sesuatu  telah  diatur  langsung  di  dalam  konstitusi  sebuah  negara  maka  hal  itu menjadi  kewajiban  yang  harus  dilaksanakan  oleh  pemerintahan  dari  negara
tersebut. Mengenai  hal  ini  secara  eksplisit  telah  diamanatkan  dalam  konsideran
huruf  a  Undang-Undang  Nomor  35  Tahun  1999 tentang  perubahan  atas  Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1970 dan Undang-Undnag Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang kemudian diubah lagi dalam Undang-Undang Nomor 48  Tahun  2009  tentang  Kekuasaan  Kehakiman,  telah  menentukan  bahwa
kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang mandiri dan terlepas dari kekuasaan pemerintah,  sehingga  dipandang  perlu  melaksanakan  pemisahan  tegas  antara
fungsi-fungsi yudikatif dan eksekutif.
C. Teori Pembagian Kekuasaan Dan  Kaitannya Dengan Kekuasaan Kehakiman
Di Indonesia
Salah satu ciri negara hukum, yang dalam bahasa Inggris disebut legal state atau  state  based  on  the  rule  of  law,  dalam  bahasa  Belanda  dan  Jerman  disebut
rechtsstaat,  adalah  adanya  ciri  pembatasan  kekuasaan  dalam  penyelenggaraan kekuasaan negara. Meskipun kedua istilah rechtsstaat dan rule of law itu memiliki
latar belakang sejarah dan pengertian yan berbeda, tetapi sama-sama mengandung ide  pembatasan  kekuasaan.  pembatasaan  itu  dilakukan  dengan  hukum  yang
kemudian  menjadi  ide  dasar  paham  konstitusionalisme  modern.  Oleh  karena  itu, konsep  negara  hukum  juga  disebut  sebagai  negara  konstitusional  atau
constitutional  state,  yaitu  negara  yang  dibatasi  oleh  konstitusi.  Dalam  konteks yang sama, gagasan negara demokrasi atau kedaulatan rakyat disebut pula dengan
istilah  constitutional  democracy  yang  dihubungkan  dengan  pengertian  negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum.
19
Upaya untuk mengadakan pembatasan terhadap kekuasaan itu tidak berhenti hanya degan munculnya gerakan pemisahan antara kekuasaan raja dan kekuasaan
pendeta  serta  pimpinan  gereja.  Upaya  pembatasan  kekuasaan  juga  dilakukan dengan  mengadakan  pola-pola  pembatasan  di  dalam  pengelolaan  internal
kekuasaan  negara  itu  sendiri,  yaitu  dengan  mengadakan  pembedaan  dan pemisahan kekuasaan negara ke dalam beberapa fungsi yang berbeda-beda. Dalam
hubungan  ini,  yang  dapat  dianggap  paling  berpengaruh  pemikirannya  dalam mengadakan pembedaan fungsi-fungsi  kekuasaan itu adalah Montesquieu dengan
teori  trias  politica-nya,  yaitu  cabang  kekuasaan  legislatif,  cabang  eksekutif  atau administratif, dan cabang kekuasaan yudisial.
Menurut  Montesquieu,  dalam  bukunya  “L’Esprit  des  Lois”  1748,  yang mengikuti  jalan  pikiran  Jhon  Locke,  membagi  kekuasaan  negara  dalam  tiga  3
cabang  yaitu;  i  kekuasaan  legislatif  sebagai  pembuat  undang-undang;  ii kekuasaan  eksekutif  yang  melaksanakan;  dan  iii  kekuasaan  untuk  menghakimi
atau  yudikatif.  Dari  klasifikasi  Montesquieu  inilah  dikenal  pembagia  kekuasaan negara  modern  dalam  tiga  fungsi,  yaitu  legislatif    the  legislative  function  ,
19
Jimly Assiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara,  jakarta : rajawali pers, 2010, h. 281.
eksekutif    the  executive  or  adminitrative  function,  dan  yudisial    teh  judicial function .
20
Istilah  trias  politika  berasal  dari  bahasa  Yunani  yang  artinya  “politik  tiga serangkai”.  Menurut  ajaran  trias  politika  dalam  tiap  pemerintahan  negara  harus
ada  tiga  jenis  kekuasaan  yang  tidak  dapat  dipegang  oleh  satu  tangan  saja, melainkan harus masing-masing kekuasaan itu terpisah.
Ajaran  trias  politica  ini  nyata-nyata  bertentangan  dengan  kekuasaan  yang bersimaharajalela pada zaman feodalisme dalam abad pertengahan. Pada zaman itu
yang  memegang  ketiga  kekuasaan  dalam  negara  iyalah  seorang  raja,  yang membuat  sendiri  undang-undang,  yang  menjalankannya  dan  menghukum  segala
pelanggaran atas undang-undang yang dibuat dan dijalankan oleh raja tersebut.
21
Pengalaman  ketatanegaraan  indonesia,  memandang istilah  “pemisahan
kekuasaan”    separation  of  power    itu  sendiri  cenderung  dikonotasikan  dengan pendapat  Montesquieu  secara  absolut.  Konsep  pemisahan  kekuasaan  tersebut
dibedakan secara diametral dari konsep pembagian kekuasaan  division of power yang  dikaitkan  dengan  sistem  supremasi  MPR  yang  secara  mutlak  menolak  ide
pemisahan kekuasaan ala trias politika Montesquieu.
22
20
Jimly Assiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, h. 282-283.
21
C.S.T. Kansil, Sisitem Pemerintahan Indonesia,  jakarta : bumi aksara, 1993 , h. 11.
22
Jimly assiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, h. 290.
1. Kekuasaan legislatif
Kekuasaan  untuk  membuat  undang-undang  harus  terletak  dalam  suatu badan  yang  berhak  khusus  untuk  itu.  Jika  penyusunan  undang-undang  tidak
diletakkan pada suatu badan terentu, maka mungkinlah tiap golongan atau tiap orang mengadakan undang-undang untuk kepentingannya sendiri.
Indonesia  sebagai  negara  yang  menganut  paham  demokrasi  maka peraturan  perundangan  harus  berdasarkan  kedalatan  rakyat,  maka  badan
perwakilan  rakyat  yang  harus  dianggap  sebagai  badan  yang  mempunyai kekuasaan tertinggi untuk menyusun undang-undang dan ialah yang dinamakan
legislatif.
23
Lembaga  Perwakilan  Rakyat  memiliki  empat  4  fungsi  pokok  yaitu sebagai berikut:
a. Fungsi representasi perwakilan
1 Representasi formal
2 Representasi aspirasi
b. Funfsi pengawasan kontrol
1 Pengawasan atas penentuan kebijakan control of policy making
2 Pengawasan atas pelaksanaan kebijakan control of policy executing
3 Pengawasan atas penganggaran dan belanja negara control of budgeting
23
C.S.T. Kansil, Sistem Pemerintahan Indonesia, h. 12.