Pengaruh locus of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa : survei pada siswa-siswa SMP Negeri dan Swasta di Kabupaten Sleman - Yogyakarta.

(1)

ABSTRAK

PENGARUH LOCUS OF CONTROL, KULTUR KELUARGA DAN KULTUR SEKOLAH PADA HUBUNGAN ANTARA

KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA

Survei Pada Siswa-Siswa Kelas 3 (IX) SMP Negeri dan Swasta di Kabupaten Sleman – Yogyakarta

Tadius Sudarna Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2007

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah: (1) ada pengaruh positif locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa; (2) ada pengaruh positif kultur keluarga pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa; (3) ada pengaruh positif kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.

Penelitian dilaksanakan di SMP negeri dan swasta yang ada di Kabupaten Sleman. Responden dalam penelitian ini sebanyak 373 siswa, dari total populasi sebanyak 10.476 siswa. Teknik pengambilan sampel adalah purposive sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan metode kuesioner dan dokumentasi. Teknik analisis data menggunakan regresi yang telah dikembangkan oleh Chow.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) ada pengaruh positif dan signifikan locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa(ρ =0,003<α= 0,05); (2) ada pengaruh positif dan signifikan kultur keluarga pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa(ρ =0,005 <α = 0,05); (3) ada pengaruh positif dan signifikan kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa(ρ =0,007 <α = 0,05).


(2)

ABSTRACT

THE INFLUENCE OF LOCUS OF CONTROL, FAMILY CULTURE AND SCHOOL CULTURE TOWARD THE RELATIONSHIP BETWEEN

EMOTIONAL INTELLIGENCE AND STUDENTS’ LEARNING ACHIEVEMENT

A Survey at 3th Grade Students ( IX) of Junior High Schools in Sleman Regency - Yogyakarta

Tadius Sudarna Sanata Dharma University

Yogyakarta 2007

This research was aimed to identify whether or not: (1) there was a positive influence of locus of control toward the relationship between emotional intelligence and students’ learning achievement; (2) there was a positive influence of family culture toward the relationship between emotional intelligence and students’ learning achievement; (3) there was a positive influence of school culture toward the relationship between emotional intelligence and students’ learning achievement.

This research was carried out at private and public Junior High Schools’ (“SMP”) in Sleman Regency. The respondents’ of the research were 373 students, from total population 10.476 students. The sample taking technique used was purposive sampling. The data collecting method used was questionnaire and documentation. The data analysis technique used was regression model developed by Chow.

The results of the data showed: (1) there was a positive and significant influence of locus of control toward the relationship between emotional intelligence and the students’ learning achievement(ρ =0,003<α= 0,05 ); (2) there was a positive and significant influence of family culture toward the relationship between emotional intelligence and the students learning achievement (ρ =0,005<α= 0,05); (3) there was a positive and significant influence of school culture toward the relationship between emotional intelligence and the students’ learning achievement

=

ρ


(3)

PENGARUH

LOCUS OF CONTROL

, KULTUR KELUARGA, DAN

KULTUR SEKOLAH PADA HUBUNGAN ANTARA

KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN PRESTASI

BELAJAR SISWA

Survei pada siswa-siswa SMP Negeri dan Swasta di Kabupaten Sleman – Yogyakarta

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Akuntansi

Oleh: Tadius Sudarna NIM: 021334021

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AKUNTANSI

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2007


(4)

(5)

(6)

(7)

ABSTRAK

PENGARUH LOCUS OF CONTROL, KULTUR KELUARGA DAN KULTUR SEKOLAH PADA HUBUNGAN ANTARA

KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA

Survei Pada Siswa-Siswa Kelas 3 (IX) SMP Negeri dan Swasta di Kabupaten Sleman – Yogyakarta

Tadius Sudarna Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2007

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah: (1) ada pengaruh positif locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa; (2) ada pengaruh positif kultur keluarga pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa; (3) ada pengaruh positif kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.

Penelitian dilaksanakan di SMP negeri dan swasta yang ada di Kabupaten Sleman. Responden dalam penelitian ini sebanyak 373 siswa, dari total populasi sebanyak 10.476 siswa. Teknik pengambilan sampel adalah purposive sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan metode kuesioner dan dokumentasi. Teknik analisis data menggunakan regresi yang telah dikembangkan oleh Chow.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) ada pengaruh positif dan signifikan locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa(ρ =0,003<α= 0,05); (2) ada pengaruh positif dan signifikan kultur keluarga pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa(ρ =0,005 <α = 0,05); (3) ada pengaruh positif dan signifikan kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa(ρ =0,007 <α = 0,05).


(8)

ABSTRACT

THE INFLUENCE OF LOCUS OF CONTROL, FAMILY CULTURE AND SCHOOL CULTURE TOWARD THE RELATIONSHIP BETWEEN

EMOTIONAL INTELLIGENCE AND STUDENTS’ LEARNING ACHIEVEMENT

A Survey at 3th Grade Students ( IX) of Junior High Schools in Sleman Regency - Yogyakarta

Tadius Sudarna Sanata Dharma University

Yogyakarta 2007

This research was aimed to identify whether or not: (1) there was a positive influence of locus of control toward the relationship between emotional intelligence and students’ learning achievement; (2) there was a positive influence of family culture toward the relationship between emotional intelligence and students’ learning achievement; (3) there was a positive influence of school culture toward the relationship between emotional intelligence and students’ learning achievement.

This research was carried out at private and public Junior High Schools’ (“SMP”) in Sleman Regency. The respondents’ of the research were 373 students, from total population 10.476 students. The sample taking technique used was purposive sampling. The data collecting method used was questionnaire and documentation. The data analysis technique used was regression model developed by Chow.

The results of the data showed: (1) there was a positive and significant influence of locus of control toward the relationship between emotional intelligence and the students’ learning achievement(ρ =0,003<α= 0,05 ); (2) there was a positive and significant influence of family culture toward the relationship between emotional intelligence and the students learning achievement (ρ =0,005<α= 0,05); (3) there was a positive and significant influence of school culture toward the relationship between emotional intelligence and the students’ learning achievement

=

ρ


(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Baik, atas segala berkat dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Akuntansi, FKIP, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Keberhasilan penyusunan skripsi tidak lepas berkat bantuan, dukungan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan limpah terima kasih kepada :

1. Bapak Drs. T. Sarkim, M.Ed., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma.

2. Bapak Drs. Sutarjo Adisusilo JR, selaku Ketua Jurusan Pendidikkan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas sanata Dharma.

3. Bapak Sebastianus Widanarto Prijowuntato, S.Pd., M.Si. selaku Ketua Program Studi Pendidikan Akuntansi

4. Bapak Laurentius Saptono, S.Pd., M.Si. selaku Dosen Pembimbing I yang dengan sabar, tekun, dan setia membimbing dan mendampingi penulis selama proses penyusunan skripsi ini.

5. Bapak Sebastianus Widanarto Prijowuntato, S.Pd., M.Si. selaku Dosen Pembimbing II yang telah membantu dan membimbing penulis selama proses penyusunan skripsi ini.


(10)

7. Para Kepala Sekolah SMP Negeri (SMP N. 2 Pakem, SMP N. 1 Mlati dan SMP N. 4 Kalasan) dan SMP Swasta (SMP Budi Mulia-Minggir, SMP St. Aloysius-Turi, SMP Muh. Godean dan SMP Karitas-Nandan) yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk mengadakan penelitian di sekolah-sekolah yang Bapak/Ibu dan Bruder pimpin.

8. Para Bruder Budi Mulia yang telah memberi kepercayaan, dan juga anak-anak Asrama Budi Mulia-Padon. “Trims mau mengerti aku”

9. Sahabat-sahabatku (Ning dan Edi) yang telah memotivasi dan memberi inspirasi bagiku.

10.Teman-teman PAK A’02 dan juga bagi siapa saja yang telah memberi dukungan, dan dorongan kepada penulis sehingga penulis menjadi semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna. Oleh karena itu, sumbang saran dari pembaca, penulis harapkan. Akhirnya semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.

Yogyakarta, 3 April 2007


(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Batasan Masalah ... 6

C. Rumusan Masalah ... 7

D. Tujuan Penelitian ... 7

E. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Locus of Control... 9

B. Kultur Keluarga ... 15

C. Kultur Sekolah ... 18

D. Kecerdasan Emosional... 22


(12)

F. Kerangka Teoritik ... 31

G. Hipotesis ... 37

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian... 39

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 39

C. Subjek dan Objek Penelitian ... 39

D. Variabel Penelitian dan pengukurannya ... 40

E. Populasi dan sampel 1. Populasi ... 46

2. Sampel ... 46

3. Teknik Pengambilan Sampel ... 47

F. Tehnik Pengumpulan Data... . 47

G. Uji Coba Instrumen Penelitian 1. Uji Validitas ... 48

2. Uji Reliabilitas ... 52

H. Tehnik Analisa Data 1. Deskripsi data... 53

2. Pengujian Normalitas dan Linieritas a. Uji Normalitas... 53

b. Uji Linieritas ... 54


(13)

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data... 58

1. Deskripsi Responden penelitian... 58

2. Deskripsi Variabel Penelitian ... 58

a) Locus of Control ... 61

b) Kultur Keluarga ... 62

c) Kultur Sekolah ... 67

d) Kecerdasan Emosional... 73

e) Prestasi Belajar... 74

B. Analisa Data... 75

1. Pengujian Prasyarat Analisa Data ... 75

2. Pengujian Hipotesis ... 76

C. Pembahasan Hasil Penelitian ... 91

1. Pengaruh Locus of Control pada hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Prestasi Belajar ... 91

2. Pengaruh Kultur Keluarga pada hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Prestasi Belajar ... 93

3. Pengaruh Kultur Sekolah pada hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Prestasi Belajar ... 95

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 98

B. Keterbatasan Penelitian... 100

C. Saran ... 100


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

halaman

Lampiran 1 Kuesioner Penelitian ... 106

Lampiran 2 Validitas dan Reliabilitas ... 113

Lampiran 3 Data Variabel Penelitian ... 121

Lampiran 4 Distribusi Frekuensi ... 177

Lampiran 5 PAP Tipe II ... 215

Lampiran 6 Kuder-Richardson 20 ... 222

Lampiran 7 Normalitas dan Linieritas... 224

Lampiran 8 Regresi ... 226

Lampiran 9 Daftar Tabel Statistik ... 237


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penelitian yang dilakukan UNDP (United Nation Development Program) dalam laporan HDI (Human Development Index) menyebutkan bahwa mutu pendidikan Indonesia pada tahun 1999 adalah peringkat ke-109 dari 174 negara, kalah dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura (Matabaca Vol 3 No 9 Mei 2005 hal 1). Salah satu masalah pendidikan yang tak henti-hentinya dibicarakan adalah sistem pendidikan yang belum mampu membangun generasi yang dapat mengatasi tantangan perubahan zaman seperti krisis ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Berbagai kalangan menyoroti, bahkan mempertanyakan mutu pendidikan di Indonesia, khususnya masalah prestasi belajar.

