Pengaruh jenis kelamin locus of control terhadap hubungan kultur keluarga, kultur lingkungan kerja, dan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru : survei guru SMA di Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta.

(1)

ix ABSTRAK

PENGARUH JENIS KELAMIN DAN LOCUS OF CONTROL TERHADAP HUBUNGAN KULTUR KELUARGA, KULTUR LINDKUNGAN KERJA, KULTUR LINGKUNGAN MASYARAKAT DENGAN KECERDASAN

EMOSIONAL GURU

Survei: Guru SMA di Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta Astutu Trihariyanti

Universitas Sanata Dharma 2007

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui: (1) pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru; (2) pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru; (3) pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru; (4) pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru; (5) pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru; (6) pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru.

Penelitian ini dilaksanakan di 10 SMA di Kabupaten Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada bulan Desember 2006. Teknik pengumpulan data menggunakan kuisioner. Dengan menggunakan teknik purposive sampling dan proportional random sampling, peneliti mendapatkab 285 guru sebagai sampel. Teknik analisa data menggunakan model persamaan regresi yang dikembangkan oleh chow.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru ( p = 0,031 < 0,050); (2) ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru ( p = 0,038 < 0,050); (3) ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru( p = 0,041 < 0,050); (4) ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru ( p = 0,039 < 0,050); (5) tidak ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru ( p = 0,596 > 0,050); (6) ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru ( p = 0,021 < 0,050).


(2)

x ABSTRACT

THE INFLUENCE OF SEX AND LOCUS OF CONTROL TOWARD THE RELATION AMONG FAMILY CULTURE, WORKPLACE CULTURE, AND

SOCIETY CULTURE WITH TEACHER’S EMOTIONAL INTELLIGENCE Survey: Teacher of Senior High Schools in Bantul Regency, Province of Daerah

Istimewa Yogyakarta. Astuti Trihariyanti Sanata Dharma University

2007

This study aimed to know: (1) the influence of sex in the relation between family culture and teachers’ emotional intelligence; (2) the influence of sex in the relation between workplace culture and teachers’ emotional intelligence; (3) the influence of sex in the relation between society culture and teachers’ emotional intelligence; (4) the influence of locus of control in the relation between family culture and teachers’ emotional intelligence; (5) the influence of locus of control in the relation between workplace culture and teachers’ emotional intelligence; and (6) the influence of locus of controlin the relation between society culture and teachers’ emotional intelligence.

This study was done in ten Senior High Schools in Bantul Regency, Province of Daerah Istimewa Yogyakarta in December, 2006. The technique of gathering data was questionnaire. By using purposive sampling technique and proportional random sampling, the researcher gained 285 teachers as samples. The technique of analyzing the data was regression model that was developed by Chow.

The result showed: (1) there was influence of sex in the relation between family culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,031 < a = 0,050); (2) there was influence of sex in the relation between workplace culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,038 < a = 0,050); (3) there was influence of sex in the relation between society culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,041 < a = 0,050); (4) there was influence of locus of control in the relation between family culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,039 < a = 0,050); (5) there ws not influence of locus of control in the relation between workplace culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,596 > a = 0,050); and (6) there was influence of locus of control in the relation between society culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,021 < a = 0,050).


(3)

PENGARUH JENIS KELAMIN DAN LOCUS OF CONTROL TERHADAP HUBUNGAN KULTUR KELUARGA, KULTUR LINGKUNGAN KERJA,

DAN KULTUR LINGKUNGAN MASYARAKAT DENGAN KECERDASAN EMOSIONAL GURU

Survei: Guru SMA di Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Akuntansi

Oleh:

ASTUTI TRIHARIYANTI NIM: 021334107

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AKUNTANSI JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2007


(4)

(5)

(6)

(7)

v MOTTO

1. Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan

2. JANGANLAH KAMU KUATIR TENTANG APAPUN JUGA,

TETAPI NYATAKANLAH DALAM SEGALA HAL

KEINGINNANMU KEPADA ALLAH DALAM DOA DAN PERMOHONAN DENGAN UCAPAN SYUKUR

3. SERAHKANLAH SEGALA KEKUATIRANMU DALAM DIA,

JANGANLAH KAU KUATIR AKAN HARI ESOK, KARENA MEMPUNYAI KESUSUHANNYA SENDIRI. KESUSAHAN SEHARI CUKUPLAH UNTUK SEHARI


(8)

vi

HALAMAN PERSEMBAHAN

S kripsi ini kupersembahkan kepada: T uhan Y esus Kristus, I bu J umidah (al m), B apak Y unarto, Eyangku Mbah T osuro, Mas L ucas, Mas D idik, Nugroho, D etta.


(9)

vii

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kepeda Tuhan Allah yang telah memberikan kasih, penyertaan dan kekuatan bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “PENGARUH JENIS KELAMIN DAN LOCUS OF CONTROL TERHADAP HUBUNGAN KULTUR KELUARGA, KULTUR LINGKUNGAN KERJA, DAN KULTUR LINGKUNGAN MASYARAKAT DENGAN KECERDASAN EMOSIONAL GURU”

Dalam penulisan skripsi ini banyak sekali hambatan, namun puji Tuhan dengan pertolongan dari Tuhan Allah seerta bantuan dan dudkungan berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai dengan baik.

Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Tuhan Yesus Kristus yang selalu memberikan kesempatan, kekuatan dan kemampuan kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.

2. Bapak Drs. T. Sarkim, M.Ed., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

3. Bapak Drs. Sutarjo Adisusilo JR selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial.

4. Bapak S. Widanarto Prijowuntato, S.Pd., M.Si selaku Ketua Program Studi Pendidikan Akuntansi.

5. Bapak L. Saptono, S.Pd., M.Si selaku Dosen Pembimbing I yang telah membantu dan membimbing penulis dalam penulisan skripsi ini.

6. Bapak A. Heri Nugroho, S.Pd selaku Dosen Pembimbing II yang telah membantu dan membimbing penulis dalam penulisan skripsi ini.

7. Bapak Yunarto yang telah menjadi orang tua yang baik. Terimakasih atas perhatiannnya selama ini

8. Ibu Jumidah (alm) yang telah mendampingiku dan memberikan kasih sayang, meskipun telah dipanggil Tuhan. Akhirnya aku bisa menjadi sarjana


(10)

viii

9. Mbah Tosuro. Terimakasih doanya dan nasehat-nasehatnya.

10. Mas Lucas yang telah banyak membantu penulis menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih atas segala bantuan, kesabarannya dan kasih sayangnya.

11. Mas Didik dan Adik-adikku Nugroho dan Detta. Terima kasih atas doanya, jangan nakal dan rajinlah belajar.

12. Keluarga Ibu Wartini yang telah menjadi keluarga keduaku.

13. Teman-temanku di Apotik Mitra Farma: Bu Syamsu, mba’ Arie, bu Yer, mba’Eny, Ririn, dan juga mbah Moel. Terima kasih atas pengertian dan waktu yang telah diberikan. Maaf sering merepotkan kalian.

14. Teman-teman seperjuanganku: Cipluk, Spt, Sarinah dan MM. Perjuangan bersama kalian sungguh menyenangkan. Terimakasih untuk semuanya.

15. Sahabat-sahabatku: Es-tea, Risa, Budhe Dewi, Ima, Dhita, . Hari- hari indah bersama kalian.

16. Teman-temanku PAK “C”: Sigit, Toro, Thomas, Nina, Dhika, Dian, Tiara, Catarina, Putri, Uchie. Terimakasih doa dan dukungannya.

17. Motor Grandku yang telah mengantarkan kemanapun aku pergi. 18. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Yogyakarta, Juni 2007


(11)

ix ABSTRAK

PENGARUH JENIS KELAMIN DAN LOCUS OF CONTROL TERHADAP HUBUNGAN KULTUR KELUARGA, KULTUR LINDKUNGAN KERJA, KULTUR LINGKUNGAN MASYARAKAT DENGAN KECERDASAN

EMOSIONAL GURU

Survei: Guru SMA di Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta Astutu Trihariyanti

Universitas Sanata Dharma 2007

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui: (1) pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru; (2) pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru; (3) pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru; (4) pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru; (5) pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru; (6) pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru.

Penelitian ini dilaksanakan di 10 SMA di Kabupaten Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada bulan Desember 2006. Teknik pengumpulan data menggunakan kuisioner. Dengan menggunakan teknik purposive sampling dan proportional random sampling, peneliti mendapatkab 285 guru sebagai sampel. Teknik analisa data menggunakan model persamaan regresi yang dikembangkan oleh chow.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru ( p = 0,031 < 0,050); (2) ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru ( p = 0,038 < 0,050); (3) ada pengaruh jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru( p = 0,041 < 0,050); (4) ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru ( p = 0,039 < 0,050); (5) tidak ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru ( p = 0,596 > 0,050); (6) ada pengaruh locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru ( p = 0,021 < 0,050).


(12)

x ABSTRACT

THE INFLUENCE OF SEX AND LOCUS OF CONTROL TOWARD THE RELATION AMONG FAMILY CULTURE, WORKPLACE CULTURE, AND

SOCIETY CULTURE WITH TEACHER’S EMOTIONAL INTELLIGENCE Survey: Teacher of Senior High Schools in Bantul Regency, Province of Daerah

Istimewa Yogyakarta. Astuti Trihariyanti Sanata Dharma University

2007

This study aimed to know: (1) the influence of sex in the relation between family culture and teachers’ emotional intelligence; (2) the influence of sex in the relation between workplace culture and teachers’ emotional intelligence; (3) the influence of sex in the relation between society culture and teachers’ emotional intelligence; (4) the influence of locus of control in the relation between family culture and teachers’ emotional intelligence; (5) the influence of locus of control in the relation between workplace culture and teachers’ emotional intelligence; and (6) the influence of locus of controlin the relation between society culture and teachers’ emotional intelligence.

This study was done in ten Senior High Schools in Bantul Regency, Province of Daerah Istimewa Yogyakarta in December, 2006. The technique of gathering data was questionnaire. By using purposive sampling technique and proportional random sampling, the researcher gained 285 teachers as samples. The technique of analyzing the data was regression model that was developed by Chow.

The result showed: (1) there was influence of sex in the relation between family culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,031 < a = 0,050); (2) there was influence of sex in the relation between workplace culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,038 < a = 0,050); (3) there was influence of sex in the relation between society culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,041 < a = 0,050); (4) there was influence of locus of control in the relation between family culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,039 < a = 0,050); (5) there ws not influence of locus of control in the relation between workplace culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,596 > a = 0,050); and (6) there was influence of locus of control in the relation between society culture and teachers’ emotional intelligence (p = 0,021 < a = 0,050).


