Tangkap Lebih dan Solusinya

3. Open Access Siapa saja boleh memanfaatkan sumberdaya tanpa ijin dari siapapun. Property right regimes seperti di atas menghasilkan perbedaan tingkat keperdulian stewardship terhadap sumberdaya. Tingkat keperdulian terhadap sumberdaya cenderung menguat dengan semakin jelasnya hak-hak atas sumberdaya tersebut, walaupun pada “perbatasan” rezim terdapat overlaps antara satu rezim dengan lainnya. Rezim kepemilikan sumberdaya perikanan bersifat common property dan rezim akses yang bersifat open access. Dalam jangka panjang common property bisa menjadi open access jika institutional tidak bekerja Bromley, 1991. Di Indonesia open access murni tidak ada, yang terjadi adalah quasi open access setengah atau semi open access karena setiap nelayan yang akan berusaha, paling tidak harus memperoleh izin permit dari pemerintah, baik daerah maupun pusat.

2.5.2. Tangkap Lebih dan Solusinya

Berdasarkan dua hal yang paling kritikal pada pengelolaan sumberdaya perikanan yang telah disebutkan di atas maka gejala tangkap lebih overfishing dapat terjadi terutama overfishing secara ekonomi. Pendekatan pengelolaan dengan konsep Maximum Sustainable Yield MSY belakangan ini banyak dikritik oleh berbagai pihak sebagai pendekatan yang terlalu sederhana dan tidak mencukupi. Kritik yang paling mendasar diantaranya adalah karena pendekatan MSY tidak mempertimbangkan sama sekali aspek sosial ekonomi pengelolaan sumberdaya alam. Lebih jauh lagi dapat dikatakan bahwa pendekatan MSY bersifat : 1 tidak stabil, karena perkiraan stok yang meleset sedikit saja bisa mengarah pada pengurasan stok stock depletion, 2 tidak memperhitungkan nilai ekonomis apabila stok ikan tidak dipanen dan 3 sulit diterapkan pada kondisi dimana perikanan memiliki ragam jenis atau multispecies Untuk mengatasi permasalahan overfishing terutama gejala overfishing secara ekonomi economic overfishing dapat dilakukan rasionalisasi. Intrumen yang digunakan dalam rasionalisasi adalah pajak baik pajak terhadap input maupun terhadap output, dan quota. Pajak terhadap input akan berpengaruh terhadap Total Costs TC yang dikeluarkan dan pajak output akan berpengaruh terhadap Total Revenue TR yang akhirnya berpengaruh terhadap keuntungan yang diperoleh. Penerapan pajak baik input maupun output sering menimbulkan disinsentif dan distorsi bagi usaha perikanan serta cukup kompleks diterapkan pada perikanan multi species Fauzi, 2000. Pada penentuaan quota sebagai alat rasionalisasi jumlah tangkapan yang optimal lebih dulu ditentukan. Jumlah tangkapan optimal tersebut adalah merupakan quota yang boleh ditangkap dan menjamin kelestarian sumberdaya perikanan. Misalnya ditentukan bahwa quota yang boleh ditangkap adalah sejumlah X. Jumlah tersebut bisa ditangkap dengan cara Individual Transferable Quota ITQ, dan limited entry. Dengan quota maka masing-masing pelaku perikanan memperoleh kepastian terhadap bagian dari tangkap yang diperbolehkan, sehingga tidak perlu berlomba untuk mencari ikan race for fish. Salah satu faktor yang cukup menentukan dalam penerapan quota adalah harus didukung oleh enforcement yang kuat. Dilain pihak enforcement merupakan sesuatu yang cukup mahal bahkan di negara maju sekalipun. Lemahnya enforcement di bidang perikanan di negara-negara berkembang seperti Indonesia, menyebabkan quota menjadi hal yang menimbulkan biaya sosial yang cukup mahal. Hal ini terjadi karena enforcement yang lemah akan melahirkan tiga problem utama quota yaitu price grading, quota busting dan under reporting. Tanpa enforcement yang kuat, quota akan menyebabkan pelaku