bahwa OCM serta kelompok koordinator harus mengandalkan persuasi yang dalam banyak hal tidaklah efektif.
Keterpaduan fungsi tidak pernah didefinisikan secara jelas. Akibatnya, sementara grup koordinasi berhasil berfungsi sebagai forum untuk
mengkoordinasikan berbagai kebijakan dan aktivitas, tidak pernah ada usaha sistematik tentang fungsi-fungsi mana yang sebetulnya dapat dipadukan. Struktur
juga dapat menjadi penghambat, karena terdapatnya kantor atau lembaga yang sudah berkembang cukup lama untuk menangani hal-hal spesifik sehingga tidak
mau bekerjasama dengan lembaga-lembaga lain. Karena tidak adanya dukungan politis yang kuat, peraturan yang mendukung atau dukungan dana yang cukup,
banyak strategi yang diusulkan dalam ICM tidak berhasil secara baik. Akhirnya pada akhir tahun 1995, OCM diberhentikan, dan tanggungjawabnya dibagikan
lagi pada berbagai lembaga. Terlalu sering, perhatian diberikan pada penyatuan dan restrukturisasi
lembaga-lembaga untuk meningkatkan kerjasama sehingga tidak aneh apabila hal ini tidak berhasil. Yang paling penting adalah mengajak banyak orang untuk
bekerjasama, dan kita tidak dapat begitu saja melakukannya dengan menyatukan lembaga-lembaga tersebut. Kita masih harus bekerja keras untuk meningkatkan
kerjasama dan semangat tim Robinson, 1992.
2.5.4.2. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Jepang
Potensi sumberdaya perikanan di Jepang dibandingkan dengan potensi sumberdaya perikanan Indonesia jauh lebih kecil. Akan tetapi pengelolaan
sumberdaya perikanannya sangat baik sehingga hasil yang diperoleh dari
pemanfaatan sumberdaya perikanan cukup besar. Adapun sistem pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan di Jepang adalah sebagai berikut Ministry
of Agriculture, Forestry and Fishery, 2001: 1.
Sistem pengelolaan sumberdaya perikanan yang berbasis pada hak Right- Based Fisheries System, yang terdiri dari :
a. Common Fishing Right
Hak ini diberikan kepada koperasi perikanan Fisheries Cooperation Assosiation = FCA, dengan 3 tipe alat tangkap yaitu littoral fish, alat
tangkap tetap 27.00 m dan jaring pantai b.
Set Net Fishing Right Diberikan kepada individu atau group nelayan dengan alat tangkap set net
di kedalaman 27.00 m c.
Demarcated Fishing Right Diberikan pada koperasi perikanan untuk areal laut tertentu misalnya
untuk budidaya laut. 2.
Sistem Pengelolaan Perikanan Berbasis pada Masyarakat Community Based Fisheries Management
3. Sistem Lisensi Licencing Fisheries System
Diberikan kepada individu, kelompok nelayan atau perusahaan perikanan yang melakukan aktivitas perikanan di laut lepas yang dikeluarkan oleh pemerintah
pusat atau Provinsi. Bukan merupakan hak milik sehingga bisa dicabut. Alat pengelolaan sumberdaya perikanan yang digunakan di Jepang meliputi :
1. Input-based : Total Allowable Effort TAE, penutupan musim, pembatasan
areal penangkapan, pembatasan ukuran jaring, dan lain-lain.
2. Output-based : Total Allowable Catch TAC
Sementara itu, institusi atau kelembagaan yang berperan dalam pengelolaan sumberdaya perikanannya adalah :
1. Komite Koordinasi Perikanan Fisheries Coordination Committee. Sebuah
komite yang dibentuk untuk menjaga kehormonisan pemanfaatan sumberdaya perikanan sekaligus menjaga konflik antar nelayan. Anggotanya terdiri dari
nelayan, pemerintah daerahpusat dan perguruan tinggi atau LSM yang berpengalaman terhadap kondisi perikanan di daerah tersebut
2. Kementrian Pertanian, Kehutanan dan Perikanan
3. Institusi Hukum dan Peraturan. Terdiri dari Undang-Undang UU Koperasi
Perikanan, UU Perlindungan dan Konservasi Sumberdaya Laut TAC System, dll, UU Promosi Perikanan Pantai, UU Pelabuhan Perikanan dan UU
Perlindungan dan Konservasi Sumberdaya Perikanan melindungi sumberdaya perikanan pantai. Semua UU ini dikeluarkan untuk memberikan kepastian
hukum terhadap produksi perikanan. Selain itu, terdapat pula UU Fundamental Perikanan Suisan Kihon Hou untuk memberikan kepastian
hukum pada seluruh aspek dalam sistem perikanan produksi, pengolahan, distribusi, komunitas dan konsumsi.
2.6. Dasar Hukum Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pelagis Di Perairan Selat Bali