Analisis penetapan harga pokok produksi bibit tanaman rambutan (nephelium lappaceum L) pada kebun bibit Ragunan , Jakarta Selatan

(1)

ANALISIS PENETAPAN HARGA POKOK PRODUKSI BIBIT

TANAMAN RAMBUTAN (

Nephelium lappaceum,

L)

PADA KEBUN BIBIT RAGUNAN, JAKARTA SELATAN

Rifa Atul Maulidah

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2011 M/1432 H


(2)

ANALISIS PENETAPAN HARGA POKOK PRODUKSI BIBIT TANAMAN RAMBUTAN (Nephelium lappaceum, L) PADA KEBUN BIBIT RAGUNAN, JAKARTA SELATAN

Oleh :

RIFA ATUL MAULIDAH 106092003018

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Agribisnis

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2011M/1433H


(3)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Jakarta, Desember 2011

Rifa Atul Maulidah 106092003018


(4)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Jakarta, Desember 2011

Rifa Atul Maulidah 106092003018


(5)

DATA DIRI

Nama : Rifa Atul Maulidah Jenis Kelamin : Perempuan

TTl : Jakarta, 4 November 1987

Alamat : Jl. H. Misan Rt.13 Rw.03 no.88, petukangan utara, Jakarta selatan

Telp :

Alaman email : Rif4_vy@yahoo.co.id

LATAR BELAKANG PENDIDIKAN

SDI Darul Muttaqien 1995 s/d 2000

SMP Darul Muttaqien 2000 s/d 2003

MA Darunnajah 2003 s/d 2006

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2006 s/d 2011

PENGALAMAN PEKERJAAN

TK. AL-ADZKAR Larangan Pengajar 2010

BPR Ragasakti Asisten Dirut 2011


(6)

RINGKASAN

RIFA ATUL MAULIDAH 106092003018, Analisis Penetapan Harga Pokok Produksi Bibit Tanaman Rambutan (Nephelium Lappaceum, L) Pada Kebun Bibit Ragunan, Jakarta Selatan. Di bawah bimbingan ELPAWATI dan HANDOJO KRISTYANTO.

Rambutan (Nephelium lappaceum, L) merupakan salah satu komoditas tropis eksotis yang digemari oleh masyarakat, baik dalam negeri maupun luar negeri. Tanaman rambutan merupakan tanaman buah asli Indonesia. Tanaman ini mempunyai peluang yang cukup besar untuk dikembangkan karena ketersediaan lahan yang cukup, agroklimat yang cocok, dan sumber daya yang melimpah.

Kebun Bibit Ragunan Jakarta merupakan salah satu kebun yang dimiliki Balai Benih Induk Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta yang bertanggung jawab kepada Gubernur DKI Jakarta. Balai Benih Induk Ragunan Jakarta Selatan adalah salah satu balai penyedia bibit tanaman rambutan yang dengan keunikan produknya, karena sumber induk yang digunakan dari induk yang sudah tersertifikasi. Dengan jaminan kualitas bibit yang lebih bermutu diharapkan dapat mampu memenuhi permintaan pasar yang ada. Kebun Bibit Ragunan Jakarta Selatan tidak memiliki metode harga pokok produksi yang tetap sehingga penentuan harga jualnya pun hanya mengikuti harga umum dari penjual lain.

Kebun Bibit Ragunan DKI Jakarta memiliki acuan harga bibit tanaman hortikultura pada tahun 2001, yang sesuai dengan surat Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 3482/2001 dengan harga Rp 5.000 untuk bibit rambutan ukuran 50cm–100cm dan Rp 17.500 untuk ukuran 1m–2m. Setelah tahun berikutnya sampai sekarang Kebun Bibit Ragunan tidak dapat menggunakan acuan harga tersebut.

Tujuan Penelitian ini adalah: “Menetapkan metode perhitungan harga pokok produksi untuk bibit tanaman rambutan pada Kebun Bibit Ragunan”.

Alat analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah metode harga pokok produksi full costing dan variable costing. Penggunaan kedua metode ini akan bertujuan untuk mendapatkan hasil perhitungan harga pokok produksi untuk bibit tanaman rambutan pada Kebun Bibit Ragunan Jakarta Selatan. Hasil perhitungan kedua metode akan dibandingkan sehingga akan didapat suatu metode yang dapat digunakan untuk menghasilkan harga pokok produksi yang terbaik yang nantinya dapat digunakan sebagai acuan harga jual bagi perusahaan.

Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan, memperlihatkan tidak ada perbedaan dari total harga pokok produksi antara metode full costing dan variable costing saat produksi 2.000 bibit, namun akan berbeda pada saat kenaikan produksi. Harga pokok produksi dengan metode Full Costing dan Variable Costing pada saat produksi 2.000 adalah sebesar Rp. 18.288.159,-. Harga pokok produksi pada saat kenaikan produksi bertambah 2.000 menjadi 4.000 bibit dengan metode variable costing memiliki nilai terkecil bila dibandingkan dengan metode full costing. Harga pokok produksi dengan menggunakan metode variable costing adalah sebesar Rp. 31.282.883,-, sedangkan metode full costing


(7)

vii menghasilkan harga pokok sebesar Rp 36.576.317,-. Hal ini karena ada perbedaan dalam menganalisis biaya pada saat kenaikan produksi. Pada metode full costing

menggolongkan biaya dalam biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, dan biaya tidak langsung (BOP), sedangkan pada metode variable costing

menggolongkan biaya menjadi dua yaitu biaya tetap dan biaya variabel.

