu, niat atau kemauan, pengendalian diri, keterkaitan, kecakapan berkomunikasi dan kemampuan bekerja sama, mempengaruhi kecerdasan emosional individu yang dijelaskan sebagai berikut:

a. Keyakinan, yaitu perasaan kendali dan penguasaan individu terhadap dirinya sendiri. Seseorang yang memiliki pengertian akan dirinya bahwa dia mampu membawa dirinya berdasarkan tuntutan situasi dan kondisi, cenderung berhasil dalam apa yang dikerjakannya.

b. Rasa ingin tahu, yaitu dorongan untuk mencari tahu atau menyelidiki sesuatu. Kebutuhan untuk memahami ini sifatnya positif dan memberikan kepuasan.

c. Niat, yaitu didorong dari dalam/inisiatif untuk berhasil, ketekunan atau hasrat untuk bertindak secara konsekuen untuk mencapai tujuan.


(51)

d. Pengendalian diri, yaitu kemampuan untuk menyesuaikan tindakan dengan pola yang sesuai dengan usia, kendali yang mengarahkan diri untuk memperoleh hasil yang lebih besar.

e. Keterkaitan, yaitu kemampuan melibatkan diri dengan orang lain, dengan memahami situasi yang dialami oleh orang lain dan mampu berpikir dari sudut pandang orang lain.

f. Kecakapan berkomunikasi, yaitu kemampuan verbal, untuk bertukar gagasan, perasaan dan konsep dengan orang lain. Kemampuan mendengarkan dan memberi umpan balik berdasarkan rasa percaya dan keterkaitan dengan orang lain.

g. Kemampuan bekerjasama, yaitu bersikap kooperatif berarti mampu untuk menyeimbangkan kebutuhannya sendiri dengan kebutuhan orang lain dalam kegiatan kelompok.

Faktor eksternal adalah perlakuan yang diperoleh dari lingkungan yang mempengaruhi kecerdasan emosional. Lingkungan yang pertama-tama mempengaruhi kecerdasan emosional adalah keluarga, kemudian lingkungan teman sebaya (lingkungan kerja), dan masyarakat sosial.

E. Jenis Kelamin

Secara umum manusia diciptakan atas dua kategori yaitu laki- laki dan perempuan. Pembagian tersebut berdasarkan pada perbedaan yang melekat pada kedua jenis kelamin tersebut. Jenis kelamin menunjuk pada keseluruhan ciri-ciri yang membedakan manusia sebagai laki- laki dan perempuan yaitu


(52)

mengenai jasmani, kejiwaan, sifat, cara berpikir, perasaan dan sebagainya. Adanya perbedaan-perbedaan tersebut mengarahkan pada pembagian kerja yang berbeda antara laki- laki dan perempuan. Perbedaan-perbedaan ini mengakibatkan perbedaan ciri-ciri, sifat dan karakteristik psikologis yang berbeda antara laki- laki dan perempuan (Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi, 2004:253). Sewaktu menjadi dewasa, individu akan mempelajari peran-peran sosial melalui proses-proses penguatan dan peniruan. Sehingga pada akhirnya laki- laki dan perempuan memperoleh sikap, ketrampilan dan ciri-ciri kepribadian yang berbeda berdasarkan peran yang dikaitkan dengan jenis kelamin dalam lingkungannya.

Berikut disajikan tabel perbedaan psikologis antara laki- laki dan perempuan (Gilarso, 2003:3):

Perbedaan Psikologis

Laki- laki Perempuan

1. Pola dasar pandangan keluar terarah pada dunia/obyek. 2. Suka menjelajah dan

menyelidiki alam sekitar. 3. Suka “membongkar dan

membangun”. Laki- laki membangun dunia menjadi rumah tempat tinggal. 4. Suka bekerja diluar, mencari

nafkah, menguasai dunia. 5. Suka mencoba, mencari, dan

melihat- lihat.

6. Aktif, mengambil inisiatif, suka kritik, dan protes.

7. Intelek dan rasio lebih utama, dapat mengendalikan perasaan dengan akalnya.

8. Lebih melihat kenyataan

obyektif, terarah pada garis-garis

1. Pola dasar pandangan ke dalam, terarah pada manusia.

2. Lebih gemar tinggal di rumah, memelihara dan merawat. 3. Menyayangi dan memelihara.

Perempuan pandai menciptakan suasana di rumah menjadi tempat yang membuat orang krasan.