(13)

xi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT... x

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Identifikasi Masalah... 5

C. Rumusan Masalah... 6

D. Tujuan Penelitian ... 6

E. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kultur Keluarga 1. Pengertian Kultur ... 9

2. Pengertian Keluarga ... 10

3. Dimensi Kultur Keluarga ... 12

B. Kultur Lingkungan Kerja 1. Pengertian Lingkungan Kerja ... 15

2. Dimensi Kultur Lingkungan Kerja ... 16

C. Kultur Lingkungan Masyarakat 1. Pengertiian Masyarakat... 18


(14)

xii

2. Dimensi Kultur Lingkungan Masyarakat... 19

D. Kecerdaan Emosional 1. Pengertian Emosi ... 22

2. Pengertian Kecerdasan Emosional... 23

3. Dimensi Kecerdasan Emosional ... 24

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional 28 E. Jenis Kelamin ... 30

F. Locus of Control... 32

G. Kerangka Berpikir 1. Pengaruh Jenis Kelamin pada hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru... 34

2. Pengaruh Jenis Kelamin pada hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru... 40

3. Pengaruh Jenis Kelamin pada hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru... 45

4. Pengaruh Locus of control pada hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru... 50

5. Pengaruh Locus of control pada hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional gur u ... 53

6. Pengaruh Locus of control pada hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru ... 55

H. Perumusan Hipotesis ... 60

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian... 61

B. Tempat dan Waktu Penelitian... 61

C. Subjek dan Objek Penelitian ... 62

D. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel... 62

E. Variabel Penelitian dan Pengukurannya ... 63

1. Kecerdaan Emosional ... 63

2. Kultur Keluarga ... 66


(15)

xiii

4. Kultur Lingkungan Masyarakat ... 69

5. Jenis Kelamin ... 71

6. Locus of Control... 72

F. Teknik Pengumpulan Data... 73

G. Pengujian Validitas dan Reliabilitas 1. Uji Validitas ... 73

2. Uji Reliabilitas ... 77

H. Teknik Analisis Data 1. Statistik Deskriptif ... 81

2. Pengujian Normalitas dan Linieritas... 81

3. Pengujian Hipotesis Penelitian ... 83

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data 1. Deskripsi Responden... 85

2. Deskripsi Variabel Penelitian... 86

B. Analisis Data 1. Pengujian Prasyarat Analisis Data ... 111

2. Pengujian Hipotesis ... 114

C. Pembahasan Hasil Penelitian ... 127

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 147

B. Keterbatasan... 148

C. Saran... 149

DAFTAR PUSTAKA ... 154


(16)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Operasionalisasi Variabel Kecerdasan Emosional Guru ... 64

Tabel 3.2 Operasionalisasi Variabel Kultur Keluarga ... 67

Tabel 3.3 Operasionalisasi Variabel Kultur Lingkungan Kerja... 69

Tabel 3.4 Operasionalisasi Variabel Kultur Lingkungan Masyarakat ... 70

Tabel 3.5 Operasionalisasi Variabel Locus of Control... 72

Tabel 3.6 Pengujian Validitas Variabel Kecerdasan Emosional Guru ... 74

Tabel 3.7 Pengujian Validitas Variabel Kultur Keluarga ... 75

Tabel 3.8 Pengujian Validitas Variabel Kultur Lingkungan Kerja... 76

Tabel 3.9 Pengujian Validitas Variabel Kultur Lingkungan Masyarakat ... 76

Tabel 3.10 Pengujian Validitas Variabel Locus of Control... 77

Tabel 3.11 Pengujian Reliabilitas ... 79

Tabel 4.1 Jenis Kelamin Responden... 85

Tabel 4.2 Deskripsi Kecerdasan Emosional ... 86

Tabel 4.3 Deskripsi kultur Keluarga pada Dimensi Power distance... 88

Tabel 4.4 Deskripsi kultur Keluarga pada Dimensi Individualism vs Collectivism... 89

Tabel 4.5 Deskripsi kultur Keluarga pada Dimensi Masculinity vs Femininity... 91

Tabel 4.6 Deskripsi kultur Keluarga pada Dimensi Uncertainty Avoidance... 92

Tabel 4.7 Deskripsi kultur Keluarga... 94

Tabel 4.8 Deskripsi kultur Lingkungan Kerja pada Dimensi Power distance... 95

Tabel 4.9 Deskripsi kultur Lingkungan Kerja pada Dimensi Individualism vs Collectivism... 97

Tabel 4.10 Deskripsi Kultur Lingkungan Kerja pada Dimensi Masculinity vs Femininity... 98


(17)

xv

Tabel 4.11 Deskripsi kultur Lingkungan Kerja pada

Dimensi Uncertainty Avoidance... 100

Tabel 4.12 Deskripsi kultur Lingkungan Kerja... 102

Tabel 4.13 Deskripsi kultur Lingkungan Masyarakat pada Dimensi Power distance... 103

Tabel 4.14 Deskripsi kultur Lingkungan Masyarakat pada Dimensi Individualism vs Collectivism... 104

Tabel 4.15 Deskripsi Kultur Lingkungan Masyarakat pada Dimensi Masculinity vs Femininity... 106

Tabel 4.16 Deskripsi kultur Lingkungan Masyarakat pada Dimensi Uncertainty Avoidance... 107

Tabel 4.17 Deskripsi Kultur Lingkungan Masyarakat... 109

Tabel 4.18 Deskripsi Locus of Control... 110

Tabel 4.19 Hasil Pengujian Normalitas... 112

Tabel 4.20 Hasil Pengujian Linieritas Variabel Kultur Keluarga dengan Kecerdasan Emosional... 112

Tabel 4.21 Hasil Pengujian Linieritas Variabel Kultur Lingkungan Kerja dengan Kecerdasan Emosional... . 113

Tabel 4.22 Hasil Pengujian Linieritas Variabel Kultur Lingkungan Masyarakat dengan Kecerdasan Emosional... 114


(18)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Kuisioner ... 156

Lampiran 2 Data Prapenelitian... 166

Lampiran 3 Pengujian Validitas dan Reliabilitas ... 171

Lampiran 4 Data Induk ... 176

Lampiran 5 Data Distribusi Frekuensi ... 211

Lampiran 6 Pengujian Normalitas dan Linieritas... 233

Lampiran 7 Pengujian Regresi dan Korelasi... 234

Lampiran 8 Daftar Tabel ... 242


(19)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan adalah upaya menyiapkan subyek didik agar siap menghadapi dan berperan dalam lingkungan hidup yang selalu berubah dengan cepat. Melalui pendidikan, sub yek didik belajar tentang ilmu pengetahuan maupun ketrampilan. Ilmu pengetahuan mencakup teori- teori yang termuat pada buku-buku acuan maupun dari berbagai penjelasan tambahan dari guru. Sedangkan ketrampilan diperoleh subyek didik dari kegiatan praktik yang diselenggarakan di sekolah atau dunia industri secara langsung.

Beberapa tahun belakangan ini mutu pendidikan di negara kita tampak masih sangat memprihatinkan. Banyak siswa yang tidak lulus ujian akhir nasional (UAN). Pada tahun 2004/2005 periode 1 jumlah siswa tidak lulus UAN sebanyak 86.818 untuk tingkat SMP/MTs, dan sebanyak 18.675 untuk jenjang SMA/MA/SMK (Kompas 1 Juli 2005). Dan pada tahun 2005/2006 juga masih mengalami hal yang sama, sehingga pemerintah menganjurkan agar siswa yang tidak lulus Ujian Akhir Nasional tersebut mengikuti program Kejar Paket. Dari hasil Ujian Nasional (Unas) paket A,B,C di DIY sebanyak 8.092 siswa dari 9.738 siswa yang mengikuti Ujian Nasional dinyatakan lulus, sehingga siswa yang belum lulus sebanyak 1.646 (Kedaulatan Rakyat 2 Oktober 2006). Kondisi ini menyebabkan para pelaku


(20)

pendidikan mendapatkan sorotan masyarakat. Guru sebagai tenaga pendidik praktis mendapatkan porsi perhatian paling besar. Pendeknya, masyarakat menghendaki kualitas guru perlu segera ditingkatkan.

Guru sebagai pendidik, memang berperan penting dalam praktik pendidikan. Peran guru terwujud dalam tugas membimbing, mengajar dan melatih peserta didik. Karenanya, untuk menjadi tenaga pendidik, guru tidak hanya harus menguasai materi saja tetapi juga harus mempunyai tingkat kecerdasan emosional yang tinggi. Kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain secara efektif. Kemampuan tersebut tampak dari kemampuan menyeimbangkan penggunaan rasio dan emosi. Emosi sebagai perasaan yang subyektif diasosiasikan dengan serangkain perilaku. Hal demikian berarti emosi sangat menentukan seseorang dalam menjalankan kegiatan belajar mengajar. Ketika seorang guru tidak dapat memainkan emosi di dalam mendidik siswanya, maka hal tersebut akan menyebabkan siswa merasa jenuh dan bosan. Hal ini disebabkan seorang siswa mengamati dan terbawa arus keperilakuan guru.

Seorang guru yang mempunyai kecerdasan emosional yang tinggi akan mempunyai tujuan yang jelas dalam hidupnya. Kecerdasan emosiona l guru tersebut tampak dari kema mpuan dalam menguasai diri, tekun, sadar diri, mengendalikan dorongan hati, mampu berempati, memiliki harapan optimisme. Ada banyak faktor ya ng berhubungan dengan tinggi rendahnya tingkat kecerdasan emosional guru. Secara umum faktor-faktor tersebut


(21)

3

terkategorikan ke dalam faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor yang ada dalam lingkungan guru sendiri yang terdiri dari faktor fisiologis dan faktor psikologis. Sedangkan faktor eksternal adalah perlakuan yang didapat guru dari lingkungan. Lingkungan tersebut mencakup lingkungan keluarga, teman sebaya (rekan sekerja) dan lingkungan masyarakat.

Keluarga adalah satu kesatuan terkecil yang mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam pembentukan pribadi seseorang. Lingkungan keluarga memproses seseorang menjadi bermoral, mengenal etika, berakhlak serta berbudi pekerti. Kebiasan-kebiasaan yang dilakukan dalam keluarga merupakan faktor eksternal yang menentukan arah sikap dan perilaku. Dengan demikian, kultur keluarga akan mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat kecerdasan emosional seseorang

Kultur lingkungan kerja merupakan bagian dari sikap, nilai, tujuan, serta praktik-praktik yang terjadi dalam lingkungan kerja. Kebiasaan-kebiasan yang ada dalam lingkungan kerja seperti mempertahankan kekuasaan, komunikasi, kepekaan dan lain- lain praktis akan mempengaruhi tingkat kecerdasan emosional guru. Sementara, kultur lingkungan masyarakat merupakan pandangan hidup yang diukur oleh suatu kelompok masyarakat yang mencakup cara berpikir, berperilaku, sikap, nilai yang tercermin baik dalam wujud fisik maupun abstrak. Dalam lingkungan masyarakat seseorang berinteraksi dengan orang lain yang memiliki budaya berbeda. Seorang guru yang memiliki potensi diri dan kemampuan berkomunikasi yang baik akan


(22)

berkembang bila seorang guru berada dalam lingkungan masyarakat yang baik. Sebaliknya pada lingkungan masyarakat yang tidak baik akan menyebabkan rendahnya tingkat inisiatif dan berdampak pada tingkat kecerdasan emosional guru yang rendah.