Prestasi belajar adalah kemampuan, keterampilan dan sikap seseorang dalam menyelesaikan suatu hal (Zainal Arifin, 1988:3). Pada umumnya orang menilai prestasi belajar dengan berfokus pada indikator prestasi akademis pada setiap bidang studi. Namun beberapa pihak menambahkan indikator lain, misalnya prestasi bidang kesenian, olahraga, kepemimpinan, keterampilan, dan kualitas kepribadian siswa. Keberhasilan belajar umumnya dikaitkan dengan tinggi atau rendahnya intelligence quotient (IQ) siswa. Oleh banyak kalangan praktisi pendidikan, IQ dipandang sebagai penentu keberhasilan proses belajar.


(16)

Hal ini dibuktikan dengan banyaknya lembaga pendidikan yang mempergunakan tes IQ dalam menyeleksi calon siswa.

Namun dewasa ini telah timbul kesadaran baru bahwa keberhasilan seseorang tidak semata-mata diukur dari IQ saja, tetapi oleh tingkat kecerdasan emosional (EQ) seseorang. Kecerdasan emosional (emotional intelligence) adalah kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri dan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain (Daniel Goleman, 2001:512). Semakin tinggi kecerdasan emosional seseorang, maka semakin tinggi tingkat keberhasilan seseorang dalam belajar.

Derajat hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar tersebut di atas diduga kuat berbeda pada orientasi locus of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah yang berbeda. Locus of control adalah suatu keyakinan atau kepercayaan dari individu atas penentu hidupnya. Cakupan dimensi locus of control meliputi locus of control internal dan locus of control eksternal. Pada siswa yang memiliki locus of control internal, derajat hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan pada siswa dengan locus of control eksternal. Hal demikian disebabkan siswa dengan locus of control internal mempunyai tingkat keyakinan diri yang lebih tinggi akan hasil dari apa yang dilakukannya, mampu mengontrol tujuan hidupnya, dan mempunyai orientasi hidup yang jelas. Hal ini berbeda dengan siswa dengan locus of control eksternal yang cenderung lebih menggantungkan diri pada nasib atau takdir hidupnya saja.


(17)

Kultur keluarga adalah suatu nilai yang dimiliki masyarakat/keluarga yang merupakan hasil kajian/pengalaman yang berlangsung turun temurun. Pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan power distance kecil, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar diduga akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang berasal dari keluarga bercirikan power distance besar. Hal demikian disebabkan pada kultur keluarga dengan power distance kecil, siswa mempunyai ketaatan kepada norma keluarga, menghormati orang tua dan yang lebih tua sebagai dasar kebaikan, otoritas orang tua berpengaruh terus menerus sepanjang hidup dan ketergantungan. Sedangkan pada kultur keluarga dengan power distance besar bercirikan sebaliknya.

Pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan collectivism, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang berasal dari keluarga yang bercirikan individualism. Hal demikian disebabkan siswa yang berasal dari keluarga dengan kultur collectivism tinggi mempunyai demokratis dalam keluarga, kesetiaan kepada kelompok adalah sumber daya bersama, mampu mengelola keuangan, kebutuhan untuk berkomunikasi, merasa bersalah jika melanggar peraturan dan keluarga menjadi tempat bersatunya anggota keluarga. Sedangkan pada kultur keluarga yang bercirikan individualism memiliki karakteristik yang sebaliknya.

Pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan masculinity, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang berasal dari keluarga


(18)

yang bercirikan femininity. Hal demikian disebabkan siswa yang berasal dari keluarga dengan kultur masculinity mempunyai dominasi penetapan aturan dalam keluarga, pembagian peran orangtua, perhatian pada anggota yang lebih kuat, dan hasrat untuk hidup lebih baik. Sedangkan pada kultur keluarga yang bercirikan femininity memiliki karakteristik yang sebaliknya.

Pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan uncertainty avoidance yang lemah, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang berasal dari keluarga yang bercirikan uncertainty avoidance yang kuat. Hal demikian disebabkan siswa yang berasal dari keluarga dengan kultur uncertainty avoidance yang lemah mampu menyikapi situasi ketidakpastian sebagai sesuatu yang wajar, tidak cemas menghadapi persoalan hidup dan mempunyai feleksibilitas dalam penetapan aturan keluarga. Sedangkan pada kultur keluarga bercirikan uncertainty avoidance yang kuat memiliki karakteristik yang sebaliknya.

Kultur sekolah diduga kuat juga menjadi pembeda derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa. Kultur sekolah adalah suatu nilai yang dianut oleh sekolah yang mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya siswa. Pada kultur sekolah yang bercirikan power distance kecil, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan power distance besar. Hal demikian disebabkan siswa yang berasal dari sekolah dengan kultur power distance kecil perlakuan guru terhadap para siswa sama, proses pembelajaran terpusat pada


(19)

siswa, kesempatan bertanya, kebebasan menyampaikan kritik, komunikasi dua arah (di kelas), peran orang tua pada anak di sekolah, aturan dan norma dalam sekolah, pengembangan kemampuan dan bakat, dan orang tua diuntungkan dengan proses pembelajaran sekolah. Sedangkan pada kultur sekolah yang bercirikan power distance besar memiliki karakteristik yang sebaliknya.

Pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan collectivism, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang berasal dari sekolah yang bercirikan individualism. Hal demikian disebabkan siswa yang berasal dari sekolah yang bercirikan collectivism mempunyai kebebasan mengungkapkan pendapat, penyelesaian tugas dari guru, tingkat penerimaan diri oleh orang lain, sikap positif dalam mengerjakan tugas dan tujuan berprestasi. Sedangkan pada kultur sekolah yang bercirikan individualism memiliki karakteristik sebaliknya.

Pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan masculinity, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa pada sekolah yang bercirikan femininity. Hal demikian disebabkan siswa yang berasal dari sekolah yang bercirikan masculinity siswa mampu menciptakan suasana kompetisi di kelas, berorientasi pada prestasi dan kompetensi guru dalam mengajar. Sedangkan pada kultur sekolah yang bercirikan femininity memiliki karakteristik yang sebaliknya.

Pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan uncertainty avoidance yang lemah, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang


(20)

berasal dari sekolah yang bercirikan uncertainty avoidance yang kuat. Hal demikian disebabkan siswa dengan uncertainty avoidance yang lemah memiliki tingkat penerimaan siswa dan kekurangan guru, kejelasan guru dalam menerangkan dan adanya kedekatan hubungan antara guru, siswa, dan orang tua. Sedangkan pada kultur sekolah yang bercirikan uncertainty avoidance yang kuat memiliki karakteristik yang sebaliknya.

Penelitian ini berusaha menganalisis dan menguji apakah variabel moderating locus of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah yang berbeda memberi pengaruh terhadap hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar. Berdasarkan uraian dan persoalan di atas, maka penulis mengambil judul “PENGARUH LOCUS OF CONTROL, KULTUR KELUARGA, DAN KULTUR SEKOLAH PADA HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN PRESTASI BELAJAR”. Penelitian ini merupakan survei pada siswa SMP Negeri dan Swasta yang ada di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

B. Batasan Masalah

Ada banyak faktor yang berhubungan dengan tinggi rendahnya prestasi belajar anak di sekolah, diantaranya locus of control, motivasi belajar, sarana dan prasarana, kecerdasan emosional, kultur keluarga, kultur masyarakat, kultur sekolah dan sebagainya. Secara khusus penulis dalam penelitian ini bermaksud untuk menyelidiki secara lebih spesifik bagaimana pengaruh locus of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional


(21)

C. Rumusan Masalah

1. Apakah ada pengaruh positif locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa?

2. Apakah ada pengaruh positif kultur keluarga pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa?

3. Apakah ada pengaruh positif kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa?

D. Tujuan Penelitian:

1. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh positif locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.

2. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh positif kultur keluarga pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.

3. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh positif kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi Sekolah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pihak sekolah untuk menentukan perlakuan yang tepat kepada siswa bahwa sifat, sikap dan perilaku siswa berbeda, maka pihak sekolah harus memberikan perlakuan yang berbeda dalam rangka pencapaian prestasi siswa.


(22)

2. Bagi penelitian selanjutnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi penelitian selanjutnya sehingga akan lebih banyak lagi penelitian yang bisa memajukan pendidikan di Indonesia dan mutu pendidikan bisa semakin meningkat.


(23)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Locus of Control 1. Pengertian Locus of Control

Konsep locus of control dikemukakan pertama kali oleh Rotter yaitu suatu konsep yang memberikan gambaran tentang keyakinan seseorang mengenai sumber penentu perilakunya (Jung, 1978:107). Ia membagi locus of control ke dalam 2 kelompok, yaitu locus of control internal dan locus of control eksternal. Individu yang mempunyai locus of control internal memiliki keyakinan bahwa apa yang terjadi pada dirinya adalah pengaruh dari dirinya, dari apa yang ia lakukan, dan ia mampu mengontrol tujuan hidupnya dengan kekuatannya sendiri. Namun ketika individu percaya bahwa mereka hanya mempunyai sedikit kendali atas apa yang terjadi, percaya bahwa peristiwa yang terjadi dalam hidupnya merupakan hasil dari takdir, kesempatan, keberuntungan dan nasib, mereka diklasifikasikan sebagai individu dengan locus of control eksternal.

Konsep locus of control diajukan oleh Rotter atas dasar teori belajar sosial (social learning theory). Ini berarti bahwa locus of control berhubungan dengan lingkungan sekitarnya. Lingkungan sekitar mempunyai pengaruh yang dominan dalam pembentukan pribadi menjadi individu dengan locus of control internal atau menjadi individu dengan locus of control eksternal.