4. Perhatian lebih untuk pribadi sesama manusia.

5. Butuh diperhatikan, senang dilihat dan dicari.

6. Reaksi, menanggapi, lebih tabah, dan mudah menerima. 7. Emosi dan perasaan lebih

menonjol dan mempengaruhi pikirannya.

8. Perhatian sampai detail-detail (hal kecil-kecil), cenderung


(53)

besar, lebih teguh dalam putusan.

9. Gelombang perasaan mendatar dan relatif stabil.

10.Gairah seksual lebih berkobar, lebih bersifat jasmani biologis.

intuitif, mudah mengubah keputusannya.

9. Perasaan pasang surut

terpengaruh oleh siklus bulanan. 10. Gairah seksual lebih rohani

lebih mementingkan cinta dan kemesraan .

Secara terus menerus perbedaan-perbedaan psikologis tersebut akan semakin berkembang sesuai psikologi kepribadian masing- masing sehingga, pada akhirnya laki- laki dan perempuan akan memiliki kepribadian yang berbeda serta tingkat kecerdasan emosional yang berbeda pula. Berdasarkan sifat dan karakteristik psikologisnya, emosi dan perasaan pada perempuan lebih menonjol dan mempengaruhi pikirannya daripada laki- laki. Karenanya perempuan cenderung mempunyai tingkat kecerdasan emosional lebih tinggi dari pada laki- laki.

F. Locus of Control

Locus of control merupakan sebuah konsep yang dibangun oleh Rotter (Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi, 2004:209) yang menyatakan bahwa setiap orang berbeda dalam bagaimana dan seberapa besar kontrol diri mereka terhadap perilaku dan hubungan mereka dengan orang lain serta lingkungan. Rotter mendefinisikan locus of control sebagai berikut (http//www.nald.ca/fulltext/report1/REP 10-01.HTM) :

Locus of control as a generalized expectancy of the extent to which a person perceives that events in one’s life are consequences of one’s behavior.


(54)

Locus of control sebagai suatu harapan yang secara umum meluas dimana sering dirasakan seseorang dalam kejadian-kejadian dalam kehidupannya sebagai akibat dari suatu tingkah laku seseorang. Rotter (dalam Brigita Pujiwati, 2004:31) mendefinisikan locus of control berdasarkan teori belajar sosial, menjadi tiga aspek utama yaitu behavior potential (perilaku potensial), expectancy (harapan) dan reinforcement value (nilai penguat), ketiga aspek itu berhubungan satu dengan yang lain. Perilaku individu bergantung pada harapan-harapan dimana suatu tingkah laku tertentu akan memberi penguatan, dan nilai penguatan tersebut akan memuaskan kehidupan individu selanjutnya. Jika individu berhasil memperoleh penguatan yang diharapkan, maka ia cenderung meyakini bahwa penguatan itu akan diperoleh bukan dari dirinya sendiri. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa locus of control adalah anggapan sejauh mana orang tersebut merasakan adanya usaha yang telah dilakukan dan akibatnya.

Locus of control umumnya dibedakan menjadi dua berdasarkan arahnya, yaitu internal dan eksternal. Individu dengan locus of control eksternal melihat diri mereka sangat ditentukan oleh bagaimana lingkungan dan orang lain melihat mereka. Keberhasilan dan kegagalan dalam hidupnya dipandang sebagai nasib, faktor keberuntungan, kesempatan karena kekuasaan orang lain atau karena kondisi-kondisi yang tidak dapat dikuasainya. Sedangkan individu dengan locus of control internal melihat diri mereka sangat dipengaruhi oleh dirinya sendiri. Keberhasilan dan kegagalan dalam hidupnya dipandang sebagai akibat perilakunya.


(55)

Locus of control pada individu merupakan suatu konsep yang kontinum. Dalam artian, locus of control individu bergerak dari ekstrim eksternal dan ekstrim internal. Oleh karena itu setiap orang memiliki sekaligus faktor internal dan eksternal dalam dirinya. Perkembangan orientasi individu ke arah internal atau eksterna l didapatkan melalui proses belajar. Pengalaman individu di masa lalu akan mempengaruhi perkembangan orientasi ini. Perbedaaan orientasi ini juga akan mempengaruhi penilaian seseorang terhadap suatu peristiwa atau situasi yang sedang dihadapi.