Derajat hubungan kultur keluarga, kultur lingkungan kerja, kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru diduga kuat berbeda pada jenis kelamin guru yang berbeda. Jenis kelamin dipandang memiliki pengaruh asertivitas. Laki- laki dipandang lebih asertif daripada perempuan. Hal demikian menyebabkan seorang guru perempuan akan lebih sabar dalam membimbing dan mengarahkan siswa. Sementara guru laki- laki secara signifikan akan lebih unggul dalam stabilitas emosi, dominasi, impulsifitas, kepuasan dan keberanian diri.

Derajat hubungan kultur keluarga, kultur lingkungan kerja, kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru diduga kuat juga akan berbeda pada guru yang memiliki locus of control yang berbeda. Guru dengan locus of control internal memandang bahwa ia dapat mengontrol tujuan hidupnya dengan kekuatannya sendiri. Sementara, guru dengan locus of control eksternal memandang bahwa ia mampu mengontrol perilakunya dengan bantuan kekuatan di luar dirinya. Guru dengan kecenderungan locus of control mempunyai keyakinan yang besar untuk memperoleh keberhasilan, asertif, mempunyai usaha untuk maju dan mampu menggunakan ketrampilan sosial untuk mempengaruhi lingkungan. Dengan demikian derajat hubungan kultur keluarga, kultur lingkungan kerja, kultur lingkungan masyarakat dengan


(23)

5

kecerdasan emosional guru diduga kuat akan lebih tinggi pada guru yang memiliki locus of control internal dibandingkan guru yang memiliki locus of control eksternal.

Dari uraian di atas penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “PENGARUH JENIS KELAMIN DAN LOCUS OF CONTROL

TERHADAP HUBUNGAN KULTUR KELUARGA, KULTUR

LINGKUNGAN KERJA, DAN KULTUR LINGKUNGAN MASYARAKAT DENGAN KECERDASAN EMOSIONAL GURU”. Penelitian ini merupakan survei pada guru SMA di Kabupaten Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut dapat diketahui bahwa ada faktor- faktor yang berhubungan dengan kecerdasan emosional. Faktor-faktor tersebut adalah Faktor-faktor internal dan Faktor-faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari faktor fisiologis yang meliputi ketrampilan emosional otak manusia sedangkan faktor psikologis meliputi keyakinan, rasa ingin tahu, niat, pengendalian diri, keterkaitan dan kemampuan bekerjasama dengan orang lain. Faktor eksternal meliputi lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat (sosial). Dari berbagai faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional tersebut, penulis memfokuskan pada kultur keluarga, kultur lingkungan kerja, kultur lingkungan masyarakat dengan variabel pemoderasi jenis kelamin dan locus of control.


(24)

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah ada pengaruh positif jenis kelamin terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru?

2. Apakah ada pengaruh positif jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru?

3. Apakah ada pengaruh positif jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru?

4. Apakah ada pengaruh positif locus of control terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru?

5. Apakah ada pengaruh positif locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru?

6. Apakah ada pengaruh positif locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Ada pengaruh positif jenis kelamin terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru.


(25)

7

2. Ada pengaruh positif jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru.

3. Ada pengaruh positif jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru.

4. Ada pengaruh positif locus of control terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru.

5. Ada pengaruh positif locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru.

6. Ada pengaruh positif locus of control terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru.

E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yaitu:

1. Subjek Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi guru dalam memperluas pengetahuan mereka tentang pentingnya kecerdasan emosional sehingga diharapkan dapat membantu guru untuk menyadari bahwa kecerdasan emosional sangat penting dalam meningkatkan profesionalitas sebagai tenaga pendidik.


(26)

2. Peneliti Lain

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan inspirasi untuk mengadakan dan mengembangkan penelitian lanjutan dalam bidang kecerdasan emosional.


(27)

9 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kultur Keluarga 1. Pengertian Kultur

Banyak ahli mendefinisikan kultur secara berbeda-beda. The American Heritage Dictionary (dalam Kotter, 1992:4) mendefinisikan kultur sebagai:

The totality of socially transmitted behavior patterns, arts, beliefs, institutions, and all other products of human work and thought characteristics of a community or population.

Kultur merupakan keseluruhan pola keperilakuan manusia, seni, kepercayaan, lembaga- lembaga, dan keseluruhan hasil karya manusia yang mewujudkan karakteristik-karakteristik yang dibawa dari komunitas atau masyarakatnya.

Tylor dalam Conrad Phillip Kottak (1991:37) mendefinisikan kultur sebagai berikut:

Cultur is that complex whole which includes knowledge, belief, arts, morals, law, custom, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society.

Kultur merupakan sesuatu yang kompleks/menyeluruh mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan serta kebiasaan yang diperlukan manusia sebagai anggota masyarakat.


(28)

Sementara itu, Hofstede (1994:5) mengartikan kultur sebagai: A collective phenomenon, because it is at least partly shared with people who live or lived within the same social environment, which is there it was learned. It is collective programming of the mind which distinguishes the members of the one group or category of people from another.

Kultur merupakan bentuk pemrograman mental secara kolektif yang membedakan anggota kelompok satu dengan kelompok yang lainnya dalam pola pikir, perasaan, dan tindakan anggota suatu kelompok. Hofstede (1994:4) karenanya menyebutkan kultur sebagai “software of the mind”. Sebagai bentuk pemrograman mental secara kolektif, kultur cenderung sulit berubah karena telah terkristalisasi dalam lembaga yang telah mereka bangun.

Dengan demikian kultur merupakan pandangan hidup yang diakui bersama dalam suatu kelompok, yang mencakup pola berpikir, berperilaku, sikap nilai yang tercermin dalam wujud fisik maupun abstrak yang membedakan anggota kelompok satu dengan kelompok yang lainnya.

2. Pengertian Keluarga

Yang dimaksud keluarga adalah keluarga asal anak, dimana anak dilahirkan, dibesarkan, dan hidup bersama ayah, ibu, dan saudaranya (Kartono, 1985:27). Sedangkan Paul B. Horton dalam Manurung (1995:47) mendefinisikan keluarga sebagai berikut:

The family is defined as a kinship grouping which provides for the rearing of children and for certain other human needs.


(29)

11

Keluarga diartikan sebagai suatu kelompok pertalian nasib keluarga yang dapat dijadikan tempat untuk membimbing anak-anak dan untuk pemenuhan kebutuhan hidup lainnya.

Sementara menurut Ahmadi (1991:239), keluarga dalam bentuk murni merupakan satu kesatuan sosial yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak yang belum dewasa. Satuan ini mempunyai sifat-sifat tertentu yang sama dimana saja dalam satuan masyarakat manusia. Keluarga merupakan suatu kesatuan sosial yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak, yang dapat dijadikan tempat untuk membimbing anak-anak dan untuk pemenuhan kebutuhan hidup, baik kebutuhan fisik maupun psikis.

Dari definisi tentang kultur dan keluarga di atas, dapat disimpulkan bahwa kultur keluarga merupakan pandangan hidup yang mencakup cara berpikir, berperilaku, dan sikap nilai, yang diakui bersama dalam suatu kesatuan sosial yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak, yang dapat dijadikan tempat untuk membimbing anak-anak sekaligus sebagai tempat untuk pemenuhan kebutuhan hidup, baik kebutuhan fisik maupun psikis.

Sebagai tempat untuk membimbing anak, keluarga mempunyai peranan yang sangat besar bagi perkembangan anak, baik itu fisik maupun psikis. Dalam lingkunga n keluarga, seseorang belajar bagaimana mengolah perasaan dirinya sendiri, bagaimana berpikir tentang perasaan ini, menentukan pilihan-pilihan untuk bereaksi, dan bagaimana membaca dan mengungkapkan harapan dan rasa takut. Pembelajaran tersebut nantinya akan melahirkan pikiran, perilaku, dan sikap nilai yang tertanam


(30)

dalam diri seseorang, yang merupakan cerminan dari tingkat kecerdasan emosional seseorang. Misalnya saja dalam keluarga yang mempunyai kebiasaan untuk saling bertukar pendapat mengenai kebijakan keluarga, akan melahirkan seseorang yang mampu berkomunikasi dengan baik dan mampu menghormati pendapat orang lain. Selain itu, keluarga juga berperan dalam pembentukan konsep tentang keberadaan orang lain ataupun konsep tentang hal-hal yang dilihat di sekitarnya. Misalnya, jika sejak kecil seseorang telah dididik untuk menghormati orang lain, maka akan tumbuh pemahaman dalam dirinya bahwa semua orang harus dihormati.

3. Dimens i Kultur Keluarga

Kultur keluarga terbagi menjadi 4 dimensi yaitu: (a) jarak kekuasaan (power distance); (b) individualisme versus kolektivisme (individualism versus collectivism); (c) femininitas versus maskulinitas (masculinity versus femininity); (d) penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance).

Dimensi jarak kekuasaan (power distance) menunjukkan tingkatan atau sejauh mana tiap keluarga mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan diantara anggota-anggotanya. Keluarga yang memiliki budaya power distance besar akan cenderung mengembangkan aturan, mekanisme atau kebiasaan-kebiasaan dalam mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan. Sementara keluarga yang memiliki orientasi budaya power


(31)

13

distance kecil akan berusaha untuk meminimalkan perbedaan-perbedaan status atau mengutamakan kesejajaran (equality).

Dimensi individualism versus collectivism mengacu pada sejauh mana suatu keluarga mendukung tendensi individualisme atau kolektivisme. Keluarga dengan budaya individualisme mendorong anggota-anggotanya untuk mandiri (otonom) dan merealisasikan hak-hak pribadinya. Sedangkan pada keluarga dengan budaya kolektivisme menekankan kewajiban pada kelompok daripada hak-hak pribadinya.

Keluarga dengan latar belakang budaya maskulinitas menekankan peran laki- laki yang lebih dominan daripada perempuan. Biasanya dalam keluarga ini bapak lebih dominan dalam menetapkan aturan-aturan dalam keluarga (tentang hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan) dibandingkan pihak ibu. Sementara keluarga dengan latar belakang budaya femininitas mengutamakan nilai- nilai kesederhanaan, kerendahan hati, dan kesetiakawanaan. Oleh karena itu dalam hubungan antar anggota keluarga, orang tua tidak menghendaki adanya perbedaan-perbedaan yang tampak diantara mereka (misalnya: kerja-tidak kerja).