Harga pokok produksi yang tepat adalah harga pokok yang dilihat pada tinggi atau rendahnya hasil perhitungan. Kedua metode yang digunakan dalam perhitungan ini memiliki kelemahan dan keuntungan. Harga pokok produksi dengan menggunakan metode full costing pada saat kenaikan produksi menunjukkan nilai yang lebih besar dari nilai yang menggunakan metode variabel costing karena pada metode full costing, semua unsur biaya dimasukkan ke dalam perhitungan, baik biaya tetap maupun variable tanpa memperhatikan tingkat produksi yang dicapai perusahaan. Pada metode variabel costing, hanya memasukkan biaya variabel ke dalam perhitungan harga pokok produksi. Oleh karena itu, yang lebih tepat digunakan untuk perhitungan harga pokok produksi yaitu metode Metode Variable Costing, karena pada saat kenaikan produksi hanya menghitung biaya yang bersifat variable saja sedangkan untuk biaya tetapnya tidak diperhitungkan

Jadi penetapan harga pokok produksi dengan metode variable costing

dapat dijadikan dasar bagi penetapan harga pokok produksi pada Kebun Bibit Ragunan Jakarata Selatan.


(8)

KATA PENGANTAR

Bissmillahirrahmanirrahim

Alhamdulillah, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas seluruh rahmat dan karunia yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Skripsi yang berjudul: Analisis Penetapan Harga Pokok Produksi Bibit Tanaman Rambutan (Nephelium lappaceum. L) Pada Kebun Bibit Ragunan Jakarta Selatan. Shalawat beserta salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW yang telah menyampaikan ajaran islam sebagai penyejuk hati dan penyelamat umat manusia dari belenggu kebodohan.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih atas bantuan moril dan materil yang diberikan oleh pihak-pihak yang telah mendukung terselesaikannya skripsi ini. Ucapan terima kasih diberikan kepada:

1. Orang tua tercinta yang selama ini telah mencurahkan kasih sayang, perhatian, pengorbanan dan kesabaran dalam mendidik anak-anaknya. Diiringi dengan do’a-do’a yang tiada henti demi kebahagiaan anak-anaknya. Skripsi ini ananda persembahkan kepada kedua orang tua tercinta dan semoga menjadi kebanggaan dalam hatinya.

2. Dr. Elpawati, MP dan Dr. Handojo Kristyanto, MM selaku dosen pembimbing yang selalu meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, masukan, dan solusi yang bermanfaat bagi penulis dalam proses pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi.


(9)

ix 3. Dr. Edmon Daris, MS dan Ir. Junaidi, M.Si selaku dosen penguji yang telah bersedia memberikan kritik dan saran yang bermanfaat demi kesempurnaan penulisan skripsi.

4. Drs. Acep Muhib, MM dan Riski Adi Puspitasari, MMA selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Agribisnis yang telah memberikan suatu komitmen, dorongan, dan program pendidikan sesuai kebutuhan mahasiswanya.

5. Dr. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis selaku dekan Fakultas Sains dan Teknologi, yang telah mengesahkan skripsi ini.

6. Seluruh dosen dan staf pengajar, yang telah memberikan ilmu yang berharga, nasehat dan arahan selama dibangku perkuliahan.

7. Seluruh jajaran Fakultas Sains dan Teknologi yang telah membantu dan melayani hingga terselesaikannya skripsi ini.

8. Seluruh jajaran Program Studi Agribisnis atas dukungan dan bantuan yang diberikan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. 9. Kakak dan adikku tersayang dan seluruh anggota keluarga besarku yang

selalu mendoakan dan memberikan dukungan penuh kepadaku.

10. Ir. Widodo selaku Kepala Pusat Pengembangan Benih Tanaman Pangan Hortikultura dan Kehutanan Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian dan penulisan skripsi pada Kebun Bibit Ragunan.

11. Bapak Darsim, seluruh staf kantor, dan para pekerja di Kebun Bibit Ragunan yang dengan terbuka memberikan informasi yang dibutuhkan untuk pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi.


(10)

x 12. D’Princess yaitu Andhieka ”Rapunzel” Ulfa, Wiwin ”Mulan” Iswardani, Rinrin ”Snow White” Rindyani, Sri ”Belle” Ajeng, Yuniawati ”Cinderella”, Regina ”Ariel” Sari dan Fajar ”Jasmine” Khoirunnisa atas kebersamaan, kehangatan dan kekeluargaan yang terjalin selama kuliah. kenangan bersama kalian semua merupakan kenangan yang menyenangkan dan terindah selama semoga dapat terus berlanjut.

13. Seluruh teman jurusan Agribisnis angkatan 2006 yang sama-sama berjuang dalam masa perkuliahan ini. Sukses selalu untuk kita semua.

14. Sahabatku tercinta dan orang terkasihku yang selalu member do’a dan dukungan penuh kepadaku dalam menghadapi segala kejadian yang kualami.

Akhir kata penulis mohon dibukakan pintu maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam perjalanan perkuliahan, penulis pernah melakukan kekhilafan baik dalam tutur kata maupun tindakan, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

Wassalam,

Jakarta, Desember 2011


(11)

xi DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.4. Manfaat Penelitian ... 6

1.5. Batasan Penelitian ... 6

BAB II LANDASAN TEORI ... 8

2.1. Asal Tanaman Rambutan.... ... 8

2.2. Jenis dan Varietas Rambutan ... 9

2.2.1. Jenis Rambutan ... 9

2.2.1. Varietas Rambutan ... 9

2.3. Pengertian Bibit ... 11

2.4. Syarat Menghasilkan Bibit Bermutu ... 12

2.5. Pengertian Harga Pokok Produksi ... 13

2.6. Tujuan dan Manfaat Penentuan Harga Pokok Produksi ... 14

2.7. Pengertian Biaya dan Penggolongannya ... 15

2.8. Elemen Biaya Produksi dalam Penentuan Harga Pokok Produksi ... 22

2.8.1. Biaya Bahan Baku ... 22

2.8.2. Biaya Tenaga Kerja ... 24


(12)