(24)

Gibson, et al (1996:161) menyebutkan letak kendali (locus of control) individu mencerminkan tingkat dimana mereka percaya bahwa perilaku mereka mempengaruhi apa yang terjadi dalam diri mereka. Sebagian orang percaya bahwa mereka adalah penentu dari takdir mereka sendiri. Tetapi sebagian yang lain mengatakan bahwa mereka sebagai korban dari takdir, mereka percaya bahwa apa yang terjadi pada diri mereka disebabkan oleh keberuntungan atau kesempatan. Robbins (1999:42) menggarisbawahi apa yang dikatakan oleh Rotter bahwa tempat kendali (locus of control) dibedakan menjadi dua, yaitu internal dan eksternal. Orang yang percaya bahwa dirinya sebagai penentu dari takdir mereka sendiri termasuk dalam kelompok locus of control internal. Sedangkan orang yang menganggap dirinya sebagai korban dari takdir, percaya bahwa apa yang terjadi pada diri mereka disebabkan oleh keberuntungan atau kesempatan, termasuk dalam kelompok locus of control eksternal.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan locus of control adalah keyakinan individu terhadap sumber penentu perilakunya baik perilaku yang dipengaruhi oleh faktor internal maupun perilaku yang dipengaruhi oleh faktor eksternal. Individu dengan locus of control internal akan mempunyai tingkat kepercayaan diri yang tinggi. Keberhasilan dirinya tergantung dari diri sendiri. Sedang individu dengan locus of control eksternal, keberhasilan dirinya tergantung dari luar dirinya.


(25)

2. Perbedaan Orientasi Locus of Control Internal dan Eksternal

Adanya perbedaan individu dengan locus of control internal dan individu dengan locus of control eksternal ternyata berdampak pada adanya perbedaan sikap, sifat perilaku dan cara hidupnya. Dalam hubungan dengan orang lain, individu dengan locus of control internal cenderung untuk tidak mudah terpengaruh, mempunyai rasa percaya diri yang tinggi, mempunyai motif berprestasi yang tinggi. Orang yang mempunyai locus of control internal kurang konformis karena rasa percaya diri yang dimilikinya begitu tinggi dan dapat melakukan kontrol dengan kemampuannya sendiri, mengandalkan kemampuan dan keterampilan dirinya serta usaha-usaha yang dilakukannya.

Di sisi lain, orang dengan locus of control eksternal cenderung menarik diri, penyesuaian diri kurang baik dan konformis terhadap otoritas (Lefcourt, 1969 dalam London dan Exner, 1978:278). Individu dengan locus of control eksternal cenderung konform terhadap pengaruh-pengaruh dari luar, memiliki anggapan bahwa kegagalan yang terjadi disebabkan oleh faktor dari luar dirinya. Individu juga cenderung mempunyai sikap menyerah, pesimis, pasrah, merasa tak berdaya dan memiliki kecemasan yang tinggi.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan individu mempunyai kecenderungan locus of control internal apabila individu merasakan adanya hubungan antara usaha yang dilakukan dengan akibat-akibat yang diterimanya, sedang individu dengan kecenderungan locus of


(26)

control eksternal merasa bahwa akibat-akibat yang diterimanya adalah berasal dari kesempatan, nasib, campur tangan orang lain dan keberuntungan.

3. Faktor-Faktor Pembentuk Locus of Control

Locus of control bukan merupakan suatu konsep yang ada dalam diri individu yang bersifat bawaan, namun terbentuk dan berkembang dikarenakan berbagai faktor. Karena bukan bersifat bawaan, maka locus of control dapat berubah dan berkembang tergantung dari kemauan dan kemampuan setiap individu. Faktor-faktor yang bisa membentuk dan mengembangkan locus of control adalah sebagai berikut (J.Phares dalam London dan Exner, 1978:291).

a. Faktor Usia

Seiring anak berkembang, ia menjadi seorang manusia yang lebih efektif, sehingga ia meningkatkan kepercayaan bahwa dirinya mampu mengendalikan bermacam-macam hal dan kejadian dalam hidupnya. Dengan kata lain, locus of control bergerak dari kecenderungan eksternal ke arah internal sejalan dengan bertambahnya usia.

b. Pengalaman akan suatu perubahan

Penelitian Kiehlbauch (London dan Exner, 1978:292) menemukan bahwa teman serumah yang masih baru menunjukkan locus of control yang relatif lebih eksternal daripada teman serumah yang telah lama. Locus of control teman serumah yang akan berpisah juga cenderung bergeser ke arah eksternal. Keadaan yang cenderung labil dan tak pasti


(27)

selama masa transisi mendorong locus of control individu ke arah eksternal.

c. Generalitas dan Stabilitas perubahan

Adanya berbagai perubahan di tempat tinggal sekitar akan mempengaruhi locus of control. Misalnya adanya bom nuklir, perang, skandal politik. Pengalaman perubahan peristiwa tersebut menyebab-kan kecenderungan ke arah locus of control eksternal. Perilaku individu mengalami pergeseran dari rasa aman menjadi rasa takut dan kehilangan kemampuan untuk menganalisa dan mempersiapkan diri terhadap jalannya peristiwa dalam hidup mereka.

d. Pelatihan dan Pengalaman

De Charms (London dan Exner, 1978:293) berhasil membuktikan efektifitas program pelatihan untuk meningkatkan locus of control internal. Selain itu, penelitian Barnes (London dan Exner, 1978:293) menemukan bahwa pengalaman berkemah yang terstruktur dapat meningkatkan locus of control internal. Demikian pula dengan penelitian Levens serta Gottesfeld dan Dozier (London dan Exner, 1978:293) mengenai pengalaman berorganisasi dalam masyarakat. Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa locus of control dapat berubah karena pengalaman-pengalaman yang bisa meningkatkan kepercayaan diri, keberanian dan kemandirian pribadi.


(28)

e. Efek Terapi

Beberapa peneliti; Lefcourt, Dua, Gillis dan Jessor, Smith (London dan Exner, 1978:293) menunjukkan bahwa psikoterapi berpengaruh positif terhadap perubahan locus of control internal. Psikoterapi bertujuan meningkatkan kemampuan individu dalam mengatasi masalah-masalahnya.

4. Prosedur Penaksiran

Setiap individu memiliki locus of control yang berbeda. Rotter membedakannya menjadi dua yaitu individu dengan locus of control internal dan locus of control eksternal. Untuk melihat perbedaan ini, Rotter menyusun skala pengukuran dan menginventarisasikan menjadi 29 item. Tes ini dinamakan skala control internal-eksternal (I–E scale). Rotter, (1964:58) mengklasifikasikan menjadi enam kebutuhan yaitu status recognition (pengakuan status) merupakan kebutuhan untuk mengungguli, ingin dianggap dirinya kompeten di bidang akademik, baik di sekolah, jabatan, profesi, atletik; independence (ketidaktergantungan) merupakan kebutuhan untuk membuat keputusan sendiri, menggantungkan pada diri sendiri, mengembangkan keterampilan untuk dapat memperoleh kepuasan dan mencapai tujuan tanpa bantuan orang lain; protection dependency (perlindungan-ketergantungan) merupakan kebutuhan untuk melindungi orang lain agar terhindar dari frustasi, menyediakan perlindungan/ keamanan, dan membantu orang lain mencapai tujuannya; love and affection (cinta dan kasih sayang) merupakan kebutuhan untuk dicintai dan


(29)

disenangi orang lain, ingin mendapatkan kehangatan, ketertarikan, perhatian dan kasih sayang; dominance (dominasi) merupakan kebutuhan untuk mengontrol aktivitas orang lain, termasuk keluarga dan teman, ingin diposisikan untuk berkuasa agar orang lain mengikuti keinginan dan kesukaan dirinya; physical comfort (kenyamanan fisik) merupakan kebutuhan untuk kepuasan fisik yang berkaitan dengan keamanan untuk menghindari sakit dan kesukaan terhadap kesenangan jasmani. Sedangkan Weiner (1980:251) mengklasifikasikan menjadi enam kategori yaitu; academic recognition, social recognition, love and affection, dominance, social political belief, dan life philosophy.

B. Kultur Keluarga

1. Pengertian Kultur Keluarga

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 2002:169), yang dimaksud dengan kultur adalah adat atau kebiasaan yang berlaku. Dalam ilmu antropologi istilah kultur digunakan untuk menjelaskan: (1) keunikan sekelompok masyarakat dibandingkan kelompok masyarakat lainnya; (2) mengapa perilaku sekelompok masyarakat dapat bertahan dari satu generasi ke generasi lainnya (Kotter dan Heskett, 1992:3-4).

Hingga saat ini muncul berbagai definisi kultur dari para teoritikus dan peneliti. Schein (1991:9) mendefinisikan kultur sebagai:

“a pattern of basic assumption-invented, discovered, or developed by a given group as it learns to cope with its problems of external adaptation and internal integration-that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think, and feel in relation to those problems”.


(30)

Kultur merupakan asumsi dasar yang ditemukan, dipahami, dan dikembangkan oleh anggota kelompok/grup. Karena asumsi terbukti benar saat digunakan untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi kelompok, maka asumsi tersebut diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara pandang, pola pikir, dan perasaan yang benar ketika menghadapi masalah di masa mendatang.

Clayde Kluckhon, sebagaimana dikutip Erez (1993:41), menyatakan bahwa:

“Culture consist of patterned ways of thinking, feeling, and reacting, acquired and transmitted mainly by symbols, constituting the distinctive achievement of human group, including their embodiments in artifacts: the essential, core of culture consist of traditional (i.e. historically derived and sellected) ideas and especially their attached values”.

Kultur merupakan bentuk pemrograman mental secara kolektif. Kultur membedakan anggota kelompok satu dengan kelompok lainnya dalam cara berpikir, perasaan dan tindakan anggota kelompok. Esensi kultur adalah nilai-nilai yang didasarkan pada pengalaman sejarah masa lalu. Nilai-nilai itu telah terinternalisasi ke dalam diri masing-masing kelompok selama bertahun-tahun dan diyakini mengandung nilai luhur, sehingga sangat sulit untuk berubah. Nilai-nilai itu dalam diri masyarakat tampak dalam pola pikir, rasa dan reaksi masyarakat atas suatu kejadian.

Sementara Hofstede (1994:5) mengartikan kultur sebagai:

“ a collective phenomenon, because it is at least partly shared with people who live or lived within the same social environment, which is there it was learned. It is the collective programming of the mind wich distinguishes the members of one group or category of people from another”.


(31)

Hofstede (1994:4) menyebut kultur sebagai: “software of the mind”. Substansi perbedaan tersebut lebih tampak pada praktik kultur daripada nilai-nilai. Sebagai bentuk pemrograman mental secara kolektif, kultur cenderung sulit berubah, kalaupun berubah akan membutuhkan waktu yang lama dan perlahan-lahan.