Sedangkan dimensi masculinity versus femininity menunjukkan sejauh mana suatu keluarga berpegang teguh pada peran gender atau nilai-nilai seksual tradisional yang didasarkan pada perbedaan biologis.

Sementara itu dalam dimensi penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance) menunjuk sejauh mana pandangan anggota keluarga dalam menghadapi situasi yang tidak pasti. Keluarga dengan latar


(32)

budaya uncertainty avoidance kuat merasa terancam dengan ketidakpastian sehingga akan berusaha menciptakan mekanisme untuk mengurangi risiko. Lain halnya dengan keluarga yang memiliki orientasi budaya uncertainty avoidance lemah toleransi terhadap situasi tidak pasti akan menjadi lebih tinggi.

Dimensi jarak kekuasaan (power distance) mencakup indikator antara lain: kekuasaan orang tua atas aturan, kepatuhan/rasa hormat terhadap orang tua atau terhadap anggota keluarga lain yang lebih tua ataupun ketergantungan pada orang tua, kebiasaan dalam meminimalkan perbedaan status. Dimensi individualisme versus kolektivisme (individualism versus collectivism) mencakup indikator antara lain: kebebasan untuk menyatakan pendapat, loyalitas pada anggota keluarga yang lain, keleluasaan untuk mandiri keterikatan sosial satu sama lain dalam keluarga, kebutuhan untuk berkomunikasi, dan perasaan yang muncul akibat pelanggaran atas suatu aturan/norma tertentu. Sedangkan pada dimensi maskulinitas versus femininitas (masculinity versus femininity) mencakup indikator antara lain: peran ayah lebih dominan daripada peran ibu, keluarga menjunjung tinggi sikap kemandirian setiap anggota keluarga, keinginan yang sama (baik laki- laki maupun perempuan), dan orang tua bersikap untuk selalu menjaga hubungan antar anggota keluarga. Dimensi penghindaran atas ketidakpastian (uncertainty avoidance) mencakup indikator yang meliputi: ketidakpastian hidup sebagai sesuatu yang normal, perasaan tidak nyaman dalam menghadapi


(33)

15

ketidakpastian antar anggota keluarga, dan aturan yang ketat tentang hal yang buruk atau tabu.

B. Kultur Lingkungan Kerja 1. Pengertian Lingkungan Kerja

Lingkungan kerja merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar para pekerja dan yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan (Nitisemito, 1982:183). Agus Ahyari (1986:125-126), mendefinisikan lingkungan kerja sebagai suatu lingkungan dimana karyawan tersebut bekerja dan melakukan tugas sehari- hari yang meliputi penafsiran perusahaan terhadap karyawan, kondisi kerja karyawan, dan hubungan karyawan di dalam perusahaan.

Pandji Anoraga dan Sri Suyati (1995:72), mendefinisikan lingkungan kerja sebagai lingkungan yang meliputi hubungan antar karyawan, hubungan dengan pimpinan, suhu, penerangan, dan sebagainya. Lingkungan kerja merupakan lingkungan di sekitar pekerja yang mempengaruhi dirinya, baik secara emosional maupun intelektual, dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan.

Dari definisi tentang kultur dan lingkungan kerja di atas, kultur lingkungan kerja merupakan pandangan hidup, mencakup cara berpikir, berperilaku, sikap nilai, ya ng diakui bersama dalam suatu lingkungan di sekitar pekerja yang mempengaruhi dirinya, baik secara emosional maupun intelektual, dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan.


(34)

2. Dimensi Kultur Lingkungan Kerja

Menurut Hofstede dalam Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi (2004:277), dimensi utama nilai yang berkaitan dengan kultur lingkungan kerja adalah: (a) jarak kekuasaan (power distance); (b) individualisme versus kolektivisme (individualism versus collectivism); (c) femininitas versus maskulinitas (masculinity versus femininity); (d) penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance). Masing- masing dimensi ini berkaitan dengan perbedaan secara konkrit dalam hal sikap, opini, keyakinan, dan perilaku dalam organisasi kerja dan bentuk-bentuk dasar untuk memahami norma- norma sosial tertentu.

Dimensi jarak kekuasaan menunjukkan tingkatan sejauh mana tiap budaya mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan diantara anggota-anggotanya. Kultur lingkungan kerja yang mempunyai power distance besar akan cenderung mengembangkan aturan, mekanisme atau kebiasaan-kebiasaan dalam mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan. Implikasinya, biasanya ditandai dengan adanya struktur hirarki yang tinggi. Sedangkan kultur lingkungan kerja yang mempunyai power distance kecil berusaha meminimalkan perbedaan status atau kekuasaan dan dalam hubungan kerjanya didukung oleh inisiatif dari atasan dan bawahan.

Budaya individualisme mendorong anggota-anggotanya agar mandiri, menekankan tanggung jawab dan hak-hak pribadinya, sehingga mampu menumbuhkan kemandirian emosional pada instansi tempat


(35)

17

seseorang bekerja. Budaya kolektifisme menekankan kewajiban kepada intansi tempat seseorang bekerja (kelompok) daripada hak- hak pribadinya.

Dimensi masculinity versus femininity menunjukkan sejauh mana lingkungan kerja berpegang teguh pada peran gender. Lingkungan kerja dengan latar belakang budaya maskulinitas menekankan pada nilai ketegasan, ambisi, dan persaingan. Sedangkan pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya femininitas lebih mengutamakan kesederhanaan, kerendahan hati, dan kesetiakawanan.

Sedangkan Dimensi uncertainty avoidance menunjukan sejauhmana anggota lingkungan kerja dalam menghadapi situasi yang tidak pasti. Lingkungan kerja dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat merasa terancam dengan ketidakpastian, sehingga setiap anggota akan berusaha menciptakan mekanisme untuk mengurangi risiko dan mempertahankan harga diri. Berbeda dengan lingkungan kerja dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah toleransi terhadap situasi tidak pasti akan menjadi lebih tinggi, sehingga setiap anggota cenderung lebih senang mencoba hal baru.

Dimensi jarak kekuasaan mencakup indikator antara lain: perbedaan jarak antara atasan dan bawahan, tingkat pengawasan, dan sistem penggajian.

Dimensi individualism versus collectivism mencakup indikator antara lain: dasar hubungan atasan bawahan, dasar pemberian gaji dan sistem manajemen kerja yang dianut. Dimensi masculinity versus


(36)

femininity mencakup indikator antara lain: cara mengatasi masalah, filosofi kerja, sikap atasan dalam memimpin, dan orientasi kerja. Dimensi uncertainty avoidance mencakup indikator: budaya kerja keras, orientasi waktu dalam bekerja, kebebasan mengeluarkan ide, sumber motivasi dalam bekerja, dan dasar kedisiplinan kerja

C. Kultur Lingkungan Masyarakat 1. Pengertian Masyarakat

Masyarakat merupakan orang-orang yang hidup bersama, yang menghasilkan kebudayaan (Selo Soemardjan dalam Soerjono Soekanto, 1982:22). Hal demikian berarti masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas (Ralph Linton dalam Soerjono Soekanto, 1982:22).

Sedangkan menurut Hasan Shadily, masyarakat adalah golongan besar atau kecil terdiri atas beberapa manusia, yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara golongan dan mempengaruhi satu sama lain (dalam Manurung, 1995:48). Sementara, Webster menguraikan masyarakat sebagai kehidupan suatu susunan sosial atau kehidupan suatu himpunan yang dianggap seperti suatu sistem yang olehnya kehidupan individu dibentuk, terikat oleh cita-cita atau tujuan bersama, kepentingan bersama dalam taraf kehidupan (dalam Manurung, 1995:49). Jadi,


(37)

19

masyarakat merupakan sekelompok manusia yang membentuk kesatuan sosial dimana didalamnya kehidupan individu dibentuk, saling mempengaruhi satu sama lain, terikat oleh tujuan bersama dengan batas-batas aturan yang dirumuskan dengan jelas.

Dari definisi di atas, kultur lingkungan masyarakat merupakan pandangan hidup, mencakup cara berpikir, berperilaku, sikap nilai, yang diakui bersama dalam sekelompok manusia yang membentuk kesatuan sosial dimana didalamnya kehidupan individu dibentuk, saling mempengaruhi satu sama lain, terikat oleh tujuan bersama dengan batas-batas aturan yang dirumuskan dengan jelas.

2. Dimensi Kultur Lingkungan Masyarakat

Menurut Hofstede (1994:10), dimensi kultur lingkungan masyarakat adalah: (a) jarak kekuasaan (power distance); (b) individualisme versus kolektivisme (individualism versus collectivism); (c) femininitas versus maskulinitas (masculinity versus femininity); (d) penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance).

Dimensi jarak kekuasaan menunjukkan tingkatan sejauh mana tiap budaya mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan diantara anggota-anggotanya. Kultur lingkungan masyarakat yang mempunyai power distance besar akan cenderung mengembangkan aturan, mekanisme atau kebiasaan-kebiasaan dalam mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan. Hal ini ditandai dengan anggapan bahwa perangkat


(38)

desa sebagai pihak yang sah dan tepat untuk dimintai pandangan tentang kriteria baik dan buruknya tindakan. Sementara pada lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya power distance kecil berusaha meminimalkan perbedaan status atau kekuasaan sehingga dalam hubungan bermasyarakat tidak menampakkan dirinya sebagai atasan dan warga sebagai bawahan.

Dimensi jarak kekuasaan mencakup indikator antara lain: kewenangan dalam pengunaan kekuasaan, kepemilikan hak, performance of powerfull people, dasar kekuasaan, dan fokus manajemen terhadap aturan.

Dimensi individualism versus collectivism mengacu pada sejauh mana suatu lingkungan masyarakat mendukung tendensi individualisme atau kolektivisme. Lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya individualisme mendorong anggota-anggotanya untuk mandiri (otono m) dan merealisasikan hak- hak pribadinya. Sedangkan lingkungan masyarakat dengan latar budaya kolektivisme menekankan kewajiban pada kelompok daripada hak- hak pribadinya.

Dimensi individualism versus collectivism mencakup indikator antara lain: orientasi kepentingan dalam masyarakat, tingkat kepentingan kehidupan pribadi, penetapan pendapat atas kelompok, perbedaan pelaksanaan hukum dan hak, tujuan yang ingin dicapai.

Dimensi masculinity versus femininity menunjukkan sejauh mana lingkungan masyarakat berpegang teguh pada peran gender. Lingkungan


(39)

21

masyarakat dengan latar belakang budaya maskulinitas menekankan pada nilai ketegasan, ambisi, dan persaingan. Sedangkan pada lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya femininitas lebih mengutamakan kesederhanaan, kerendahan hati, dan kesetiakawanan.

