Industri penggergajian mendapatkan bahan baku produknya sebagian besar dari pedagang pengumpul, dapat dikatakan bahwa pedagang pengumpul
merupakan pemasok utama bahan baku kayu rakyat untuk industri penggergajian. Industri ini banyak menjual produk olahan ke industri besar di luar daerah
kabupaten. Kapasitas produksi yang besar akan membutuhkan modal yang sangat besar pula. Kegiatan produksi yang paling banyak dilakukan berada di industri
penggergajian, sehingga industri ini mendapatkan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan pelaku pemasaran lainnya. Hal ini menyebabkan industri
penggergajian semakin berkembang.
5.2.1 Petani Hutan Rakyat
Dalam penelitian ini, responden petani hutan rakyat yang diambil berasal dari Desa Margajaya dan Desa Sidamulih sebanyak 60 responden. Hal ini
dikarenakan desa tersebut memiliki luasan dan potensi kayu rakyat yang paling tinggi dibandingkan dengan desa lain yang berada di Kecamatan Pamarican
BP3K Kecamatan Pamarican 2011. Responden petani hutan rakyat ini dapat dikelompokan berdasarkan luas lahan milik, umur, tingkat pendidikan, dan jumlah
anggota keluarga. Pengelompokan responden petani hutan rakyat pada masing-masing desa
penelitian berdasarkan kelompok luas lahan yang dimilikinya dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Distribusi responden petani hutan rakyat berdasarkan luas lahan yang dimilikinya
No Desa
n Luas HR ha
Luas Lahan Pertanian ha 0,5
0,5-1 1
0,5 0,5-1
1 1
Margajaya 30
5 12
13 24
5 1
2 Sidamulih
30 6
14 10
23 7
− jumlah orang
60 11
26 23
47 12
1 Persentase
100 18,33
43,33 38,33
78,33 20
1,67
Menurut Fakultas Kehutanan IPB 2000 bahwa hutan rakyat di Jawa pada umumnya hanya sedikit yang memenuhi luasan sesuai dengan definisi hutan,
dimana minimal harus 0,25 hektar. Hal tersebut disebabkan karena rata-rata pemilikan lahan di Jawa sangat sempit. Seperti pada Tabel 5 di atas menunjukkan
bahwa luas lahan yang dimiliki oleh petani berbeda-beda. Hal ini berkaitan dengan tingkat kekayaan setiap keluarga. Persentase terbesar pada luas hutan
rakyat yaitu 43,33 terdapat pada responden yang memiliki luas lahan hutan rakyat antara 0,5-1 sebanyak 26 orang. Luasan lebih dari 1 ha sebanyak 23 orang
dengan persentase sebesar 38,33. Sedangkan persentase yang terkecil yaitu 18,33 sebanyak 11 orang terdapat pada responden petani yang memiliki luas
hutan rakyat kurang dari 0,5 ha. Pada luasan lahan pertanian yang memiliki persentase terbesar adalah
responden petani yang memiliki luas kurang dari 0,5 ha dengan 78,33 sebanyak 47 orang. Luasan sedang antara 0,5-1 ha memperoleh persentase 20 sebanyak
12 orang, sedangkan persentase terkecil 1,67 terdapat pada responden petani yang memiliki luasan lahan pertanian lebih dari 1 ha sebanyak 1 orang.
Selain berdasarkan luas lahan yang dimiliki, responden petani hutan rakyat dapat dikelompokkan berdasarkan umur petani. Pengelompokkan berdasarkan
umur petani pada masing-masing desa penelitian dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Distribusi responden petani hutan rakyat berdasarkan umur
No Desa
Kelompok Umur tahun Jumlah orang
30-39 40-49
50-59 60
1 Margajaya
2 12
13 3
30 2
Sidamulih 6
9 12
3 30
Jumlah orang 8
21 25
6 60
Persentase 13,33
35 41,67
10 100
Tabel 6 di atas menunjukkan bahwa berdasarkan kelompok umur, hutan rakyat lebih banyak diusahakan oleh responden yang berusia 40-59 tahun atau
sebanyak 76,67. Sedangkan persentase terendah 10 terdapat pada responden petani yang memiliki umur lebih dari 60 tahun. Hal ini dikarenakan tenaga yang
sudah tidak kuat untuk melakukan pengusahaan hutan rakyat. Sehingga pengusahaanya diturunkan kepada anak laki-lakinya. Kelompok petani yang
berusia antara 30-39 memiliki persentase yang cukup kecil pula sebesar 13,33. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengusahaan hutan rakyat lebih didominasi oleh
generasi tua. Sedangkan generasi muda dengan usia yang produktif lebih memilih bekerja di kota daripada bekerja di desa.
