28 menjelaskan hubungan antar variabel penjelas dan variabel respon. Model regresi
yang digunakan adalah regresi berganda dengan model double log. Parameter regresi diduga dengan metode pendugaan OLS Ordinary Least Square. Adapun
sifat-sifat OLS menurut Gujarati 2003, penaksiran OLS tidak bias, penaksiran OLS mempunyai varian yang minimum, konsisten, efisien dan linier. Metode
double log dengan metode pendugaan OLS, dimaksudkan untuk melihat model pendugaan secara statistik. Salah satu ciri dari model double log yaitu koefisien
kemiringan nilai koefisien dugaan mengukur elastisitas variabel tak bebas dengan variabel bebas.
Persamaan double log untuk persamaan permintaan Urea dapat ditulis dalam bentuk sebagai berikut:
LnPPU
i
= β + β
1
LnPU
i
+ β
2
LnPN
i
+ β
3
LnPHD
i
+ β
4
LnLLH
i
+ e
i
, ................ 4.3 Hipotesis: β
1
, β
2,
β
3,
dan β
4
Dimana:
PPU
i
: total permintaan pupuk urea pada harga ke-i
PU
i
: harga urea-i
PN
i
: harga NPK-i
PHD
i
: harga gabah padi-i
LLH
i
: penggunaan lahan dengan jumlah-i
Persamaan untuk produksi padi dapat ditulis sebagai berikut:
LnPP
i
= β + β
1
LnPPKU i + β
2
LnPPKN
i
+ β
3
LnTTK
i
+ β
4
LnLLH + β
5
LnBBT
i
+β
6
LnD1e
i
................................................................................................................ 4.4
Hipotesis: β
1
, β
2,
β
3,
β
4,
β
5
dan β
6
Dimana: PP
i
: total produksi padi pada penggunaan pupuk dengan jumlah-i
PPKU
i
: harga pupuk urea-i
PPKN
i
: harga pupuk NPK-i
TTK
i
: penggunaan tenaga kerja dengan jumlah-i
LLH
i
: penggunaan lahan dengan jumlah-i
BBT
i
: penggunaan bibit atau benih dengan jumlah-i
D1
i
: penggunaan dummy bibit dengan jumlah-i 1=ciherang, 0=non
ciherang Dalam penelitian ini terdapat dua regresi yaitu regresi yang melihat respon
penggunaan pupuk terhadap perubahan harga, dan respon produksi padi terhadap perubahan faktor-faktornya meliputi luas lahan, pupuk, tenaga kerja, benih atau
bibit, dandummy benih. Pada uji statistika ini dilihat nilai koefisien determinasi
29 R-squared, nilai probabilitas F-statisik, serta uji t yang berdasarkan nilai
probabilitas masing- masing variabel indenpendennya yang dibandingkan dengan taraf nyata yang digunakan yaitu 10 persen. Pengujian terhadap kriteria
ekonometrika adalah berdasarkan pada pelanggaran asumsi dalam metode OLS. Penyimpangan yang terjadi terhadap asumsi BLUE Best Linier Unbiased
Estimator akan menyebabkan estimasi terhadap nilai yang diukur menjadi tidak valid. Pada kriteria ekonometrika yang digunakan ialah dengan melihat adanya
multikolinieritas dan heteroskedastisitas. Gujarati 2006 menjelaskan serangkaian evaluasi model dapat dilakukan sebagai berikut:
4.4.2.1 Goodness of Fit
Besranya nilai koefisien determinasi R
2
dihitung untuk mengetahui seberapa jauh keragaman permintaan urea dan produksi padi yang dapat
diterangkan oleh variabel penjelas yang telah dipilih. Jika nilai R
2
semakin tinggi, maka akan semakin baik model karena semakin besar keragaman permintaan urea
dan produksi padi yang dapat dijelaskan oleh variabel penjelas. Rumus koefisien determinasi dapat dituliskan sebagai berikut:
4.4.2.2 Uji F
Uji F dilakukan untuk mengetahui apakah variabel-variabel bebas secara serempak berpengaruh nyata pada variabel tidak bebasnya.F
hit
dalam uji F dihitung dengan menggunakan Minitab 14. Sedangkan F
tabel
dihitung dengan menggunakan rumus Ft
abel
= Fk, n-k- i, α.
Kriteria uji F adalah sebagai berikut: Tolak H0 jika F
hit
F
tabel
atau p-value α taraf nyata. Hal ini berarti terdapat
minimal satu parameter tidak nol dan berpengaruh nyata terhadap keragaman variabel tak bebas.
Terima H0 jika F
hit
F
tabel
atau p-value α taraf nyata. Hal ini berarti bahwa
secara bersamaan variabel yang digunakan tidak dapat menjelaskan keragaman dari variabel tak bebas secara nyata.
30
4.2.2.3 Uji-t
Uji-t dilakukan untuk mengetahui apakah variabel bebas secara parsial berpengaruh terhadap variabel terikat. Uji ini juga dilakukan untuk mengetahui
keabsahan dari hipotesis dan membuktikan apakah koefisien regresi signifikan atau tidak secara statistik.
Hipotesis : H0 : β = 0 H1 : β ≠ 0
Statistik uji: β
Hasil t
hit
dihitung berdasarkan t
tabel
t
tabel
= tα2 n-2 Dimana:
b = koefisien regresi parsial sampel β = koefisien regresi parsial populasi
Sb = simpangan baku koefisien dugaan
Teknik pengambilan kesimpulan:
Tolak H jika t
hit
t
tabel
atau p-value α taraf nyata. Hal ini berarti variabel bebas
yang digunakan berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebasnya. Terima H
jika t
hit
t
tabel
atau p-value α taraf nyata. Hal ini berarti variabel bebas
yang digunakan tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebasnya.
4.2.2.4 Uji Kenormalan
Uji normalitas diperlukan untuk mengetahui apakah error term dari data atau observasi yang jumlahnya kurang dari 30 mendekati sebaran normal sehingga
statistik t dapat dikatakan sah. Data atau observasi dalam penelitian ini jumlahnya lebih dari 30, oleh karena itu data mendekati sebaran normal sehingga diketahui
bahwa statistik t dapat dikatakan sah. Namun, untuk meyakinkan data mendekati sebaran normal perlu dilakukan sebuah uji. Salah satu uji yang dapat dilakukan
adalah dengan metode grafik yaitu dengan melihat penyebaran data pada sumber diagonal pada grafik probabiliy plot of residual.
4.2.2.5 Uji Multikolinearitas
Salah satu asumsi dari model regresi berganda adalah bahwa tidak ada hubungan linier sempurna antar peubah bebas dalam model. Jika hubungan
tersebut ada, berarti terdapat multikolonieritas. Dengan demikian dapat dikatakan
31 bahwa peubah-peubah bebas tersebut berkolinieritas ganda sempurna sehingga
tidak mungkin diperoleh dugaan parameter koefisiennya. Pengujian terhadap ada tidaknya hubungan multikolinieritas dalam sebuah model dapat diketahui melalui
uji Marquardt dan dapat dilihat dari nilai VIF Varian Inflation Factor pada masing-masing variabel bebas. Jika nilai VIF kurang dari 10 menunjukkan bahwa
persamaan tersebut tidak mengalami multikolinieritas.
4.2.2.6 Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas dilakukan untuk melihat apakah terjadi pelanggaran terhadap asumsi homoskedastisitas atau varians yang sama. Jika varians tidak
sama, maka dapat disimpulkan terdapat masalah heteroskedastisitas. Jika terjadi heteroskedastisitas akibatnya pendugaan OLS tidak efisien lagi.Uji yg digunakan
yaitu dengan uji Glejser. Jika nilai p-value alpha maka terima H yang artinya
ragam homogen homoskedastisitas.
