Pengeluaran Input Produksi Padi Responden

41 VI HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1 Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk

Pupuk merupakan komponen yang cukup penting dalam produksi padi. Seperti halnya telah dijelaskan pada bab sebelumnya mengenai karakteristik petani responden bahwa pengeluaran terbesar kedua pada biaya produksi adalah pupuk. Sehingga program kebijakan fiskal sangat diperlukan dalam rangka agar terpenuhinya kebutuhan pupuk petani dengan harga murah dan mudah didapat sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Kebijakan pupuk yang saat ini diterapkan oleh pemerintah adalah kebijakan subsidi pupuk. Kebijakan subsidi pupuk yang diterapkan saat ini adalah Harga Eceran Tertinggi HET yang diterima oleh petani pada setiap jenis pupuk. Adapun penyaluran subsidi pupuk diatur oleh pemerintah yaitu dengan sistem terbuka, dimana petani dapat langsung membeli pupuk ke pengecer resmi. Pengawasan dilakukan untuk mengetahui efektivitas kebijakan subsidi pupuk.Efektivitas tersebut dapat diketahui melali enam prinsip tepat yaitu harga, jumlah, waktu, tempat, jenis, dan mutu. Pada penelitian iniuntuk mengukur efektivitas kebijakan subsidi pupuk menggunakan empat dari enam indikator dengan studi kasus di Desa Hambaro, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. Indikator pertama yang digunakan untuk mengetahui efektivitas subsidi pupuk adalah tepat harga. Indikator ini dapat diperoleh berdasarkan selisih antara harga yang diterima responden dengan harga yang seharusnya diterima responden. Secara rinci rata-rata harga pada setiap jenis pupuk yang diterima responden dapat dilihat pada Tabel 6.1. Tabel 6.1. Rata-Rata Harga Pupuk Bersubsidi yang Diterima Responden Uraian Urea TSPSP-36 NPK Harga rata-rata pembelian Rpkg 2150 2450 2600 Harga eceran tertinggi Rpkg 1800 2000 2300 Deviasi Absolut Rpkg 350 450 300 Deviasi Relatif 19,44 22,5 13,04 Sumber : Data primer, 2012 dan Deptan, 2012 Harga aktual dan harga yang harus diterima oleh responden dapat dilihat pada Tabel 6.1. Adapun jenis pupuk yang digunakan oleh responden adalah pupuk Urea, TSPSP-36, dam NPK. Pupuk Urea memiliki Harga Eceran Tertinggi HET 42 yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu sebesar Rp 1800kg. Namun pada kenyataannya harga pupuk Urea yang diterima responden rata-rata sebesar Rp 2150kg. Sehingga selisih antara harga aktual dan harga yang harusnya diterima responden yaitu sebesar RP 350kg. Dengan kata lain responden telah membeli pupuk Urea dengan harga 19,44 persen lebih mahal untuk setiap satu kilogram daripada harga sesungguhnya. Jenis pupuk lain yang digunakan oleh responden adalah NPK. Harga Eceran Tertinggi HET untuk jenis pupuk NPK adalah Rp 2300kg.Rata-rata responden membeli pupuk ini sebesar Rp 2600kg sehingga selisih harga aktual pupuk dengan harga yang seharusnya diterima responden adalah sebesar Rp 300kg. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa responden membeli pupuk NPK dengan harga 13,04 persen lebih mahal untuk setiap satu kilogram dari harga sesungguhnya. Selain jenis pupuk Urea dan NPK jenis pupuk lain yang digunakan responden adalah jenis pupuk TSP atau SP-36. Harga Eceran Tertinggi untuk pupuk jenis ini adalah Rp 2000kg.Rata-rata harga responden memperoleh pupuk tersebut adalah sebesar Rp 2450kg sehingga selisih antara harga aktual dan harga yang seharusnya diterima responden adalah sebesar Rp 450kg. Berdasarkan data tersebut maka responden memebeli pupuk TSP atau SP-36 sebsar 22,5 persen untuk setiap satu kilogram dari harga sesungguhnya. Dari ketiga jenis pupuk tersebut maka dapat dikategorikan bahwa