2. Dimensi Kultur Keluarga

Kultur dalam suatu kelompok cenderung sangat sulit untuk berubah, jikalau berubah ini akan membutuhkan waktu yang lama dan secara bertahap. Hal ini disebabkan karena kultur telah terkristalisasi ke dalam lembaga yang telah mereka bangun selama ini. La Midjan (1995:7) menyebutkan bahwa lembaga yang dimaksud antara lain: struktur keluarga, struktur pendidikan, organisasi keagamaan, asosiasi-asosiasi, bentuk pemerintahan, organisasi kerja, lembaga hukum, kepustakaan, pola tata ruang, bentuk bangunan gedung, dan juga teori-teori ilmiah.

Kultur dapat dibedakan ke dalam enam tingkatan, yaitu: a national level, a regional level etc, a gender level, a generation level, a social class level, dan an organization or corporate level (Hofstede, 1994:10). Pada tingkatan nasional, kultur dapat dikenali berdasarkan dimensi yang mencakup: power distance (from small to large), collectivism vs individualism, femininity vs masculinity, dan uncertanity avoidance (from weak to strong). Dimensi power distance (jarak kekuasaan) merupakan tingkat dalam nama kekuasaan anggota institusi didistribusikan secara berbeda. Pada keluarga, dimensi power distance (jarak kekuasaan)


(32)

mencakup indikator: ketaatan kepada norma keluarga, menghormati orang tua dan yang lebih tua sebagai dasar kebaikan, otoritas orang tua berpengaruh terus menerus sepanjang hidup dan ketergantungan. Dimensi individualism menggambarkan suatu masyarakat dimana pertalian antar individu cenderung memudar. Dimensi collectivism vs individualism mencakup tingkat kebebasan anggota keluarga untuk menyatakan pendapat, loyalitas pada anggota keluarga lain, keleluasaan untuk mandiri, kebutuhan untuk berkomunikasi dan perasaan yang muncul akibat melanggar aturan atau norma keluarga. Dimensi femininity vs masculinity mencakup derajat dominasi penetapan aturan dalam keluarga, pembagian peran orangtua, perhatian pada anggota yang lebih kuat, dan hasrat untuk hidup lebih baik. Sedangkan dimensi uncertainty avoidance mencakup indikator yang meliputi: toleransi terhadap situasi yang tidak pasti dan mempunyai inisiatif, keluarga menjadi tempat belajar dan memiliki aturan.

C. Kultur Sekolah

1. Pengertian Kultur Sekolah

Kultur merupakan pandangan hidup yang diakui bersama oleh suatu kelompok masyarakat, yang mencakup cara berpikir, perilaku, sikap, nilai yang tercermin baik dalam wujud fisik maupun abstrak. Kultur ini juga dapat dilihat sebagai suatu perilaku, nilai-nilai, sikap hidup, dan cara hidup untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungan, dan sekaligus cara untuk memandang persoalan dan memecahkannya. Oleh karena itu, suatu kultur secara alami akan diwariskan oleh satu generasi kepada generasi berikutnya.


(33)

Sekolah merupakan lembaga utama yang didesain untuk memperlancar proses transmisi kultural antar generasi tersebut. Antropolog Clifford Geertz mendefinisikan kultur sebagai suatu pola pemahaman terhadap fenomena sosial, yang terekspresikan secara eksplisit maupun implisit. Merujuk pada konteks organisasi (Depdiknas, 2004) kultur adalah kualitas kehidupan yang diwujudkan dalam aturan-aturan atau norma, tata kerja, kebiasaan, gaya seorang anggota. Kualitas itu tumbuh dan berkembang sesuai nilai-nilai dan spirit atau keyakinan yang dianut oleh organisasi. Kultur dapat dipahami dari dua sisi batiniah dan lahiriah. Dari sisi batiniah berupa nilai, prinsip, semangat, keyakinan yang dianut oleh organisasi. Pada sisi lahiriah berupa aturan atau prosedur yang mengatur hubungan antar anggota organisasi baik formal maupun informal, prosedur kerja yang harus diikuti anggota organisasi, kebiasaan kerja yang dimiliki keseluruhan anggota kelompok.

Kultur sekolah merupakan suatu sistem sosial yang mempunyai organisasi yang unik dan pola relasi sosial diantara anggotanya yang bersifat unik pula. Tiap-tiap sekolah mempunyai kultur yang bersifat unik. Tiap-tiap sekolah mempunyai aturan, kebiasaan, serta lambang-lambang yang memberikan corak khas kepada sekolah yang bersangkutan. Kultur mempunyai pengaruh mendalam terhadap proses dan cara belajar siswa. Apa yang dihayati siswa berupa sikap dalam belajar, sikap terhadap kewibawaan dan juga sikap terhadap nilai-nilai bukan berasal dari kurikulum sekolah yang bersifat formal melainkan berasal dari kultur sekolah.


(34)

Kultur sekolah diartikan sebagai kualitas kehidupan sebuah sekolah yang tumbuh dan berkembang berdasarkan nilai atau spirit yang dianut sekolah tersebut. Kualitas ini mewujud dalam bentuk bagaimana keseluruhan anggota sekolah, kepala sekolah, para guru, para tenaga kependidikan bekerja, belajar dan berhubungan satu sama lainnya, sebagaimana telah menjadi tradisi sekolah (Depdiknas, 2004). Jadi sesuai dengan hal yang terkait dengan kultur, maka kultur sekolah bisa diartikan sebagai suatu nilai yang dianut oleh sekolah yang mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya kualitas kehidupan sekolah.

Menurut Dapiyanta (1995:93) kultur sekolah merupakan perilaku lahir batin dari komunitas sekolah dalam menjalankan kehidupan sekolah yang berpola dan mentradisi. Mentradisi disini tidak berarti berhenti, melainkan dinamis, selalu berproses. Kultur sekolah yang positif dapat menghasilkan produk kultur yang baik seperti: peningkatan kinerja individu dan kelompok, peningkatan kinerja sekolah dan institusi, terjamin hubungan yang sinergi antara warga sekolah, timbul iklim akademik yang baik serta interaksi yang menyenangkan. Kultur sekolah yang kondusif akan tercermin dalam organisasi sekolah, deskripsi tugas sekolah, kebijakan, aturan, tata tertib sekolah, kepemimpinan dan hubungan serta penampilan fisik (Arief Ahmad,http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1004/11/0310.htm)

Berdasarkan pengertian kultur tersebut di atas, kultur sekolah dapat dideskripsikan sebagai pola nilai-nilai, norma-norma, sikap, ritual, mitos dan kebiasaan-kebiasaan yang dibentuk dalam perjalanan panjang sekolah. Kultur


(35)

sekolah tersebut sekarang ini dipegang bersama baik oleh kepala sekolah, guru, staf administrasi maupun siswa, sebagai dasar mereka dalam memahami dan memecahkan berbagai persoalan yang muncul di sekolah (www.geocities. com/pakguruonline/pradigma_pdd_ms_depan_36.httm). 2. Dimensi Kultur Sekolah

Kultur dapat dibedakan ke dalam enam tingkatan, yaitu: a national level, a regional level etc, a gender level, a generation level, a social class level, dan an organization or corporate level (Hofstede, 1994:10). Pada tingkatan nasional, kultur dapat dikenali berdasarkan dimensi yang mencakup: power distance (from small to large), collectivism vs individualism, femininity vs masculinity, dan uncertanity avoidance (from weak to strong).

Dimensi power distance (jarak kekuasaan) merupakan tingkat dalam nama kekuasaan anggota institusi didistribusikan secara berbeda. Pada sekolah, dimensi power distance (jarak kekuasaan) mencakup indikator: perlakuan guru terhadap proses pembelajaran terpusat pada siswa, kesempatan bertanya, kebebasan menyampaikan kritik, komunikasi dua arah (di kelas), peran orang tua pada anak di sekolah, aturan dan norma dalam sekolah, pengembangan kemampuan dan bakat serta orang tua yang merasa diuntungkan dengan proses pembelajaran di sekolah. Dimensi collectivism vs individualism mencakup: kebebasan mengungkapkan pendapat, penyelesaian tugas dari guru, tingkat penerimaan guru oleh orang lain, sikap positif dalam mengerjakan tugas, dan tujuan berprestasi. Dimensi femininity vs masculinity


(36)

mencakup indikator suasana kompetisi kelas, berorientasi pada prestasi dan kompetensi guru. Sedangkan dimensi uncertainty avoidance mencakup indikator tingkat penerimaan siswa dengan kekurangan guru, kejelasan guru dalam menerangkan dan kedekatan hubungan antara guru, siswa, dan orang tua.

D. Kecerdasan Emosional

1. Pengertian Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional atau emotional intelligence adalah kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain (Goleman, 2001:512). Kecerdasan emosional mencakup kemampuan yang berbeda-beda, tetapi saling melengkapi, dengan kecerdasan akademik (academic intelligence), yaitu kemampuan-kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ.

Definisi lain diberikan oleh ahli yang menciptakan istilah kecerdasan emosi, yakni John Mayer dan Peter Salovey (Goleman, 2001:513) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan individu untuk menyadari perasaan


(37)

diri pada saat ini, memotivasi diri, berempati, mampu mengatur emosinya dan mampu menjalin hubungan baik dengan orang lain.

2. Ciri-ciri Kecerdasan Emosional

Dasar-dasar kecakapan emosional dan sosial menurut Goleman adalah:

a. Kesadaran diri

Mengetahui apa yang kita rasakan pada saat, dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri, memiliki tolok ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat.

b. Pengaturan diri

Menangani emosi kita sedemikian sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, mampu pulih kembali dari tekanan emosi.

c. Motivasi

Menggunakan hasrat kita yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun kita menuju sasaran, membantu mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif dan untuk bertahan menghadapi kegagalan.

d. Empati

Merasakan yang dirasakan orang lain, mampu memahami perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang.


(38)

e. Keterampilan sosial

Menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain, dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar, menggunakan keterampilan-keterampilan untuk mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan, dan untuk bekerjasama dan bekerja dalam tim.

3. Perbedaan Kecerdasan Emosional dan Kecakapan Emosional

Goleman (2001:39) membedakan antara kecerdasan emosional dan kecakapan emosional. Goleman berpendapat bahwa kecakapan emosional adalah kecakapan hasil belajar yang didasarkan pada kecerdasan emosional. Inti kecakapan emosional adalah dua kemampuan: empati, yang melibatkan kemampuan membaca perasaan orang lain, dan keterampilan sosial yang berarti mampu mengelola perasaan orang lain dengan baik. Sedangkan kecerdasan emosional menentukan potensi kita untuk mempelajari keterampilan-keterampilan praktis yang didasarkan pada lima unsurnya: kesadaran diri, motivasi, pengaturan diri, empati dan kecakapan dalam membina hubungan dengan sesama.