Individu yang berorientasi internal cenderung memandang dunia sebagai sesuatu yang dapat diramalkan dan tindakannya dianggap sangat menentukan akibat yang diterima, baik itu positif maupun negatif, lebih perspektif dan siap belajar dari lingkungan, memiliki daya tahan yang lebih besar terhadap pengaruh orang lain, lebih cepat dalam mengambil keputusan dan tindakan karena merasa mampu mengontrol lingkungannya.

Individu yang berorientasi eksternal, memandang dunia sebagai sesuatu yang tidak dapat diramalkan, tidak berpengaruh besar dalam mengendalikan akibat hidupnya, baik dalam mencapai tujuan maupun dalam melakukan penghindaran terhadap situasi yang tidak menyenangkan, lebih cemas dan depresif, serta kurang baik dalam melakukan aktivitas bermasyarakat dan lebih mempunya i kemungkinan besar untuk menampakkan perilaku yang negatif seperti pasifitas, penarikan diri.

Dimensi locus of control internal dan eksternal mencakup indikator: sumber keberhasilan, sikap dalam menghadapi hambatan, kemampuan


(56)

memimpin, kemampuan memotivasi siswa, keyakinan akan kemampuan diri, tingkat toleransi.

G. Kerangka Berpikir

1. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Keluarga Dengan Kecerdasan Emosional Guru.

Kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk merasakan, memahami dan dengan efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi dan pengaruh yang manusiawi. Kemampuan ini pertama kali berkembang dari pengaruh keluarga. Lingkungan keluarga merupakan faktor eksternal pertama yang berperan penting dalam pembentukan dan perkembangan tingkat kecerdasan emosional, sebab di lingkungan keluarga seseorang belajar bagaimana mengolah perasaan dirinya sendiri, bagaimana berpikir tentang perasaan ini, menentukan pilihan-pilihan untuk bereaksi, dan bagaimana membaca dan mengungkapkan harapan dan rasa takut.

Kultur keluarga merupakan pandangan hidup yang mencakup cara berpikir, berperilaku, dan sikap nilai, yang diakui bersama dalam suatu kesatuan sosial yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak, yang dapat dijadikan tempat untuk membimbing anak-anak sekaligus sebagai tempat untuk pemenuhan kebutuhan hidup, baik kebutuhan fisik maupun psikis. Kultur keluarga bisa diidentifikasi berdasarkan dimensi-dimensinya. Dimensi jarak kekuasaan (power distance) menunjukkan tingkatan atau sejauhmana


(57)

tiap keluarga mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan diantara anggota-anggotanya. Pada keluarga dengan latar belakang budaya power distance kecil, ada kecenderungan meminimalkan perbedaan status atau kekuasaan, sehingga aturan-aturan yang ditetapkan dalam keluarga bersifat lebih longgar. Sedangkan pada keluarga dengan latar belakang budaya power distance besar, cenderung mengembangkan aturan atau kebiasaan dalam mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan. Hal ini menyebabkan terdapatnya aturan-aturan yang dibuat oleh kepala keluarga dan harus dipatuhi oleh setiap anggota keluarga. Anggota keluarga yang dari segi umur lebih muda diharuskan menaruh hormat kepada orang yang lebih tua.

Guru diharapkan mempunyai tingkat kecerdasan emosional ya ng tinggi. Dengan tingkat kecerdasan emosional yang tinggi guru akan mampu mengenali emosi dirinya sendiri dan orang lain, mampu menangani emosi agar dapat terungkap dengan “pas”, mampu memotivasi diri, mampu berempati serta memiliki ketrampilan sosial dalam berhubungan dengan orang lain (rekan kerja dan siswa). Kemampuan ini akan berkembang bila guru tersebut berasal dari keluarga dengan latar belakang budaya power distance kecil, dimana tidak terdapat aturan ketat yang menghambat perkembangan kecerdasan emosional setiap anggota keluarga. Oleh sebab itu tingkat kecerdasan emosional guru dari keluarga ini lebih tinggi daripada guru dari keluarga dengan latar belakang budaya power distance besar, yang anggota keluarganya sangat terikat oleh


(58)

aturan-aturan ketat sebagai akibat dari kebiasaan untuk mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan.