harga pembelian setiap pupuk lebih tinggi dari harga eceran tertingginya. Hal ini akan mempengaruhi tingkat efektivitas dari kebijakan subsidi pupuk. Secara lebih rinci jumlah responden yang memperoleh harga yang tepat dan tidak tepat dalam memperoleh subsidi pupuk dapat dilihat pada Tabel 6.2. Tabel 6.2. Persentase Tingkat Ketepatan Harga Pupuk Bersubsidi No. Jenis Pupuk Kesesuaian dengan HET Jumlah Persentase 1. Urea Tepat 7 11,67 Tidak Tepat 53 88,33 2. TSPSP-36 Tepat 3 20,00 Tidak Tepat 12 80,00 3. NPK Tepat 7 11,67 Tidak Tepat 53 88,33 Total Tepat 17 12,59 Tidak Tepat 118 87,41 Sumber : Data Primer, 2012 43 Berdasarkan Tabel 6.2 menunjukkan bahwa terdapat berbagai pilihan penggunaan pupuk oleh responden dimana jenis pupuk yang digunakan adalah jenis Urea, TSP atau SP-36, dan NPK. Analisis data ini dilakukan dengan melihat perbedaan harga pupuk aktual yang diterima responden dengan harga yang seharusnya diterima responden yaitu harga yang sudah ditetapkan pemerintah dalam bentuk Harga Eceran Tertinggi HET. Dari tabel di atas dapat dilihat jumlah responden yang dapat memperoleh harga yang sama dengan HET dan jumlah responden yang tidak memperoleh harga yang sama dengan HET. Harga eceran tertinggi untuk urea adalah Rp 1800kg yang berlaku dari tahun 2012 dan sampai sekarang masih diberlakukan HET yang sama. Urea mempunyai HET yang lebih rendah dibandingkan dengan pupuk jenis lain. Jumlah responden yang menerima HET tepat sama dengan harga yang dibayarkan adalah sebanyak tujuh responden, sedangkan jumlah responden yang tidak memperoleh harga sama dengan HET adalah 53 responden. Responden menggunakan pupuk urea untuk mendukung pertumbuhan daun. Persentase dari responden yang memperoleh harga sama dengan HET dan tidak sama dengan HET masing-masing sebesar 11,67 persen dan 88,33 persen. Pupuk selain urea yang disubsidi yaitu NPK yang mempunyai tiga jenis yaitu NPK Phonska, NPK Pelangi, dan NPK Kujang. Jenis NPK yang digunakan oleh responden adalah NPK dengan jenis NPK Phonska. NPK digunakan responden untuk membantu pertumbuhan buah. Ketiga jenis NPK tersebut mempunyai HET yang sama yaitu Rp 2300kg. Responden yang mendapatkan harga sesuai dengan HET adalah tujuh responden, sedangkan responden yang mendapatkan harga lebih tinggi dari HET adalah 53 responden. Adapun persentase harga yang sesuai dengan HET yang diperoleh responden adalah sebesar 11,67 persen, sedangkan untuk harga yang tidak sesuai dengan HET sebesar 88,33 persen. Data ini sama dengan data jenis pupuk Urea karena responden mewajibkan menggunakan kedua jenis pupuk tersebut dalam memproduksi padi. Kedua jenis pupuk tersebut pun memiliki persentase yang lebih besar dalam hal ketidaktepatan dari HET yang berlaku. Jenis pupuk lain yang digunakan responden adalah jenis pupuk TSP atau SP-36. Pupuk ini digunakan untuk memperkuat batang tanaman dan mempercepat 44 pertumbuhan akar semai. TSPSP-36 mempunyai HET sebesar Rp 2000kg. Responden yang memperoleh harga sesuai dengan HET adalah tiga responden, sedangkan responden yang tidak memperoleh harga sesuai dengan HET adalah 12 responden. Persentase responden yang mempunyai harga sama dengan HET dan yang tidak sama dengan HET masing-masing sebesar 20 persen dan 80 persen. Dari ketiga jenis pupuk bersubsidi yang digunakan oleh responden semuanya mempunyai kecenderungan yang sama dimana kebanyakan responden memperoleh harga yang lebih tinggi dari HET dengan persentase sebesar 87,41 persen dibandingkan dengan responden yang memperoleh harga sama dengan HET yang hanya sebesar 12,59 persen. Kecenderungan harga yang lebih tinggi dari HET ini terjadi karena kebanyakan responden