E. Prestasi Belajar

1. Pengertian Prestasi Belajar

Prestasi belajar adalah kemampuan, keterampilan dan sikap seseorang dalam menyelesaikan suatu hal (Zainal Arifin, 1988:3). Belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif


(39)

dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan sikap (W.S Winkel, 1991:16). Belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu, dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atas dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat seseorang. Belajar merupakan suatu proses yang tidak dapat dilihat dengan nyata; proses itu terjadi di dalam diri seseorang yang sedang mengalami belajar.

Prestasi belajar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 2002:895) adalah penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran. Penguasaan tersebut lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka yang diberikan guru. Kegiatan pengukuran prestasi belajar siswa dilakukan antara lain melalui ulangan, ujian, tugas dan sebagainya (Masidjo, 1995:13).

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran lazimnya ditunjukkan dengan nilai/angka hasil tes yang diberikan oleh guru. Keberhasilan dalam kegiatan yang disebut belajar akan tampak dalam prestasi belajar yang diraihnya. Prestasi belajar dapat diketahui dari hasil evaluasi belajarnya. Usaha untuk mengevaluasi hasil belajar, biasanya dilakukan dengan mengadakan pengukuran dalam bentuk tertulis, lisan maupun praktik yang kemudian diberi skor yang biasanya berwujud angka.


(40)

Hasil dari pengukuran ini merupakan informasi-informasi atau data yang diwujudkan dalam bentuk angka-angka yang disebut prestasi belajar.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Prestasi Belajar

Faktor–faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa dapat digolongkan menjadi dua yaitu (Dimyati dan Mujiono, 1999:236-254):

a. Faktor internal

1) Sikap terhadap belajar

Sikap merupakan kemampuan memberikan penilaian tentang sesuatu, yang membawa diri sesuai dengan penilaian tentang sesuatu, mengakibatkan terjadinya sikap menerima, menolak, atau mengabaikan kesempatan belajar.

2) Motivasi belajar

Motivasi belajar merupakan kekuatan mental yang mendorong terjadinya proses belajar. Motivasi ini dapat menjadi lemah. Lemahnya motivasi, atau tiadanya motivasi belajar akan melemahkan kegiatan belajar. Selanjutnya, mutu hasil belajar akan menjadi rendah. Oleh karena itu, motivasi belajar pada diri siswa perlu diperkuat terus menerus agar siswa memiliki hasil belajar yang baik, yang pada akhirnya semakin meningkatkan motivasi berprestasi.

3) Konsentrasi belajar

Konsentrasi belajar merupakan kemampuan memusatkan perhatian pada pelajaran yang tertuju pada isi bahan belajar maupun proses


(41)

memperolehnya. Untuk memperkuat perhatian pada pelajaran, guru perlu menggunakan bermacam-macam strategi belajar mengajar, dan memperhitungkan waktu belajar serta selingan istirahat.

4) Mengolah bahan belajar

Mengolah bahan belajar merupakan kemampuan siswa untuk menerima isi dan cara memperoleh ajaran yang dikembangkan diberbagai mata pelajaran, sehingga lebih bermakna bagi siswa. Isi bahan belajar berupa pengetahuan, nilai kesusilaan, nilai agama, kesenian, serta keterampilan mental dan jasmani. Cara memperoleh ajaran berupa bagaimana menggunakan kamus, daftar logaritma, atau rumusan matematika.

5) Menyimpan perolehan hasil belajar

Menyimpan perolehan hasil belajar merupakan kemampuan menyimpan isi pesan dan memperoleh pesan tersebut. Kemampuan menyimpan tersebut dapat berlangsung dalam waktu yang pendek (hasil belajar cepat dilupakan) dan waktu yang lama (hasil belajar tetap dimiliki siswa). Proses belajar terdiri dari proses penerimaan, pengolahan, dan pengaktifan yang berupa penguatan serta pembangkitan kembali pesan tersebut untuk digunakan.

6) Menggali hasil belajar yang tersimpan

Menggali hasil belajar yang tersimpan merupakan proses pengaktifan pesan yang telah diterima. Dalam hal pesan baru, maka siswa akan memperkuat pesan dengan cara mempelajari kembali,


(42)

atau mengkaitkannya dengan bahan lama. Dalam hal pesan lama, maka siswa akan memanggil atau membangkitkan pesan dan pengalaman lama untuk suatu unjuk hasil belajar.

7) Kemampuan berprestasi

Kemampuan berprestasi merupakan suatu puncak proses belajar yang membuktikan keberhasilan belajar dalam memecahkan tugas-tugas belajar atau mentransfer hasil belajar. Kemampuan berprestasi terpengaruh oleh proses penerimaan, pengaktifan, prapengolahan, serta pemanggilan untuk pembangkitan pesan dan pengalaman. 8) Rasa percaya diri siswa

Rasa percaya diri timbul dari keinginan mewujudkan diri bertindak dan berhasil. Dari segi perkembangan, rasa percaya diri dapat timbul berkat adanya pengakuan dari lingkungan. Dalam proses belajar diketahui bahwa unjuk prestasi merupakan tahap pembuktian ”perwujudan diri” yang diakui oleh guru dan rekan sejawat siswa. Makin sering berhasil menyelesaikan tugas, maka semakin memperoleh pengakuan umum, dan selanjutnya rasa percaya diri semakin kuat.

9) Intelegensi dan keberhasilan belajar

Intelegensi adalah suatu kecakapan global atau rangkuman kecakapan untuk dapat bertindak terarah, berpikir secara baik, dan bergaul dengan lingkungan secara efisien. Kecakapan tersebut


(43)

menjadi aktual bila siswa memecahkan masalah dalam belajar atau kehidupan sehari-hari.

10) Kebiasaan belajar

Dalam kegiatan sehari-hari ditemukan adanya kebiasaan belajar yang kurang baik. Kebiasaan belajar tersebut antara lain: belajar pada akhir semester, belajar tidak teratur, menyia-nyiakan kesempatan belajar, bersekolah hanya untuk bergengsi, bergaya sok menggurui atau bergaya minta ”belas kasih” tanpa belajar. Kebiasaan-kebiasaan belajar tersebut disebabkan oleh ketidak mengertian siswa pada arti belajar bagi diri sendiri. Hal ini dapat diperbaiki dengan pembinaan disiplin membelajarkan diri.

11) Cita-cita siswa

Cita-cita sebagai motivasi intrinsik perlu didikan yang harus dimulai sejak sekolah dasar. Cita-cita merupakan wujud eksplorasi dan emansipasi siswa.

b. Faktor eksternal

1) Guru sebagai pembina siswa belajar

Guru adalah pengajar yang mendidik. Ia tidak hanya mengajar bidang studi yang sesuai dengan keahliannya, tetapi juga menjadi pendidik generasi muda bangsanya. Sebagai pendidik, ia memusatkan perhatian pada kepribadian siswa, khususnya berkenaan dengan kebangkitan belajar yang merupakan wujud emansipasi diri siswa. Sebagai guru pengajar, guru bertugas


(44)

mengelola kegiatan belajar siswa di sekolah. Adapun tugas pengelolaan pembelajaran siswa meliputi: pembangunan hubungan baik dengan siswa, menggairahkan minat, perhatian dan memperkuat motivasi belajar untuk berprestasi, mengorganisasi belajar, melaksanakan pendekatan pembelajaran secara tepat, mengevaluasi hasil belajar secara jujur dan obyektif, melaporkan hasil belajar kepada orang tua/wali siswa.

2) Prasarana dan sarana pembelajaran

Lengkapnya prasarana dan sarana pembelajaran merupakan kondisi pembelajaran yang baik. Hal ini tidak berarti lengkapnya sarana dan prasarana otomatis bisa menentukan jaminan terselenggaranya proses belajar dengan baik.

3) Kebijakan penilaian

Penilaian adalah penentuan sampai sesuatu dipandang berharga, bermutu, atau bernilai. Ukuran tentang hal itu berharga, bermutu, atau bernilai datang dari orang lain. Dalam penilaian hasil belajar, maka penentu keberhasilan belajar tersebut adalah guru. Guru adalah pemegang kunci pembelajaran. Guru menyusun desain pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, dan menilai hasil belajar.

4) Lingkungan sosial siswa di sekolah

Lingkungan dimana siswa tinggal yang dapat berpengaruh terhadap kehidupan siswa. Siswa yang berada di lingkungan yang


(45)

dikondisikan untuk belajar, misalnya dibuat jam belajar malam antara jam 19.00-21.00, maka siswa akan terdorong untuk belajar. Sementara siswa yang berada di lingkungan yang tidak peduli pada pendidikan, maka siswa akan menjadi malas untuk belajar.

5) Kurikulum sekolah

Program pembelajaran di sekolah mendasarkan pada suatu kurikulum. Kurikulum yang diberlakukan sekolah adalah kurikulum yang disyahkan oleh pemerintah, atau suatu kurikulum yang disyahkan oleh suatu yayasan pendidikan dan disusun berdasarkan kemajuan masyarakat. Perubahan kurikulum dapat mempengaruhi tujuan yang akan dicapai, isi pendidikan, kegiatan belajar mengajar dan evaluasi pembelajaran. Perubahan kurikulum dapat menimbulkan masalah bagi guru, siswa maupun elemen-elemen dalam sekolah dan juga orang tua siswa.

