Jumlah KK Masing-Masing Sampel Desa Hutan yang Digunakan

Dari hasil penelitian diketahui bahwa di desa hutan di wilayah Kabupaten Ngawi, rata-rata Angka Harapan Hidup AHH lebih tinggi yaitu sebesar 69,92 tahun dibandingkan AHH tingkat kabupaten di tahun 2008 yaitu sebesar 67,72 tahun. Jika melihat kecenderungan kenaikan AHH berdasarkan data RPJMD 2010-2015, maka AHH di desa hutan sudah mencerminkan adanya kemampuan untuk bertahan hidup yang relatif lama yaitu 69,92 tahun dengan mendasarkan pada standar UNDP atau BPS yaitu maksimum 85 tahun. Kondisi ini menggambarkan adanya tingkat kesehatan masyarakat desa hutan yang cukup baik. Selanjutnya diketahui bahwa angka melek huruf masyarakat desa hutan juga sangat baik, yaitu sebesar 97,47. Hal ini berarti bahwa masyarakat desa hutan telah memiliki pemahaman yang baik tentang arti pentingnya pendidikan, yang ditunjukkan bahwa penduduk berusia 15 tahun ke atas hampir semuanya telah mengenyam pendidikan, minimal pendidikan dasar dan mampu membaca menulis. Angka rata-rata lama sekolah relatif masih sama dengan angka tingkat makro kabupaten pada tahun 2008 yaitu sebesar 6,98 tahun atau sekitar 7 tahun. Dengan menggunakan standar IPM dari UNDP yaitu : Rendah IPM 50 Menengah Bawah 50 IPM 66 Menengah Atas 66 IPM 80 Tinggi IPM80 maka IPM di desa hutan di lokasi penelitian sebesar 72,31 termasuk kategori Menengah Atas. Di 3 desa lokasi penelitian, secara umum belum tersedia sarana penunjang pendidikan dan kesehatan yang memadai. Pendidikan sekolah dasar masih bisa dinikmati di desa bersangkutan. Tetapi fasilitas mulai Sekolah Menengah Pertama dan sederajat SMPMTs sampai dengan sekolah Menengah Atas dan sederajat SMAMA hanya tersedia di kecamatan terdekat atau kabupaten dengan akses jalan yang relatif jauh dan sulit. Sebagai gambaran kondisi sarana pendidikan dan kesehatan di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Gambaran Kondisi Sarana pendidikan dan kesehatan di lokasi penelitian No. Deskripsi Desa Kedungputri Desa Pocol Desa Dero 1. SDMI Ada Ada Ada 2. SMPMTs Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada 3. SMAMA Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada 4. Fungsi Hutan Produksi Produksi Produksi 5. Permukiman kumuh Ada Ada Ada 6. Kelompok bermainTPA Ada Ada Ada 7. Taman Bacaan Masyarakat Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada 8. Rumah Bersalin RB Tdak ada Tidak ada Tidak ada Tabel 15 Lanjutan No. Deskripsi Desa Kedungputri Desa Pocol Desa Dero 9. Polindesbidan desa Ada Ada Ada 10. Puskesmas Tidak Ada Tidak Ada Tidak Ada