Dimensi masculinity versus femininity mencakup indikator antara lain: orientasi solidaritas, tingkat toleransi atas kesalahan, cara penyelesaian konflik, kuantitas wanita dalam menduduki jabatan politik, pengertian kebebasan wanita.

Sedangkan dimensi penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance) menunjukkan sejauh mana pandangan anggota lingkungan masyarakat dalam menghadapi situasi yang tidak pasti. Lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat merasa terancam dengan ketidakpastian, sehingga anggota lingkungan masyarakat akan cenderung menghindari perubahan. Sementara pada lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah toleransi terhadap situasi ketidakpastian akan menjadi lebih tinggi, sehingga anggota lingkungan masyarakat akan merubah aturan bersama jika dirasa aturan tersebut sudah tidak dapat lagi diterapkan.

Dimensi penghindaran atas ketidakpastian mencakup indikator yang meliputi: perlakuan terhadap pelanggaran aturan, sikap atasan terhadap kritik bawahan, dan letak kepercayaan.


(40)

D. Kecerdasan Emosional 1. Pengertian Emosi

Pada awal sejarahnya, pendiri psikologi yaitu William James memahami emosi sebagai sebuah hasil dari reaksi perilaku kita terhadap sebuah stimulus yang menghasilkan reaksi tersebut. Selanjutnya Buck dalam Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi (2004:76) menyempurnakan definisi emosi menjadi:

The term of feelings: subjective, affective experiences of arousal, pleasure or displeasure, and the specific oprimary affects of anger, fear, happiness, sadness, surprise, and disgust. In addition, the concept of emotion is often associated with expressive behavior such as smiling and snarling; and with peripheral physiological responding; such as heart rate changes, sweating, and defecation.

Dari definisi di atas emosi didefinisikan sebagai perasaan yang subjektif dan diasosiasikan dengan serangkaian perilaku tampak tertentu, seperti: senyum, muka marah, dan gemeretak rahang serta dengan respon fisik pheriperal semacam debaran jantung, berkeringat, atau gangguan pencernaan. Selain itu emosi adalah satu ciri jiwa manusia yang memamerkan perasaan yang kuat berpuncak daripada psikologi (mental) seseorang dan emosi dapat berlaku secara naluri bergantung pada situasi (Francisco Burzi, http://www.pts.com my).

Dengan demikian dapat disimpulkan emosi adalah suatu gambaran jiwa manusia yang menunjukkan keadaan psikologis seseorang, dimana keadaan ini berlaku secara naluri bergantung pada situasi tertentu, dengan melibatkan pikiran dan perasaan sebagai reaksi terhadap stimulus tertentu


(41)

23

sehingga dapat mendorong untuk melakukan suatu tindakan yang akan dilakukan.

2. Pengertian Kecerdasan Emosional

Menurut Daniel Goleman (http://www1.unpar.ac.id/web/ column/rudiscolumn.asp.koderekaman=0245131215406176) kecerdasan emosional (emotional intelligence) adalah kemampuan merasakan, memahami, dan dengan efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi dan pengaruh yang manusiawi.

Kecerdasan emosional juga dapat dipandang sebagai suatu ketrampilan yang dimiliki seseorang yang meliputi pengendalian diri, semangat dan ketekunan, serta kemampuan memotivasi diri, kesanggupan mengendalikan dorongan hati dan emosi, mengatur suasana hati, kemampuan membaca perasaan orang lain (empati) dan memelihara hubungan dengan baik, dan kemampuan menyelesaikan konflik serta memimpin (Fransisco Burzi, http://www.pts.com.my). Sedangkan menurut kecerdasan emosional menurut Ge Mozaik (Juni 2005) adalah kemampuan untuk mengenali, mengekspresikan dan mengelola emosi, baik emosi dirinya sendiri maupun emosi orang lain, dengan tindakan konstruktif, yang mempromosikan kerjasama sebagai tim yang mengacu pada produktivitas dan bukan pada konflik (http://www.ganeca.biogspirit.com). Individu yang memiliki kecerdasan emosional tidak dikendalikan oleh emosi melainkan mengendalikan emosi, individu dapat memotivasi


(42)

dirinya sendiri sehingga mandiri, juga mampu mempengaruhi emosi orang lain, bersikap ramah, simpati, murah hati dan toleransi. Jadi dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional merupakan ketrampilan emosional, yang meliputi mengidentifikasi dan memberi nama emosi-emosi, mengungkapkan emosi-emosi, menilai intensitas emosi-emosi, menunda pemuasan, mengendalikan dorongan hati, menangani stres, memahami sudut pandang orang lain dan empati.

3. Dimensi Kecerdasan Emosional

Dimensi kecerdasan emosional mempunyai 5 (lima) komponen dasar (http://www.ganeca.blogspirit.com/archive/2005/06/23/ge_mozaik_ juni_2005_pentingnya_pendidikan_kecerdasan_emos.html) yaitu:

a. Self-awareness (pengenalan diri)

Self-awareness merupakan kemampuan untuk mengenali emosi diri sendiri dan efeknya, mengetahui kekuatan dan batas-batas diri sendiri, dan keyakinan terhadap emosi diri sendiri berkaitan dengan ketepatan pengambilan keputusan-keputusan masalah pribadi. Seorang guru yang memiliki keyakinan yang lebih tentang perasaannya adalah pemimpin yang andal bagi kehidupannya sendiri, karena mempunyai kepekaan lebih tinggi akan perasaan mereka yang sesungguhnya atas pengambilan keputusan-keputusan masalah pribadinya.


(43)

25

Dimensi self-awareness mencakup indikator: mengenali emosi sendiri, mengetahui kekuatan, mengetahui keterbatasan diri, keyakinan akan kemampuan diri.

b. Self-regulation (penguasaan diri)

Self-regulation merupakan kemamp uan untuk menangani emosi agar dapat terungkap dengan “pas”. Emosi yang dialami tidak ditekan atau diabaikan, tetapi tidak juga terjadi secara berlebihan.

Seseorang yang mempunyai penguasaan diri yang baik dapat lebih terkontrol dalam membuat tindakan agar lebih hati- hati. Penguasaan diri berarti menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat, hal ini merupakan kecakapan yang sangat tergantung pada kesadaran diri. Seorang guru yang memiliki self-regulation rendah, saat mengalami kegagalan dalam hidup, akan terus menerus dalam keadaan murung (tidak mampu menghibur dirinya sendiri), sementara seorang guru yang memiliki self-regulation tinggi dapat bangkit kembali dengan cepat saat mengalami kegagalan dalam hidup.

Dimensi self-regulation mencakup indikator: menahan emosi dan dorongan negatif, memelihara norma kejujuran dan integritas, bertanggung-jawab atas kinerja pribadi, keluwesan dalam menghadapi perubahan terbuka terhadap ide- ide serta informasi baru.


(44)

c. Self-motivation (motivasi diri)

Self-motivation berkaitan dengan kemampuan untuk memotivasi diri agar tetap berorientasi pada sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Kemampuan seseorang memotivasi diri dapat ditelusuri melalui hal-hal sebagai berikut: 1) cara mengendalikan dorongan hati; 2) derajat kecemasan yang berpengaruh terhadap unjuk kerja seseorang; 3) kekuatan berpikir positif; 4) optimisme; 5) keadaan flow ( mengikuti aliran).

Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting dalam kaitan untuk memotivasi diri sendiri, menguasai diri sendiri dan untuk berkreasi. Seorang guru yang memiliki kendali diri emosional, menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mampu menyesuaikan diri dalam “flow”, cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan.

Ketika sesuatu berjalan tidak sesuai dengan rencana, seorang guru yang mempunyai kecerdasan emosional tinggi tidak akan bertanya “apa yang salah dengan saya ?”. Sebaliknya ia akan bertanya “apa yang dapat saya lakukan agar saya dapat memperbaiki masalah ini ?”. Dimensi self-motivation mencakup indikator: dorongan untuk menjadi lebih baik, menyesuaikan dengan sasaran kelompok atau organisasi, kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan, kegigihan dalam memperjuangkan kegagalan dan hambatan.


(45)

27

d. Empathy (empati)

Empathy merupakan kemampuan untuk mengenali perasaan orang lain dan merasakan apa yang orang lain rasakan jika dirinya sendiri yang berada pada posisi tersebut. Empati atau mengenal emosi orang lain yang dibangun berdasarkan pada kesadaran diri emosional, merupakan “ketrampilan bergaul”. Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, maka dapat dipastikan bahwa ia akan terampil membaca perasaan orang lain. Sebaliknya orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan emosinya sendiri dapat dipastikan tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain.

Dengan empati yang tinggi, diharapkan seorang guru lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain (rekan kerja dan siswa).

Dimensi empathy mencakup indikator: understanding others, developing others, customer service, menciptakan kesempatan-kesempatan melalui pergaulan dengan berbagai macam orang, membaca hubungan antara keadaan emosi dan kekuatan hubungan suatu kelompok.

e. Social skills (ketrampilan sosial)

Dengan adanya 4 kemampuan seperti telah disebutkan di atas seseorang dapat berkomunikasi dengan orang lain secara efektif. Kemampuan untuk memecahkan masalah bersama-sama lebih


(46)

ditekankan dan bukan pada konfrontasi yang tidak penting yang sebenarnya dapat dihindari. Orang yang mempunyai kemampuan kecerdasan emosional yang tinggi mempunyai tujuan konstruktif dalam pikirannya. Membina hubungan dengan orang lain merupakan ketrampilan sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain. Tanpa memiliki ketrampilan sosial seseorang akan menga lami kesulitan dalam pergaulan sosial.

Dimensi social skills mencakup indikator: kemampuan persuasi, mendengar dengan terbuka dan memberi pesan yang jelas, kemampuan menyelesaikan pendapat, semangat leadership, kolaborasi dan kooperatif, team building.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional

Ada beberapa faktor yang berperan penting dalam pembentukkan dan perkembangan tingkat kecerdasan emosional. Secara umum faktor-faktor tersebut dibedakan menjadi dua, yaitu: faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang ada dalam individu sendiri, yaitu: faktor fisiologis dan faktor psikologis. Faktor fisiologis merupakan faktor kesehatan fisiologis yang dimiliki individu. Susunan fisiologis yang berkaitan dengan kecerdasan emosional adalah otak. Otak manusia adalah sumber pengetahuan tentang emosi karena di otak emosi dapat dideteksi dan dikenali, serta memberikan respon untuk bertindak.