F. Kerangka Teoretik

1. Pengaruh locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar.

Kecerdasan Emosional (EQ) merupakan faktor penting yang mempengaruhi hasil belajar. Hasil penelitian di sekolah-sekolah Amerika menunjukkan bahwa jika kecerdasan emosional berkembang dengan baik maka akan sangat menentukan keberhasilan seseorang di kemudian hari, termasuk meningkatkan prestasi belajar. Pelatihan-pelatihan emosional


(46)

(self science/social development/life skill) merupakan upaya mengem-bangkan pengenalan emosi diri, mengolah emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain dan membina hubungan akan membentuk keseimbangan mental antara nalar dan perasaan atau emosi. Hal-hal tersebut menjadi hal penting dalam pengembangan prestasi belajar seseorang. Hasil-hasil pembelajaran keterampilan emosional di berbagai tempat di Amerika menunjukkan bahwa siswa yang telah mengikuti pendidikan pengembangan emosional menunjukkan hasil yang lebih positif di bidang akademik dibandingkan dengan siswa yang tidak mengikuti pelatihan pengembangan emosional, misalnya membantunya dalam keterampilan belajar, lebih peduli dan percaya diri (Goleman, 2001:432-435)

Hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa, diduga kuat tidak sama pada individu dengan locus of control yang berbeda. Siswa dengan kecenderungan locus of control internal diduga kuat mempunyai prestasi belajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa dengan locus of control eksternal. Hal demikian disebabkan siswa dengan locus of control internal memiliki keyakinan diri yang tinggi, berprestasi, aktif, tidak mudah terpengaruh, mandiri, mampu mengendalikan hidupnya, yakin akan keberhasilan hidupnya, sehingga dengan kesadaran itu siswa akan belajar lebih giat untuk mencapai prestasi. Oleh sebab siswa dengan locus of control eksternal mengandalkan penentu hidupnya dari luar dirinya, maka ia hanya pasrah menerima nasib


(47)

dan keberuntungan, tanpa ada usaha merubah keadaan menjadi lebih baik. Hal ini berpengaruh terhadap hasil prestasi belajar yang diperolehnya. 2. Pengaruh kultur keluarga pada hubungan antara kecerdasan emosional

dengan prestasi belajar

Kultur keluarga adalah suatu nilai yang dimiliki masyarakat/ keluarga yang merupakan hasil kajian/pengalaman yang berlangsung turun temurun. Siswa yang berasal dari kultur keluarga yang berbeda, diduga kuat mempunyai derajat hubungan yang tidak sama antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajarnya. Pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan power distance kecil, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan siswa yang berasal dari kultur keluarga dengan power distance besar. Siswa yang berasal dari keluarga dengan power distance kecil mempunyai ketaatan kepada norma keluarga, menghormati orang tua dan yang lebih tua sebagai daasar kebaikan, otoritas orang tua berpengaruh terus menerus sepanjang hidup dan ketergantungan. Berbeda dengan siswa yang berasal dari keluarga dengan power distance besar dimana sebaliknya sehingga melemahkan derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.

Pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan collectivism, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan individualism. Siswa


(48)

yang berasal dari keluarga dengan ciri collectivism mempunyai demokratis dalam keluarga, kesetiaan kepada kelompok adalah sumber daya bersama, mampu mengelola keuangan, kebutuhan untuk berkomunikasi, merasa bersalah jika melanggar peraturan dan keluarga menjadi tempat bersatunya anggota keluarga. Berbeda dengan siswa yang berasal dari keluarga yang bercirikan individualism terjadi sebaliknya, sehingga melemahkan derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.

Pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan masculinity, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan femininity. Siswa yang berasal dari keluarga dengan ciri masculinity mempunyai dominasi penetapan aturan dalam keluarga, pembagian peran orangtua, perhatian pada anggota yang lebih kuat, dan hasrat untuk hidup lebih baik. Berbeda dengan siswa yang berasal dari keluarga yang bercirikan femininity dimana sebaliknya, sehingga melemahkan derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.

Pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan uncertainty avoidance yang lemah, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan uncertainty avoidance yang kuat. Siswa yang berasal dari keluarga yang bercirikan uncertainty avoidance yang lemah mampu


(49)

menyikapi situasi ketidakpastian sebagai sesuatu yang wajar, tidak cemas menghadapi persoalan hidup dan mempunyai feleksibilitas dalam penetapan aturan keluarga. Berbeda dengan siswa yang berasal dari keluarga yang bercirikan uncertainty avoidance yang kuat dimana sebaliknya, sehingga melemahkan derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.

3. Pengaruh kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar.

Kultur sekolah adalah suatu nilai yang dianut oleh sekolah yang mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya siswa. Siswa yang berasal dari kultur sekolah yang berbeda, diduga kuat mempunyai derajat hubungan yang tidak sama antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajarnya. Pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan power distance kecil, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang berasal dari kultur sekolah dengan ciri power distance besar. Siswa yang berasal dari sekolah dengan power distance kecil perlakuan guru terhadap para siswa sama, proses pembelajaran terpusat pada siswa, kesempatan bertanya, kebebasan menyampaikan kritik, komunikasi dua arah (di kelas), peran orang tua pada anak di sekolah, aturan dan norma dalam sekolah, pengembangan kemampuan dan bakat, serta orang tua yang merasa diuntungkan dengan proses pembelajaran di sekolah. Berbeda dengan siswa yang berasal dari sekolah dengan power distance besar dimana sebaliknya,


(50)

sehingga melemahkan derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.

Pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan collectivism, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan siswa yang berasal dari kultur sekolah dengan ciri individualism. Siswa yang berasal dari sekolah yang bercirikan collectivism siswa mempunyai kebebasan mengungkapkan pendapat, penyelesaian tugas dari guru, tingkat penerimaan diri oleh orang lain, sikap positif dalam mengerjakan tugas dan tujuan berprestasi Berbeda dengan siswa yang berasal dari sekolah yang bercirikan individualism dimana sebaliknya, sehingga melemahkan derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.

Pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan masculinity, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang berasal dari sekolah yang bercirikan femininity. Siswa yang berasal dari sekolah dengan masculinity suasana kompetisi di kelas, berorientasi pada prestasi dan kompetensi guru. Berbeda dengan siswa yang berasal dari sekolah dengan ciri femininity dimana sebaliknya, sehingga melemahkan derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.

Pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan uncertainty avoidance lemah, derajat hubungan kecerdasan emosional


(51)

dengan prestasi belajar siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan siswa yang berasal dari kultur sekolah dengan ciri uncertainty avoidance kuat. Siswa yang berasal dari sekolah dengan uncertainty avoidance tingkat penerimaan siswa dan kekurangan guru, kejelasan guru dalam menerangkan dan kedekatan hubungan antara guru, siswa, dan orange tua. Berbeda dengan siswa yang berasal dari keluarga yang bercirikan uncertainty avoidance kuat dimana sebaliknya, sehingga melemahkan derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.

G. Hipotesis Penelitian

1. Ada pengaruh positif locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar. Pada locus of control internal, derajat hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar lebih tinggi dibanding dengan locus of control eksternal.

2. Ada pengaruh positif kultur keluarga pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar. Pada kultur keluarga yang bercirikan power distance kecil, derajat hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar akan lebih tinggi dibanding dengan kultur keluarga yang bercirikan power distance besar. Pada kultur keluarga yang bercirikan collectivism, derajat hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar akan lebih tinggi dibanding dengan kultur keluarga yang bercirikan individualism. Pada kultur keluarga yang bercirikan masculinity, derajat hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar akan lebih


(52)

tinggi dibanding dengan kultur keluarga yang bercirikan femininity. Pada kultur keluarga yang bercirikan uncertainty avoidance lemah, derajat hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar akan lebih tinggi dibanding dengan kultur keluarga yang bercirikan uncertainty avoidance kuat.

3. Ada pengaruh positif kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar. Pada kultur sekolah yang bercirikan power distance kecil, derajat hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar akan lebih tinggi dibanding dengan kultur sekolah yang bercirikan power distance besar. Pada kultur sekolah yang bercirikan collectivism, derajat hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar akan lebih tinggi dibanding dengan kultur sekolah yang bercirikan individualism. Pada kultur sekolah yang bercirikan masculinity, derajat hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar akan lebih tinggi dibanding dengan kultur sekolah yang bercirikan femininity. Pada kultur sekolah yang bercirikan uncertainty avoidance lemah, derajat hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar akan lebih tinggi dibanding dengan kultur sekolah yang bercirikan uncertainty avoidance kuat.


(53)

BAB III

METODA PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian verificative research dengan metode explanatory survey. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan apa yang akan terjadi bila variabel-variabel tertentu dikontrol atau dimanipulasi secara tertentu (Mardalis, 1990:26). Penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan kejelasan atas pengaruh variabel locus of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat penelitian

Penelitian dilaksanakan di SMP Negeri dan Swasta di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

2. Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan November-Desember 2006

C. Subjek dan Objek Penelitian 1. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah siswa-siswi SMP Negeri dan Swasta kelas 3 yang ada di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

2. Objek Penelitian


(54)

D. Variabel Penelitian dan Pengukurannya

1. Variabel Locus of Control

Locus of control merupakan suatu keyakinan atau kepercayaan dari individu atas penentu hidupnya, yang terbagi menjadi locus of control internal dan locus of control eksternal. Dimensi locus of control didasarkan pendapat dari Rotter yang terdiri dari: status-recognition, dominance, independence, protec tion-dependency, love and affection, dan physical comfort. Berikut ini disajikan tabel operasionalisasinya:

Tabel 3.1

Operasionalisasi Variabel Locus of Control

No Item Dimensi Indikator

Internal Eksternal

1. Status-recognition

(pengakuan status)

• Kebutuhan untuk dihargai

• ingin dianggap kompeten

• kesuksesan dalam berkarya

4a,5a,10a, 14a, 14b, 23b 4b,5b,10b, 23a 2. Dominance (dominasi)

• Kebutuhan untuk

mengontrol aktivitas orang lain

• Kebutuhan untuk berkuasa

3a,12a,17b,2 2a,24a, 24b 3b,12b,17a,2 2b 3. Independence (ketidak tergantungan)

• Keyakinan diri

• menggantungkan pada diri

sendiri/usaha sendiri 9b,11a, 13a,15a,16b,1 8b,21b,25b,2 8a 8a,8b,9a,11b 13b,15b,16a,1 8a,21a, 25a,28b 4. Protection-dependency (perlindungan-ketergantungan)

• menghindari frustasi dengan mencari perlindungan dan keamanan

• menggantungkan diri pada

orang lain 2b,6b, 7b,19a,19b, 29b 1a,1b,2a,6a, 7a, 29a

5. Love and affection

(cinta dan kasih sayang)

• Kebutuhan untuk dicintai

• kehangatan, perhatian, cinta dan kasih sayang

20b,26a 20a,26b

6. Physical comfort

(kenyamanan fisik)

• Kebutuhan akan kepuasan

fisik (menghindari sakit,mencari kesenangan jasmani)


(55)

Pengukuran locus of control yang digunakan dalam penelitian ini merupakan pengembangan dari instrumen yang pernah digunakan Indriantoro (1993) yang bersumber pada penelitian Rotter (1966). Pada penelitian ini item pertanyaan yang mengukur locus of control terdiri dari 29 pertanyaan. Dari 29 item, 23 item tersebut merupakan item yang mengukur locus of control sedangkan 6 item ditambahkan sebagai filler (pengisi). Fungsi filler ini adalah untuk menyamarkan penggunaan pernyataan lain dalam instrumen tersebut. Instrumen dibuat dalam bentuk format pilihan, yaitu pernyataan internal berpasangan dengan pernyataan eksternal. Nilai atau skor nol (0) diberikan untuk pernyataan eksternal yang dipilih, dan skor satu (1) untuk pernyataan internal yang dipilih. Jika total skor locus of control responden tinggi, maka responden tersebut cenderung memiliki internal locus of control, dan sebaliknya jika skor total locus of control responden rendah, maka responden tersebut cenderung memiliki external locus of control. 2. Variabel Kultur Keluarga

Kultur keluarga adalah suatu nilai-nilai yang dimiliki suatu masyarakat/ keluarga yang merupakan hasil kajian/pengalaman yang berlangsung turun temurun. Nilai-nilai tersebut terlihat dari adanya pola pikir, sikap, rasa ataupun reaksi atas sesuatu yang terjadi. Dimensi kultur keluarga mencakup power distance, collectivism vs individualism, femininity vs masculinity, dan uncertainty avoidance. Masing-masing dimensi dijabarkan dalam bentuk indikator. Setiap indikator selanjutnya dijabarkan dalam bentuk pertanyaan.