4.2.2.7 Uji Autokorelasi
Autokorelasi merupakan gangguan pada fungsi regresi yang berupa korelasi di antara faktor gangguan. Ada beberapa prosedur atau cara untuk mengetahui
adanya maslah autokorelasi pada suatu model regresi. Tetapi uji ada tidaknya autokorelasi yang paling banyak digunakan adalah Uji Durbin-Watson Uji D-W.
Uji ini dapat digunakan bagi sampel, baik besar ataupun kecil, tetapi D-W hanya berhasil baik apabila autokorelasinya berbentuk autokorelasi linear order pertama,
artinya faktor pengganggu e
t
berpengaruh kepada faktor pengganggu e
t-1
. Untuk itu melihat ada tidaknya autokorelasi, dapat digunakan ketentuan sebagai berikut
Firdaus, 2004. Tabel 4.3. Uji Autokorelasi
D-W Kesimpulan
Kurang dari 1,10 Ada autokorelasi
1,10 dan 1,54 Tanpa kesimpulan
1,55 dan 2,46 Tidak ada autokorelasi
2,46 dan 2,90 Tanpa kesimpulan
Lebih daro 2,91 Ada autokorelasi
Sumber : Firdaus 2004
32
V GAMBARAN UMUM
5.1 Kondisi Umum Desa Hambaro
Gambaran umum lokasi penelitian yang dibahas pada penelitian ini meliputi letak geografis dan pembagian administrasi, kependudukan, serta sarana dan
prasarana.Secara rinci penjelasan gambaran umum lokasi penelitian dapat dilihat dibawah ini.
5.1.1 Geografi
Desa Hambaro adalah salah satu desa di wilayah Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor.Desa ini memiliki luas wilayah sebesar 355,778 ha, yang terdiri
dari 4 Dusun, 10 Rukun Warga RW, dan 28 Rukun Tetangga RT. Desa ini terletak kurang lebih 5 km dari kantor Kecamatan Nanggung dan 60 km dari
kantor Kabupaten Bogor.Dengan batas wilayah sebagai berikut : Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Kalong Liud
Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Sukaluyu Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Pangkal Jaya Kehutanan
Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Kalong Liud dan Desa Pangkal
Jaya Secara umum Desa Hambaro Beriklim sedang dengan temperatur rata-rata
34 C pada siang hari 32
C pada malam hari, dengan ketinggian 400 mdl sampai dengan 700 mdl di atas permukaan laut dan curah hujan rata-rata pertahunnya
adalah 300 mm sampai dengan 400 mm. Kondisi lahan di Desa Hambaro tergolong subur dengan warna tanah yang merah dan tekstur tanah lampungan,
sehingga Desa Hambaro sangat cocok untuk pengembangan budidaya padi. Berdasarkan data profil Desa Hambaro 2011, lahan yang berfungsi sebagai lahan
pertanian seluas 225 ha atau sebesar 63, 24 persen dari total luas lahan. Namun lahan yang ditanami padi seluas 214, 3 ha atau sebesar 60, 23 persen. Penggunaan
lahan lainnya adalah untuk pemukiman seluas 44, 322 ha atau sebesar 12,46 persen dan perkebunan seluas 23.399 ha atau sebesar 6,6 persen. Secara rinci luas
wilayah menurut penggunaan Desa hambaro dapat dilihat pada Tabel 5.1. Tabel 5.1. Luas Wilayah Desa Hambaro Menurut Penggunaan
33
No Keterangan
Luas Lahan ha Persentase
1. Pemukiman
44,322 12,46
2. Persawahan
225,000 63,24
3. Perkebunan
23,399 6,60
4. Kuburan
2,500 0,70
5. Pekarangan
9,790 2,74
6. Taman
0,300 0,08
7. Perkantoran
1,200 0,34
8. Prasaranaumum lainnya
49,267 13,84
Total 355,778
100
Sumber : Profil Desa Hambaro, 2011
5.1.2Kependudukan
Jumlah penduduk di Desa Hambaro pad tahun 2011 adalah sebanyak 6730 orang yang terdiri dari 3494 orang laki-laki dan 3236 orang perempuan
denganjumlah kepala keluarga sebanyak 1650 kepala keluarga. Berdasarkan golongan umur golongan terbanyak berada pada golongan 10-19 tahun sebanyak
1432 orang atau sebesar 21,26 persen dan golongan 20-29 sebanyak 1307 orang atau sebesar 19,42 persen dari penduduk total. Sedangakan untuk golongan umur
paling sedikit terdapat pada golongan umur 70 tahun yaitu sebanyak 102 orang atau sebesar 1,50 persen. Secara rinci jumlah penduduk Desa Hambaro menurut
golongan umur pada tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2Jumlah Penduduk Desa Hambaro Menurut Golongan Umur Tahun 2010
No Golongan Umur tahun
Jumlah orang Persentase
1. – 9
1259 18,70
2. 10
– 19 1432
21.26 3.
20 – 29
1307 19,41
4. 30
– 39 1067
15.84 5.
40 – 49
801 11,90
6. 50
– 59 529
7,85 7.
60 – 69
239 3,54
8. ≥ 70
102 1,50
Total 6730
100
Sumber : Sumber : Profil Desa Hambaro, 2011
5.1.3 Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat
Pada dasarnya tingkat tingkat perkembangan perekonomian masyarakat di Desa Hambaro masih cukup rendah karena masih banyak warga masyarakat di
Desa Hambaro bermatapencaharian sebagai petani yaitu sebanyak 152 oang dan buruh tani sebanyak 233 orang. Sedangkan masyarakat Desa Hambaro yang
34 berprofesi sebagai PNS dan TNIPOLRI hanya sebanyak 10 orang. Struktur Mata
Pencaharian penduduk Desa Hambaro dapat dilihat pada Tabel 5.3. Tabel 5.3 Struktur Mata Pencaharian Desa Hambaro Tahun 2011
No Mata Pencaharian
Jumlah orang Persentase
1. Petani
152 5,37
2. Buruh Tani, Industri,
Pertambangan, Bangunan, Perkebunan
369 13,04
3. Pengrajin
35 1,24
4. Pengusaha
196 6,93
5. Pedagang
730 25,80
6. PNS dan TNIPOLRI
10 0,36
7. Jasa-jasa lainnya Pemerintahan
Umum dan Swasta 1337
47,26 Total
2829 100
Sumber: Profil Desa Hambaro, 2011
Tingkat pendidikan masyarakat di Desa Hambaro pun tergolong masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari jumlah tamatan SD di Desa Hambaro sebanyak
3711 orang. Sedangkan jumlah tamatan perguruan tinggi sebanyak 7 orang. Komposisi penduduk Desa Hambaro menurut tingkat pendidikan dapat dilihat
pada Tabel 5.4. Tabel 5.4. Komposisi Penduduk Desa Hambaro Menurut Tingkat Pendidikan
Tahun 2011
No. Tingkat Pendidikan
Jumlah orang Persentase
1. Tamat SD
3711 83,26
2. Tamat SMPsederajat
531 11,91
3. Tamat SMAsederajat
199 4,47
4. Akademi D1 - D3
9 0,20
5. Perguruan Tinggi S1
– S2 7
0,16 Total
4457 100
Sumber: Profil Desa Hambaro, 2011
5.2Karakteristik Responden
Karakteristik petani responden yang dibahas pada penelitian ini meliputi
jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, luas lahan, dan status pengusahaan lahan. 5.2.1 Jenis Kelamin
Jumlah responden petani padi dalam penelitian ini sebanyak 60 orang. Jenis kelamin petani padi yang menjadi responden penelitian ini memiliki perbandingan
yang cukup berimbang dengan yaitu untuk jenis kelamin perempuan sebanyak 31 orang atau 52 dari jumlah responden dan untuk jenis kelamin laki-laki sebanyak
35 29 orang atau 48 dari jumlah responden. Secara rinci jenis jenis kelamin
responden dapat diliat pada Tabel 5.5 di bawah ini. Tabel 5.5 Karakteristik Jenis Kelamin Responden Petani Padi
No Jenis Kelamin
Jumlah orang Persentase
1. Perempuan
31 52
2. Laki-laki
29 48
Total 60
100
Sumber : Data Primer, 2012
5.2.2 Usia
Usia petani padi yang menjadi responden pada penelitian ini berkisar antara 28 sampai 66 tahun. Rata-rata usia responden petani padi adalah 45 tahun.