xii

2.9. Metode Penentuan Harga Pokok Produksi... 28

2.9.1. Full Costing ... 29

2.9.2. Variabel Costing ... 30

2.10. Penelitian Terdahulu ... 33

2.11. Kerangka Pemikiran ... 36

BAB III METODE PENELITIAN ... 38

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 38

3.2. Sumber Data ... 38

3.3. Metode Pengumpulan Data ... 39

3.4. Analisis Data ... 40

3.4.1. Analisis Kualitatif ... 40

3.4.2. Analisis Kuantitatif ... 40

3.4.2.1. Penetapan Harga Pokok Produksi dengan Metode Full Costing ... 41

3.4.2.2. Penetapan Harga Pokok Produksi dengan Metode Variable Costing ... 41

3.4.2.3. Perbandingan Metode Penetapan Harga Pokok Produksi ... 42

3.5. Definisi Operasional ... 43

BAB IV GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN ... 44

4.1. Profil Perusahaan ... 44

4.2. Visi dan Misi UPT Balai Benih Induk ... 44

4.3. Sejarah Organisasi Dinas Pertanian DKI Jakarta ... 45

4.4. Sejarah Kebun Bibit Ragunan Jakarta ... 46

4.4.1. Tugas dan Fungsi Kebun Bibit UPT BBI Ragunan DKI Jakarta ... 47

4.4.2. Keadaan Umum Lokasi Kebun Bibit BBI Ragunan ... 48

4.5. Struktur Organisasi ... 49

4.5.1. Tugas Kepala Balai Benih Induk ... 49

4.5.2. Sub Bagian Tata Usaha ... 49

4.5.3. Tugas Seksi Produksi Benih ... 50


(13)

xiii

4.5.5. Tugas Sub Kelompok Jabatan Fungsional ... 51

4.6. Proses Produksi Bibit Rambutan Pada Kebun Bibit Ragunan ... 52

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 56

5 .1. Biaya-Biaya yang Dikeluarkan Dalam Produksi ... 56

5.1.1. Penggunaan Biaya Langsung ... 56

5.1.1.1. Biaya Bahan Baku ... 57

5.1.1.2. Tenaga Kerja Langsung ... 59

5.1.2. Penggunaan Biaya Tidak Langsung ... 61

5.1.2.1. Biaya Peralatan Produksi ... 62

5.1.2.2. Biaya Penyusutan Bangunan ... 65

5.1.2.3. Biaya Lainnya ... 65

5.2. Produksi dan Pendapatan ... 66

5.3. Perhitungan Harga Pokok Produksi Bibit Tanaman Rambutan dengan Metode Full Costing ... 67

5.4. Perhitungan Harga Pokok Produksi Bibit Tanaman Rambutan dengan Metode Variable Costing ... 69

5.5. Perbandingan Harga Pokok Produksi Bibit Tanaman Rambutan antara Full Costing dan Variable Costingi ... 73

BAB VI KESIMPULAN ... 77

6.1. Kesimpulan ... 77

6.2. Saran ... 78 DAFTAR PUSTAKA


(14)

xiv DAFTAR TABEL

Halaman

1. Perkembangan Produksi rambutan Di Indonesia 2007-2009 (Ton)... 1 2. Varietas Unggul Rambutan dan Karakteristiknya ... 11 3. Bahan Baku Produksi 2.000 Bibit Tanaman Rambutan pada Kebun

Bibit Ragunan ... 57 4. Biaya Bahan Baku Produksi Bibit Tanaman Rambutan pada Kebun

Bibit Ragunan Tahun 2010 ... 58 5. Tenaga Kerja Produksi 2.000 Bibit Tanaman Rambutan pada Kebun

Bibit Ragunan ... 60 6. Biaya Tenaga Kerja Langsung Produksi Bibit Tanaman Rambutan

Pada Kebun Bibit Ragunan Tahun 2010 ... 61 7. Alat Produksi 2.000 Bibit Tanaman Rambutan pada Kebun

Bibit Ragunan ... 62 8. Biaya Peralatan Produksi Bibit Tanaman Rambutan Pada Kebun Bibit

Ragunan Jakarta Selatan Tahun 2010 ... 63 9. Biaya Penyusutan Peralatan Produksi Bibit Tanaman Rambutan Pada

Kebun Bibit Ragunan Jakarta Selatan 2010 ... 64 10. Biaya Penyusutan Bangunan Produksi Bibit Tanaman Rambutan Pada

Kebun Bibit Ragunan Jakarta Selatan Tahun 2010 ... 65 11. Biaya Lain Produksi Bibit Tanaman Rambutan Pada Kebun Bibit

Ragunan Jakarta Selatan Tahun 2010 ... 66 12. Pendapatan Hasil Usaha Bibit Tanaman rambutan

Pada Kebun Bibit Ragunan ... 67 13. Perhitungan Harga Pokok Produksi Bibit Tanaman Rambutan

Pada Kebun Bibit Ragunan Jakarta Selatan dengan Pendekatan

Full Costing Tahun 2010 ... 68 14. Pendapatan Hasil Usaha Bibit Tanaman Rambutan Pada Kebun Bibit


(15)

xv 15. Perhitungan Harga Pokok Produksi Bibit Tanaman Rambutan

Pada Kebun Bibit Ragunan Jakarta Selatan dengan Pendekatan

Variable Costing Tahun 2010 ... 70 16. Pendapatan Hasil Usaha Bibit Tanaman Rambutan Pada Kebun Bibit

Ragunan dengan Metode Variable Costing ... 72 17. Perbandingan Harga Pokok Produksi Bibit Tanaman Rambutan Per

Produksi 2.000 Bibit Tahun 2010 ... 74 18. Perbandingan Harga Pokok Produksi Bibit Tanaman Rambutan Per


(16)

xvi DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Grafik Data Produksi Bibit Tanaman Rambutan Pada Kebun Bibit