(56)

Berikut ini disajikan tabel operasionalisasinya.

Tabel 3.2

Operasionalisasi Variabel Kultur Keluarga

No Dimensi Indikator No. Item

1 Power distance

a. ketaatan kepada norma keluarga

b. menghormati orang tua dan yang lebih tua sebagai dasar kebaikan

c. otoritas orang tua berpengaruh terus menerus sepanjang hidup

d. ketergantungan/ kebersamaan

1 2 3 4 2 Collectivism vs individualism

a. demokratis dalam keluarga b. loyalitas pada anggota keluarga

c. mampu mengelola keuangan/ kemandirian

d. kebutuhan untuk berkomunikasi

e. keluarga menjadi tempat bersatunya anggota keluarga

f. merasa bersalah jika melanggar peraturan 5 6 7 8 9 10,11 3 Femininity vs masculinity

a. dominasi penetapan aturan b. pembagian peran orangtua c. hasrat untuk hidup lebih baik

d. perhatian pada anggota yang lebih kuat

12 13 14 15 4 Uncertainty avoidance

a. toleransi terhadap situasi yang tidak pasti dan mempunyai inisiatif

b. perasaan terhadap ketidakpastian

c. ketat/tidaknya pengatuaran hal baik atau tidak baik

16 17 18

Pengukuran variabel kultur keluarga didasarkan pada indikator-indikatornya. Masing-masing indikator dijabarkan dalam bentuk pernyataan yang dinyatakan dalam empat skala sikap, yaitu sangat setuju (SS) = 4; setuju (S) = 3; tidak setuju (TS) = 2; dan sangat tidak setuju (STS) =1

3. Variabel Kultur Sekolah

Kultur sekolah adalah suatu nilai yang dianut oleh sekolah yang mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya siswa di sekolah. Dimensi kultur


(57)

sekolah mencakup power distance, collectivism vs individualism, femininity vs masculinity, dan uncertainty avoidance. Masing-masing dimensi dijabarkan dalam bentuk indikator. Setiap indikator selanjutnya dijabarkan dalam bentuk pertanyaan. Berikut ini disajikan tabel operasionalisasinya.

Tabel 3.3

Operasionalisasi Variabel Kultur Sekolah

No Demensi Indikator No.

Item

1 Power

distance

a. perlakuan guru terhadap para siswa sama b. proses pembelajaran terpusat pada siswa c. kesempatan bertanya

d. kebebasan menyampaikan kritik e. komunikasi dua arah (di kelas) f. peran orang tua pada anak di sekolah g. aturan dan norma dalam sekolah h. pengembangan kemampuan dan bakat i. orang tua diuntungkan dengan proses

pembelajaran sekolah 1 2 3 4 5 6 7 8 9

2 Collectivism vs individualism

a. kebebasan mengungkapkan pendapat b. penyelesaian tugas dari guru

c. tingkat penerimaan diri oleh orang lain d. sikap positif dalam mengerjakan tugas e. tujuan berprestasi

10 11 12 13 14,15 3 Femininity Vs

Masculinity

a. suasana kompetisi kelas b. berorientasi pada prestasi c. kompetensi guru

16 17 18

4 Uncertainty avoidance

a. tingkat penerimaan siswa dengan kekurangan guru

b. kejelasan guru dalam menerangkan c. kedekatan hubungan antara guru, siswa,

dan orang tua

19 20 21

Pengukuran variabel kultur sekolah didasarkan pada indikator-indikatornya. Masing-masing indikatornya dijabarkan dalam bentuk pernyataan yang dinyatakan dalam empat skala sikap, yaitu sangat setuju (SS) = 4; setuju (S) = 3; tidak setuju (TS) = 2; dan sangat tidak setuju (STS) =1


(58)

4. Variabel Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional merupakan kemampuan mengenali perasaan sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan untuk memotivasi diri sendiri, kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain. Dimensi kecerdasan emosional meliputi: 1) kesadaran diri, 2) pengaturan diri, 3) motivasi, 4) empati, dan 5) keterampilan sosial. Berikut ini disajikan tabel operasionalisasinya:

Tabel 3.4

Operasionalisasi Variabel Kecerdasan Emosional

No. Item No Dimensi Indikator

Positif Negatif 1

Kesadaran diri

a. pengenalan emosi sendiri b. pengetahuan kekuatan diri c. pengetahuan keterbatasan diri

d. keyakinan harga diri dan kemampuan sendiri 1 3 4 5 2 6 2 Pengaturan diri

a. pengelolaan emosi dan dorongan negatif

b. penghargaan terhadap norma kejujur an dan integritas

c. tanggung jawab atas kinerja pribadi d. fleksibilitas terhadap perubahan

e. keterbukaan dengan ide-ide serta informasi baru 7 8 9 11 12 10 3 Motivasi

a. dorongan menjadi lebih baik

b. penyesuaian diri terhadap sasaran kelompok/organisasi

c. kesiapan dalam memanfaatkan kesempatan

d. kegigihan dalam memperjuangkan kegagalan dan hambatan

13 14 15 16

4 Empati

a. pemahaman perasaan orang lain b. tanggap terhadap kebutuhan orang

lain

c. pengertian perasaan orang lain d. kesiapsediaan melayani e. pemberian kesempatan untuk

17 18 19 20 21


(59)

5

Keterampilan sosial

a. keterampilan melakukan persuasi. b. keterampilan dalam berkomunikasi c. keterampilan membangkitkan

inspirasi, memandu kelompok dan orang lain.

d. keterampilan memulai dan menge-lola perubahan.

e. negosiasi dan pemecahan silang pendapat.

f. keterampilan menciptakan suasana terhadap sinergi kelompok dalam memperjuangkan tujuan bersama g. kerjasama dengan orang lain demi

tujuan bersama.

h. relasi dengan orang lain sebagai alat 22 23 24

25 26 27 28 30

29

Pengukuran variabel kecerdasan emosional didasarkan pada indikator-indikatornya. Masing-masing indikator dijabarkan dalam bentuk pernyataan yang dinyatakan dalam empat skala Likert.

Tabel 3.5

Skor Kecerdasan Emosional

Pertanyaan positif Skor Pertanyaan negatif Skor Sangat Setuju 4 Sangat Setuju 1

Setuju 3 Setuju 2

Tidak Setuju 2 Tidak Setuju 3 Sangat Tidak Setuju 1 Sangat Tidak Setuju 4 5. Prestasi Belajar

Prestasi belajar adalah penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran lazimnya ditunjukkan dengan nilai/angka yang diberikan oleh guru. Usaha untuk mengevaluasi hasil belajar siswa, biasanya dilakukan dengan mengadakan pengukuran dalam bentuk tertulis, lisan maupun praktik yang kemudian diberi skor yang biasanya berwujud angka. Hasil dari pengukuran ini merupakan informasi-informasi atau data


(60)

semester. Pada penelitian ini penulis mengumpulkan data dengan cara membuat rata-rata nilai raport masing-masing siswa dari kelas VII dan VIII yang didapat dari sekolah.

E. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah jumlah keseluruhan subjek penelitian (Suharsimi, 2002:108). Dalam penelitian ini, yang menjadi populasi adalah seluruh siswa SMP kelas 3 di Kabupaten Sleman, Yogyakarta yang berjumlah 10.476 siswa (Data Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman-Tahun Ajaran 2006/2007).

2. Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Suharsimi, 2002:109). Pengambilan sampel didasarkan pada tabel krejcie (Sugiyono, 2005: 63). Dengan melihat tabel krejcie dan populasi siswa kelas 3 SMP yang ada di Kabupaten Sleman, maka peneliti mengambil sampel sejumlah 373 siswa. Sampel tersebut berasal dari sekolah-sekolah sebagai berikut:

Tabel 3.6

Asal Sekolah dan Jumlah Sampel

No Nama SMP Jumlah Sampel

1 SMP KARITAS Ngaglik 23

2 SMP Muh. 2 Godean 78

3 SMP St. Aloysius Turi 18

4 SMP Budi Mulia Minggir 25

5 SMP N. 1 Mlati 76

6 SMP N. 2 Pakem 75


(61)

3. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu anggota populasi yang diambil sebagai sampel sudah ditentukan sesuai dengan keperluan penelitian dan mengabaikan peluang anggota lain dari populasi yang tidak dipilih (Suharsimi, 2002:117). Peneliti menetapkan sampel penelitian ini adalah kelas 3 SMP di daerah Sleman, Yogyakarta. Alasan dipilihnya siswa kelas 3 SMP karena siswa sudah cukup waktu di sekolah tersebut, sehingga mereka dapat melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap lingkungan pembelajaran di sekolah, sehingga hasil belajarnya merupakan representasi dari penyesuaian mereka terhadap lingkungan pembelajaran di sekolah tersebut.

F. Teknik Pengumpulan Data

1. Metode Kuesioner

Instrumen dalam penelitian ini adalah kuesioner. Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya, atau hal-hal yang ia ketahui (Suharsimi, 2002:128). Kuesioner ini digunakan untuk mengumpulkan data locus of control, kultur keluarga, kultur sekolah dan kecerdasan emosional. 2. Metode dokumentasi

Metode dokumentasi yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara melihat dan mempelajari buku-buku, catatan dan dokumen serta arsip-arsip yang berhubungan dengan obyek yang diteliti. Dalam penelitian ini


(62)

penulis mengumpulkan data prestasi belajar siswa dengan melihat leger/rekap nilai rapor siswa.

