Sampai pada pemulaan tahun 1951, indonesia belum mempunyai Undang-undang yang khusus untuk menyelesaikan perselisihan
perburuhan. Sengketa yang terjadi antara majikan dan buruh diselasaikan dan diurus oleh mereka sendiri secara sukarela dan kapan perlu di
intervensi oleh pegawai kementrian perburuhan baik di daeraha maupun pusat yang berpedoman pada instruksi mentri perburuhan tanggal 20
Oktober 1950 no. Pbu 1022-45u 4091 tentang cara penyelesaian perselisihan
perburuhan. Kantor-kantor
perburuhan memproses
penyelesaian secara aktif melalui perantara atau pendamaian dan jika dikehendaki oleh para pihak yang berselisih dapat diselesaikan melalui
pemisahan.
5
b. Peraturan Kekuasaan militer No. 1 Tahun 1951
Cara penyelesaian perselisihan perburuhan yang bersifat sukarala ternyata tidak dapat mengatasi situasi kegelisahan di dunia perburuhan
yang terus meningkat akibat pemogokan yang sangat banyak terjadi. Oleh karena itu, berdasarkan Undang-Undang keadaan perang dan
territorium mengeluarkan peraturan yang oleh umum dikenal sebagai larangan mogok di perusahaan-perusahaan vital. Akan tetapi pemogokan
terus terjadi dan sebagai upaya meredakan situasi yang tidak menentu pada waktu itu. Kekuasaan militer pusat dengan persetujuan dewan
5
Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, h. 139.
menteri menetapkan peraturan penyelesaian pertikaian perburuhan peraturan kekuasaan militer tanggal 13 Februari 1951 No. 1.
6
Menurut peraturan ini, penyelesaian perlisihan di perusahaan vital diputuskan secara mengikat oleh panitia penyelesaian pertikaian
perburuhan P4 yang berada di pusat. Sedangkan perselisihan perburuhan di perusahaan yang tidak vital di selesaikan secara
mendamaikan conciliation oleh instansi penyelesaian pertikaian perburuhan IP3 di daerah-daerah. Apabila usaha penyelasaian
pertikaian oleh instansi tidak berhaasil, maka kasusnya diajukan kepada P4 untuk memperoleh anjuran terakhir.
7
c. Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
Peraturan kekuasaan militer juga dianggap tidak begitu efektif mengatasi persoalan di bidang perburuhan terutama dalam hal
pelaksanaannya. Peraturan ini pada hakekatnya melarang buruh untuk mogok. Larangan mogok ini dianggap bertentangan dengan pasal 21
UUDS 1950. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah pada 17 september 1951 mencabut Peraturan Kekuasaan Militer Nomor 1 tahun
1951 dan menetapkan UU Darurat Nomor 16 Tahun 1951 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan. Meskipun Undang-Undang darurat
ini belum sempurna tetapi dalam beberapa hal sudah dianggap sebagai
6
Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, h. 132.
7
Supomo Suparman, Hukum Acara Peradilan Hubungan Industrial: Tata Cara Penyelesaian Sengketa Perburuhan, Jakarta: Jala Permata Kasara, 2008, h. 10.
pembaruan jika dibandingkan dengan peraturan kekuasaan militer tersebut. Tujuan Undang-Undang darurat adalah menyelesaikan
perselisihan antara
buruh dan
majikansecara damai
sebelum mempergunakan senjata pemogokan atau lock out penutupan
perusahaan.
8
Perselisihan hak menurut reglement op de rechtlijke organisatieen het beeid der justitie jo. Undang-Undang darurat tersebut masuk
wewenang pengadilan negeri. Oleh karena itu, soal perselisihan hak dapat diajukan kepada pengadilan negeri disamping perkaranya diurus
oleh panitia yang diadakan oleh Undang-Undang darurat tersebut. Sedangkan buruh perseorangan hanya dapat megajukan perkara
perselisihan hak kepada pengadilan negeri.
9
Sedangkan perselisihan kepentingan diselesaikan melalui beberapa tahapan. Pertama melalui perundingan dan apabila gagal diajukan ke
panitia penyelesaian perselisihan perburuhan daerah P4D. Jika proses P4D juga gagal, dapat diajukan ke panitia penyelesaian perselisihan
perburuhan pusat 9P4p. Putusan P4P dapat berupa anjuran atau putusan yang mengikat. Yaitu apabila dianggap perlu untuk mengakhiri
8
Wirjono Projodikuro, Hukum Perdata tentang Persetujuan Tertentu Bandung: Ghali Bandung 1961, h. 83.
9
Imam soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan , h. 140.