Ragunan 4 Tahun Terakhir ... 7 2. Harga Pokok Produksi dan Total Harga Pokok Produk Metode

Full Costing ... 30 3. Harga Pokok Produksi dan Total Harga Pokok Produk Metode

Variabel Costing ... 31 4. Bagan Kerangka Pemikiran Operasional ... 37 5. Proses Produksi Bibit Tanaman Rambutan Pada Kebun Bibit


(17)

xvii DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Biaya Bahan Baku Produksi Bibit Tanaman Rambutan Pada Kebun

Bibit Ragunan Jakarta Selatan Tahun 2010 ... 81

2. Biaya Alat Produksi dan Penyusutan Peralatan Produksi Bibit Tanaman Rambutan Pada Kebun Bibit Ragunan, Jakarta Selatan Tahun 2010 ... 82

3. Biaya Penyusutan Fasilitas Produksi Pada Kebun Bibit Ragunan Jakarta Selatan Tahun 2010 ... 83

4. Harga Pokok Produksi Bibit Tanaman Rambutan Pada Kebun Bibit Ragunan Jakarta Selatan dengan Metode Full Costing Tahun 2010 ... 84

5. Harga Pokok Produksi Bibit Tanaman Rambutan Pada Kebun Bibit Ragunan Jakarta Selatan dengan Metode Variable Costing Tahun 2010 ... 85

6. Daftar Pertanyaan Wawancara ... 86

7. Varietas Unggul Rambutan dan Karakteristiknya ... 88

8. Deskripsi Rambutan Varietas Binjai ... 89

9. Deskripsi Rambutan Varietas Rapiah ... 90

10.Deskripsi Rambutan Varietas Lebak Bulus ... 91

11.Deskripsi Rambutan Varietas Antalagi` ... 92

12.Deskripsi Rambutan Varietas Sibongkok ... 93

13.Surat Permohonan Penelitian ... 94

14.Surat Persetujuan Penelitian... 95

15.Surat Keterangan Selesai Penelitian ... 96

16.Keputusan Gubernur Tentang Penetapan Harga Penjualan Bibit/Benih Tanaman Hortikultura No.3482/2001 ... 97


(18)

xviii 18.Sebaran Kebun Bibit BBI DKI Jakarta ... 100 19.Denah UPT BBI Ragunan ... 101 20.Struktur Organisasi BBI Pertanian dan Kehutanan Provinsi DKI Jakarta Sesuai dengan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta


(19)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pembangunan agribisnis hortikultura, khususnya buah-buahan telah diberi prioritas oleh pemerintah Indonesia. Prioritas diberikan karena terus meningkatnya permintaan atas komoditas dimaksud seiring dengan meningkatnya pendapatan masyarakat (Badan Agribisnis Departemen Pertanian, 1999:5).

Indonesia merupakan Negara agraris yang memiliki banyak sekali jenis tanaman buah dan salah satunya adalah rambutan dengan keragaman jenisnya seperti rapiah, binjai, lebak bulus dan lainnya. Rambutan merupakan satu jenis tanaman buah yang sudah umum dikenal oleh masyarakat.

Badan Pusat statistik (2009:1) mendata produksi rambutan Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Selama periode 2007 – 2009 produksi rambutan meningkat. Seperti yang tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan Produksi Rambutan di Indonesia 2007 – 2009 (Ton)

Tahun Rambutan

(Ton)

2007 705.823

2008 851.240

2009 986.841

Sumber: Badan Pusat Statistik (2009:1)

Produksi buah rambutan meningkat dari tahun 2007 dengan jumlah 705.823 ton menjadi 986.841 ton pada tahun 2009. Peningkatan produksi rambutan tentu saja dipengaruhi dengan adanya peningkatan permintaan akan buah rambutan maupun bibitnya. Peningkatan tersebut merupakan peluang bagi


(20)

2

setiap perusahaan. Baik perusahaan yang bergerak dibidang produksi buah maupun perusahaan yang bergerak dalam bisnis penyedia bibit tanaman rambutan.

Rambutan (Nephelium lappaceum, L) merupakan salah satu komoditas

tropis eksotis yang digemari oleh masyarakat, baik dalam negeri maupun luar negeri. Tanaman rambutan merupakan tanaman buah asli Indonesia. Tanaman ini mempunyai peluang yang cukup besar untuk dikembangkan karena ketersediaan lahan yang cukup, agroklimat yang cocok, dan sumber daya yang melimpah. Sumber daya lahan yang tersedia saat ini banyak yang belum dimanfaatkan secara optimal. (Badan Agribisnis Departemen Pertanian, 1999:9).

Banyaknya perusahaan yang memproduksi bibit tanaman rambutan, berdampak pada tingginya persaingan diantara perusahaan-perusahaan tersebut. Tingginya tingkat persaingan diantara perusahaan-perusahaan ini menjadikan kemampuan bersaing sangat mutlak diperlukan.

Kebun Bibit Ragunan merupakan perusahaan bibit tanaman rambutan yang telah berdiri sejak 1975 sampai sekarang. Perusahaan yang telah berdiri tentunya ingin berkembang dan terus menjaga kelangsungan hidupnya, untuk itu pihak manajemen perusahaan perlu membuat kebijakan yang mengacu pada terciptanya efisiensi dan efektivitas kerja. Kebijakan tersebut dapat berupa penetapan harga pokok produksi yang efektif , dan tetap menjaga kualitas dari barang atau produk yang dihasilkan, sehingga harga pokok produk satuan yang dihasilkan perusahaan lebih rendah dari yang sebelumnya. Kebijakan ini sangat bermanfaat bagi perusahaan untuk menetapkan harga jual yang tepat dengan laba yang ingin


(21)

3

diperoleh perusahaan, sehingga perusahaan tersebut dapat bersaing dengan perusahaan–perusahaan lain yang memproduksi produk sejenis. Hal ini tentunya tidak terlepas dari tujuan didirikannya perusahaan yaitu agar modal yang ditanamkan dalam perusahaan dapat terus berkembang atau dengan kata lain mendapatkan laba semaksimal mungkin.