Pengelompok responden petani hutan rakyat pada masing-masing desa penelitian berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Distribusi responden petani hutan rakyat berdasarkan tingkat pendidikan
No Desa
Tingkat Pendidikan Jumlah orang
SD SLTP
SLTA PT
1 Margajaya
23 6
1 30
2 Sidamulih
19 5
5 1
30 Jumlah orang
42 11
6 1
60 Persentase
70 18,33
10 1,67
100
Dari hasil wawancara dengan responden dapat diketahui bahwa mayoritas petani hutan rakyat 70 memiliki tingkat pendidikan yang masih rendah yaitu
Sekolah Dasar SD. Hal tersebut tidak menjadikan alasan bagi petani untuk melakukan pengusahaan hutan rakyat. Namun yang lebih penting adalah
pengalaman dalam melakukan pengelolaan lahan yang mereka miliki. Sedangkan petani hutan rakyat yang memiliki tingkat pendidikan SLTP sebesar 18,33,
SLTA sebesar 10, dan PT sebesar 1,67 dari total responden petani hutan rakyat. Selain berdasarkan tingkat pendidikan, dapat pula dikelompokkan
berdasarkan jumlah anggota keluarga. Pengelompok responden petani hutan rakyat pada masing-masing desa penelitian berdasarkan jumlah anggota keluarga
dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Distribusi responden petani hutan rakyat berdasarkan jumlah anggota
keluarga
No Desa
Jumlah Anggota Keluarga orang Jumlah orang
1-3 4-6
7-10 10
1 Margajaya
17 12
1 30
2 Sidamulih
12 18
30 Jumlah orang
29 30
1 60
Persentase 48,33
50 1,67
100
Responden petani hutan rakyat yang memiliki jumlah anggota keluarga sebanyak 4-6 orang mendapatkan persentase terbanyak 50 dari total responden.
Hal ini menunjukkan bahwa banyaknya jumlah anak akan menambah pula jumlah tenaga yang mereka miliki untuk melakukan pengusahaan hutan rakyat. Sehingga
mereka dapat bekerja sama dalam pengelolaan lahan miliknya. Namun kesejahteraan petani yang memiliki jumlah anggota keluarga lebih banyak akan
berkurang. Hal ini disebabkan banyaknya tanggungan keluarga yang harus dipenuhi.
Hutan rakyat yang berada di Desa Margajaya dan Desa Neglasari memiliki luasan dan potensi pohon yang sangat besar. Rata-rata luas lahan dan jumlah
pohon yang dimiliki petani dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Rata-rata luas lahan dan jumlah pohon yang dimiliki petani
No Desa
Luas Lahan Pertanian ha
Luas HR ha Jumlah
Pohon yang Dimiliki 1
Margajaya 0,35
1,33 828
2 Sidamulih
0,32 1,10
1.046
Berdasarkan luasannya, Desa Margajaya merupakan desa yang memiliki potensi hutan rakyat yang lebih besar dibandingkan dengan Desa Sidamulih. Hal
ini terbukti dengan rata-rata luas hutan rakyat yang dimiliki petani hutan rakyat seluas 1,33 ha dengan jumlah pohon yang dimiliki rata-rata sebanyak 828 pohon.
Sama halnya dengan luasan lahan pertanian yang berada di Desa Margajaya lebih besar 0,35 ha dibandingkan Desa Sidamulih 0,32 ha. Gambar 3 merupakan
hutan rakyat yang berada di Desa Margajaya dengan sistem agroforestri yang memadukan antara tanaman kehutanan dan tanaman pertanian.
Gambar 3 Hutan rakyat di Kecamatan Margajaya.
Sedangkan rata-rata luas hutan rakyat yang dimiliki petani di Desa Sidamulih seluas 1,10 ha. Namun potensi pohon yang dimiliki petani hutan rakyat
di Desa Sidamulih lebih banyak dibandingkan Desa Margajaya sebanyak 1.046 pohon. Hal tersebut dikarenakan jarak tanam yang digunakan di Desa Sidamulih
lebih rapat yaitu rata-rata 3 m x 2 m dibandingkan dengan Desa Margajaya yaitu rata-rata 3 m x 6 m. Gambar 4 merupakan hutan rakyat yang berada di Desa
Sidamulih dengan sistem agroforestri yang memadukan antara tanaman kehutanan dan tanaman pertanian.
Gambar 4 Hutan rakyat di Desa Sidamulih. Dilihat dari data rata-rata lahan yang dimiliki petani, menunjukkan bahwa
kedua desa tersebut memiliki luasan lahan hutan rakyat lebih besar dibandingkan dengan luas lahan pertanian. Hal tersebut dapat dilihat bahwa masyarakat sudah
mulai menyadari pentingnya pembangunan hutan rakyat bagi keadaan ekonomi keluarga, ekologi, dan sosial. Data tentang rata-rata luas lahan dan potensi pohon
dari masing-masing desa penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1 .