perikanan akan memenuhi quotanya dengan ikan-ikan yang bernilai ekonomi tinggi sehingga semakin banyaknya ikan yang nilai ekonomis rendah terbuang by catch yang pada gilirannya akan menimbulkan bias pada pendugaan stok atau stock assesment secara keseluruhan. Selain itu, quota busting yang bersamaan dengan under reporting akan terjadi jika enforcement tidak berjalan baik. Quota busting adalah kecenderungan pelaku perikanan untuk menangkap lebih dari kuota yang ditetapkan, sehingga akan menimbulkan kesalahan dalam pelaporan dan kekeliruan dalam pendugaan stock Cunningham et al., 1985. Sedangkan limited entry akan menimbulkan beberapa masalah antara lain jebakan ekspektasi expectation traps dan penumpukan kapital capital stuffing. Jebakan ekspektasi akan timbul apabila kebijakan limited entry dibuat menjadi transferable dapat dipindahtangankan. Akibat pengurangan armada yang beroperasi menyebabkan timbulnya harapan dapat meningkatkan pendapatan per unit upaya penangkapan dari nelayan yang masih diijinkan untuk beroperasi. Harapan ini akan meningkatkan nilai jual dari armada pada saat dipindahtangankan ke pihak lain. Nilai jual ini sering melebihi expected return dari usaha perikanan yang akhirnya menjadi jebakan ekpektasi. Penetapan limited entry juga menimbulkan masalah capital stuffing penumpukan modalkapital. Hal ini karena terjadinya proses substitusi input dari industi perikanan. Jika hanya upaya yang dibatasi misalnya jumlah kapal maka pelaku perikanan akan melakukan kegiatan substitusi input dengan menambah mesin atau memperbesar ukuran kapal Fauzi, 2000. Selain teknik rasionalisasi di atas, akhir-akhir ini dikembangkan solusi melalui “Marine Protected Area” MPA. Perikanan Indonesia yang bersifat open access dalam jangka panjang hasil tangkapannya akan semakin menurun. Untuk mengatasi hal tersebut dan untuk menjaga kelestarian serta kesinambungan potensi perikanan maka MPA dapat dilakukan. Konsepnya adalah menentukan suatu lokasi MPA yang tepat didalam suatu daerah penangkapan open access. Lokasi MPA tersebut dilindungi secara ketat sehingga menjadi tempat dimana flora dan fauna dapat berkembang secara alami dan tidak terganggu. Dengan dilakukannya MPA maka keberadaan ikan akan tetap terjaga dan terlindungi di lokasi MPA, walaupun penangkapan tetap dilakukan secara open access. Akan tetapi terdapat beberapa hal yang menjadi kesulitan dalam melaksanakan MPA yaitu sulitnya menentukan lokasi yang tepat dan sulitnya menentukan luasan MPA yang dapat menampung supply ikan dari daerah open access Fauzi and Buchary, 2002. Teori Gordon yang berkembang pada masyarakat perikanan juga menjelaskan apa yang disebut dengan overfishing Graham, 1952. Diterangkan bahwa overfishing ekonomi tidak akan terjadi pada perikanan yang terkendali, sedangkan overfishing biologi akan terjadi kapan saja bila perbandingan antara harga dengan biaya cukup tinggi Clark, 1985. Kemungkinan pemecahan masalah overfishing adalah limited entry, dimana program ini sudah diperkenalkan pada berbagai negara. Teori Gordon-Schaefer cukup populer digunakan dalam mengatasi overfishing sumberdaya perikanan, sama halnya dengan Teori “The Tragedy of The Commons” nya Hardin tahun 1968. Menurut Hardin 1968, sumberdaya bersama open access akan mendorong eksploitasi yang berlebihan overgrazed, misalnya pengabaian ketersediaan rumput di padang pengembalaan bagi ternak yang lain, semakin sering orang melakukan kegiatan berburu bison misalnya maka jumlah bison akan semakin berkurang sehingga hasil berburunya juga akan semakin kecil.

2.5.3. Perangkat Hukum dan Kelembagaan