Tujuan utama suatu perusahaan didirikan, selain untuk memenuhi kebutuhan manusia adalah untuk mendapatkan keuntungan yang layak. Dengan adanya keuntungan yang layak maka dimungkinkan suatu perusahaan dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya bahkan dapat mengembangkan usahanya untuk lebih maju dan berkembang. Untuk itu perusahaan harus selalu berusaha menghasilkan barang dan jasa yang berkualitas tinggi namun harganya relatif rendah. Agar hal tersebut dapat tercapai maka perusahaan hendaknya menggunakan biaya yang efektif. Perusahaan manufaktur menggolongkan biaya ke dalam tiga biaya utama yaitu biaya produksi, biaya pemasaran, biaya administrasi dan umum. Dari penggolongan biaya tersebut dapat diketahui bahwa perhitungan biaya produksi merupakan salah satu hal yang penting dalam upaya merealisasi tujuan perusahaan.

Kebun Bibit Ragunan Jakarta merupakan salah satu kebun yang dimiliki Balai Benih Induk Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta yang bertanggung jawab kepada Gubernur DKI Jakarta. Balai Benih Induk Ragunan Jakarta Selatan adalah salah satu perusahaan penyedia bibit tanaman rambutan yang dengan keunikan produknya, karena sumber induk yang digunakan dari induk yang sudah tersertifikasi. Dengan jaminan kualitas bibit yang lebih bermutu diharapkan dapat


(22)

4

mampu memenuhi permintaan pasar yang ada. Pada Kebun Bibit Ragunan tidak memiliki metode harga pokok produksi yang tetap sehingga penentuan harga jualnya pun tidak memiliki acuan.

Kesalahan dalam perhitungan harga pokok produksi dapat mengakibatkan penentuan harga jual pada suatu perusahaan menjadi terlalu tinggi atau terlalu rendah. Kedua kemungkinan tersebut dapat mengakibatkan keadaan yang tidak menguntungkan bagi perusahaan, karena dengan harga jual yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan produk yang ditawarkan perusahaan akan sulit bersaing dengan produk sejenis yang ada di pasar, sebaliknya jika harga jual produk terlalu rendah akan mangakibatkan laba yang diperoleh perusahaan rendah pula. Kedua hal tersebut dapat diatasi dengan penentuan harga pokok produksi yang tepat. Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai

“Analisis Penetapan Harga Pokok Produksi Bibit Tanaman Rambutan (Nephelium lappaceum, L) pada Kebun Bibit Ragunan, Jakarta Selatan”.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan sebelumnya, dapat diperoleh gambaran bahwa bibit merupakan input penentu dalam produksi tanaman.

Kebun Bibit Ragunan DKI Jakarta memiliki acuan harga bibit tanaman hortikultura pada tahun 2001, yang sesuai dengan surat Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 3482/2001 dengan harga Rp 5.000 untuk bibit rambutan ukuran 50cm–100cm dan Rp 17.500 untuk ukuran 1m–2m, Keputusan Gubernur terdapat pada Lampiran 16 dan 17. Setelah tahun berikutnya


(23)

5

sampai sekarang Kebun Bibit Ragunan tidak dapat menggunakan acuan harga tersebut.

Saat ini harga jual di Kebun Bibit Ragunan ditentukan langsung oleh produsen atau pihak kebun bibit Ragunan sendiri yaitu Rp. 20.000 tidak menggunakan metode khusus, tetapi seharusnya Kebun Bibit Ragunan memiliki harga jual yang lebih rendah karena berapa dibawah naungan BBI. Beberapa tahun terakhir Kebun Bibit Ragunan telah mengalami perubahan harga jual.

Terkait dengan tujuan sosial pemilik perusahaan yaitu mempertahankan harga jual yang dapat dijangkau seluruh kalangan konsumen dan mendapat keuntungan yang sesuai, maka perusahaan berupaya mempertahankan harga jual yang nantinya dapat dijangkau konsumen. Namun tujuan tersebut terkendala dengan tidak ada penetapan harga pokok produksi. Oleh karena itu, diperlukan metode harga pokok produksi yang tepat guna membantu perusahaan dalam memperkirakan harga jual per bibit. Harga pokok produksi yang tinggi akan menyebabkan harga jual yang tinggi pula, sehingga dikhawatirkan tidak sesuai dengan daya beli konsumen.

Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan yang akan dianalisis adalah : “Metode penetapan harga pokok produksi apa yang tepat untuk bibit tanaman rambutan pada Kebun Bibit Ragunan?”

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan penelitian ini adalah:


(24)

6

“Menetapkan metode perhitungan harga pokok produksi yang tepat untuk bibit tanaman rambutan pada Kebun Bibit Ragunan”.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Bagi Penulis

Menerapkan ilmu yang telah diperoleh selama kuliah dan menambah pengalaman dan wawasan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu tentang harga pokok produksi.

2. Bagi Perusahaan

Penelitian ini diharapkan berguna bagi pemilik perusahaan dalam penetapan kebijakan, strategi dan pengambilan keputusan untuk menetapkan harga pokok produksi.

3. Bagi Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi dan acuan dalam melakukan penelitian selanjutnya.

4. Bagi Umum

Hasil Penelitian ini diharapkan berguna bagi pihak-pihak yang ingin menekuni usaha bibit rambutan.

1.5. Batasan Penelitian

Penelitian ini hanya membahas harga pokok produksi bibit tanaman rambutan yang menggunakan media polybag karena bibit yang menggunakan


(25)

7

pot tidak diteliti dalam penelitian ini. Selain itu, penelitian ini hanya menghitung penetapan harga pokok produksi pada Kebun Bibit Ragunan, dengan tidak melakukan perbandingan dengan tempat lain yang sejenis. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan volume kapasitas normal sebanyak 2000 bibit. Data yang digunakan adalah data tahun 2010 karena mengacu pada produksi yang normal dan terdapat peningkatan produksi dari tahun sebelumnya yang lebih rendah dari tahun sebelumnya.