5.4 Pengembangan Pengelolaan Hutan di Kabupaten Ngawi

Peluang, kendala yang dihadapi, informasi dan manfaat yang diperoleh oleh seorang individu, kelompok atau pihak tertentu sangat dipengaruhi oleh aturan dan struktur kelembagaan yang dijalankan. Pengembangan pengelolaan hutan di Kabupaten Ngawi tidak terlepas dari sumberdaya yang melingkupinya, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia dan interaksi diantara keduanya. Untuk mengetahui sejauh mana keberlanjutan pembangunan suatu sektor dijalankan, salah satu aspek yang penting dikaji adalah mengenai kelembagaannnya. Secara luas, lembaga didefinisikan sebagai sarana yang digunakan oleh manusia untuk mengatur segala bentuk interaksi yang terstruktur untuk mencapai tujuan yang ditetapkan Ostrom, 2005. Menurut Ostrom 2005 keberlanjutan atas suatu program atau kebijakan yang dijalankan bisa dikaji dari bagaimana interaksi karakter antara dua komponen utama yang menopangnya. Komponen pertama yaitu variabel eksogen yang terdiri : kondisi biofisik, atribut komunitas dan aturan main. Sedangkan komponen kedua adalah arena aksi, yaitu unit yang menggambarkan hubungan antara situasi aksi dan pelakunya. Ostrom 2005 mengungkapkan berbagai sifat pesertapelaku kemitraan yang diperkirakan berpengaruh pada keberlangsungan kemitraan, yaitu: i norma perilaku yang secara umum diterima masyarakat, ii tingkat pemahaman umum peserta untuk memperoleh, memproses dan memanfaatkan dalam proses memilih dan menentukan jenis aksi, iii adanya homogenitas preferensi dari semua yang ada di masyarakat iv kepemilikan dan distribusi sumberdaya pada semua pelaku. Karenanya, kesepakatan dan keberlangsungan suatu kegiatan tergantung dari situasi aksi dan lingkungan kelembagaannya. Jika pengguna sumberdaya berasal dari berbagai komunitas berbeda dan tidak ada saling kepercayaan diantara mereka, maka tugas untuk menjaga keberlanjutan kemitraan dan penegakan aturan menjadi meningkat. 5.4.1. ldentifikasi Faktor Eksogen 5.4.1.1 Kondisi Biofisik Wilayah Kabupaten Ngawi secara administrasi memiliki luas sebesar 129.598,51 ha yang secara geografis terletak pada posisi 7°21 - 31 Lintang Selatan dan 111°07 - 111°40 Bujur Timur, bertopografi datar, bergelombang, berbukit dan pegunungan tinggi dengan ketinggian antara 40 - 3.031 m dpl. Kabupaten Ngawi masuk dalam DAS Solo dan dialiri Sungai Madiun, Banger, Sawur, Sidolaju, Alas Tuwo, Batu Bunder, Kenteng, Klampok dan Ketonggo. Dari luas wilayah administrasi Kabupaten Ngawi 129.598,89 ha tersebut, seluas 45.177 ha merupakan kawasan hutan Negara. Hal ini berarti 35 dari total luas wilayah Kabupaten Ngawi merupakan kawasan hutan Negara yang tersebar di tiga wilayah pengelolaan Perhutani yaitu KPH Ngawi seluas 34.832,6 ha, KPH Saradan seluas 5.036 ha, dan KPH Lawu Ds seluas 5.308,4 ha Satistik Perum Perhutani, 2011. Kawasan hutan Negara di Kabupaten Ngawi terbagi dalam dua Kelas Perusahaan KP yaitu KP Jati yang terletak di wilayah KPH Ngawi dan KPH Saradan, dan KP Pinus yang terletak di wilayah KPH lawu Ds. Hutan rakyat didominasi oleh tanaman Jati dan telah lama menjadi budaya masyarakat untuk menanamnya. Sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2010 tanaman jati rakyat tercatat telah mencapai luasan sebesar 320,76 ha BPS Kabupaten Ngawi, 2012.

5.4.1.2 Atribut Komunitas

Di Kabupaten Ngawi, dari total 217 desa administratif terdapat 95 desa yang termasuk kategori desa hutan dengan penyebaran sebanyak 68 desa terletak di wilayah pangkuan hutan KPH Ngawi, 8 desa terletak di wilayah pangkuan KPH Saradan dan 19 desa terletak di wilayah pangkuan KPH Lawu Ds. Sebagian besar masyarakat desa hutan bekerja sebagai petani atau buruh tani, baik sebagai petani sawah maupun petani hutan. Sampai dengan tahun 2012, tercatat 95 kelompok petani hutan dengan total anggota sebanyak 26.571 petani hutan. Kelompok petani hutan ini disebut dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan LMDH atau Masyarakat Pengelola Sumberdaya Hutan MPSDH yang dibina oleh Perhutani dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ngawi. Lembaga ini secara resmi didirikan di tingkat desa, difasilitasi oleh Perhutani dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan setempat. Dalam pendirian dan beraktivitas, LMDHMPSDH ini didampingi oleh tenaga pendamping lapangan dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan dan aparat lapangan dari Perhutani. Objek kelola yang dikerjasamakan adalah wengkon, yaitu kawasan hutan Negara yang secara administratif masuk ke dalam desa tertentu di mana LMDHMPSDH tersebut berada. Anggota LMDHMPSDH tercatat sebanyak 26.571 orang petani hutan dengan wilayah hak kelola 45.047,11 ha.

5.4.1.3 Aturan Main

Berbagai peraturan telah diterbitkan baik dari tingkat pusat maupun daerah untuk memayungi program pengelolaan hutan berbasis kemitraan dengan masyarakat lihat Tabel 16. Dengan diterbitkannya berbagai peraturan yang mendasari pengelolaan hutan berbasis masyarakat, diharapkan program-program pengelolaan hutan baik di hutan negara maupun hutan rakyat bisa diselenggarakan secara aman dan berkelanjutan.