(47)

29

Faktor psikologis berkaitan dengan sikap, motivasi, dan dorongan-dorongan internal lain yang memungkinkan sejauh mana individu memiliki kecerdasan emosional. Daniel Goleman (1999:274) menyatakan bahwa rasa ingin tahu, niat atau kemauan, pengendalian diri, keterkaitan, kecakapan berkomunikasi dan bekerja sama, mempengaruhi kecerdasan emosional individu yang dijelaskan sebagai berikut:

a. Keyakinan, yaitu perasaan kendali dan penguasaan individu terhadap dirinya sendiri. Seseorang yang memiliki pengertian akan dirinya bahwa dia mampu membawa dirinya berdasarkan tuntutan situasi dan kondisi, cenderung berhasil dalam apa yang dikerjakannya.

b. Rasa ingin tahu, yaitu dorongan untuk mencari tahu atau menyelidiki sesuatu. Kebutuhan untuk memahami ini sifatnya positif dan memberikan kepuasan.

c. Niat, yaitu didorong dari dalam/inisiatif untuk berhasil, ketekunan atau hasrat untuk bertindak secara konsekuen untuk mencapai tujuan. d. Pengendalian diri, yaitu kemampuan untuk menyesuaikan tindakan

dengan pola yang sesuai dengan usia, kendali yang mengarahkan diri untuk memperoleh hasil yang lebih besar.

e. Keterkaitan, yaitu kemampuan melibatkan diri dengan orang lain, dengan memahami situasi yang dialami oleh orang lain dan mampu berpikir dari sudut pandang orang lain.

f. Kecakapan berkomunikasi, ya itu kemampuan verbal, untuk bertukar gagasan, perasaan dan konsep dengan orang lain. Kemampuan


(48)

mendengarkan dan memberi umpan balik berdasarkan rasa percaya dan keterkaitan dengan orang lain.

g. Kemampuan bekerjasama, yaitu bersikap kooperatif berarti mamp u untuk menyeimbangkan kebutuhannya sendiri dengan kebutuhan orang lain dalam kegiatan kelompok.

Faktor eksternal adalah perlakuan yang diperoleh dari lingkungan yang mempengaruhi kecerdasan emosional. Lingkungan yang pertama-tama mempengaruhi kecerdasan emosional adalah keluarga, kemudian lingkungan teman sebaya (lingkungan kerja), dan masyarakat sosial.

E. Jenis Kelamin

Secara umum manusia diciptakan atas dua kategori yaitu laki- laki dan perempuan. Pembagian tersebut berdasarkan pada perbedaan yang melekat pada kedua jenis kelamin tersebut. Jenis kelamin menunjuk pada keseluruhan ciri-ciri yang membedakan manusia sebagai laki- laki dan perempuan yaitu mengenai jasmani, kejiwaan, sifat, cara berpikir, perasaan dan sebagainya. Adanya perbedaan-perbedaan tersebut mengarahkan pada pembagian kerja yang berbeda antara laki- laki dan perempuan. Perbedaan-perbedaan ini mengakibatkan Perbedaan-perbedaan ciri-ciri, sifat dan karakteristik psikologis yang berbeda antara laki- laki dan perempuan (Tri Dayakisni, dan Salis Yuniardi 2004:253). Sewaktu menjadi dewasa, individu akan mempelajari peran-peran sosial melalui proses-proses penguatan dan peniruan. Sehingga pada akhirnya laki- laki dan perempuan memperoleh sikap,


(49)

31

ketrampilan dan ciri-ciri kepribadian yang berbeda berdasarkan peran yang dikaitkan dengan jenis kelamin dalam lingkungannya.

Berikut disajikan tabel perbedaan psikologis antara laki- laki dan perempuan (Gilarso, 2003:3):

Perbedaan Psikologis

Pria Wanita

1. Pola dasar pandangan keluar terarah pada dunia/obyek

2. Suka menjelajah dan menyelidiki alam sekitar

3. Suka “membongkar dan membangun”. Pria membangun dunia menjadi rumah tempat tinggal

4. Suka bekerja diluar, mencari nafkah, menguasai dunia

5. Suka mencoba, mencari, dan melihat- lihat

6. Aktif, mengambil inisiatif, suka kritik, dan protes

7. Intelek dan rasio lebih utama, dapat mengendalikan perasaan dengan akalnya

8. Lebih melihat kenyataan obyektif, terarah pada garis- garis besar, lebih teguh dalam putusan 9. Gelombang perasaan mendatar

dan relatif stabil

10. Gairah seksual lebih berkobar, lebih bersifat jasmani biologis

1. Pola dasar pandangan ke dalam, terarah pada manusia

2. Lebih gemar tinggal di rumah, memelihara dan merawat

3. Menyayangi dan memelihara. Wanita pandai menciptakan suasana di rumah menjadi tempat yang membuat orang krasan

4. Perhatian lebih untuk pribadi sesama manusia (anak)

5. Butuh diperhatikan, senang dilihat dan dicari

6. Reaksi, menanggapi, lebih tabah, dan mudah menerima 7. Emosi dan perasaan lebih

menonjol dan mempengaruhi pikirannya

8. Perhatian sampai detail-detail (hal kecil-kecil), cenderung intuitif, mudah mengubah keputusannya

9. Perasaan pasang surut terpengaruh oleh siklus bulanan 10. Gairah seksual lebih rohani

lebih mementingkan cinta dan kemesraan

Secara terus menerus perbedaan-perbedaan psikologis tersebut akan semakin berkembang sesuai psikologi kepribadian masing- masing sehingga pada akhirnya laki- laki dan perempuan akan memiliki kepribadian yang berbeda serta kecerdasan emosional yang berbeda pula. Berdasarkan sifat dan


(50)

karakteristik psikologisnya, emosi dan perasaan pada perempuan lebih menonjol dan mempengaruhi pikirannya daripada laki- laki. Karenanya perempuan cenderung mempunyai tingkat kecerdasan emosional lebih tinggi dari pada laki- laki.

F. Locus of Control

Locus of control merupakan sebuah konsep yang dibangun ole h Rotter (Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi, 2004:209) yang menyatakan bahwa setiap orang berbeda dalam bagaimana dan seberapa besar kontrol diri mereka terhadap perilaku dan hubungan mereka dengan orang lain serta lingkungan. Rotter mendefinisikan locus of control sebagai berikut (http//www.nald.ca/fulltext/report1/REP 10-01.HTM) :

Locus of control as a generalized expectancy of the extent to which a person perceives that events in one’s life are consequences of one’s behavior.

Locus of Control sebagai suatu harapan yang secara umum meluas dimana sering dirasakan seseorang dalam kejadian-kejadian dalam kehidupannya sebagai akibat dari suatu tingkah laku seseorang. Rotter (dalam Brigita Pujiwati, 2004:31) mendefinisikan locus of control berdasarkan teori belajar sosial, menjadi tiga aspek utama yaitu behavior potential (perilaku potensial), expectancy (harapan) dan reinforcement value (nilai penguat), ketiga aspek itu berhubungan satu dengan yang lain. Perilaku individu bergantung pada harapan-harapan dimana suatu tingkah laku tertentu akan memberi penguatan, dan nilai penguatan tersebut akan memuaskan kehidupan


(51)

33

individu selanjutnya. Jika individu berhasil memperoleh penguatan yang diharapkan, maka ia cenderung meyakini bahwa penguatan itu akan diperoleh bukan dari dirinya sendiri. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa locus of control adalah anggapan sejauh mana orang tersebut merasakan adanya usaha yang telah dilakukan dan akibatnya.

Locus of control umumnya dibedakan menjadi dua berdasarkan arahnya, yaitu internal dan eksternal. Individu dengan locus of control eksternal melihat diri mereka sangat ditentukan oleh bagaimana lingkungan dan orang lain melihat mereka. Keberhasilan dan kegagalan dalam hidupnya dipandang sebagai nasib, faktor keberuntungan, kesempatan karena kekuasaan orang lain atau karena kondisi-kondisi yang tidak dapat dikuasainya. Sedangkan individu dengan locus of control internal melihat diri mereka sangat dipengaruhi oleh dirinya sendiri. Keberhasilan dan kegagalan dalam hidupnya dipandang sebagai akibat perilakunya.

Locus of control pada individu merupakan suatu konsep yang kontinum. Dalam artian, locus of control individu bergerak dari ekstrim eksternal dan ekstrim internal. Oleh karena itu setiap orang memiliki sekaligus faktor internal dan eksternal dalam dirinya. Perkembangan orientasi individu ke arah internal atau eksternal didapatkan melalui proses belajar. Pengalaman individu di masa lalu akan mempengaruhi perkembangan orientasi ini. Perbedaaan orientasi ini juga akan mempengaruhi penilaian seseorang terhadap suatu peristiwa atau situasi yang sedang dihadapi.


(52)

Individu yang berorientasi internal cenderung memandang dunia sebagai sesuatu yang dapat diramalkan dan tindakannya dianggap sangat menentukan akibat yang diterima, baik itu positif maupun negatif, lebih perspektif dan siap belajar dari lingkungan, memiliki daya tahan yang lebih besar terhadap pengaruh orang lain, lebih cepat dalam mengambil keputusan dan tindakan karena merasa mampu mengontrol lingkungannya.

Individu yang berorientasi eksternal, memandang dunia sebagai sesuatu yang tidak dapat diramalkan, tidak berpengaruh besar dalam mengendalikan akibat hidupnya, baik dalam mencapai tujuan maupun dalam melakukan penghindaran terhadap situasi yang tidak menye nangkan, lebih cemas dan depresif, serta kurang baik dalam melakukan aktivitas bermasyarakat dan lebih mempunyai kemungkinan besar untuk menampakkan perilaku yang negatif seperti pasifitas, penarikan diri.

Dimensi locus of control internal dan eksternal mencakup indikator: sumber keberhasilan, sikap dalam menghadapi hambatan, kemampuan memimpin, kemampuan memotivasi, keyakinan akan kemampuan diri, dan tingkat toleransi.

G. Kerangka berpikir

1. Pengaruh positif jenis kelamin terhadap hubungan kultur keluarga dengan kecerdasan emosional guru.

Kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk merasakan, memahami dan dengan efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi


(53)

35

sebagai sumber energi, informasi dan pengaruh yang manusiawi. Kemampuan ini pertama kali berkembang dari pengaruh keluarga. Lingkungan keluarga merupakan faktor eksternal pertama yang berperan penting dalam pembentukan dan perkembangan kecerdasan emosional, sebab di lingkungan keluarga seseorang belajar bagaimana mengolah perasan dirinya sendiri, bagaimana berpikir tentang perasaan ini, menentukan pilihan-pilihan untuk bereaksi, dan bagaimana membaca dan mengungkapkan harapan dan rasa takut.