Data Produksi Bibit Rambutan Pada Kebun Bibit Rambutan 4 tahun terakhir

0 500 1000 1500 2000 2500

2007 2008 2009 2010

tahun

p

rod

u

k

si

(

b

ib

it

)

Gambar 1. Data Produksi Bibit Rambutan pada Kebun Bibit Rambutan Empat Tahun Terakhir (2007-2010)


(26)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Asal Tanaman Rambutan

Rambutan merupakan tanaman buah-buahan tropis basah asli Indonesia. Saat ini tanaman rambutan telah menyebar luas di daerah beriklim tropis seperti Filiphina dan negara-negara Amerika latin. Penyebaran rambutan pada awalnya sangat terbatas hanya di daerah tropis saja. Namun saat ini, rambutan sudah bisa ditemui di daerah subtropis. Hal ini disebabkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berhasil menciptakan “rumah kaca”. Dengan mengatur kondisi mikro di dalam rumah kaca sesuai dengan alam tropis, rambutan dapat dibudidayakan didalamnya (Mahisworo, Susanto, dan Anung, 2004:7).

Menurut Rukmana dan Oesman (2002:16), rambutan merupakan tanaman tahunan (perennial). Secara alami, pohon rambutan dapat mencapai ketinggian

25m atau lebih, namun bila dibudidayakan pada umumnya hanya dapat mencapai ketinggian 5m – 9m. Habitat tanaman berbentuk seperti payung, dengan tajuk pohon antara 5m – 10m, dan memiliki sistem perakaran yang cukup dalam.

Batang rambutan berkayu keras, berbentuk gilig, tumbuh tegak (kokoh),

dan berwarna kecoklat-coklatan sampai putih kecoklatan. Percabangan tumbuh secara horizontal, namun kadang-kadang sedikit miring ke arah atas. Daun rambutan berbentuk bulat panjang dengan ujung tumpul atau meruncing, dan pada umumnya berwarna hujau tua sampai hijau muda, tergantung varietasnya.


(27)

9

2.2. Jenis dan Varietas Rambutan

Di Indonesia tanaman rambutan memiliki berbagai jenis dan macam varietasnya, dengan keanekaragaman rasa dan daerah produksinya. Untuk jenis rambutan sendiri terdapat dua jenis rambutan. Dan terdapat delapan varietas rambutan yang telah diliris.

2.2.1. Jenis Rambutan

Menurut Rukmana dan Oesman (2002:18) terdapat dua jenis rambutan yang biasa di budidayakan di Indonesia, yakni sebagai berikut.

1. Rambutan biasa atau yang dikenal dengan nama rambutan (Nephellium

lappaceum L), yang memiliki ciri khas sebagai berikut: buah berbulu atau

berambut; daging tebal dan mudah terkelupas (ngelotok); dan rasa daging buah manis.

2. Kepulasan atau babat (Nephellium mutabile BI.) yang memiliki ciri khas

sebagai berikut: buah tidak berambut (hanya berupa tonjolan); daging buah tebal, mudah terkelupas, dan agak asam; dan kulit berwarna merah tua atau merah kehijauan atau hijau keputihan.

2.2.2. Varietas Rambutan

Indonesia mempunyai banyak varietas rambutan, baik varietas lokal maupun varietas unggul. Rambutan varietas lokal antara lain: Aceh Gundul, Aceh Gula Batu, Aceh Gendut, Simacan, Sitangkue, Aceh Kuning, Aceh Padang Bulan, Aceh Garing, Aceh Pao Pao, Silengkeng, Aceh Kering Manis, Sinyonya, Hape (Rasa), Brahrang, dan lain-lain. Rambutan varietas lokal yang menunjukkan


(28)

10

keunggulannya berpotensi menjadi varietas unggul, dan dapat diusulkan melalui prosedur pelepasan varietas unggul baru (Rukmana dan Oesman, 2002:19).

Rambutan dapat dikategorikan sebagai varietas unggul bila memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Daya hasil (produksi) tinggi

b. Kualitas hasil (buah) prima dan disukai konsumen, yaitu: daging buah tebal, rasa manis, ngelotok dan kering, memiliki kandungan vitamin C antara sedang sampai tinggi, dan tampilan warna buah menarik.

c. Daya adaptasi tanaman terhadap lingkungan di dataran rendah yang memiliki rentang bulan kering antara 1 – 3 bulan dan terhadap berbagai lingkungan tumbuh cukup luas.

d. Daya toleransi terhadap serangan hama dan penyakit utama cukup tinggi. e. Umur mulai berbunga atau berbuah pendek (genjah).

Rukmana dan Oesman (2002:21) menjelaskan bahwa saat ini, paling tidak terdapat 8 varietas unggul rambutan yang telah dilepas (diliris) melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian. Krakteristik utama varietas unggul rambutan ditunjukkan dalam Tabel 2.


(29)

11

Tabel 2. Varietas Unggul Rambutan dan Karakteristiknya

No Nama

Varietas

Karateristik

1. Binjai Produksi 40kg-68kg/pohon/tahun; buah berwarna merah tua; rambut berwarna merah dengan ujung hijau; daging buah manis, agak kering, dan ngelotok.

2. Rapiah Produksi 18kg-30kg/pohon/tahun; buah berwarna hijau kekuningan; rambut hijau dengan ujung kemerahan; daging buah manis, ngelotok, dan kulit biji melekat.

3. Lebak Bulus

Produksi 50kg – 100kg/pohopn/tahun; daging buah berwarna merah dengan ujung kekuningan; daging buah manis, ngelotok, dan kulit biji agak melekat.