Sebagian besar usia petani padi yang menjadi responden adalah kelompok umur 40 sampai 49 tahun sebanyak 20 orang atau sebesar 33,33 persen. Kemudian
disusul oleh kelompok umur 30 sampai 39 tahun sebanyak 19 orang atau sebesar 31,67 persen. Secara rinci kelompok usia responden petani padi dapat dilihat pada
Tabel 5.6. Tabel 5.6 Kelompok Usia Responden Petani Padi
No. Umur tahun
Jumlah orang Persentase
1. 30
1 1,67
2. 30
– 39 19
31,67 3.
40 – 49
20 33,33
4. 50
– 59 14
23,33 5.
60 - 69 6
10 60
100
Sumber : Data Primer, 2012
5.2.3 Pendidikan Formal
Pendidikan yang diikuti oleh petani padi terdiri dari pendidikan formal dan pendidikan non formal.Tingkat pendidikan formal petani padi organik dan
anorganik adalah mulai dari SDMI sampai SMAAliyah. Pendidikan terakhir petani padi sebagian besar adalah SDMI yaitu sebanyak 43 orang atau sebesar
71,67 persen. Lainnya adalah SMPMts sebanyak 11 orang atau sebesar 18,33 persen. Selain itu, tingkat pendidikan terakhir yang ditempuh oleh petani padi
adalah SMAAliyah sebanyak 5 orang atau sebesar 8,33 persen. Sedangkan pada pendidikan non formal, petani padi mengikuti berbagai jenis kegiatan untuk
menambah wawasan mereka dalam mengembangkan usahatani seperti sekolah lapang dan pelatihan yang diselenggarakan oleh penyuluh pertanian.Secara rinci
36 penggolongan responden berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel
5.7. Tabel 5.7 Penggolongan Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
No. Tingkat Pendidikan
Jumlah orang Persentase
1. SDMI
43 71,67
2. SMPMts
11 18,33
3. SMAAliyah
5 8.33
4. Pesantren
1 1,67
Total 60
100
Sumber : Data Primer, 2012
5.2.4 Luas Lahan
Responden memiliki luas lahan yang berbeda-beda. Luas lahan padi rata- rata yang diusahakan petani padi adalah seluas 4766,67 m
2
. Besaran pengelompokan luas lahan yang paling mayoritas dimiliki oleh responden petani
adalah seluas 1000 m
2
sampai 4999 m
2
sebanyak 35 orang atau sebesar 58,33 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden merupakan petani
kecil dengan luas lahan yang sedikit. Hal ini didukung dengan data dimana petani padi dengan total di bawah satu hektar adalah sebesar 81,67 persen, sedangkan
petani dengan luas lahan lebih dari satu hektar adalah sebesar 18, 33 persen. Keadaan luas lahan tersebut yang sebagian besar dimiliki oleh petani kecil juga
akan berpengaruh pada penerimaan pendapatan petani dan tingkat kesejahteraan petani. Olah karena itu, dibutuhkan berbagai kebijakan yang memihak kepada
petani untuk dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani Secara rinci penggolongan responden petani padi berdasarkan luas lahan dapat dilihat
pada Tabel 5.8. Tabel 5.8. Penggolongan Responden Berdasarkan Luas Lahan
No. Luas Lahan m
2
Jumlah orang Persentase
1. 1000
3 5
2. 1000
– 4999 35
58,33 3.
5000 – 9999
11 18,33
4. 10000
– 14999 7
11,67 5.
15000 – 19999
2 3,33
6. 20000
– 14999 1
1,67 7.
25000 – 29999
8. 30000
– 34999 1
1,67 Total
60 100
Sumber : Data Primer, 2012
37
5.2.5 Rata – Rata Produksi Padi Responden
Dari data luas lahan di atas dimana luas lahan mayoritas sebesar 1000-4999 m2 mempengaruhi produksi padi yang pada penelitian ini dilihat rata-rata
produksi padi setiap musim tanam yang disajikan pada Tabel 17. Bisa dilihat bahwa rata-rata produksi padi setiap musim tanam periode 2011 terbanyak yaitu
kurang dari 2000 kg sebesar 80 persen. Produksi terbesar kedua yaitu antara 6000- 7999 kg per musim tanam sebesar 10 persen. Data lebih rinci untuk produksi padi
di bawah 2000 kg adalah antara 100 – 999 kg sebanyak 33 orang atau sebesar 55
persen, sedangkan produksi antara 1000 – 1999 adalah sebanyak 15 orang atau
sebesar 25 persen. Hal ini menunjukkan bahwa produksi padi setiap musim tanam masih rendah yang didukung dengan luas lahan yang juga masih rendah. Oleh
karena itu diperlukan teknik produksi, bibit, pupuk, tenaga kerja yang lebih bagus dan terampil tentunya dengan bantuan berbagai kebijakan dari pemerintah.
Adapun secara rinci penggolongan rata-rata produksi padi musim tanam tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 5.9.
Tabel 5.9. Penggolongan Rata – Rata Produksi Padi Musim Tanam Tahun 2011.
No. Produksi kg
Jumlah orang Persentase
1. 2000
48 80
2. 2000
– 3999 1
1,67 3.
4000 – 5999
1 1,67
4. 6000
– 7999 6
10 5.
8000 – 9999
1 1.67
6. 10000
– 11999 7.
12000 – 13999
2 3,32
8. 14000
– 15999 1
1,67 Total
60 100
Sumber : Data Primer, 2012
5.2.6 Pengeluaran Input Produksi Padi Responden
Pengeluaran petani untuk biaya-biaya produksi semakin meningkat dengan adanya peningkatan harga serta peningkatan kebutuhan pada input-input
produksinya seperti pupuk, bibit, obat-obatan, serta tenaga kerja. Berikut ini adalah gambar tentang pengeluran petani pada masing-masing input produksi.
38
Gambar 5.1. Rincian Pengeluaran Input Produksi per Musim Tanam Responden Berdasarkan Gambar 6 diatas terlihat bahwa pengeluaran input produksi
terdiri dari bibit, pupuk, tenaga kerja, sewa alat pertanian, pengairan, pemeliharaan alatsarana, dan biaya pengangkutan. Dari tujuh input produksi
tersebut dapat dilihat bahwa pengeluaran input paling besar yaitu biaya untuk upah tenaga kerja sebesar 39 persen. Biaya tenaga kerja menjadi pengeluaran
petani yang terbesar karena sistem bagi hasil upah tenaga kerja dengan pemilik lahan adalah 1:5. Tenaga kerja mendapatkan bagian satu dari seluruh
produksi,sedangkan pemilik lahan mendapatkan bagian lima dari seluruh produksi padi. Pengeluaran bagi hasil ini belum termasuk biaya tenaga kerja setiap harinya
yang mencapai 20000-30000 untuk setiap hari pada tahap-tahap produksi tertentu seperti pada saat tahap penyiapan lahan, penanaman, dan panen yang
membutuhkan lebih banyak tenaga kerja.Selain itu banyaknya masyarakat Desa Hambaro yang lebih memilih bekerja di luar pertanian membuat harga upah
tinggi. Adapun besaran upah untuk buruh tani perempuan sebesar Rp 20000hari dan untuk laki-laki sebesar Rp 30000hari.