Dimensi individualisme versus kolektivisme (individualism versus collectivism) mengacu pada sejauhmana budaya dalam keluarga mendukung tendensi individualisme atau kolektivisme. Budaya individualisme mendorong anggota-anggotanya agar mandiri (otonom), menekankan tanggung jawab dan hak-hak pribadinya. Sementara budaya kolektivisme menekankan kewajiban pada anggota keluarga daripada hak-hak pribadinya. Dalam hubungannya dengan kecerdasan emosional, guru dari keluarga dengan latar belakang budaya individualisme cenderung memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi daripada guru dari keluarga dengan latar belakang budaya kolektivisme, karena budaya individualisme menyebabkan tumbuhnya kemandirian secara emosional. Berbeda dengan guru dari keluarga dengan latar belakang budaya kolektivisme yang mengalami perkembangan kecerdasan emosional yang tergantung pada kepentingan kelompok. Dalam budaya kolektivisme, seseorang memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi dengan kelompoknya, akibatnya secara emosional mereka tidak mandiri.

Dimensi femininitas versus maskulinitas (femininity versus masculinity) menunjukkan sejauhmana budaya dalam keluarga berpegang teguh pada peran gender atau nilai-nilai seksual yang tradisional, yang didasarkan pada perbedaan biologis. Keluarga dengan latar belakang budaya femininitas lebih mengutamakan hubungan interpersonal,


(59)

keharmonisan, dan kinerja kelompok. Sedangkan pada keluarga dengan latar belakang budaya maskulinitas menekankan nilai asertifitas, prestasi, dan performansi. Dalam kaitannya dengan kecerdasan emosional, guru dari keluarga dengan latar belakang budaya femininitas dimana ada pembelajaran mengenai hubungan interpersonal dan keharmonisan dalam kinerja kelompok, akan mempunyai tingkat kecerdasan emosional yang tinggi. Keluarga dengan latar belakang budaya maskulinitas lebih cenderung berusaha mengedepankan faktor dari dalam diri sendiri tanpa melihat luar. Sehingga anggota keluarga menjadi kurang luwes dalam menghadapi perubahan, kurang terbuka terhadap ide- ide serta informasi baru. Kondisi inilah yang menjadi faktor pelemah dalam perkembangan kecerdasan emosional.

Pada dimensi penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance) menunjuk sejauhmana pandangan anggota keluarga dalam menghadapi situasi yang tidak pasti. Keluarga dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah, toleransi terhadap situasi yang tidak pasti lebih tinggi. Biasanya keluarga ini lebih bersikap rileks dan sedikit memiliki aturan. Dengan situasi ini anggota keluarga lebih banyak diberi kesempatan untuk mengambil inisiatif sendiri dalam menyelesaikan tugas. Sementara pada keluarga dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat merasa terancam dengan ketidakpastian sehingga berusaha menciptakan mekanisme untuk mengurangi risiko. Dalam kaitannya dengan kecerdasan emosional, guru yang berasal dari keluarga dengan


(60)

latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah inilah yang mempunyai kecenderungan memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi daripada guru dari keluarga dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat. Rendahnya inisiatif dan ketidakmampuan dalam menghadapi situasi ketidakpastian yang dimiliki dalam keluarga dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat mengakibatkan guru memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah.

Pengaruh kultur keluarga dengan kecerdasan emosional akan berbeda pada jenis kelamin yang berbeda. Berdasarkan pada peran gender tradisional, masyarakat beranggapan bahwa laki- laki lebih dominan dalam menetapkan aturan dan memiliki kekuasaan penuh untuk mengambil keputusan dalam keluarga (ayah sebagai kepala keluarga) sehingga laki-laki cenderung untuk mempertahankan power distance besar. Akibatnya laki- laki kurang mampu membina hubungan komunikasi dengan anggota keluarga yang lain dan kurang terbuka terhadap informasi- informasi baru dari luar. Berbeda dengan peran perempuan yang diposisikan sebagai seorang ibu, yang mampu menjembatani posisi anak dan ayah sehingga kemampuannya dalam komunikasi lebih berkembang. Standar peran gender inilah yang mengakibatkan tingkat kecerdasan emosional seorang perempuan lebih tinggi daripada laki- laki.

Pada dimensi individualisme versus kolektivisme (individualism versus collectivism), laki- laki memiliki budaya individualisme yang lebih tinggi daripada perempuan. Laki- laki berdasar ciri-ciri psikologisnya


(61)

mempunyai sifat yang lebih mandiri sesuai dengan ciri-ciri budaya individualisme. Dengan sifat ini laki- laki mempunyai tingkat kecerdasan emosional yang lebih tinggi daripada perempuan. Ada kecenderungan perempuan kurang mandiri dan mempunyai ketergantungan dengan orang lain yang lebih tinggi.

