ldentifikasi Arena Aksi 1 Arena Aksi

LMDHMPSDH merupakan suatu lembaga yang dibentuk oleh masyarakat desa hutan, yang berbadan hukum, dan mempunyai fungsi sebagai wadah bagi masyarakat desa hutan untuk menjalin kerjasama dengan Perhutani dalam kerangka PHBM dengan prinsip kemitraan. Prinsip kemitraan ini dalam mekanisme kerjasama mengasumsikan bahwa kedudukan LMDH adalah sederajat dan setara dengan Perhutani melalui konsensus yang disepakati keduanya dalam bentuk hak dan kewajiban yang harus ditunaikan bersama- sama. Termasuk yang paling penting adalah pedoman berbagi antara LMDHMPSDH dan Perhutani yang ditetapkan sesuai dengan nilai dan proporsi masukan faktor produksi oleh masing-masing pihak pada saat penyusunan rencana. Selanjutnya untuk menguatkan daya mengikat konsensus itu, maka penetapan nilai dan proporsi berbagi harus dituangkan ke dalam perjanjian PHBM. Barang tentu hal ini di samping menjadi jaminan kepastian hukum bagi para pihak, juga diharapkan menjadi instrumen yang dapat melindungi posisi pihak yang lemah dari sisi eksistensi politis; yaitu LMDHMPSDH, sehingga keadilan bisa dirasakan bersama. Di samping itu, melalui pendekatan yang partisipatif dan dialogis yang dipilih dalam menjembatani kepentingan di dalam pengelolaan hutan, maka pada konteks manajamen konflik, kontribusi PHBM akan menjadi begitu signifikan mengingat metode polisional security approach tidak lagi dikedepankan. Melalui intensitas interaksi yang cukup tinggi antara LMDHMPSDH dan Perhutani menjadikannya persoalan-persoalan dalam pengelolaan hutan baik menyangkut persoalan teknis operasional maupun tenurial dapat diselesaikan. Dalam tataran yang lebih konkrit, LMDHMPSDH didesain untuk terlibat lebih jauh dalam proses perencanaan dan implementasi PHBM. Bersama Perhutani dan pemangku kepentingan yang lain, LMDHMPSDH diharapkan akan terlibat lebih jauh dalam proses perencanaan tata kelola hutan. Ketika implementasi PHBM, LMDHMPSDH bukan hanya diposisikan sebagai ruang bagi penguatan kapasitas bagi sumberdaya petani hutan dalam proses produksi dan pasca produksi hasil hutan yang akan berujung pada kesejahteraan, namun juga LMDHMPSDH menjadi mitra Perhutani dalam memastikan keamanan hutan dan stabilitas sosial di sekitar hutan bisa berjalan dengan baik. Dalam perkembangannya, LMDHMPSDH yang dibentuk di masing- masing desa hutan pada wilayah tertentu menyatu membentuk Forum Komunikasi Forkom LMDHMPSDH ada yang menyebut Forkom PHBM dengan tujuan: 1 Mengkoordinasikan dan menjabarkan secara operasional kegiatan PHBM, 2 Melaksanakan bimbingan, pendampingan, memantau dan mengevaluasi hasil kegiatan dan perkembangan PHBM, 3 Melaksanakan tugas-tugas lain yang berkaitan dengan PHBM sesuai dengan tugas pokok dan fungsi instansi masing-masing, 4 Menyampaikan hasil laporan kegiatan tersebut kepada semua pihak yang berkepentingan SK Direksi Perum Perhutani No. 268KPTSDIR2007. Namun dalam prakteknya, ketika Forkom mengajukan proposal kegiatan kepada Perhutani atau Dinas Kehutanan dan Perkebunan setempat, seringkali terbentur dengan berbagai alasan dari instansi terkait seperti tidak tersedianya anggaran untuk rencana kegiatan yang diajukan Forkom. Begitu pula ketika realisasi perjanjian kerjasama yang merupakan hasil kesepakatan antara LMDHMPSDH dan Perhutani. Pola kerjasama yang seharusnya mengacu pada Surat Perjanjian Kerja Sama SPKS pada prakteknya lebih sering diingkari dan dilaksanakan sesuai dengan selera Perhutani, dengan alasan bahwa Perhutani telah menetapkan Rencana Teknik Tahunan RTT. Dengan demikian SPKS tidak lebih sekedar merupakan formalitas administrasi saja karena tidak bisa menjadi acuan kepastian dan jaminan perlindungan hukum bagi LMDHMPSDH. Sehingga inisiatif dari warga masyarakat desa untuk ikut terlibat dalam skema-skema pengelolaan hutan sering terbentur permasalahan administratif. Dari segi internal Perhutani, sebagai