Biaya terbesar kedua adalah pupuk yaitu sebesar 26 persen kemudian diikuti oleh biaya sewa alat pertanian sebanyak 14 persen dan biaya untuk bibit
sebesar 8 persen. Pupuk menjadi biaya terbesar kedua dikarenakan petani di Desa Hambaro masih mengunakan pupuk kimia .Pupuk kimia yang masih digunakan
oleh petani antara lain Urea, TSPSP-36, dan NPK. Masih terbiasanya petani menggunakan pupuk kimia membuat petani sulit untuk beralih menggunakan
8 26
39 14
3 5
5
Rincian Pengeluaran Input Per Musim Tanam Rpm
2
Bibit Pupuk
Tenaga Kerja Sewa Alat Pertanian
Biaya Pengairan Pemeliharaan
SaranaAlat
39 pupuk organik yang sebenarnya salah satu alternatif agar biaya produksi untuk
pupuk menjadi berkurang. Adanya anjuran pemerintah mengenai penggunaan pupuk yang baik seperti Urea sebanyak 200 kg, TSPSP-36 sebanyak 100 kg, dan
KCL sebanyak 100 kg pun menjadi salah satu alasan mengapa petani masih menggunakan pupuk kimia. Alasan lainnya adalah masih banyaknya petani yang
belum mengetahui bagaimana pembuatan pupuk organik dan mereka masih beranggapan membuat pupuk organik akan memakan banyak tenaga kerja
sehingga kan meningkatkan biaya tenaga kerja. Biaya terbesar ketiga adalah sewa alat pertanian. Kebanyakan petani di
Desa Hambaro tidak memiliki alat pertanian untuk membajak sawahnya sehingga sebagian besar responden yang merupakan petani kecil masih membutuhkan
kerbau dan traktor. Sewa untuk kerbau dan traktor terbilang cukup mahal, untuk sewa kerbau perharinya antara 50000
– 60000 rupiah, sedangkan untuk sewa traktor sebesar Rp 500000 untuk satu musim tanam. Lamanya pembajakan sawah
oleh traktor dan kerbau sangat jauh berbeda untuk kerbau biasanya bisa sampai 5 hari atau lebih sesuai dengan luas lahannya sedangkan untuk traktor biasanya
hanya membutuhkan waktu 1 – 2 hari saja.
Biaya untuk bibit yang merupakan biaya terbesar keempat merupakan salah satu input penting dalam produksi padi, karena kualitas bibit akan
mempengaruhi kuantitas dan kualitas produksi padi. Benih yang banyak digunakan oleh responden adalah bibit jenis Ciherang yang harganya sekitar Rp
7500kg. Namun ada jenis bibit lain yang digunakan oleh responden yaitu Inpari 16 dengan harga sekitar Rp 6500kg. Menurut responden saat ini bibit padi sudah
tidak di subdisi kembali karena pada tahun 2010 pernah ada subsidi bibit yaitu bibit Inpari 10 dengan harga sekitar Rp 1000kg namun bibit tersebut terbilang
bibit yang berkualitas buruk karena hasil panen padinya mengalami pengurangan kuantitas karena kebanyakan padinya hampa atau kosong. Oleh karena itu petani
beralih kepada bibit Ciherang karena kualitas yang cukup baik, walaupun biaya produksi pun akan meningkat.
Pengeluaran lain setelah bibit adalah pengairan, pemeliharaan saranaalat pertanian, dan biaya pengangkutan yang masing masing sebesar tiga persen, lima
persen, serta lima persen. Pengeluaran-pengeluaran tersebut penting dalam
40 produksi padi terutama untuk pengairan.Desa Hambaro masih tergolong memiliki
pengairan irigasi yang cukup baik sehingga musim tanam untuk satu tahun berkisar dua sampai tiga musim tanam.
Kebijakan subsidi pupuk berupa HET pada setiap jenis pupuk juga memberikan sumbangan yang cukup tinggi untuk pengeluaran biaya produksi
setiap musim tanamnya. Seperti halnya telah dijelaskan pada Gambar 5.1 bahwa pengeluaran untuk pupuk sebesar 26 persen.
41
VI HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1 Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk
Pupuk merupakan komponen yang cukup penting dalam produksi padi. Seperti halnya telah dijelaskan pada bab sebelumnya mengenai karakteristik
petani responden bahwa pengeluaran terbesar kedua pada biaya produksi adalah pupuk. Sehingga program kebijakan fiskal sangat diperlukan dalam rangka agar
terpenuhinya kebutuhan pupuk petani dengan harga murah dan mudah didapat sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Kebijakan pupuk yang saat ini
diterapkan oleh pemerintah adalah kebijakan subsidi pupuk. Kebijakan subsidi pupuk yang diterapkan saat ini adalah Harga Eceran Tertinggi HET yang
diterima oleh petani pada setiap jenis pupuk. Adapun penyaluran subsidi pupuk diatur oleh pemerintah yaitu dengan
sistem terbuka, dimana petani dapat langsung membeli pupuk ke pengecer resmi. Pengawasan dilakukan untuk mengetahui efektivitas kebijakan subsidi
pupuk.Efektivitas tersebut dapat diketahui melali enam prinsip tepat yaitu harga, jumlah, waktu, tempat, jenis, dan mutu. Pada penelitian iniuntuk mengukur
efektivitas kebijakan subsidi pupuk menggunakan empat dari enam indikator dengan studi kasus di Desa Hambaro, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor.
Indikator pertama yang digunakan untuk mengetahui efektivitas subsidi pupuk adalah tepat harga. Indikator ini dapat diperoleh berdasarkan selisih antara
harga yang diterima responden dengan harga yang seharusnya diterima responden. Secara rinci rata-rata harga pada setiap jenis pupuk yang diterima responden dapat
dilihat pada Tabel 6.1. Tabel 6.1. Rata-Rata Harga Pupuk Bersubsidi yang Diterima Responden
Uraian Urea
TSPSP-36 NPK
Harga rata-rata pembelian Rpkg 2150
2450 2600
Harga eceran tertinggi Rpkg 1800
2000 2300
Deviasi Absolut Rpkg 350
450 300
Deviasi Relatif 19,44
22,5 13,04
Sumber : Data primer, 2012 dan Deptan, 2012
Harga aktual dan harga yang harus diterima oleh responden dapat dilihat pada Tabel 6.1. Adapun jenis pupuk yang digunakan oleh responden adalah pupuk
Urea, TSPSP-36, dam NPK. Pupuk Urea memiliki Harga Eceran Tertinggi HET
42 yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu sebesar Rp 1800kg. Namun pada
kenyataannya harga pupuk Urea yang diterima responden rata-rata sebesar Rp 2150kg. Sehingga selisih antara harga aktual dan harga yang harusnya diterima
responden yaitu sebesar RP 350kg. Dengan kata lain responden telah membeli pupuk Urea dengan harga 19,44 persen lebih mahal untuk setiap satu kilogram
daripada harga sesungguhnya. Jenis pupuk lain yang digunakan oleh responden adalah NPK. Harga
Eceran Tertinggi HET untuk jenis pupuk NPK adalah Rp 2300kg.Rata-rata responden membeli pupuk ini sebesar Rp 2600kg sehingga selisih harga aktual
pupuk dengan harga yang seharusnya diterima responden adalah sebesar Rp 300kg. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa responden membeli pupuk
NPK dengan harga 13,04 persen lebih mahal untuk setiap satu kilogram dari harga sesungguhnya.