Selain dapat dijual, hasil dari kayu rakyat dapat dikonsumsi sendiri untuk pembuatan bangunan rumah dan kayu bakar. Namun pemakaian untuk konsumsi
jarang dilakukan, karena kebutuhan pembuatan bangunan rumah tidak sering dilakukan. Penjualan kayu yang dilakukan oleh petani pada umumnya adalah jenis
sengon, dikarenakan sengon merupakan jenis yang paling banyak ditanam di lahan para petani juga memiliki umur tebang yang relatif singkat 5 tahun.
Berikut ini disajikan persentase bentuk penjualan kayu oleh petani hutan rakyat dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Persentase bentuk penjualan kayu oleh petani hutan rakyat
No Desa
Bentuk Penjualan Kayu Pohon Berdiri
Kayu Bulat 1
Margajaya 100
2 Sidamulih
100
Bentuk penjualan kayu yang dilakukan oleh responden petani hutan rakyat dari kedua desa adalah dalam bentuk pohon berdiri 100 . Responden petani
hutan rakyat menilai bahwa sistem penjualan dalam bentuk pohon berdiri lebih menguntungkan dibandingkan dengan bentuk kayu bulat. Penjualan dalam bentuk
kayu bulat mengharuskan petani hutan rakyat melakukan pemanenan sendiri mulai dari menebang sampai menyarad ke pinggir jalan untuk dijual. Hal ini tidak
dilakukan karena biaya pemanenan yang cukup mahal dan petani mendapatkan resiko kerugian akibat adanya kayu gerowong yang tidak bisa dijual. Bila
dibandingkan dengan pohon berdiri, petani hutan rakyat tidak perlu melakukan pemanenan sendiri karena pemanenan dilakukan sepenuhnya oleh pihak pembeli.
Data tentang penjualan kayu rakyat oleh petani hutan rakyat pada masing-masing desa penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2.
Pemasaran kayu rakyat di lokasi penelitian termasuk mudah, petani cukup mendatangi pedagang pengumpul dan melakukan transaksinya di lahan milik
petani. Harga yang ditentukan yaitu berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Dalam sistem penjualannya kayu rakyat biasanya dijual oleh petani dengan
beberapa sistem penjualan, yaitu menghitung per pohon, kubikasi, atau borongan. Sistem penjualan kayu rakyat oleh petani dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Sistem penjualan kayu rakyat
No Desa
Sistem Penjualan Per pohon
Kubikasi Borongan
1 Margajaya
3 97
2 Sidamulih
23 76
Sistem penjualan kayu rakyat oleh petani yang paling banyak digunakan dari kedua desa yaitu dengan sistem borongan sebanyak 76 sampai 97. Sistem
ini adalah sistem penjualan kayu rakyat dengan cara menghitung pohon yang akan dijual dalam luasan lahan tertentu. Harga yang ditentukan dilakukan dengan cara
kesepakatan antara petani dan pembeli. Pada awalnya petani yang akan menjual kayu menawarkan harga kepada pembeli, setelah itu pembeli menaksir banyaknya
pohon yang akan di jual dalam luasan tertentu dan menaksir volume setiap pohonnya. Hasil volume akan dikalikan harga per kubik kayu yang dijualnya.
Sehingga diperoleh harga yang sesuai untuk membeli kayu dan terjadi tawar menawar antara petani dan pembeli.
Menurut petani sistem ini memiliki keuntungan yaitu kayu yang dijualnya dapat diambil semua dan petani tidak mengalami kerugian jika terdapat pohon
yang gerowong. Kerugian ini ditanggung oleh pedagang pengumpul sebagai pihak pembeli. Namun sistem ini juga memiliki kekurangan yaitu harga beli yang
diberikan oleh pedagang pengumpul ditentukan dengan cara menaksir volume pohon saja. Menaksir dalam hal ini adalah memperkiraan volume pohon yang
akan dijual. Sehingga perhitungan volume kurang akurat yang dapat mengakibatkan petani mengalami kerugian.
Namun ada juga sebagian kecil petani yang menjual kayunya dengan sistem kubikasi sebesar 3 sampai 23. Sistem ini biasanya dipakai jika petani
sudah mengerti perhitungan volume pohon. Dalam penjualannya, pohon yang akan dijualnya dihitung diameter dan tinggi taksirannya kemudian pembeli
menentukan volume pohon tersebut dengan melihat tabel tarif volume kayu. Sistem penjualan kubikasi merupakan sistem yang paling baik karena harga beli
yang diberikan pedagang pengumpul sesuai dengan volume yang akan dijual oleh petani. Keuntungan sistem ini petani akan mendapatkan harga jual yang sesuai
dengan volume jualnya dan petani tidak tertipu oleh harga beli pedagang pengumpul. Namun sistem ini jarang sekali digunakan petani karena keterbatasan
informasi cara menghitung volume pohon.
5.2.2 Pedagang Pengumpul