pemangku hutan Negara, Perhutani yang diwakili Administratur di tingkat KPH, Asisten Perhutani Asper di tingkat BKPH, Kepala Resort Pemangkuan Hutan Mantri dan Mandor adalah pelaku BUMN di tingkat lapangan yang bertugas menerapkan aksi-aksi kolaborasi kemitraan dengan masyarakat desa hutan. Konflik yang sering terjadi adalah apabila terjadi ketidaksepahaman baik di lingkungan dalam aparat Perhutani maupun antara aparat Perhutani dengan masyarakat. Konflik akan lebih tajam ketika terjadi pergantian pejabat baik Administratur, Asper ataupun Mantri. Kebijakan yang telah digulirkan oleh pimpinan sebelumnya dalam konteks kerjasama dengan masyarakat ternyata tidak didukung oleh pejabat yang baru. Dari uraian di atas dan penggalian informasi di lapangan, terlihat adanya potensi laten permasalahan di tingkat operasional kelembagaan LMDHMPSDH terhadap kebijakan pengelolaan kawasan hutan. Hal ini mengindikasikan munculnya potensi ketidakberlanjutan atas sistem kelembagaan yang telah dibangun dan melibatkan berbagai pihak. Sebuah aset dan investasi sumberdaya manusia dan tata kelolanya yang bisa mengancam keberlangsungan kelestarian hutan di Kabupaten Ngawi jika tidak segera dicari alternatif solusinya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sesungguhnya telah terjadi suatu upaya yang sebenarnya cukup sistematis telah menjadikan PHBM tidak cukup berhasil. Oleh karena itu dibutuhkan tawaran kebijakan agar proses pengelolaan hutan di Jawa secara umum benar-benar mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat dan dikelola secara dialogis atau berbasis konsensus para pihak yang berkepentingan. Alternatif Pertama: Memperbaiki Instrumen Implementasi PHBM dalam Tata Kelola Hutan Jawa. PHBM masih diyakini sebagai sebuah gagasan yang masih tetap relevan. Desain substansi PHBM yang menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat serta pemangku kepentingan lain adalah pondasi penting. Mekanisme PHBM yang berbasis kemitraan, konsensus dan kolaborasi merupakan gagasan yang perlu terus dikedepankan. Desain proses bukanlah hal yang bermasalah karena telah memberikan peran dan fungsi masing-masing aktor sesuai dengan kapasitas dan porsinya. Bahkan, secara normatif, peran yang ada sudah dirumuskan dengan baik sebagaimana berikut: 1 Pemerintah Daerah. Memainkan fungsi fasilitasi berjalannya proses sinergi antara negara, masyarakat dan sektor privat di ranah tata kelola pemerintahan lokal, 2 Lembaga Swadaya Masyarakat LSM. LSM diharapkan memainkan peran penguatan kapasitas dan pemberdayaan masyarakat, 3 Lembaga Ekonomi Masyarakat. Lembaga ekonomi masyarakat berperan dalam mengembangkan usaha untuk peningkatan ekonomi masyarakat, 4 Lembaga Sosial Masyarakat. Lembaga sosial masyarakat berperan dalam menumbuhkan kesadaran dan mendukung kehidupan sosial masyarakat sekitar hutan menjadi lebih kualitas, 5 Usaha swasta. Usaha swasta berperan dalam menumbuhkan jiwa kewirausahaan, yang memiliki prinsip usaha untuk pemupukan modal, 6 Lembaga Pendidikan. Lembaga pendidikan memiliki peran dalam usaha pengembangan sumberdaya manusia, melakukan kajian dan transfer ilmu, pengetahuan dan teknologi pada masyarakat desa hutan, sehingga memiliki pengetahuan yang cukup dalam keterlibatannya pada PHBM, dan 7 Lembaga Donor, berperan untuk memberikandukungan dana kepada masyarakat desa hutan dalam usaha keterlibatannya di PHBM. Strategi ini dimulai dengan mendorong sosialisasi lebih intens tentang skema PHBM dalam tata kelola hutan Jawa. Informasi tentang PHBM selama ini ternyata tidak selalu bisa terkomunikasikan dengan baik, bahkan terhadap aparat Perhutani terutama mereka yang menjadi ujung tombak di lapangan. Maka tidak mengherankan apabila gagasan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaua hutan bagi mereka tampaknya asing. Sosialiasi dan informasi juga diperlukan bagi pemangku kepentingan yang lain, seperti