Selain jenis pupuk Urea dan NPK jenis pupuk lain yang digunakan responden adalah jenis pupuk TSP atau SP-36. Harga Eceran Tertinggi untuk
pupuk jenis ini adalah Rp 2000kg.Rata-rata harga responden memperoleh pupuk tersebut adalah sebesar Rp 2450kg sehingga selisih antara harga aktual dan harga
yang seharusnya diterima responden adalah sebesar Rp 450kg. Berdasarkan data tersebut maka responden memebeli pupuk TSP atau SP-36 sebsar 22,5 persen
untuk setiap satu kilogram dari harga sesungguhnya. Dari ketiga jenis pupuk tersebut maka dapat dikategorikan bahwa harga pembelian setiap pupuk lebih
tinggi dari harga eceran tertingginya. Hal ini akan mempengaruhi tingkat efektivitas dari kebijakan subsidi pupuk. Secara lebih rinci jumlah responden yang
memperoleh harga yang tepat dan tidak tepat dalam memperoleh subsidi pupuk dapat dilihat pada Tabel 6.2.
Tabel 6.2. Persentase Tingkat Ketepatan Harga Pupuk Bersubsidi
No. Jenis Pupuk
Kesesuaian dengan HET Jumlah
Persentase 1.
Urea Tepat
7 11,67
Tidak Tepat 53
88,33 2.
TSPSP-36 Tepat
3 20,00
Tidak Tepat 12
80,00 3.
NPK Tepat
7 11,67
Tidak Tepat 53
88,33 Total
Tepat 17
12,59 Tidak Tepat
118 87,41
Sumber : Data Primer, 2012
43 Berdasarkan Tabel 6.2 menunjukkan bahwa terdapat berbagai pilihan
penggunaan pupuk oleh responden dimana jenis pupuk yang digunakan adalah jenis Urea, TSP atau SP-36, dan NPK. Analisis data ini dilakukan dengan melihat
perbedaan harga pupuk aktual yang diterima responden dengan harga yang seharusnya diterima responden yaitu harga yang sudah ditetapkan pemerintah
dalam bentuk Harga Eceran Tertinggi HET. Dari tabel di atas dapat dilihat jumlah responden yang dapat memperoleh harga yang sama dengan HET dan
jumlah responden yang tidak memperoleh harga yang sama dengan HET. Harga eceran tertinggi untuk urea adalah Rp 1800kg yang berlaku dari tahun 2012 dan
sampai sekarang masih diberlakukan HET yang sama. Urea mempunyai HET yang lebih rendah dibandingkan dengan pupuk jenis lain. Jumlah responden yang
menerima HET tepat sama dengan harga yang dibayarkan adalah sebanyak tujuh responden, sedangkan jumlah responden yang tidak memperoleh harga sama
dengan HET adalah 53 responden. Responden menggunakan pupuk urea untuk mendukung pertumbuhan daun. Persentase dari responden yang memperoleh
harga sama dengan HET dan tidak sama dengan HET masing-masing sebesar 11,67 persen dan 88,33 persen.
Pupuk selain urea yang disubsidi yaitu NPK yang mempunyai tiga jenis yaitu NPK Phonska, NPK Pelangi, dan NPK Kujang. Jenis NPK yang digunakan
oleh responden adalah NPK dengan jenis NPK Phonska. NPK digunakan responden untuk membantu pertumbuhan buah. Ketiga jenis NPK tersebut
mempunyai HET yang sama yaitu Rp 2300kg. Responden yang mendapatkan harga sesuai dengan HET adalah tujuh responden, sedangkan responden yang
mendapatkan harga lebih tinggi dari HET adalah 53 responden. Adapun persentase harga yang sesuai dengan HET yang diperoleh responden adalah
sebesar 11,67 persen, sedangkan untuk harga yang tidak sesuai dengan HET sebesar 88,33 persen. Data ini sama dengan data jenis pupuk Urea karena
responden mewajibkan menggunakan kedua jenis pupuk tersebut dalam memproduksi padi. Kedua jenis pupuk tersebut pun memiliki persentase yang
lebih besar dalam hal ketidaktepatan dari HET yang berlaku. Jenis pupuk lain yang digunakan responden adalah jenis pupuk TSP atau
SP-36. Pupuk ini digunakan untuk memperkuat batang tanaman dan mempercepat
44 pertumbuhan akar semai. TSPSP-36 mempunyai HET sebesar Rp 2000kg.
Responden yang memperoleh harga sesuai dengan HET adalah tiga responden, sedangkan responden yang tidak memperoleh harga sesuai dengan HET adalah 12
responden. Persentase responden yang mempunyai harga sama dengan HET dan yang tidak sama dengan HET masing-masing sebesar 20 persen dan 80 persen.
Dari ketiga jenis pupuk bersubsidi yang digunakan oleh responden semuanya mempunyai kecenderungan yang sama dimana kebanyakan responden
memperoleh harga yang lebih tinggi dari HET dengan persentase sebesar 87,41 persen dibandingkan dengan responden yang memperoleh harga sama dengan
HET yang hanya sebesar 12,59 persen. Kecenderungan harga yang lebih tinggi dari HET ini terjadi karena kebanyakan responden membeli pupuk di kios yang
dekat dengan desa. Kebanyakan kios resmi berada di luar desa yang membutuhkan tambahan biaya transportasi. Selain itu, kebanyakan responden
juga tidak mengetahui kios resmi yang menjual pupuk bersubsidi. Adanya perusahaan yang mengkreditkan pupuk pun menjadi alasan mengapa harga pupuk
yang diperoleh responden menjadi lebih tinggi. Hal-hal tersebut yang membuat pupuk bersubsidi pada penelitian ini belum bisa dikategorikan memenuhi prinsip
tepat harga. Indikator kedua yang menentukan keefektifan program kebijakan subsidi
pupuk adalah indikator tepat tempat. Tepat tempat yang dimaksud adalah petani sebagai penerima subsidi pupuk dapat memperoleh pupuk di kios resmi atau
pengecer resmi. Secara rinci hasil penelitian tentang indikator tepat tempat akan dijelaskan pada Tabel 6.3 berikut ini.
Tabel 6.3. Persentase Tingkat Ketepatan Tempat Pupuk Bersubsidi
No. Tempat Pembelian Pupuk
Jumlah Responden Persentase
1. Pengecer resmi
7 11,67
2. Bukan pengecer resmi
53 88,33
Total 60
100
Sumber : Data Primer, 2012
Dari Tabel 6.3 di atas dijelaskan tentang besarnya ketepatan tempat pembelian pupuk bersubsidi. Ketepatan tempat ini diukur berdasarkan seberapa
banyak responden yang yang membeli pupuk bersubsidi di pengecer resmi dan bukan pengecer resmi. Dari tabel tersebut terlihat bahwa sebanyak 53 responden
menyatakan bahwa mereka melakukan pembelian pupuk di bukan pengecer resmi.
45 Responden tersebut menyatakan bahwa terdapat kios di dalam desa walaupun
dengan harga yang lebih mahal dan bukan merupakan kios resmi. Namun, responden tersebut tetap memilih untuk membeli pupuk bersubsidi di kios dalam
desa daripada di luar desa meskipun dengan harga yang lebih mahal dengan alasan bahwa kios luar desa terlalu jauh dan masih membutuhkan biaya
transportasi. Dari tabel tersebut juga dapat dilihat bahwa terdapat tujuh responden yang
melakukan pembelian pupuk di pengecer resmi. Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa responden yang membeli pada pengecer resmi di luar desa memiliki
permintaan terhadap pupuk yang cukup besar, sehingga responden membeli di agen resmi dengan harga yang dibayar akan jauh lebih murah daripada harus
membeli di kios yang berada di dalam desa. Dengan melakukan pembelian dalam jumlah besar responden tidak merasa dirugikan dengan adanya biaya transportasi.
