49 sisanya tidak terangkut ke TPA Galugga dikarenakan sebagian sudah diolah di
sumber sampah seperti dibakar atau ditimbun, sebagian dibuang ke sungai, dan sebagiannya lagi terbuang di jalan pada saat pengangkutan oleh truk sampah.
Persentase dari daya angkut pada tahun 2010 meningkat 2 dari tahun 2009 Lampiran 2 dan 3.
Gambar 15. Perbandingan Timbulan Sampah dan Sampah Terangkut
Kota Bogor Tahun 2010 UPTD TPA Kota Bogor, 2011
4.7.3 Pengelolaan Sampah TPA Galuga
Sampah yang dibuang di Tempat Pembuangan Akhir TPA Galuga merupakan sampah yang berasal dari Kotamadya Bogor dan Kabupaten Bogor.
Volume sampah yang berasal dari Kota Bogor lebih banyak daripada yang berasal dari Kabupaten Bogor. Kota Bogor harus menyediakan hingga 91 armada
pengangkut sampah, sedangan untuk Kabupaten Bogor menyediakan 64 armada pengangkut sampah.
Secara umum tahapan pengangkutan dan pengelolaan sampah di TPA Galuga adalah sebagai berikut: sampah yang diangkut berasal dari sampah rumah
tangga, sampah rumah makan, sampah hotel-hotel, serta sampah perkotaan yang biasanya dikumpulkan melalui Tempat Pembuangan Sementara TPS terdekat.
Sampah diangkut oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan melalui truk-truk armada pengangkutan sampah yang identik dengan warna kuning. Sebagai
penciri, untuk truk sampah milik Kota Bogor plat nomor truk berakhiran huruf A,
200 400
600 800
1000 1200
1400 1600
Organi k
Plastik Kertas
Logam Tek
stil Karet
Kaca Mineral
Lim b
ah B3 Lain-lain
Resid u
Volume m3
Jenis Sampah
Timbulan Terangkut
50 sedangkan truk sampah milik Kabupaten Bogor berakhiran huruf F. Sampah
diangkut dan dibawa ke TPA Galuga. Namun, sebelumnya sampah-sampah yang ada dipilah oleh kernet-kernet truk. Sampah anorganik berupa plastik, besi,
ataupun sejenisnya dipilih dan langsung dijual ke lapak yang ada di sekitar TPA Galuga dengan harga Rp. 1.000-Rp. 2.000 perkilogram.
Sortasi I dilakukan untuk memisahkan sampah organik dan sampah anorganik sisa pilahan kernet truk. Pada dasarnya semua sampah organik padat
dapat dikomposkan. Sampah organik padat berasal dari sampah organik rumah tangga, sampah-sampah organik pasarkota, kertas, kotoranlimbah peternakan,
limbah-limbah pertanian, limbah-limbah agroindustri. Sampah organik tersebut langsung dipisahkan dan diangkut ke tempat pengomposan untuk selanjutnya
dijadikan pupuk kompos. Untuk sampah anorganik yang masih tersisa langsung dibuang ke tempat penumpukan atau penampungan sampah.
Tempat penampungan sampah berupa area yang awalnya berupa lereng bukit kecil yang mampu menampung sampah tanpa membentuk gunungan.
Namun, seiring dengan volume sampah yang dibuang semakin banyak, area tersebut semakin padat dan membentuk gunungan yang cukup tinggi. Di areal
penampungan sampah, para warga yang banyak berprofesi sebagai pemulung telah siap untuk memulung sampah anorganik yang bernilai ekonomis. Kegiatan
warga pemulung ini tidak jarang mengganggu aktivitas petugas alat berat untuk mendorong sampah ke tempat penampungan sampah.