birokrasi di pemerintahan daerah, aparat desa, tokoh masyarakat hingga petani hutan. Pada aspek regulasi, perlu penguatan adanya penyusunan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis JuklakJuknis detail bukan hanya prinsip- prinsip dasar yang bisa menjadi panduan pelaksanaan PHBM di lapangan. Panduan tersebut akan menjadi standar acuan utama sehingga bisa menjadi pijakan apakah tindakan yang ada di lapangan sudah sesuai dengan prosedur atau tidak. Segala bentuk penyelewengan akan mudah terlihat dari ketidakpatuhan pada petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis tersebut. Selain itu, ada juga kebutuhan untuk mendorong penguatan kapasitas, khususnya teknokratis dan komunikasi LMDH. Kapasitas teknokratis ini penting agar pengurus LMDH mampu menyusun dan memahami berbagai dokumen, kontrak, dan surat-surat kerjasama yang pasti akan selalu ada terutama dalam konteks bagi hasil. Pada saat yang sama, kapasitas komunikasi LMDH dalam konteks antar LMDH maupun LMDH dengan institusi-institusi yang lain juga penting untuk dikembangkan. Alternatif Kedua: Peluang inovasi proses penerapan PHBM. Pada dasarnya tidak ada masalah dalam desain PHBM namun dalam proses implementasi keleluasaan dalam interaksi dan proses tidak dibuka. Kegagalan optimalisasi implementasi PHBM di kawasan hutan justru dikarenakan ruang inovasi dalam proses implementasi PHBM sangat kecil. Pelaksana di lapangan tidak bisa melakukan inovasi dalam proses implementasi PHBM. Oleh karena itu gagasan PHBM Plus atau PHBM Plus-plus yang menekankan adanya fleksibilitas, akomodasi dan adaptasi dan mengkombinasikan aspek kesejahteraan dan aspek keberlanjutan menjadi lebih relevan. Adaptasi dan fleksibilitas terhadap dinamika proses yang ada sangat dibutuhkan karena pada dasarnya keberhasilan implementasi PHBM akan lebih ditentukan oleh kesepakatan para pemangku kepentingan daripada kejelasan panduan atau prosedur semata sebagaimana alternatif pertama. Bila alternatif ini yang dipilih maka ada kebutuhan untuk merumuskan seberapa jauh ruang inovasi tersebut akan dibuka. Hal ini penting untuk dikedepankan untuk menghindari adanya pembenaran atas segala penyelewengan yang berdalih merupakan diskresi yang positif. Sebagai contoh, di Kabupaten Ngawi sejak tahun 2001 telah dilakukan model pengelolaan hutan dengan sistem Management Regim MR yang diinisiasi oleh Fakultas Kehutanan UGM. Namun karena belum jelasnya ruang inovasi dan kepastian hukum keberlanjutannya, kegiatan tersebut sampai dengan saat ini masih pada taraf model dan belum ada evaluasi untuk tindaklanjutnya. Alternatif Ketiga: Pengakuan atas keragaman pengelolaan hutan. Berangkat dari realitas bahwa tidak ada model dan pihak tunggal dalam tata kelola hutan forestry governance, maka pengakuan secara formal terhadap keragaman tata kelola yang ada harus menjadi arus utama yang diniscayakan. Apabila di kawasan hutan di luar kawasan hutan Negara yang dikuasai Perhutani terdapat model hutan rakyat HR dan hutan kemasyarakatan HKm yang relatif berhasil, maka mendorong pengakuan terhadap praktek-praktek forestry governance di dalam kawasan hutan Perhutani harus sudah mulai dipertimbangkan. Dengan demikian harus ada negosiasi yang berujung pada titik temu antara masyarakat kalangan masyarakat sipil dengan Negara, dimana masing- masing harus mau mengakui dan menghormati praktek-praktek ragam forestry governance yang secara faktual sesungguhnya memang telah berjalan di dalam kawasan hutan Perhutani. Melalui identifikasi antara region-region yang masih mempraktekkan rejim PHBM dan yang sama sekali sudah di luar kendali Perhutani, selanjutnya harus mengadvokasikan pengakuan terutama untuk region yang faktanya relatif mandiri di luar kendali Perhutani agar menjadi jaminan perlindungan kepastian hukum bagi kelangsungan eksistensi masing-masing model forestry governance yang bersangkutan.