Namun, hal ini hanya bisa dilakukan oleh beberapa petani dengan modal yang cukup besar untuk membeli dalam jumlah yang banyak. Petani dengan modal
yang terbatas dimana tidak ada kios resmi yang berada dalam desa dan melakukan pembelian pupuk di luar desa akan merasa terbebani dengan biaya transportasi
karena mereka hanya membeli pupuk dengan jumlah yang tidak besar dan tidak sebanding dengan biaya transportasi yang mereka keluarkan. Persentase
responden yang melakukan pembelian pupuk di tempat yang bukan pengecer resmi dengan responden yang melakukan pembelian pupuk di pengecer resmi
masing-masing sebesar 83,33 persen dan 16,67 persen. Dari persentase tersebut terlihat bahwa masih banyak responden yang melakukan pembelian pupuk
bersubsidi di bukan pengecer resmi dengan berbagai alasan yang telah dijelaskan sehingga kebijakan subsidi pupuk belum dapat dikategorikan efektif dalam
indikator tepat tempat. Indikator ketiga dalam menentukan tingkat keefektifan dari suatu
kebijakan subsidi pupuk adalah indikator tepat waktu. Indikator tepat waktu yang dimaksud adalah pupuk bersubsidi yang akan selalu tersedia ketika dibutuhkan
oleh petani dengan kata lain bahwa tidak terjadi kelangkaan pupuk bersubsidi ketika petaniakan membutuhkan pupuk tersebut. Secara rinci hasil dari penelitian
46 tepat waktu yang berdasarkan pendapat dari responden akan ditunjukkan pada
Tabel 6.4 berikut ini. Tabel 6.4. Persentase Tingkat Ketepatan Waktu Pupuk Bersubsidi
No. Ketepatan Waktu
Jumlah Responden Persentase
1. Pupuk selalu ada
60 100
2. Pupuk tidak ada
Total 60
100
Sumber : Data Primer, 2012
Tabel 6.4 di atas menunjukkan tentang ketepatan waktu dari perolehan pupuk bersubsidi. Indikator ketepatan waktu diukur dengan hasil pendapat
responden yang menyatakan pupuk bersubsidi akan selalu ada atau tidak ada ketika dibutuhkan oleh responden. Dari tabel tersebut terlihat bahwa sebanyak 60
responden atau dapat dikatakan bahwa semua responden berpendapat bahwa pupuk bersubsidi selalu ada ketika akan dibutuhkan mereka untuk mendukung
produksi. Responden berpendapat bahwa beberapa tahun terakhir termasuk tahun 2011 pupuk bersubsidi selalu ada. Kelangkaan pernah terjadi tetapi pada saat
tahun-tahun yang lalu dan pada saat akhir tahun 2011 karena adanya penggantian warna pupuk untuk pupuk Urea yang tadinya berwarna putih sekarng menjadi
berwarna merah muda. Hal ini bertujuan untuk membedakan antara pupuk Urea bersubsidi dan pupuk Urea non subsidi. Namun pada awal tahun 2012
ketersediaan pupuk sudah cenderung normal. Dari persentase 100 persen responden yang menyatakan bahwa pupuk bersubsidi selalu ada ketika dibutuhkan
mereka maka dikategorikan bahwa kebijakan subsidi pupuk dikatakan efektif dalam indikator tepat waktu dengan tingkat ketepatan sempurna, yaitu 100 persen.
Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam melakukan kebijakan subsidi pupuk terutama untuk petani.
Indikator terakhir yang menjadi ruang lingkup dalam penelitian ini adalah indikator tepat jumlah. Indikator tepat jumlah yang dimaksud adalah pemupukan
dilakukan sesuai dengan dosis atau jumlah berdasarkan analisa status hara tanahdan kebutuhan tanaman Rahman, 2009. Jumlah pupuk yang tepat
berdasarkan status hara dan kebutuhan tanaman yang dianjurkan adalah kombinasi antara urea 200kgha, TSPSP-36 sebanyak 75-100kgha, dan KCL sebanyak 75-
100kgha Purwono dan Heni, 2009. Secara rinci hasil penelitian tentang ketepatan jumlah akan ditunjukkan pada Tabel 6.5 berikut ini.
47 Tabel 6.5. Persentase Ketepatan Jumlah Pupuk Bersubsidi
No. Ketepatan Jumlah
Jumlah Responden Persentase
1. Sesuai anjuran
10 16,66
2. Tidak sesuai anjuran
a. di bawah anjuran
22 36,67
b. di atas anjuran
28 46,67
Total 60
100
Sumber : Data Primer, 2012
Berdasarkan Tabel 6.5 menunjukkan hasil dari ketepatan jumlah berdasarkan
penggunaan pupuk
oleh responden
pada setiap
luas lahannya.Responden dengan penggunaan pupuk sesuai dengan jumlah yang
dianjurkan sebanyak 10 responden. Pemupukan dengan dosis yang tepat diperlukan untuk mendukung hasil produksi padi. Apabila terdapat kekurangan
dan kelebihan jumlah pupuk pada setiap lahan akan mempengaruhi tanah dan tanaman sehingga diperlukan penggunaan yang tepat. Responden yang
memberikan pupuk dengan jumlah yang tidak sesuai dengan anjuran adalah sebanyak 50 responden yang terdiri dari penggunaan dengan jumlah di bawah
anjuran dan di atas anjuran yang masing-masing sebesar 22 dan 28 responden. Persentase yang didapat dari ketepatan jumlah antara responden yang
menggunakan pupuk sesuai anjuran dengan yang tidak sesuai anjuran masing- masing sebesar 16,66 persen dan 83,34 persen. Dari persentase tersebut dapat
terlihat bahwa persentase ketepatan jumlah hanya sebesar 16,66 persen yang berarti kebijakan subsidi pupuk belum dapat dikategorikan efektif dalam indikator
tepat jumlah. Oleh karena itu, perlu adanya penyuluhan dari pemerintah kepada petani tentang penggunaan pupuk yang sesuai dengan anjuran agar hasil produksi
padi mereka lebih maksimal karena apabila penggunaan tidak sesuai dengan anjuran baik di atas maupun di bawah anjuran akan mempengaruhi produksi padi.
Indikator-indikator yang digunakan dalam penelitian ini akan dapat menentukan tingkat keefektivitasan subsidi pupuk di Desa Hambaro, Kecamatan
nanggung, Kabupaten Bogor. Keefektifan kebijakan ini diukur berdasarkan presentase masing-masing indikator. Apabila presentase keselurahan indikator
sama ataupun lebih dari 80 maka kebijakan subsidi pupuk dapat dikategorikan efektif. Apabila tingkat keefektifan di bawah 80 maka kebijakan subsidi pupuk
belum dapat dikategorikan efektif. Secara rinci hasil dari keseluruhan indikator
48 tingkat keefektifan kebijakan subsidi pupuk akan ditunjukkan pada tabel berikut
ini. Tabel 6.6. Presentase Tingkat Keefektifan Kebijakan Subsidi Pupuk
No. Indikator Tingkat
Keefektifan Tepat
Tidak Tepat 1.
Harga 12,59
87,41 2.
Tempat 11,67
88,33 3.
Waktu 100
4. Jumlah
16,66 83,34
Rata-rata 35,23
64,77
Sumber : Data Primer, 2012
Berdasarkan Tabel 6.6 di atas dapat diketahui hasil keseluruhan dari empat indikator yang menentukan tingkat keefektifan kebijakan subsidi pupuk yang
diperoleh dari 60 responden yang menjadi sampel dari penelitian ini. Rata-rata dari keempat indikator yang tepat dan tidak tepat masing-masing sebesar 35,23
persen dan 64,77 persen. Dari hasil persentase keseluruhan indikator dapat terlihat bahwa persentase yang menyatakan tepat lebih kecil daripada yang tidak
tepat.Selain itu persentase ketepatan tidak lebih besar dari 80 persen sehingga kebijakan subsidi pupuk dikatakan tidak efektif. Oleh karena itu, perlu adanya
perbaikan baik dari segi penyaluran, pengawasan, maupun hal-hal lain yang mendukung terwujudnya kebijakan subsidi pupuk yang efektif. Perbaikan
terutama dalam hal harga dan tempat pengecer resmi yang seharusnya ada di dalam desa. Sehingga harga pupuk bersubsidi yang diterima petani seharusnya
sama dengan HET. Hal ini yang banyak diharapkan oleh responden. Alasan lain dari responden untuk tetap mengharapkan adanya program kebijakan subsidi
pupuk akan ditunjukkan pada Gambar 6.1 berikut ini.