Penumpahan sampah harus memperhatikan pola penyebaran sampah dimana sampah dipadatkan dengan membentuk pola penyebaran memadat dari
pinggir area menuju tengah area pengumpulan sampah. Hal tersebut dilakukan untuk efisiensi tempat, kemudahan pengelolaan selanjutnya serta untuk mengatur
aliran air sampah yang berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan. Pemadatan sampah akan bergeser ketika sampah sudah rata dengan
permukaan tanah paling tinggi sehingga tidak membentuk gunungan sampah. Waktu yang diperlukan untuk menumpuk sampah pada satu sisi area penumpahan
dapat lebih dari 5 tahun. Sehingga untuk sampah yang timbunan sampahnya telah berumur lebih dari 5 tahun diperlukan pipa-pipa asap yang berfungsi untuk
menyalurkan gas metan CH
4
yang dihasilkan dari proses fermentasi oleh sampah
51 yang telah berumur lebih dari 5 tahun. Gas metan yang tidak disalurkan ke udara
bebas dapat menimbulkan ledakan hebat hingga terjadi kebakaran TPA. Secara umum, proses pengelolaan sampah di TPA Galuga secara konvensional disajikan
pada Gambar 16. Penanganan pengomposan di TPA Galuga yang dilakukan oleh Dinas
Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor sebagai pihak pengelola TPA melalui mekanisme berikut ini UPTD TPA Kota Bogor, 2011:
1. Sampah organik yang baru tiba ditempat pengomposan dilakukan sortasi II
untuk menghindari adanya sampah anorganik yang dapat mengganggu proses fermentasi.
2. Sampah hasil sortasi ditempatkan pada blok kayu untuk dilakukan proses
fermentasi selama satu minggu. 3.
Setelah fermentasi pertama, blok kayu diangkat dan sampah kembali difermentasi. Sampah akan mengalami penyusutan hingga 30. Jika kondisi
sampah mengering, maka dilakukan penyiraman untuk menjaga keberlangsungan proses fermentasi.
4. Sampah yang telah difermentasi sampai 25 hari telah berubah menjadi pupuk
kompos. 5.
Pupuk kompos yang terbentuk pada fermentasi masih berupa potongan- potongan besar sehingga dilakukan proses grinding sehingga terbentuk pupuk
kompos siap pakai
52
Gambar 16. Alur Pengangkutan dan Pengelolaan Sampah di TPA Galuga
Tumpukan Sampah
Sampah Kota Bogor Sampah Kabupaten Bogor
Pengumpulan di TPS
Pengangkutan ke TPA Galuga oleh Truk Sampah
Sortasi I
Dijual Ke Lapak Dibuang Ke TPA
Sampah Organik Sampah Anorganik
Kompos Pupuk
Kompos Tempat
Penumpukan Sampah
Sortasi II Sortasi II
Sortasi III
Pemulung Digunakan
Kembali
53
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Evaluasi Lahan TPA Galuga dan Kawasan Sekitarnya
Menilai suatu lahanlokasi sesuai atau tidak dijadikan sebagai lahan untuk TPA memerlukan kaidah-kaidah ilmiah baik dari aspek fisik, lingkungan, dan
sosial-ekonomi. Kajian ilmiah yang dijadikan sebagai indikator pembangunan dan penempatan suatu TPA di suatu tempat tidak terlepas dari peran semua pihak
terutama pemerintah sebagai instansi tertinggi. Selain harus memenuhi persyaratan lingkungan, pengelola tempat pembuangan akhir sampah juga harus
memperhatikan upaya-upaya alternatif terkait dengan pengelolaan sampah terencana dari hulu ke hilir.
Evaluasi lahan untuk TPA Galuga dan kawasan sekitarnya berpedoman kepada kriteria yang ditentukan dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007, dan
Widiatmaka et al. 2004. Parameter utama seperti kesesuaian lahan untuk lokasi tempat pembuangan akhir sampah berbasis daya dukung lahan dan lingkungan
provinsi DKI Lampiran 12-17 meliputi: geologi, topografifisiografi, jenis tanah, tekstur tanah, drainase, dan penggunaan lahan, kriteria atau parameter lainnya
juga harus diperhatikan. Kriteria kesesuaian lahan untuk tempat pembuangan sampah secara terbuka Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007 diantaranya adalah:
ancaman banjir, kedalaman sampai hamparan batuan, kedalaman sampai padas keras, permeabilitas, muka air tanah meliputi apparent dan perched, kemiringan
lereng, serta longsor menjadi kriteria lahan lainnya yang menjadi kajian. Kriteria ini dinilai sangat penting untuk dijadikan referensi pembangunan suatu TPA.
Berdasarkan parameter tersebut, penilaian lahan atau evaluasi lahan di TPA Galuga dan kawasan sekitarnya dikelompokkan ke dalam beberapa kategori,
yaitu: lokasilahan yang sangat memenuhi syarat S1, lokasilahan yang cukup memenuhi syarat S2, lokasilahan yang memenuhi syarat secara marginal S3,
dan di luar lokasi-lokasi yang tidak memenuhi syarat N. Secara umum, pemberian harkat kelas kesesuaian lahan untuk kawasan TPA Galuga dan
kawasan sekitarnya disajikan pada Tabel 17.