5.5 Arahan Pengembangan Pengelolaan Hutan di Kabupaten Ngawi

Menurut Rangkuti 2009, proses perumusan strategi dapat dilakukan melalui tiga tahap analisis yaitu tahap pengumpulan data, tahap analisis dan tahap pengambilan keputusan. Dalam penelitian ini, strategi dimaknai sebagai arahan, yaitu arahan pengembangan pengelolaan hutan di Kabupaten Ngawi. Penyusunan arahan pengembangan ini dilakukan dengan menggunakan analisis AWOT melalui penggalian informasi responden dari institusi pemerintah daerah Kabupaten Ngawi dan narasumber yang berkompeten. Dalam penelitian ini, narasumber yang berkontribusi yaitu anggota DPRD, Wakil Bupati, Sekretaris\ BAPPEDA, Kepala Bidang Kehutanan pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Administratur Perhutani KPH Ngawi, Kepala Seksi Potensi Sumberdaya Hutan PSDH pada Perhutani KPH Lawu Ds, Pengusaha mebel Swasta, dosen Perguruan Tinggi, dan Tokoh Pendamping Masyarakat. Metode AWOT yang diaplikasikan dalam penelitian ini menggunakan Analytical Hierarchy Process AHP untuk menentukan pembobotan pada saat analisis SWOT Strengths-kekuatan, Weakness-kelemahan, Opportunity- peluang, Threats-ancaman. Tujuan digunakannya AHP adalah untuk. mengurangi subjektifitas dalam pembuatan masing-masing faktor internal yaitu kekuatan, kelemahan, dan faktor eksternal yaitu peluang dan ancaman. Bobot masing-masing faktor tersebut diperoleh dari pengolahan data dengan menggunakan program Microsoft Excell. Dalam penelitian ini berbagai faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman diperoleh dari penggalian persepsi dan wawancara dari berbagai narasumber pada saat penelitian pendahuluan yang kemudian dikombinasikan dengan referensi yang terkait. Faktor-faktor tersebut kemudian dinilai tingkat atau bobot kepentingannya dengan menggunakan teknik AHP berdasarkan jawaban responden terhadap kuesioner yang diberikan. Inilah penekanan penggunaan metode AWOT dalam penelitian ini, yaitu pembobotan faktor tidak ditentukan oleh peneliti, melainkan ditentukan oleh responden atau narasumber yang ahli expert terkait bidang penelitian ini untuk mengurangi unsur subjektifitas penelitian. Hasil perhitungan A’WOT disajikan pada Gambar 12. Gambar 12 Hasil Perhitungan AWOT Faktor Internal dan Eksternal Berdasarkan hasil pembobotan terhadap faktor SWOT pengembangan pengelolaan hutan di Kabupaten Ngawi, diketahui bahwa faktor internal kekuatan yang paling dominan adalah sumberdaya hutan diharapkan mampu 0.24 0.37 0.37 0.17 0.44 0.28 0.39 0.23 0.23 0.27 0.24 0.36 0.53 0.22 0.29 0.24 0.21 0.29 0.24 0.55 0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 Ekosistem Pengelolaan Persepsi Penyangga Naker Pencurian Tanah Kosong Peran Sinergitas Kemiskinan PHBM Kerjasama RHL Kesepahaman Hub + - Hak Milik Kemiskinan Pendidikan Rendah Ego Sektoral Permintaan Kayu K ekua tan K el em ahan Pel ua ng A ncam an Fak to r I nt er nal Fak to r Ekst er na l menyerap tenaga kerja bobot 0,437. Hal ini sejalan dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk khususnya penduduk desa hutan, maka tuntutan akan pemenuhan penghidupan yang layak juga akan semakin meningkat. Akibatnya, ketika lapangan pekerjaan semakin sempit dan sulit didapat, masyarakat sekitar hutan akan semakin menggantungkan pemenuhan kebutuhannya dari sumberdaya hutan. Oleh karena agar tidak tetjadi hal-hal yang di luar kendali dari aktivitas masyarakat sekitar hutan, maka diperlukan suatu pengaturan atas pengelolaan sumberdaya hutan yang berkeadilan dan berkelanjutan. Faktor internal kelemahan yang paling dominan adalah luasan tanah kosong yang belum dikelola 0.39. Hal ini bisa dipahami bahwa dengan banyaknya luasan tanah kosong pada hutan negara khususnya, bisa menunjukkan adanya produktifitas hutan yang semakin turun, tingginya fenomena degradasi hutan dan banyaknya tanah-tanah yang masih terlantar dan belum digarap. Faktor kekuatan dominan yang kedua yaitu mengenai