Gambar 6.1 Alasan Responden tentang Perlunya Subsidi Pupuk 30
25 30
15 Harga Pupuk Non Subsidi
Mahal Kebutuhan Pupuk Banyak
Modal Petani Terbatas Laba Produksi Sedikit
49 Dari Gambar 6.1 di atas dapat dijelaskan bahwa terdapat beberapa alasan
petani tentang perlunya keberlanjutan kebijakan subsidi pupuk. Alasan terbesar petani masih membutuhkan adanya subsidi pupuk adalah harga pupuk non subsidi
yang cukup mahal dan modal petani yang terbatas dengan presentase yang sama yaitu sebesar 30 persen. Harga pupuk non subsidi mahal membuat para petani
enggan untuk membelinya seperti halnya pupuk KCL, pupuk KCL sudah tidak disubsidi padahal petani masih membutuhkan pupuk tersebut.Alasan lainnya
mengenai modal petani yang terbatas menyebabkan petani pun masih membutuhkan adanya subsidi pupuk. Modal yang terbatas membuat petani tidak
bisa membeli di kios resmi yang berada jauh di luar desa karena alasan biaya transportasi. Alasan selanjutnya adalah kebutuhan pupuk responden yang banyak.
Kebutuhan responden akan pupuk yang terbilang banyak membuat pengeluran akan pupuk cukup besar sehingga perlu adanya subsidi pupuk untuk mengurangi
pengeluaran responden. Alasan terakhir adalah alasan laba produksi sedikit yang membuat responden tetap menginginkan adanya subsidi pupuk yang efektif
karena semakin tingginya harga pupuk. Harga pupuk yang tinggi karena kebijakan subsidi pupuk yang masih tidak efektif membuat harga pupuk bersubsidi yang
seharusnya sama dengan HET pada kenyataannya harga yang diperoleh responden menjadi lebih tinggi dari HET. Tingginya harga pupuk juga mempengaruhi biaya
produksi responden yang juga akan semakin meningkat. Hal ini juga tidak diimbangi dengan peningkatan harga pembelian gabah sehingga pendapatan yang
diperoleh responden tidak sebanding dengan biaya produksi yang dikeluarkan mereka. Namun alasan ini memiliki persentase yang kecil yaitu sebesar 15 persen
karena kebanyakan responden di Desa Hambaro tidak menjual hasil panennya. Hasil panen yang mereka dapat biasanya digunakan untuk konsumsi sehari-hari.
Berdasarkan berbagai alasan yang dijelaskan responden tentang masih pentingnya subsidi pupuk maka pemerintah harus memberikan perhatiannya pada
kebijakan subsidi pupuk ini. Selain itu, telah diketahui bahwa hasil dari penelitian ini yang masih mengkategorikan bahwa kebijakan subsidi pupuk yang belum
efektif sehingga perlu adanya perbaikan dari pemerintah untuk mengefektifkan kebijakan ini. Hal ini perlu dilakukan oleh pemerintah agar produksi padi
50 meningkat karena pupuk merupakan salah satu faktor yang menentukan tingkat
produksi padi.
6.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Pupuk Urea
Kebijakan subsidi pupuk merupakan salah satu dari kebijakan fiskal yang bertujuan untuk membantu terpenuhinya kebutuhan pupuk pada petani.Ruang
lingkup pada penelitian ini adalah ingin melihat pengaruh adanya subsidi pupuk terhadap produksi padi petani di Desa Hambaro, Kecamatan Nanggung,
Kabupaten Bogor. Selain itu, juga dilihat hubungan antara harga pupuk yang diterima petani terhadap permintaan pupuk petani sehingga pada akhirnya akan
diketahui seberapa penting pemenuhan kebutuhan pupuk pada petani. Pengaruh pertama dapat dilihat dari hubungan antara harga dengan jumlah atau permintaan
pupuk.Seperti diketahui bahwa harga pupuk bersubsidi di tingkat petani telah ditentukan oleh pemerintah berupa harga eceran tertinggi HET untuk beberapa
jenis pupuk, seperti Urea, TSPSP-36, ZA, NPK, dan organik.Dalam penelitian ini pupuk yang digunakan oleh responden adalah jenis pupuk Urea, TSPSP-36,
NPK, dan KCL.Namun, dalam melihat pengaruh permintaan kebutuhan pupuk di tingkat petani menggunakan harga pupuk urea dan NPK sebagai variabel yang
mewakili harga pupuk.Pemerintah telah menetapkan HET pada masing-masing jenis pupuk meskipun demikian seringkali terjadi perbedaan harga yang diterima
petani karena adanya beberapa faktor, seperti biaya transportasi, biaya pengemasan, dan rendahnya pengetahuan petani tentang kios resmi dari
pemerintah yang menjual pupuk bersubsidi. Dari variasi harga yang diterima oleh petani akan dilihat respon petani terhadap permintaan pupuk. Variabel independen
yang digunakan dalam pengujian ini adalah variabel harga urea, harga NPK, harga padi, dan luas lahan. Dalam model ini hanya memilih dua jenis pupuk yaitu urea
dan NPK dikarenakan kedua jenis pupuk tersebut yang sering digunakan oleh responden. Pengujian ini menggunakan model regresi linear berganda dengan
menggunakan Minitab untuk membantu dalam pengolahan datanya. Hasil dari regresi ini akan ditunjukan pada Tabel 6.7.
51 Tabel 6.7 HasilRegresi Jumlah Permintaan Pupuk Urea
Variabel Bebas Koefisien
Sig VIF
Constant 53,4275 0,0001
PU -3,0774 0,0684
3,537 PNPK
-4,2905 0,1475 4,299
PHD 8,4284 0,0025
1,269 LLH
0.7087 0,0000 1,881
R-Squares 71,87
Adjusted R-Squares 69,82
Sumber : Data primer 2012
Keterangan :
nyata pada taraf α = 10
Berdasarkan Tabel 6.7, model regresi berganda yang dihasilkan adalah sebagai berikut:
LnPPKi = 53, 4275 – 3,0774 LnPUi + 8.4284 LnPHDi + 0.7087 LnLLHi
.............................................................................................. 6.1
Uji statistika berdasakan Tabel 6.7 diperoleh nilai koefisien determinasi R2 yang diperoleh sebesar 0,7187 yang berarti bahwa 71,87 persen keragaman variabel
dependen atau jumlah pupuk dapat dijelaskan oleh variasi-variasi variabel independennya yaitu harga pupuk. Selain itu, sisanya sebesar 28,13 persen
dijelaskan oleh variabel-variabel lain diluar model. Berdasarkan nilai probabilitas F-statistik yaitu sebesar 0,0000 yang lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan
yaitu 0,10 10 persen yang berarti bahwa variabel independen berpengaruh nyata terhadap variabel dependen sehingga model penduga tersebut layak untuk
menduga parameter yang ada dalam fungsi. Analisis regresi berganda harus memenuhi empat asumsi klasik, untuk
memenuhi asumsi tersebut, sebanyak 60 respoden yang bersedia menerima kompensasi digunakan dalam pengolahan data.Uji normalitas dilakukan dengan
metode grafik probability plot of residual menghasilkan p-value sebesar 0,150 atau lebih besar dari taraf nyata 10 .Hasil tersebut menunjukkan bahwa data
residual menyebar normal lihat Lampiran 4. Pemeriksaan asumsi terkait masalah multikolinieritas dilihat dari nilai VIF,
pada Tabel 6.7, masing-masing variabel bebas menunjukkan nilai VIF kurang dari 10, hasil tersebut mengindikasikan tidak adanya pelanggaran multikolinieritas
dapat dilihat juga pada Lampiran 7. Asumsi selanjutnya regresi berganda adalah tidak adanya autokorelasi.Uji autokorelasi menggunakan Uji Durbin-
Watson.Hasil menunjukkan bahwa nilai DW sebesar 2,45 lihat Lampiran 5.