G. Pengujian Validitas dan Reliabilitas

1. Pengujian Validitas

Pengujian validitas dimaksudkan untuk mengukur taraf sampai dimana suatu kuesioner valid/sah. Suatu kuesioner dikatakan valid jika butir-butir pertanyaan pada kuesioner mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang akan diukur (Suharsimi, 2002:145). Dengan kata lain pengujian validitas dimaksudkan untuk mengukur apakah instrumen pengukurannya dapat mengukur apa yang hendak kita ukur. Rumus pengujiannya sebagai berikut:

=

r

xy

(

)( )

(

)

{

2 2

}

{

2

( )

2

}

Y Y N X X N Y X XY N ∑ − ∑ ∑ − ∑ ∑ ∑ − ∑ Keterangan :

r

xy = korelasi antar skor masing-masing item dengan skor total N = jumlah subjek

X = skor untuk masing-masing item Y = skor untuk semua

∑XY = produk dari X dan Y

Besarnya nilai koefisien r dapat dihitung dengan menggunakan korelasi dengan signifikansi 5%. Jika rhitung lebih besar dari pada rtabel, maka butir soal tersebut dapat dikatakan valid. Jika sebaliknya maka butir soal tersebut tidak valid.

Pengujian validitas instrumen penelitian, dilakukan sebelum mengadakan penelitian dan dilakukan di SMP NEGERI 1 Kalibawang


(63)

dengan jumlah siswa sebanyak 30 orang. Pengujian validitas dilakukan dengan bantuan program SPSS 12.0 for Windows. Hasil pengujian validitas adalah sebagai berikut (lampiran 2 hal.117-120):

Tabel 3.7

Hasil Pengujian Validitas Variabel Locus of Control

No.Item Corrected item-total correlation rtabel Keterangan

2 0,524 0,239 Valid

3 0,524 0,239 Valid

4 0,619 0,239 Valid

5 0,399 0,239 Valid

6 0,665 0,239 Valid

7 0,690 0,239 Valid

9 0,486 0,239 Valid

10 0,644 0,239 Valid

11 0,432 0,239 Valid

12 0,651 0,239 Valid

13 0,654 0,239 Valid

15 0,593 0,239 Valid

16 0,485 0,239 Valid

17 0,644 0,239 Valid

18 0,467 0,239 Valid

20 0,441 0,239 Valid

21 0,327 0,239 Valid

22 0,273 0,239 Valid

23 0,380 0,239 Valid

25 0,627 0,239 Valid

26 0,270 0,239 Valid

28 0,366 0,239 Valid

29 0,587 0,239 Valid

Dari 29 butir pertanyaan variabel locus of control, 6 butir soal tidak diuji karena hanya sebagai filler saja. Tabel 3.7 di atas menunjukkan bahwa 23 butir pernyataan variabel locus of control adalah valid oleh sebab nilai corrected item-total correlation > rtab = 0,239.


(64)

Tabel 3.8

Hasil Pengujian Validitas Variabel Kultur keluarga

No.Item Corrected item-total correlation rtabel Keterangan

1 0,639 0,239 Valid

2 0,320 0,239 Valid

3 0,312 0,239 Valid

4 0,245 0,239 Valid

5 0,342 0,239 Valid

6 0,335 0,239 Valid

7 0,639 0,239 Valid

8 0,296 0,239 Valid

9 0,279 0,239 Valid

10 0,401 0,239 Valid

11 0,312 0,239 Valid

12 0,263 0,239 Valid

13 0,354 0,239 Valid

14 0,389 0,239 Valid

15 0,249 0,239 Valid

16 0,299 0,239 Valid

17 0,639 0,239 Valid

18 0,387 0,239 Valid

Tabel 3.8 di atas menunjukkan bahwa 18 butir pernyataan variabel kultur keluarga adalah valid oleh sebab nilai corrected item-total correlation > rtab=0,239.

Tabel 3.9

Hasil Pengujian Validitas Variabel Kultur Sekolah

No.Item Corrected item-total correlation rtabel Keterangan

1 0,377 0,239 Valid

2 0,494 0,239 Valid

3 0,848 0,239 Valid

4 0,885 0,239 Valid

5 0,724 0,239 Valid

6 0,739 0,239 Valid

7 0,673 0,239 Valid

8 0,494 0,239 Valid

9 0,751 0,239 Valid

10 0739 0,239 Valid

11 0,875 0,239 Valid

12 0,694 0,239 Valid

13 0,571 0,239 Valid

14 0,678 0,239 Valid

15 0,739 0,239 Valid

16 0,514 0,239 Valid


(65)

19 0,780 0,239 Valid

20 0,647 0,239 Valid

21 0,559 0,239 Valid

Tabel 3.9 di atas menunjukkan bahwa 21 butir pernyataan variabel kultur sekolah adalah valid oleh sebab nilai corrected item-total correlation > rtab=0,239.

Tabel 3.10

Hasil Pengujian Validitas Variabel Kecerdasan Emosional

No.Item Corrected item-total correlation rtabel Keterangan

1 ,523 0,239 Valid

2 ,543 0,239 Valid

3 ,491 0,239 Valid

4 ,484 0,239 Valid

5 ,613 0,239 Valid

6 ,264 0,239 Valid

7 ,686 0,239 Valid

8 ,525 0,239 Valid

9 ,657 0,239 Valid

10 ,590 0,239 Valid

11 ,537 0,239 Valid

12 ,627 0,239 Valid

13 ,615 0,239 Valid

14 ,572 0,239 Valid

15 ,448 0,239 Valid

16 ,367 0,239 Valid

17 ,553 0,239 Valid

18 ,503 0,239 Valid

19 ,524 0,239 Valid

20 ,430 0,239 Valid

21 ,392 0,239 Valid

22 ,443 0,239 Valid

23 ,632 0,239 Valid

24 ,512 0,239 Valid

25 ,549 0,239 Valid

26 ,262 0,239 Valid

27 ,720 0,239 Valid

28 ,437 0,239 Valid

29 ,494 0,239 Valid

30 ,592 0,239 Valid

Tabel 3.10 di atas menunjukkan bahwa 30 butir pernyataan variabel kecerdasan emosional adalah valid oleh sebab nilai corrected item-total correlation > rtab=0,239.


(66)

2. Pengujian Reliabilitas

Reliabilitas adalah alat untuk mengukur suatu kuesioner yang merupakan indikator dari variabel atau konstruk. Suatu kuesioner dikatakan reliabel/handal bila jawaban atas pernyataan adalah konsisten/stabil dari waktu ke waktu. Untuk mengetahui koefisien reliabilitas digunakan rumus Koefisien Alpha Cronbach dengan taraf signifikansi 5% (Suharsimi Arikunto, 2002:171).

⎥⎦

⎢⎣

=

σ

σ

2 2

1

1

t b tt

k

k

r

Keterangan :

rtt = reliabel instrumen yang dicari

k = banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal

σ

2

b = jumlah varians butir

σ

2

t = varians total

Besarnya r dapat dihitung dengan menggunakan korelasi dengan signifikansi 5%. Jika nilai rhitung lebih besar dari pada rtabel, maka butir soal tersebut dapat dikatakan reliabel, begitu sebaliknya jika rhitung lebih kecil dari rtabel maka soal tersebut tidak reliabel. Berikut ini disajikan hasil pengujian reliabilitas instrumen penelitian ini (Lampiran 2 hal.117-120):

Tabel 3.11

Hasil Pengujian Reliabilitas

Variabel rhitung (Alpha) rtabel Keterangan

Locus of Control 0,905 0,239 Reliabel

Kultur Keluarga 0.730 0,239 Reliabel

Kultur Sekolah 0,942 0,239 Reliabel


(67)

Tabel 3.11 di atas menunjukkan bahwa nilai-nilai koefisien korelasi (alpha) untuk variabel locus of control, kultur keluarga, kultur sekolah, dan kecerdasan emosional adalah reliabel (rhit>rtab = 0,239).

H. Teknik Analisa Data

1. Deskripsi Data

Analisis data dilakukan dengan cara mendeskripsikan data hasil observasi yang sudah didapat dari penelitian di lapangan yang meliputi variabel locus of control, kultur keluarga, kultur sekolah, kecerdasan emosional dan prestasi belajar. Untuk keperluan diskripsi data digunakan tabel distribusi frekuensi untuk setiap variabel. Untuk analisis ini, dilakukan perhitungan statistik mean, modus, median dan standar deviasi.

2. Pengujian Normalitas dan Linieritas a. Uji Normalitas

Uji normalitas dimaksudkan untuk mengetahui normal tidaknya distribusi data masing-masing variabel, uji normalitas didasarkan pada uji satu sampel dari Kolmogorov-Smirnov. Uji Kolmogorov-Smirnov bisa dipakai untuk uji keselarasan data yang berskala minimal ordinal (Singgih Santoso, 2005:406). Adapun rumus uji Kolmogorov-Smirnov untuk normalitas adalah sebagai berikut:

D= Fo(X)Sn(X) Keterangan :

D = deviasi/penyimpangan Fo(X) = distribusi kumulatif teoritis


(1)

- 246 -


(2)

- 247 -


(3)

- 248 -


(4)

- 249 -


(5)

- 250 -


(6)

- 251 -


Dokumen yang terkait

Pengaruh locus of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar : survei pada siswa-siswi kelas 3 SMP Negeri dan swasta di Kota Madya Yogyakarta.

0 0 320

Pengaruh jenis kelamin dan locus of control terhadap hubungan kultur keluarga, kultur lingkungan kerja, dan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru : survei pada guru SMA di Kabupaten Sleman, DIY.

0 1 271

Pengaruh locus of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa : survei pada siswa-siswi kelas IX SMP Negeri dan Swasta di Kabupaten Bantul, Yogyakarta.

0 1 282

Pengaruh locus of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah pada hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa : survey siswa-siswi SMP negeri dan swasta di Kabupaten Kulon Progo.

0 1 294

Pengaruh locus of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa : survei pada siswa-siswa SMP Negeri dan Swasta di Kabupaten Sleman - Yogyakarta - USD Repository

0 0 263

PENGARUH KULTUR LINGKUNGAN KERJA DAN LOCUS OF CONTROL PADA HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KUALITAS PELAYANAN KARYAWAN

0 2 203

Pengaruh locus of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah pada hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa : survey siswa-siswi SMP negeri dan swasta di Kabupaten Kulon Progo - USD Repository

0 0 292

Pengaruh locus of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa : survei pada siswa-siswi kelas IX SMP Negeri dan Swasta di Kabupaten Bantul, Yogyakarta - USD Repository

0 1 280

Pengaruh jenis kelamin dan locus of control terhadap hubungan kultur keluarga, kultur lingkungan kerja, dan kultur lingkungan masyarakat dengan kecerdasan emosional guru : survei pada guru SMA di Kabupaten Sleman, DIY - USD Repository

0 0 269

Pengaruh locus of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar : survei pada siswa-siswi kelas 3 SMP Negeri dan swasta di Kota Madya Yogyakarta - USD Repository

0 0 318