pengelolaan sumberdaya hutan yang lebih terbuka untuk masyarakat bobot 0,372. Hal ini bisa dipahami bahwa dengan tuntutan pemenuhan lapangan pekerjaan dari sumberdaya hutan, diharapkan tercipta akses yang terbuka dan legal bagi masyarakat sekitar hutan untuk ikut terlibat dalam pengelolaan hutan, baik dalam hutan Negara maupun hutan rakyat. Faktor eksternal peluang yang dominan adalah terbukanya potensi dilakukan usaha-usaha rehabilitasi lahan kritis baik yang berasal dari pemerintah pusat dan atau daerah maupun inisiatif dari masyarakat 0,525 dan potensi untuk melakukan bentuk kerjasama antara masyarakat desa hutan dengan pemangku hutan Negara untuk ikut terlibat dalam pengelolaan di dalam kawasan hutan Negara 0,358. Faktor eksternal ancaman yang dominan adalah masih tingginya permintaan akan kebutuhan kayu baik untuk pertukangan maupun kayu bakar 0,552 dan pendidikan masyarakat desa hutan yang rendah 0,294. Kedua hal ini sangat berkaitan erat, karena ketika tingkat pendidikan msyarakat desa hutan dah ditunjukkan dengan angka lama sekolah sebesar 6,98 tahun atau sekitar 7 tahun, ini berarti masyarakat desa hutan hanya mengenyam pendidikan dasar saja. Setelah itu karena desakan ekonomi dan tidak adanya alternatif kegiatan perekonomian di luar hutan, akhimya mereka menggantungkan perekonomiannya dari sumberdaya hutan baik kayu maupun non kayu. Jika ketersediaan kayu dari hutan Negara yang sudah semakin menipis tidak diimbangi dengan pengembangan potensi hutan rakyat, maka laju degradasi hutan Negara akan semakin cepat. Setelah dilakukan pembobotan terhadap faktor SWOT dengan menggunakan metode AHP, langkah selanjutnya yaitu membuat matriks Internal Strategic Factors Analysis Summary IFAS dan External Strategic Factors Analysis Summary EFAS. Penyusunan matriks tersebut bertujuan untuk mengetahui tingkat kepentingan dan pengaruhnya dalam menentukan arahan pengembangan pengelolaan hutan di Kabupaten Ngawi. Matriks IFAS dan EFAS setelah dilakukan pengolahan data disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Hasil pengolahan data untuk matriks IFAS Faktor Internal Bobot Rating Skor Kekuatan 1. Hutan adalah bagian dari ekosistem wilayah 0,0632 4 0,2402 2. Pengelolaan Sumberdaya hutan yang lebih terbuka untuk masyarakat 0,1163 3 0,3722 3. Persepsi positif masyarakat terhadap gerakan penghijauan atau penanaman pohon di lahan milik, pekarangan, atau tegalan 0,1227 3 0,3680 4. Sumberdaya hutan sebagai penyangga kehidupan masyarakat sekitamya 0,0521 3 0,1718 5. Sumberdaya hutan mampu menyerap tenaga kerja 0,1457 3 0,4372 Jumlah 0,5000 1,5894 Kelemahan 1. Pencurian kayu 0,0932 3 0,2795 2. Luas tanah kosong yang belum dikelola 0,1681 2 0,3867 3. Peran aparatur Negara pengelola hutan dengan rakyat yang belum sejajar masyarakat belum dianggap sebagai mitra keija sepenuhnya 0,0741 3 0,2298 4. Sinergitas pengelolaan hutan Negara dengan hutan rakyat yang masih rendah 0,0841 3 0,2270 5. Kondisi masyarakat desa hutan yang masih miskin 0,0805 3 0,0229 Jumlah 0,5000 1,3886 Jumlah keseluruhan 1,0000 2,9781 Pada Tabel 17 menunjukkan bahwa skor total perkalian bobot dan rating dari semua faktor kekuatan dan kelemahan bernilai 2,9781. Nilai ini berasal dari skor faktor kekuatan sebesar 1,5894 dan kelemahan sebesar 1,3886. Bobot yang diperoleh dari perhitungan AHP masing-masing dikalikan 0,5 agar nilai total bobot faktor kekuatan dan kelemahan bemilai 1,00 Rangkuti, 2009. Skala yang digunakan untuk penentuan rating:  Nilai rating 4 sangat kuat  Nilai rating 3 kuat  Nilai rating 2 lemah  Nilai rating 1 sangat lemah Pada kolom rating diketahui bahwa semua variabel faktor kekuatan bernilai 3 kuat kecuali variabel hutan adalah bagian dari ekosistem wilayah dengan rating 4 sangat kuat. Pada faktor kelemahan diketahui bahwa semua variabel faktor kelemahan bernilai 3 kuat kecuali variabel luas tanah tanah kosong yang belum dikelola dengan rating 2 lemah.