52 Firdaus 2004 menyatakan bahwa nilai DW berada di antara 1,55 dan 2,46
menunjukkan tidak adanya autokorelasi. Karena nilai DW diantara selang tersebut, maka menunjukkan tidak ada autokorelasi.
Pemeriksaan asumsi homoskedastisitas pada model regresi di atas menggunakan uji glejser hasil p-value yang diperoleh yaitu 0,659 lihat Lampiran
6. Berarti nilai p-value 0.659 alpha 0.10 maka terima H0 yang artinya ragam homogen homoskedastisitas.
Harga Urea PU memiliki nilai koefisien sebesar -3,0774 artinya apabila
harga Urea naik satu satuan maka permintaan pupuk Urea akan turun sebesar 3,0774 persen cateris paribus. Hal ini dikarenakan pemakaian pupuk
pendamping yaitu NPK yang memiliki unsur N sehingga petani lebih cenderung mengurangi pemakaian pupuk urea dan tetap menggunakan pupuk NPK. Harga
urea berpengaruh nyata terhadap nilai permintaan Urea pada taraf nyata 10 persen. Dalam persamaan 6.1 dapat dilihat bahwa harga gabah padi dan luas lahan
mempunyai hubungan yang positif terhadap jumlah permintaan pupuk dan berpengaruh nyata pada taraf 10 persen. Hal ini berarti bahwa apabila terjadi
peningkatan harga padi dan luas lahan sebesar 1 persen, maka akan meningkatkan jumlah permintaan pupuk yang masing-masing sebesar 8,4284 dan 0,7087 persen
ceteris paribus. Dari hasil ini dapat dilihat bahwa pupuk NPK tidak memiliki hubungan subtitusi karena hasil yang tidak berpengaruh nyata terhadap model.
Hal ini karena jenis NPK yang merupakan pupuk majemuk 15:15:15 dimana sudah memiliki unsur N yang merupakan unsur utama pada Urea sehingga NPK
tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan pupuk Urea. Dari hasil persamaan ini maka dapat disimpulkan bahwa variabel yang paling mempengaruhi
permintaan pupuk adalah harga gabah padi, sehingga dapat dijelaskan bahwa pendapatan hasil panen akan mempengaruhi pembelian pupuk unntuk musim
tanam selanjutnya. Selain itu efektivitas kebijakan subsidi pupuk pun mempunyai peran yang penting dalam pemenuhan kebutuhan pupuk di tingkat petani karena
setiap terjadi perubahan harga di tingkat petani akan mempengaruhi pengeluaran biaya pupuk oleh petani.
53
6.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Padi
Faktor-faktor yang digunakan dalam mempengaruhi produksi padi selain pupuk adalah luas lahan, benih, dan jumlah tenaga kerja Sugiarto, 2008. Selain
itu, juga dimasukkan satu variabel dummy, yaitu dummy benih. Pengujian ini dilakukan untuk melihat seberapa besar dari masing-masing faktor terutama harga
pupuk mempengaruhi produksi padi. Pengujian ini dilakukan dengan regresi berganda,dengan menggunakan Minitab. Hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel
6.8 berikut ini. Tabel 6.8. Hasil Estimasi Produksi Padi
Variabel Bebas Koefisien
Sig VIF
Constant 5,900 0,111
PPKU 5,123 0,000
3,675 PPKN
3,159 0,043 4,238
TTK 0,439 0,010
4,507 LLH
0,824 0,000 7,130
BBH -0,002 0,983
3,541 D1
0,106 0,020 1,253
R-Squares 92,7
Adjusted R-Squares 91,9
Sumber : Data primer 2013
Keterangan :
nyata pada taraf α = 10
Berdasarkan Tabel 6.8, model regresi berganda yang dihasilkan adalah sebagai berikut:
LnPP =
5,900+5,123LnPPKU+ 3,159
LnPPKN +
0.439LnTTK+ 0,8248LnLLH
+ 0,106
L
n
D1........................................................................ 6.2
Berdasarkan Tabel 25 yang merupakan uji statistika, diperoleh nilai koefisien determinasi sebesar 0,927 yang artinya 92,7 persen keragaman produksi
padi sebagai variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel-variabel independennya yaitu luas lahan, benih, tenaga kerja, pupuk, dan dummy benih.
Sisanya yaitu sebesar 9,35 persen dijelaskan oleh variabel-variabel lain di luar model. Berdasarkan nilai probabilitas F-statistik sebesar 0,0000 yang lebih kecil
dari taraf nyata yang digunakan yaitu 0,10 10 persen. Hal ini berarti bahwa variabel independen dalam model secara bersama-sama berpengaruh nyata
terhadap variabel dependen. Hasil lain adalah hasil dari uji t yang dapat dilihat melalui nilai probabilitas dari masing-masing variabel independennya. Variabel
54 harga pupuk Urea, harga pupuk NPK, luas lahan, tenaga kerja, dan dummy benih
mempunyai nilai probabilitas lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan yaitu 0,10 10 persen yang berarti variabel-variabel independen tersebut berpengaruh
nyata terhadap produksi padi. Sedangkan untuk variabel bibittidak berpengaruh nyata karena nilai probabilitasnya lebih besar dari taraf nyata yang digunakan
yaitu 0,1 10 persen. Analisis regresi berganda harus memenuhi empat asumsi klasik.Uji
normalitas dilakukan dengan metode grafik probability plot of residual menghasilkan p-value sebesar 0,150 atau lebih besar dari taraf nyata 10 .Hasil
tersebut menunjukkan bahwa data residual menyebar normal lihat Lampiran 9. Pemeriksaan asumsi terkait masalah multikolinieritas dilihat dari nilai VIF,
pada Tabel 6.8, masing-masing variabel bebas menunjukkan nilai VIF kurang dari 10, hasil tersebut mengindikasikan tidak adanya pelanggaran multikolinieritas
dapat dilihat juga pada Lampiran 12. Asumsi selanjutnya regresi berganda adalah tidak adanya autokorelasi.Uji autokorelasi menggunakan Uji Durbin-
Watson. Hasil menunjukkan bahwa nilai DW sebesar 2,43 lihat Lampiran 10. Firdaus 2004 menyatakan bahwa nilai DWberada di antara 1,55 dan 2,46
menunjukkan tidak adanya autokorelasi. Karena nilai DW diantara selang tersebut, maka menunjukkan tidak ada autokorelasi.
Pemeriksaan asumsi homoskedastisitas pada model regresi di atas menggunakan uji glejserhasil p-value yang diperoleh yaitu 0,368 lihat Lampiran
11. Berarti nilai p-value 0.368 alpha 0.10 maka terima H0 yang artinya ragam homogen homoskedastisitas.
Dari persamaan di atas dapat dilihat harga pupuk Urea dan NPK mempunyai hubungan yang positif sebesar 5,123 dan 3,159 terhadap produksi padi. Hal ini
berarti bahwa setiap terjadi peningkatan 1 persen pada harga pupuk Urea dan NPK maka akan meningkatkan produksi padi sebesar 5,123 dan 3,159 persen
dimana variabel lain dianggap tetap ceteris paribus. Hal ini dikarenakan kenaikan harga pupuk berpengaruh terhadap penggunaan pupuk yang di pakai
sehingga akan berpengaruh pula pada produksi padinya. Pemakaian pupuk oleh petani di daerah penelitian rata-rata sebesar 455 kgha lebih dari dosis pupuk yang
dianjurkan yaitu 400 –450kgha. Pemakaian pupuk yang kurang menyebabkan