Dari luas wilayah administrasi Kabupaten Ngawi 129.598,89 ha tersebut, seluas 45.177 ha merupakan kawasan hutan Negara. Hal ini berarti 35 dari
total luas wilayah Kabupaten Ngawi merupakan kawasan hutan Negara yang tersebar di tiga wilayah pengelolaan Perhutani yaitu KPH Ngawi seluas 34.832,6
ha, KPH Saradan seluas 5.036 ha, dan KPH Lawu Ds seluas 5.308,4 ha Satistik Perum Perhutani, 2011. Kawasan hutan Negara di Kabupaten Ngawi terbagi
dalam dua Kelas Perusahaan KP yaitu KP Jati yang terletak di wilayah KPH Ngawi dan KPH Saradan, dan KP Pinus yang terletak di wilayah KPH lawu Ds.
Hutan rakyat didominasi oleh tanaman Jati dan telah lama menjadi budaya masyarakat untuk menanamnya. Sejak tahun 2007 sampai dengan tahun
2010 tanaman jati rakyat tercatat telah mencapai luasan sebesar 320,76 ha BPS Kabupaten Ngawi, 2012.
5.4.1.2 Atribut Komunitas
Di Kabupaten Ngawi, dari total 217 desa administratif terdapat 95 desa yang termasuk kategori desa hutan dengan penyebaran sebanyak 68 desa terletak
di wilayah pangkuan hutan KPH Ngawi, 8 desa terletak di wilayah pangkuan KPH Saradan dan 19 desa terletak di wilayah pangkuan KPH Lawu Ds.
Sebagian besar masyarakat desa hutan bekerja sebagai petani atau buruh tani, baik sebagai petani sawah maupun petani hutan.
Sampai dengan tahun 2012, tercatat 95 kelompok petani hutan dengan total anggota sebanyak 26.571 petani hutan. Kelompok petani hutan ini disebut
dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan LMDH atau Masyarakat Pengelola Sumberdaya Hutan MPSDH yang dibina oleh Perhutani dan Dinas Kehutanan
dan Perkebunan Kabupaten Ngawi. Lembaga ini secara resmi didirikan di tingkat desa, difasilitasi oleh Perhutani dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan
setempat. Dalam pendirian dan beraktivitas, LMDHMPSDH ini didampingi oleh tenaga pendamping lapangan dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan
aparat lapangan dari Perhutani.
Objek kelola yang dikerjasamakan adalah wengkon, yaitu kawasan hutan Negara yang secara administratif masuk ke dalam desa tertentu di mana
LMDHMPSDH tersebut berada. Anggota LMDHMPSDH tercatat sebanyak 26.571 orang petani hutan dengan wilayah hak kelola 45.047,11 ha.
5.4.1.3 Aturan Main
Berbagai peraturan telah diterbitkan baik dari tingkat pusat maupun daerah untuk memayungi program pengelolaan hutan berbasis kemitraan dengan
masyarakat lihat Tabel 16. Dengan diterbitkannya berbagai peraturan yang mendasari pengelolaan hutan berbasis masyarakat, diharapkan program-program
pengelolaan hutan baik di hutan negara maupun hutan rakyat bisa diselenggarakan secara aman dan berkelanjutan.
Tabel 16 Peraturan Terkait Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat
No. PeraturanKebijakan TentangKeterangan
1. SK
Dewan Pengawas
Perum Perhutani No. 136KptsDir2001
Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat PHBM
2. SK Direksi No. 001KptsDir2002
Pedoman Berbagai Hasil Hutan Kayu
3. SK Direksi No. 268KptsDir2007
Pedoman Pengelolaan
Sumberdaya Hutan
Bersama Masyarakat Plus
4. SK Direksi No. 682KptsDir2009
Pedoman Pengelolaan
Sumberdaya Hutan
Bersama Masyarakat PHBM
5. PP No. 722010
Perum Perhutani 6.
SK Direksi No. 400KptsDir2007 Pedoman
Umum Pemngembangan Usaha Perum
Perhutani 7.
SK Direksi No. 433KptsDir2007 Perubahan
SK Direksi
No. 400KptsDir2007
tentang Pedoman Umum Pengembangan
Usaha Perum Perhutani 8.