Kultur keluarga merupakan pandangan hidup yang mencakup cara berpikir, berperilaku, dan sikap nilai, yang diakui bersama dalam suatu kesatuan sosial yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak, yang dapat dijadikan tempat untuk membimbing anak-anak sekaligus sebagai tempat untuk pemenuhan kebutuhan hidup, baik kebutuhan fisik maupun psikis. Kultur keluarga bisa diidentifikasi berdasarkan dimensi-dimensinya. Dimensi jarak kekuasaan (power distance) menunjukkan tingkatan atau sejauhmana tiap keluarga mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan diantara anggota-anggotanya. Pada keluarga dengan latar belakang budaya power distance besar, cenderung mengembangkan aturan atau kebiasaan dalam mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan. Hal ini menyebabkan terdapatnya aturan-aturan yang dibuat oleh kepala keluarga dan harus dipatuhi oleh setiap anggota keluarga. Anggota keluarga yang dari segi umur lebih muda diharuskan menaruh hormat kepada orang yang lebih tua. Sedangkan pada keluarga dengan latar belakang budaya power distance


(54)

kecil, ada kecenderungan meminimalkan perbedaan status atau kekuasaan, sehingga aturan-aturan yang ditetapkan dalam keluarga bersifat lebih longgar.

Guru diharapkan mempunyai tingkat kecerdasan emosional yang tinggi. Dengan tingkat kecerdasan emosional yang tinggi guru akan mampu mengenali emosi dirinya sendiri dan orang lain, mampu menangani emosi agar dapat terungkap dengan “pas”, mampu memotivasi diri, mampu berempati serta memiliki ketrampilan sosial dalam berhubungan dengan orang lain (rekan kerja). Kemampuan ini akan berkembang bila guru tersebut berasal dari keluarga yang mempunyai latar belakang budaya power distance kecil, dimana tidak terdapat aturan ketat yang menghambat perkembangan kecerdasan emosional setiap anggota keluarga. Oleh sebab itu tingkat kecerdasan emosional guru dari keluarga ini lebih tinggi daripada guru dari keluarga dengan latar belakang budaya power distance besar, yang anggota keluarganya sangat terikat oleh aturan-aturan ketat sebagai akibat dari kebiasaan untuk mempertahankan perbedaan status atau kekuasaan.

Dimensi individualism versus collectivism mengacu pada sejauh mana suatu budaya mendukung tendensi individual atau kolektivistik. Budaya individual mendorong anggota-anggotanya agar mandiri (otonom), menekankan tanggung jawab dan hak- hak pribadinya. Sementara budaya kolektivistik menekankan kewajiban pada anggota keluarga daripada hak- hak pribadinya. Dalam hubungannya dengan


(55)

37

kecerdasan emosional, seorang guru dari keluarga dengan budaya individualistik cenderung memiliki kecerdasan emosional yang tinggi daripada seorang guru dari keluarga dengan budaya kolektivistik, karena budaya individualisitik menyebabkan tumbuhnya kemandirian secara emosional. Berbeda dengan seorang guru dari keluarga dengan budaya kolektivistik yang mengalami perkembangan kecerdasan emosional yang tergantung pada kepentingan kelompok. Dalam budaya kolektivistik, seseorang memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi dengan kelompoknya, akibatnya secara emosional mereka tidak mandiri.

Dimensi femininity versus masculinity menunjukkan sejauh mana mutu masyarakat berpegang teguh pada peran gender atau nilai- nilai seksual yang tradisional, yang didasarkan pada perbedaan biologis. Keluarga dengan latar belakang budaya maskulinitas menekankan nilai asertifitas, prestasi, dan performansi. Sedangkan pada keluarga dengan latar belakang budaya femininitas lebih mengutamakan hubungan intrapersonal, keharmonisan, dan kinerja kelompok. Dalam kaitannya dengan kecerdasan emosional, seorang guru dari keluarga yang berpegang pada feminin dimana ada pembelajaran mengenai hubungan interpersonal dan keharmonisan dalam kinerja kelompok, akan mempunyai kecerdasan emosional yang tinggi. Ciri-ciri dalam keluarga dengan latar belakang budaya maskulinitas lebih cenderung berusaha mengedepankan faktor dari dalam diri sendiri tanpa melihat luar. Sehingga anggota keluarga kurang luwes dalam menghadapi perubahan, terbuka terhadap ide-ide, serta


(56)

informasi baru. Kondisi inilah yang menjadi faktor pelemah dalam perkembangan kecerdasan emosional.

Pada dimensi uncertainty avoidance menunjukkan tingkatan atau sejauh mana keluarga dalam menghadapi situasi yang samar-samar atau tidak pasti. Keluarga dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat merasa terancam dengan ketidakpastian sehingga berusaha menciptakan mekanisme untuk mengurangi resiko itu. Sementara pada keluarga dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah, toleransi terhadap situasi yang tidak pasti lebih tinggi. Biasanya keluarga ini lebih bersikap rileks dan sedikit memiliki aturan. Dengan situasi ini anggota keluarga lebih banyak diberi kesempatan untuk mengambil inisiatif sendiri dalam menyelesaikan tugas. Dalam kaitannya dengan kecerdasan emosional, seorang guru yang berasal dari keluarga denganlatar belakang budaya uncertainty avoidance yang lemah inilah yang mempunyai kecenderungan memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, daripada seorang guru dari keluarga yang mempunyai uncertainty avoidance kuat. Rendahnya inisiatif dan ketidakmampuan dalam menghadapi situasi ketidakpastian yang dimiliki dalam keluarga dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat mengakibatkan guru memiliki kecerdasan emosional yang rendah.

Pengaruh kultur keluarga dengan kecerdasan emosional akan berbeda pada jenis kelamin yang berbeda. Berdasarkan pada peran gender tradisional, masyarakat beranggapan bahwa laki- laki lebih dominan dalam


(57)

39

menetapkan aturan dan memiliki kekuasaan penuh untuk mengambil keputusan dalam keluarga (ayah sebagai kepala keluarga) sehingga laki-laki cenderung untuk mempertahankan power distance kuat. Akibatnya laki- laki kurang mampu membina hubungan komunikasi dengan anggota keluarga yang lain dan kurang terbuka terhadap informasi- informasi baru dari luar. Berbeda dengan peran perempuan yang diposisikan sebagai seorang ibu yang mampu menjembatani posisi anak dan ayah sehingga kemampuannya dalam komunikasi lebih berkembang. Standar peran gender inilah yang mengakibatkan tingkat kecerdasan emosional seorang perempuan lebih tinggi dari pada laki- laki.

Pada dimensi individualism versus collectivism, seorang laki- laki memiliki budaya individualistik yang lebih tinggi daripada perempuan. Laki- laki berdasar ciri-ciri psikologinya mempunyai sifat yang lebih mandiri sesuai dengan ciri-ciri budaya individualistik. Dengan sifat ini laki- laki mempunyai tingkat kecerdasan emosional yang lebih tinggi daripada perempuan. Ada kecenderungan perempuan kurang mandiri dan mempunyai ketergantungan dengan orang lain yang lebih tinggi.

Pada dimensi masculinity versus femininity , laki- laki mempunyai budaya maskulinitas yang lebih tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan ciri hubungan interpersonal yang dipunyai laki- laki. Laki- laki cenderung memiliki toleransi kepada orang lain dalam taraf rendah yang menunjukkan bahwa tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki laki- laki


(58)

lebih rendah daripada perempuan, dimana perempuan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Sedangkan perempuan berdasarkan ciri-ciri psikologisnya memiliki budaya uncertainty avoidance yang kuat karena perempuan merasa terancam dengan ketidakpastian sehingga berusaha menciptakan mekanisme untuk mengurangi risiko. Kondisi seperti itu mengakibatkan perempuan tidak mempunyai sikap gigih dalam memperjuangkan kegagalan dan hambatan. Hal ini mencerminkan perempuan memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah. Berbeda dengan laki- laki yang lebih cenderung senang mencoba hal-hal baru tanpa merasa terancam dengan risiko yang akan dihadapi. Sikap gigih seorang laki- laki dalam memperjuangkan kegagalan dan hambatan akan sesuatu yang tidak pasti mencerminkan tingginya tingkat kecerdasan emosional laki- laki daripada perempuan.

2. Pengaruh positif jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional guru.

Kecerdasan emosional berkembang seiring dengan perkembangan diri seseorang, terutama di lingkungan teman sebaya (lingkungan kerja), karena dalam lingkungan kerja seseorang akan berinteraksi dengan orang lain dengan latar belakang budaya yang berbeda, hal ini akan membentuk kecerdasan emosional seseorang lebih berkembang. Dimana lingkungan


(59)

41

kerja merupakan faktor eksternal kedua yang berperan penting dalam pembentukan dan perkembangan tingkat kecerdasan emosional guru.

Kultur lingkungan kerja merupakan pandangan hidup, mencakup cara berpikir, berperilaku, sikap nilai, yang diakui bersama dalam suatu lingkungan disekitar pekerja yang mempengaruhi dirinya, baik secara emosional maupun intelektual, dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan. Kultur lingkungan kerja bisa diidentifikasikan berdasarkan dimensi-dimensinya. Pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya power distance besar, kedudukan atasan dan bawahan adalah berbeda, kondisi ini mengakibatkan kurang adanya kebebasan dalam bekerja, dan adanya pengaruh dominasi yang kuat dari atasan dalam bekerja. Dengan demikian karyawan sebagai bawahan menjadi kurang berminat dalam bekerja, kurang memiliki pengendalian diri, tidak mampu bekerjasama dan kurang mampu berkomunikasi dengan karyawan yang lain. Sehinga dapat disimpulkan guru yang bekerja pada lingkungan kerja dengan latar belekang budaya power distance besar akan cenderung memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah, dibandingkan dengan karyawan yang bekerja pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya power distance kecil. Pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya power distance kecil, terdapat kedudukan yang sama antara atasan dan bawahan serta sikap demokratis dalam bekerja yang akan meningkatkan kecerdasan emosional guru.


(60)

Budaya kolektivisme menekankan pada hubungan kekeluargaan, manajemen kerja kelompok, dan pengelo laan pekerjaan yang dikembangkan secara bersama. Sementara budaya individualisme menekankan pada hubungan kerja atas dasar transaksi bisnis, mana jemen individual, serta pengelolaan pekerjaan secara individual. Dalam hubungannya dengan kecerdasan emosional, guru dalam lingkungan kerja dengan latar belakang budaya individualisme cenderung memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi daripada guru dalam lingkungan kerja dengan latar belakang budaya kolektivisme, karena budaya individualisme mendukung tumbuhnya kemandirian secara emosional. Berbeda dengan seorang guru dalam lingkungan kerja dengan latar belakang budaya kolektivisme yang mengalami perkembangan kecerdasan emosional yang tergantung pada kepentingan kelompok. Dalam kondisi budaya kolektivisme, seseorang memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi dengan kelompoknya, akibatnya secara emosional mereka tidak mandiri.