Sedangkan untuk dimensi femininitas versus maskulinitas (femininity versus masculinity), laki- laki mempunyai budaya maskulinitas yang lebih tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan ciri hubungan interpersonal yang dipunyai laki- laki. Laki- laki cenderung memiliki toleransi kepada orang lain dalam taraf rendah yang menunjukkan bahwa tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki laki- laki lebih rendah daripada perempuan, dimana perempuan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menjalin hubungan dengan orang lain.

Perempuan berdasarkan ciri-ciri psikologisnya memiliki budaya uncertainty avoidance yang kuat karena perempuan merasa terancam dengan ketidakpastian sehingga berusaha menciptakan mekanisme untuk mengurangi risiko. Kondisi seperti itu mengakibatkan perempuan tidak mempunyai sikap gigih dalam memperjuangkan kegagalan dan hambatan. Hal ini mencerminkan perempuan memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah. Berbeda dengan laki- laki yang lebih cenderung senang mencoba hal- hal baru tanpa merasa terancam dengan risiko yang akan dihadapi. Sikap gigih laki- laki dalam memperjuangkan kegagalan dan


(62)

hambatan akan sesuatu yang tidak pasti mencerminkan tingginya tingkat kecerdasan emosional laki- laki daripada perempuan.

2. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Hubungan Kultur Lingkungan Kerja Dengan Kecerdasan Emosional Guru.

Kecerdasan emosional berkembang seiring dengan perkembangan diri seseorang, terutama di lingkungan teman sebaya (lingkungan kerja), karena dalam lingkungan kerja seseorang akan berinteraksi dengan orang lain dengan latar belakang budaya yang berbeda, hal ini akan membentuk kecerdasan emosional seseorang lebih berkembang. Dimana lingkungan kerja ini merupakan faktor eksternal kedua yang berperan penting dalam pembentukan dan perkembangan tingkat kecerdasan emosional guru.

Kultur lingkungan kerja merupakan pandangan hidup, mencakup cara berpikir, berperilaku, sikap nilai, yang diakui bersama dalam suatu lingkungan disekitar pekerja yang mempengaruhi dirinya, baik secara emosional maupun intelektual, dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan. Kultur lingkungan kerja bisa diidentifikasikan berdasarkan dimensi-dimensinya. Pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya power distance besar, kedudukan atasan dan bawahan adalah berbeda, kondisi ini mengakibatkan kurang adanya kebebasan dalam bekerja, dan adanya pengaruh dominasi ya ng kuat dari atasan dalam bekerja. Dengan demikian karyawan sebagai bawahan menjadi kurang berminat dalam bekerja, kurang memiliki pengendalian diri, tidak mampu bekerjasama dan


(63)

kurang mampu berkomunikasi dengan karyawan yang lain. Sehingga dapat disimpulkan guru yang bekerja pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya power distance besar akan cenderung memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah, dibandingkan dengan guru yang bekerja pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya power distance kecil. Pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya power distance kecil, terdapat kedudukan yang sama antara atasan dan bawahan serta sikap demokratis dalam bekerja yang akan meningkatkan kecerdasan emosional guru.

Budaya individualisme menekankan pada hubungan kerja atas dasar transaksi bisnis, manajemen individual, serta pengelolaan pekerjaan secara individual. Sementara budaya kolektivisme menekankan pada hubungan kekeluargaan, mana jemen kerja kelompok, dan pengelolaan pekerjaan yang dikembangkan secara bersama. Dalam hubungannya dengan kecerdasan emosional, guru dalam lingkungan kerja dengan latar belakang budaya individualisme cenderung memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi daripada guru dalam lingkungan kerja dengan latar belakang budaya kolektivisme, karena budaya individualisme mendukung tumbuhnya kemandirian secara emosional. Berbeda dengan guru dalam lingkungan kerja dengan latar belakang budaya kolektivisme yang mengalami perkembangan kecerdasan emosional yang tergantung pada kepentingan kelompok. Dalam kondisi budaya kolektivisme, seseorang


(64)

memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi dengan kelompoknya, akibatnya secara emosional mereka tidak mandiri.

Lingkungan kerja dengan latar belakang budaya femininitas lebih mengutamakan pada kerendahan hati dan kesetiakawanan, mengutamakan mufakat serta prinsip bekerja untuk hidup. Sedangkan pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya maskulinitas menekankan pada ketegasan ambisi dan persaingan, penuh inisiatif dalam mengatur pekerjaan serta berprinsip bahwa hidup untuk bekerja. Dalam kaitannya dengan kecerdasan emosional, guru dalam lingkungan kerja dengan latar belakang budaya femininitas dimana ada pembelajaran mengenai hubungan interpersonal dan keharmonisan dalam kinerja kelompok, membentuk guru untuk memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi. Sedangkan kondisi lingkungan dengan latar belakang budaya maskulinitas membentuk guru memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah.