SK Direksi Perum Perhutani No. 436Dir2011
Pedoman Berbagai Hasil Hutan Kayu
9. Perda Kab. Ngawi No. 11 Tahun
2011 RTRW Kabupaten Ngawi tahun
2010 – 2030
10 Anggaran
untuk Satker
Dinas Kehutanan dan Perkebunan tahun
2013 54,70 dari anggaran Urusan
Pilihan Rp 15.970.617.000,00 dari total anggaran untuk Mata
Anggaran 02 Urusan Pilihan sebesar 29.196.688.300,00
Dasar implementasi PHBM pada awalnya adalah SK Dewan Pengawas Perum Perhutani No. 136KPTSDIR2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya
Hutan Bersama Masyarakat PHBM. Setelah beberapa tahun berjalan SK tersebut diganti dengan surat keputusan baru untuk memperbaiki implementasi
PHBM. Pertama adalah SK Direksi Perum Perhutani No. 268KPTSDIR2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama
Masyarakat PHBM Plus. Dan yang paling baru adalah SK Direksi Perum Perhutani No. 682KPTSDir2009 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan
Bersama Masyarakat PHBM.
Pada mekanisme penerapan PHBM sebagai sebuah model tata pengurusan hutan forestry governance model, berikut adalah pilar-pilar penting
di dalamnya yaitu; kelembagaan masyarakat, mekanisme kerjasama dalam bingkai kemitraan, dan manajemen konflik. Pada pilar kelembagaan masyarakat,
keberadaan Lembaga Masyarakat Desa Hutan LMDH kemudian ditempatkan sebagai keharusan dalam konteks kelembagaan yang menjadi mitra utama pada
penerapan PHBM. LMDH sendiri didesain mempunyai aturan main yang dituangkan dalam Anggaran Dasar AD dan Anggaran Rumah Tangga ART
sebagai mekanisme penyelenggaraan lembaga baik secara internal, maupun dalam konteks keperluan eksternal dengan Perhutani atau pihak lain.
Dari sini, seharusnya bisa didapati bahwa kedudukan LMDH adalah independen dan semata-mata merupakan representasi kepentingan Masyarakat
Desa Hutan MDH yang bersangkutan. LMDH merupakan suatu lembaga yang dibentuk oleh masyarakat desa hutan, yang berbadan hukum, dan mempunyai
fungsi sebagai wadah bagi MDH untuk menjalin kerjasama dengan Perhutani dalam PHBM dengan prinsip kemitraan. Prinsip kemitraan ini dalam mekanisme
kerjasama mengasumsikan bahwa kedudukan LMDH adalah sederajat dan setara equal dengan Perhutani melalui konsensus yang disepakati di antara keduanya
dalam bentuk hak dan kewajiban yang harus ditunaikan bersama-sama. Termasuk yang paling penting adalah pedoman berbagi antara LMDH dan
Perhutani yang ditetapkan sesuai dengan nilai dan proporsi masukan faktor produksi oleh masing-masing pihak pada saat penyusunan rencana. Selanjutnya
untuk menguatkan daya mengikat konsensus itu, maka penetapan nilai dan proporsi berbagi harus dituangkan ke dalam perjanjian PHBM. Barang tentu hal
ini di samping menjadi jaminan kepastian hukum bagi para pihak, juga diharapkan menjadi instrumen yang dapat melindungi posisi pihak yang lemah
dari sisi eksistensi politis; yaitu LMDH, sehingga keadilan juga dapat disentuh secara substantif.
Di samping itu, melalui pendekatan yang partisipatif dan dialogis yang dipilih dalam menjembatani kepentingan di dalam pengelolaan hutan, maka pada
konteks manajemen konflik, kontribusi PHBM akan menjadi begitu signifikan mengingat metode polisional security approach tidak lagi dikedepankan.
Melalui intensitas interaksi yang cukup tinggi antara LMDH dan Perhutani menjadikannya persoalan-persoalan dalam pengelolaan hutan tidak saja dalam
tataran teknis operasionalisasi PHBM, tetapi seluruh aspek tenurial seharusnya secara komprehensif juga dapat diselesaikan.
Sampai dengan saat ini, PHBM masih dianggap puncak dari paradigma Community Based Forest Management CBFM yang diakomodasi Perhutani
sejak tahun 2001 melalui SK Dewan Pengawas No. 136KptsDir2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat menggantikan SK Direksi
No. 1061KptsDir2000, kemudian SK Direksi No. 268KptsDir2007 tentang Pedoman Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat Plus PHBM
PLUS, dan terakhir SK No. 682KptsDir2009 tentang Pedoman PHBM. Tetapi belakangan kini dijumpai inkonsistensi dari berbagai kebijakan pada level yang
sama yang justru menegasikannya.
Salah satunya adalah kehadiran SK Direksi No. 400KptsDir2007 jo. SK Direksi No. 433KptsDir2007 tentang Pedoman Umum Pengembangan
Usaha Perum Perhutani, yang didalamnya mengintroduksi kelembagaan yang disebut sebagai Kesatuan Bisnis Mandiri KBM. KBM merupakan satuan unit
organisasi di bawah Kantor Unit yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan pengelolaan usaha bisnis Perusahaan secara mandiri untuk meningkatkan
pendapatan Perusahaan. Pada wilayah inilah perkara inkonsistensi terhadap