Guru dalam kultur lingkungan kerja dengan latar belakang budaya maskulinitas menekankan pada ketegasan ambisi dan persaingan, penuh inisiatif dalam mengatur pekerjaan serta berprinsip bahwa hidup untuk bekerja. Sedangkan pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya femininitas lebih mengutamakan pada kerendahan hati dan kesetiakawanan, mengutamakan mufakat serta prinsip bekerja untuk hidup. Dalam kaitannya dengan kecerdasan emosional, guru dalam lingkungan kerja dengan latar belakang budaya femininitas, dimana ada


(61)

43

pembelajaran mengenai hubungan interpersonal dan keharmonisan dalam kinerja kelompok, membentuk guru untuk memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi. Sedangkan kondisi lingkungan kerja dengan latar belakang budaya maskulinitas membentuk guru memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah.

Guru dalam lingkungan kerja dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat merasa terancam dengan ketidakpastian sehingga berusaha untuk selalu bekerja keras, tidak fleksibel dalam pemanfaatan waktu serta cenderung menghindari risiko dan mempertahankan diri. Sementara pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah, guru lebih mengembangkan waktu sebagai batasan kerja dan dalam bekerja selalu termotivasi dengan prestasi, penghargaan atau rasa memiliki. Dengan situasi ini guru sebagai bawahan lebih banyak diberi kesempatan untuk mengambil inisiatif sendiri dalam menyelesaikan tugas. Dalam kaitannya dengan kecerdasan emosional, seorang guru yang berada dalam lingkungan kerja dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah inilah cenderung memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi, daripada guru pada lingkungan kerja dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat.

Pengaruh kultur lingkungan kerja dengan kecerdasan emosional akan berbeda pada jenis kelamin yang berbeda. Berdasarkan pada peran gender tradisional, laki- laki lebih banyak menjadi pemimpin. Karenanya


(62)

laki- laki memiliki kekuasaan dalam mengambil setiap keputusan. Oleh sebab itu power distance besar dipertahankan oleh laki- laki. Akibatnya laki- laki kurang mampu membina hubungan dengan orang lain dalam lingkungan kerja. Berbeda dengan peran perempuan yang diposisikan sebagai seorang yang mampu menjembatani sehingga kemampuannya dalam komunikasi lebih berkembang. Standar peran gender inilah yang mengakibatkan kecerdasan emosional perempuan lebih tinggi dari pada laki- laki.

Pada dimensi individualism versus collectivism, seorang laki- laki memiliki budaya individualisme yang lebih tinggi daripada perempuan. Laki- laki berdasarkan ciri-ciri psikologisnya mempunyai sifat yang lebih mandiri sesuai dengan ciri-ciri budaya individualisme. Dengan sifat ini laki- laki mempunyai tingkat kecerdasan emosional yang lebih tinggi daripada perempuan. Karena perempuan kurang mandiri dan me mpunyai ketergantungan dengan orang lain yang lebih tinggi.

Pada dimensi masculinity versus femininity, laki- laki mempunyai budaya maskulinitas yang lebih tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan ciri hubungan interpersonal yang dipunyai laki- laki. Laki- laki cenderung memiliki toleransi kepada orang lain dalam taraf rendah yang menunjukkan bahwa tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki laki- laki lebih rendah daripada perempuan, dimana perempuan memiliki kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain yang lebih baik.


(63)

45

Sedangkan perempuan berdasarkan ciri-ciri psikologisnya memiliki budaya uncertainty avoidance kuat karena perempuan merasa terancam dengan ketidakpastian, sehingga berusaha menciptakan mekanisme untuk mengurangi risiko. Kondisi seperti itu mengakibatkan perempuan tidak mempunyai sikap gigih dalam memperjuangkan kegagalan dan hambatan. Hal ini mencerminkan perempuan memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah. Be rbeda dengan laki- laki yang lebih cenderung senang mencoba hal-hal baru tanpa merasa terancam dengan risiko yang akan dihadapi. Sikap gigih laki- laki dalam memperjuangkan kegagalan dan hambatan akan sesuatu yang tidak pasti mencerminkan tingginya tingkat kecerdasan emosional laki- laki daripada perempuan.

3. Pengaruh positif jenis kelamin terhadap hubungan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru.

Faktor eksternal ketiga yang berperan penting dalam pembentukan dan perkembangan tingkat kecerdasan emosional guru adalah lingkungan masyarakat. Dalam lingkungan masyarakat seseorang akan berhadapan dengan etika, moral, dan nilai-nilai keagamaan. Interaksi seseorang terhadap hal-hal tersebut juga praktis menentukan tingkat kecerdasan emosional guru. Kultur lingkungan masyarakat merupakan pandangan hidup, mencakup cara berpikir, berperilaku, sikap, nilai yang diakui bersama dalam sekelompok manusia yang membentuk kesatuan sosial


(64)

dimana didalamnya kehidupan individu dibentuk, saling mempengaruhi satu sama lain, terikat oleh tujuan bersama dengan batas-batas aturan yang dirumuskan dengan jelas.

Pada lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya power distance besar, pengaruh kekuasaan atasan menjadi dominan, kekuasaan yang ada cenderung didasarkan pada kharisma seseorang serta kemampuannya menggunakan kekuasaan. Hal ini menyebabkan guru yang berada pada lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya power distance besar akan cenderung memiliki kemampuan yang rendah dalam hal bekerjasama. Kondisi ini membentuk guru untuk memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah. Sedangkan pada lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya power distance kecil, penggunaan kekuasaan menjadi sub jek untuk kriteria baik atau buruk dan orang yang memiliki kekuasaan mencoba untuk memperlihatkan kekuasaan yang lebih rendah daripada yang mereka punya, serta semua orang memiliki hak yang sama. Kondisi ini mendukung warga masyarakat memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi.

Dalam budaya individualisme setiap orang memiliki hak pribadi, kepentingan individu berlaku melebihi kepentingan bersama, hak dan hukum didukung menjadi sama untuk semuanya, dan aktualisasi diri oleh setiap individu merupakan tujuan bersama. Sementara dalam budaya kolektivisme kepentingan bersama berlaku melebihi kepentingan individu, karenanya kepentingan pribadi ditentang oleh kelompok, sehingga


(65)

47

keselarasan dan kesepakatan dalam masyarakat sosial merupakan tujuan bersama. Dalam hubungannya dengan kecerdasan emosional, guru yang tinggal dalam lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya individualisme cenderung memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, karena budaya individualisme mendukung tumbuhnya keyakinan terhadap emosi diri sendiri berkaitan dengan ketepatan pengambilan keputusan-keputusan masalah pribadi. Berbeda dengan guru dalam lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya kolektivisme yang cenderung memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah. Dalam kondisi ini guru tidak memiliki keyakinan diri, akibatnya mereka memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi dengan kelompoknya.

Lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya maskulinitas selalu mendukung pihak yang kuat, pemecahan masalah tanpa kompromi, serta emansipasi wanita belum diakui sepenuhnya. Sedangkan pada lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya femininitas lebih mengorientasikan sikap solider, pemecahan masalah secara negosiasi dan kompromi, serta laki- laki dan perempuan memiliki peran yang sama dalam segala hal. Guru dalam lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya femininitas cenderung akan memiliki sikap empati yang tinggi, akibatnya tingkat kecerdasan emosional guru tersebut menjadi tinggi daripada guru yang tinggal dalam lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya maskulinitas.


(66)

Lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat, mengharuskan warganya merasa berkewajiban untuk mematuhi peraturan yang ada, dan protes dari warga masyarakat ditekan (kurangnya aktualisasi). Sementara dalam lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah, protes warga lebih diterima, sehingga warga masyarakat memiliki kebebasan dalam mengaktualisasikan diri. Dalam kaitannya dengan kecerdasan emosional guru yang berada dalam lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance lemah inilah yang cenderung memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi, daripada guru dalam lingkungan masyarakat dengan latar belakang budaya uncertainty avoidance kuat

Pengaruh kultur lingkungan masyarakat terhadap kecerdasan emosional akan berbeda pada jenis kelamin yang berbeda. Berdasarkan pada peran gender tradisional, masyarakat beranggapan bahwa laki- laki yang lebih banyak sebagai pemimpin, selalu melihat kenyataan sebagai hal yang objektif dan lebih tekun dalam putusannya, karena laki- laki berdasarkan ciri-ciri psikologisnya cenderung mempertahankan power distance yang besar. Berbeda dengan perempuan yang dengan ciri-ciri psikologis yang lebih bersifat tanggap, lebih tabah, dan mudah menerima keadaan, sehingga kemampuan perempuan dalam berempati lebih tinggi, oleh sebab itu perempuan cenderung mempertahankan power distance kecil. Sifat-sifat inilah yang mengakibatkan tingkat kecerdasan emosional perempuan lebih tinggi daripada laki- laki.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Pengaruh jenis kelamin dan locus of control terhadap hubungan kultur keluarga, kultur lingkungan kerja, dan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru : survei pada guru SMA di Kabupaten Sleman, DIY.

0 1 271

Pengaruh locus of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa : survei pada siswa-siswi kelas IX SMP Negeri dan Swasta di Kabupaten Bantul, Yogyakarta.

0 1 282

Pengaruh jenis kelamin dan locus of control terhadap hubungan kultur keluarga, kultur lingkungan kerja, dan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru : survei pada guru SMA di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta.

1 2 293

SKRIPSI PENGARUH KULTUR LINGKUNGAN KERJA DAN LOCUS OF CONTROL PADA HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KUALITAS PELAYANAN KARYAWAN

0 0 205

PENGARUH JENIS KELAMIN DAN LOCUS OF CONTROL TERHADAP HUBUNGAN KULTUR KELUARGA, KULTUR LINGKUNGAN KERJA, DAN KULTUR LINGKUNGAN MASYARAKAT DENGAN KECERDASAN EMOSIONAL GURU Survei: Guru SMA di Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta SKRIPSI Diajukan untu

0 0 274

Pengaruh jenis kelamin dan locus of control terhadap hubungan kultur keluarga, kultur lingkungan kerja, dan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru : survei pada guru SMA di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta - USD Repository

0 0 291

PENGARUH KULTUR LINGKUNGAN KERJA DAN LOCUS OF CONTROL PADA HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KUALITAS PELAYANAN KARYAWAN

0 2 203

PENGARUH KULTUR LINGKUNGAN KERJA DAN LOCUS OF CONTROL PADA HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KUALITAS PELAYANAN KARYAWAN

0 0 210

Pengaruh jenis kelamin dan locus of control terhadap hubungan kultur keluarga, kultur lingkungan kerja, dan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru : survei pada guru SMA di Kabupaten Sleman, DIY - USD Repository

0 0 269

Pengaruh jenis kelamin dan locus of control terhadap hubungan kultur keluarga, kultur lingkungan kerja, dan kultur lingkungan masayarakat dengan kecerdasan emosional guru : survei pada guru SMA di Kodya Yogyakarta, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta - US

0 0 268