Guru dalam lingkungan kerja dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah, guru lebih mengembangkan waktu sebagai batasan kerja, dan dalam bekerja selalu termotivasi dengan prestasi, penghargaan atau rasa memiliki. Dengan situasi ini guru sebagai bawahan lebih banyak diberi kesempatan untuk mengambil inisiatif sendiri dalam menyelesaikan tugas. Sementara pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat merasa terancam dengan ketidakpastian sehingga berusaha untuk selalu bekerja keras, tidak


(65)

fleksibel dala m pemanfaatan waktu serta cenderung menghindari risiko dan mempertahankan diri. Dalam kaitannya dengan kecerdasan emosional, guru yang berada dalam lingkungan kerja dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah inilah yang cenderung memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi, daripada guru pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat.

Pengaruh kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional akan berbeda pada jenis kelamin yang berbeda. Berdasarkan pada peran gender tradisional, laki- laki lebih banyak menjadi pemimpin. Karenanya laki- laki memiliki kekuasaan dalam mengambil setiap keputusan. Oleh sebab itu power distance besar dipertahankan oleh laki- laki. Akibatnya laki- laki kurang mampu membina hubunga n dengan orang lain dalam lingkungan kerja. Berbeda dengan peran perempuan yang diposisikan sebagai seseorang yang mampu menjembatani, sehingga kemampuannya dalam komunikasi lebih berkembang. Standar peran gender inilah yang mengakibatkan tingkat kecerdasan emosional perempuan lebih tinggi dari pada laki- laki.

Pada dimensi individualism versus collectivism, seorang laki- laki memiliki budaya individualisme yang lebih tinggi daripada perempuan. Laki- laki berdasar ciri-ciri psikologisnya mempunyai sifat yang lebih mandiri sesuai dengan ciri-ciri budaya individualisme. Dengan sifat ini laki- laki mempunyai tingkat kecerdasan emosional yang lebih tinggi


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Pengaruh jenis kelamin dan locus of control terhadap hubungan kultur keluarga, kultur lingkungan kerja, dan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru : survei pada guru SMA di Kabupaten Sleman, DIY.

0 1 271

Pengaruh locus of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah pada hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa : survey siswa-siswi SMP negeri dan swasta di Kabupaten Kulon Progo.

0 1 294

Pengaruh jenis kelamin locus of control terhadap hubungan kultur keluarga, kultur lingkungan kerja, dan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru : survei guru SMA di Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta.

0 0 276

SKRIPSI PENGARUH KULTUR LINGKUNGAN KERJA DAN LOCUS OF CONTROL PADA HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KUALITAS PELAYANAN KARYAWAN

0 0 205

PENGARUH JENIS KELAMIN DAN LOCUS OF CONTROL TERHADAP HUBUNGAN KULTUR KELUARGA, KULTUR LINGKUNGAN KERJA, DAN KULTUR LINGKUNGAN MASYARAKAT DENGAN KECERDASAN EMOSIONAL GURU Survei: Guru SMA di Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta SKRIPSI Diajukan untu

0 0 274

Pengaruh jenis kelamin dan locus of control terhadap hubungan kultur keluarga, kultur lingkungan kerja, dan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru : survei pada guru SMA di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta - USD Repository

0 0 291

PENGARUH KULTUR LINGKUNGAN KERJA DAN LOCUS OF CONTROL PADA HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KUALITAS PELAYANAN KARYAWAN

0 2 203

PENGARUH KULTUR LINGKUNGAN KERJA DAN LOCUS OF CONTROL PADA HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KUALITAS PELAYANAN KARYAWAN

0 0 210

Pengaruh jenis kelamin dan locus of control terhadap hubungan kultur keluarga, kultur lingkungan kerja, dan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru : survei pada guru SMA di Kabupaten Sleman, DIY - USD Repository

0 0 269

Pengaruh jenis kelamin dan locus of control terhadap hubungan kultur keluarga, kultur lingkungan kerja, dan kultur lingkungan masayarakat dengan kecerdasan emosional guru : survei pada guru SMA di Kodya Yogyakarta, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta - US

0 0 268