membeli pupuk di kios yang dekat dengan desa. Kebanyakan kios resmi berada di luar desa yang membutuhkan tambahan biaya transportasi. Selain itu, kebanyakan responden juga tidak mengetahui kios resmi yang menjual pupuk bersubsidi. Adanya perusahaan yang mengkreditkan pupuk pun menjadi alasan mengapa harga pupuk yang diperoleh responden menjadi lebih tinggi. Hal-hal tersebut yang membuat pupuk bersubsidi pada penelitian ini belum bisa dikategorikan memenuhi prinsip tepat harga. Indikator kedua yang menentukan keefektifan program kebijakan subsidi pupuk adalah indikator tepat tempat. Tepat tempat yang dimaksud adalah petani sebagai penerima subsidi pupuk dapat memperoleh pupuk di kios resmi atau pengecer resmi. Secara rinci hasil penelitian tentang indikator tepat tempat akan dijelaskan pada Tabel 6.3 berikut ini. Tabel 6.3. Persentase Tingkat Ketepatan Tempat Pupuk Bersubsidi No. Tempat Pembelian Pupuk Jumlah Responden Persentase 1. Pengecer resmi 7 11,67 2. Bukan pengecer resmi 53 88,33 Total 60 100 Sumber : Data Primer, 2012 Dari Tabel 6.3 di atas dijelaskan tentang besarnya ketepatan tempat pembelian pupuk bersubsidi. Ketepatan tempat ini diukur berdasarkan seberapa banyak responden yang yang membeli pupuk bersubsidi di pengecer resmi dan bukan pengecer resmi. Dari tabel tersebut terlihat bahwa sebanyak 53 responden menyatakan bahwa mereka melakukan pembelian pupuk di bukan pengecer resmi. 45 Responden tersebut menyatakan bahwa terdapat kios di dalam desa walaupun dengan harga yang lebih mahal dan bukan merupakan kios resmi. Namun, responden tersebut tetap memilih untuk membeli pupuk bersubsidi di kios dalam desa daripada di luar desa meskipun dengan harga yang lebih mahal dengan alasan bahwa kios luar desa terlalu jauh dan masih membutuhkan biaya transportasi. Dari tabel tersebut juga dapat dilihat bahwa terdapat tujuh responden yang melakukan pembelian pupuk di pengecer resmi. Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa responden yang membeli pada pengecer resmi di luar desa memiliki permintaan terhadap pupuk yang cukup besar, sehingga responden membeli di agen resmi dengan harga yang dibayar akan jauh lebih murah daripada harus membeli di kios yang berada di dalam desa. Dengan melakukan pembelian dalam jumlah besar responden tidak merasa dirugikan dengan adanya biaya transportasi. Namun, hal ini hanya bisa dilakukan oleh beberapa petani dengan modal yang cukup besar untuk membeli dalam jumlah yang banyak. Petani dengan modal yang terbatas dimana tidak ada kios resmi yang berada dalam desa dan melakukan pembelian pupuk di luar desa akan merasa terbebani dengan biaya transportasi karena mereka hanya membeli pupuk dengan jumlah yang tidak besar dan tidak sebanding dengan biaya transportasi yang mereka keluarkan. Persentase responden yang melakukan pembelian pupuk di tempat yang bukan pengecer resmi dengan responden yang melakukan pembelian pupuk di pengecer resmi masing-masing sebesar 83,33 persen dan 16,67 persen. Dari persentase tersebut terlihat bahwa masih banyak responden yang melakukan pembelian pupuk bersubsidi di bukan pengecer resmi dengan berbagai alasan yang telah dijelaskan sehingga kebijakan subsidi pupuk belum dapat dikategorikan efektif dalam indikator tepat tempat. Indikator ketiga dalam menentukan tingkat keefektifan dari suatu kebijakan subsidi pupuk adalah indikator tepat waktu. Indikator tepat waktu yang dimaksud adalah pupuk bersubsidi yang akan selalu tersedia ketika dibutuhkan oleh petani dengan kata lain bahwa tidak terjadi kelangkaan pupuk bersubsidi ketika petaniakan membutuhkan pupuk tersebut. Secara rinci hasil dari penelitian