4. Antalagi Produksi 160kg – 210kg/pohon/tahun; buah berwarna kuning kehijauan; rambut hijau kekuningan ujung merah; daging manis, kering, agak harum, ngelotok, dan kulit biji melekat. 5. Sibongkok Produksi 175kg – 225kg/pohon/tahun; buah berwarna merah

tua; daging buah manis, agak kering, ngelotok, dan kulit biji agak melekat.

6. Sibatuk Ganal

Produksi 240kg – 280kg/pohon/tahun; buah berwarna merah; rambut merah degan ujung agak kekuningan; daging buah manis, agak berair, ngelotok, dan kulit biji agak melekat. 7. Garuda Produksi 200kg-270kg/pohon/tahun; buah berwarna merah;

rambut merah dengan ujung agak kekuningan; daging buah manis dan ngelotok.

8. Nona Produksi 20kg – 22,5kg/pohon/tahun; buah berwarna kekuningan; rambut merah degan ujung kekuningan; daging buah manis, ngelotok, dan kulit biji melekat.

Sumber: Rukmana dan Oesman (2002:21).

2.3. Pengertian Bibit

Biji, benih, dan bibit merupakan istilah hampir sama sehingga sering rancu dalam penggunaannya. Menurut Undang-undang Sistem Budi Daya (1992), benih dan bibit mempunyai pengertian yang sama, yakni tanaman atau bagian tanaman yang dipergunakan untuk tujuan pertanaman (Wirawan dan Wahyuni, 2004:1).

Bibit unggul oleh penyuluh-penyuluh, sesungguhnya adalah varietas unggul. Unggul disini maksudnya memiliki sifat-sifat agronomi yang unggul dibandingkan varietas lain, walaupun salah satu sifat mungkin bahkan kalah


(30)

12

(misal rasa atau ketahanan terhadap salah satu penyakit), sehingga pada keadaan umum hasil produksinya tinggi (Harjadi, 1996:161).

Menurut Undang-undang No.2 tahun 1961 tentang Pegeluaran dan Pemasukan Tanaman dan Bibit Tanaman, Pasal 1 dalam Sunarjono (1990;37), yang dimaksud dengan bibit ialah “Tanaman atau bagian-bagiannya termasuk benih-benih, buah-buahan, bunga-bunga, dan serbuk-serbuk yang dengan cara apapun dapat dipergunakan untuk memperbanyak atau mengembangbiakkan tanaman”.

2.4. Syarat Menghasilkan Bibit Bermutu

Untuk dapat menghasilkan bibit bermutu, terlebih dahulu harus mengenai bagian-bagian tanaman yang dapat digunakan untuk perbanyakan yang disebut alat perbanyakan dan prosedur kerjanya atau cara perbanyakan serta tersedianya

bahan tanaman yang memenuhi syarat varietas unggul yang disebut pohon induk

(Sunarjono, 1986:15).

Sunarjono (1990:38) menjelaskan bahwa ada beberapa kaidah yang harus diperhatikan untuk menghasilkan bibit bermutu diantaranya ialah:

1. Lokasi (tempat) yang akan digunakan untuk menghasilkan benih (bibit)harus bebas hama dan penyakit berbahaya atau nonendemik.

2. Tanaman yang akan dibibitkan harus mendapat isolasi dari tanaman sejenis (khusus biji) atau tanaman inang (khusus penyakit) yanga ada di sekitar pembibitan.


(31)

13

3. Tanaman yang akan dibibitkan harus diseleksi secara berulang-ulang untuk mencegah kelolosan dari salah pandang, terutama untuk penyakit virus pada jeruk.

4. Benih (bibit) setelah dipilih harus dirawat dengan baik.

2.5. Pengertian Harga Pokok Produksi

Muhadi dan Siswanto (2001:10) menjelaskan bahwa harga pokok (biaya) produksi adalah biaya yang terjadi dalam rangka untuk menghasilkan barang jadi (produk) dalam perusahaan manufaktur. Biaya produksi dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu (1) biaya bahan baku, (2) biaya tenaga kerja langsung dan, (3) biaya overhead pabrik.

Harga pokok produksi menurut Mulyadi (2000:10) merupakan pengorbanan sumber ekonomi dalam pengolahan bahan baku menjadi produk. Sedangkan menurut Kohler dalam Mulyani (2003:24), harga pokok produksi adalah biaya-biaya yang termasuk didalamnya dan dialokasikan untuk operasional pabrik yaitu bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, dan biaya overhead dalam kegiatan saat pemrosesan. Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa harga pokok produksi adalah semua pengeluaran yang dilakukan perusahaan untuk memproduksi suatu produk.

Hansen dan Mowen (2009:60) menjelaskan mengenai harga pokok produksi adalah total biaya barang yang diselesaikan selama periode berjalan.


(32)

14

2.6. Tujuan dan Manfaat Penentuan Harga Pokok Produksi

Tujuan utama dari penentuan harga pokok berdasarkan Adikoesoemah (1982:30) yaitu : sebagai dasar untuk menetapkan harga di pasar penjualan, untuk menetapkan pendapatan yang diperoleh pada penukaran, serta sebagai alat untuk menilai efisiensi dari proses produksi. Sedangkan Menurut Horngren (1992:90) tujuan penetapan harga pokok produksi yaitu selain untuk memenuhi keperluan pelaporan ekstern dalam hal penilaian persediaan dan penentuan laba, manajer membutuhkan data harga pokok produksi untuk pedoman pengambilan keputusan mengenai harga dan strategi produk.

Mulyadi (2000:7) menyebutkan informasi harga pokok produksi yang dihitung untuk jangka waktu tertentu bermanfaat bagi manajemen untuk :

a. Menentukan harga jual produk; b. Memantau realisasi biaya produksi; c. Menghitung laba atau rugi periodik;

d. Menentukan harga pokok persediaan produk jadi dan produk dalam proses yang disajikan dalam neraca.

Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan dan manfaat dalam penentuan harga pokok produksi yaitu :

a. Sebagai dasar dalam penetapan harga jual.

b. Sebagai alat untuk menilai efisiensi proses produksi. c. Sebagai alat untuk memantau realisasi biaya produksi. d. Untuk menentukan laba atau rugi periodik.


(33)

15

f. Sebagai pedoman dalam pengambilan keputusan bisnis.

2.7. Pengertian Biaya dan Penggolongannya

Horngren (1992:21) mendefinisikan biaya sebagai sumber daya yang dikorbankan untuk mencapai suatu sasaran atau tujuan tertentu. Senada dengan Horngren, Daljono (2004:13) juga mendefinisikan biaya sebagai suatu pengorbanan sumber ekonomi yang diukur dalam satuan uang, untuk mendapatkan barang atau jasa yang diharapkan akan memberikan keuntungan atau manfaat pada saat ini atau masa yang akan datang.

Biaya sebagai suatu nilai tukar, pengeluaran atau pengorbanan yang dilakukan untuk menjamin perolehan manfaat (Carter, 2009:30). Sedangkan menurut Krismiadji (2002: 18), biaya atau cost adalah kas atau ekuivalen kas yang dikorbankan untuk membeli barang atau jasa yang diharapkan akan memberikan manfaat bagi perusahaan saat sekarang atau untuk periode mendatang.

Sedangkan Mulyadi (2000:8), mendefinisikan biaya sebagai suatu pengorbanan sumber ekonomi yang diukur dalam satu satuan uang yang terjadi atau kemungkinan akan terjadi untuk mencapai tujuan tertentu. Dari pendapat-pendapat tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa biaya merupakan suatu pengorbanan sumber daya ekonomi untuk mencapai tujuan tertentu yang bermanfaat pada saat ini atau masa yang akan datang. Biaya-biaya dari suatu pengorbanan dibentuk oleh nilai dari banyaknya kapasitas produksi yang diperlukan untuk memproduksi barang-barang. Untuk itu dalam menentukan biaya terdapat faktor-faktor yang menentukan biaya itu sendiri yaitu : banyaknya


(34)

16

kapasitas produksi dari bermacam-macam alat produksi yang diperlukan untuk memproduksi barang-barang, nilai dari kapasitas ini, besarnya dan lamanya pemakaian kekayaan yang diperlukan untuk memproduksi barangbarang, serta harga dari kekayaan (Adikoesoemah, 1982:33).

Muhadi dan Siswanto (2001:3) menjelaskan biaya (expense) dalam arti sempit didefinisikan sebagai bagian dari harga pokok yang dikorbankan di dalam usaha untuk memperoleh penghasilan. Sedangkan dalam arti luas biaya didefinisikan sebagai pengorbanan sumber ekonomi yang diukur dalam satuan mata uang yang telah terjadi dan mungkin akan terjadi untuk mencapai tujuan tetentu.

Menurut Bustami dan Nurlela (2009:5), biaya adalah pengorbanan sumber ekonomis yang diukur dalam satuan uang yang telah terjadi atau kemungkinan terjadi untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan menurut Prawironegoro dan Durwanti (2009: 19) biaya adalah kas dan setara kas yang dikorbankan untuk memproduksi atau memperoleh barang atau jasa yang diharapkan akan memperoleh manfaat atau keuntungan dimasa mendatang.

Penggolongan adalah proses pengelompokkan secara sistematis atas keseluruhan elemen yang ada ke dalam golongan-golongan tertentu yang lebih ringkas untuk dapat memberikan informasi yang lebih penting (Supriyono, 1999:35).

Informasi biaya yang lengkap diperlukan oleh manajemen untuk tujuan-tujuan tertentu antara lain: perencanaan, pengukuran, pengawasan, dan penilaian terhadap operasi perusahaan. Oleh karena itu, biaya yang banyak ragamnya perlu


(35)

17

diadakan penggolongan sesuai dengan kebutuhan manajemen. Ada beberapa cara penggolongan biaya dimana masing-masing cara penggolongannya biaya dimaksudkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan yang berbeda (Muhadi dan Siswanto, 2001:3).

Beberapa penggolongan biaya menurut Muhadi dan Siswanto (2001:4) antara lain:

1. Atas dasar objek pengeluaran,

2. Atas dasar fungsi di dalam perusahaan,

3. Atas dasar hubungan biaya-biaya dengan produk yang dibiayai,

4. Atas dasar tingkah laku biaya dalam hubungannya dengan volume kegiatan, 5. Atas dasar hubungan biaya dengan pusat biaya,

6. Atas dasar hubungan biaya dengan periode pembukuan.

Mulyadi (2000:14), menggolongkan biaya menurut: obyek pengeluaran, fungsi pokok perusahaan, hubungan biaya dengan sesuatu yang dibiayai, perilaku dalam hubungannya dengan perubahan volume kegiatan, serta atas dasar jangka waktu manfaatnya.

Biaya yang digolongkan menurut obyek pengeluaran, nama obyek pengeluaran merupakan dasar dalam penggolongan biaya ini. Biaya menurut fungsi pokok dalam perusahaan dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu : 1) Biaya produksi, merupakan biaya-biaya yang terjadi untuk mengolah bahan baku menjadi produk jadi yang siap untuk dijual.

Biaya ini dibagi menjadi biaya bahan baku, biaya tenaga kerja dan biaya overhead pabrik; 2) Biaya pemasaran, merupakan biaya-biaya yang terjadi untuk


(36)

18

melaksanakan kegiatan pemasaran produk; 3) Biaya administrasi dan umum, merupakan biaya-biaya untuk mengkoordinasi kegiatan produksi dan pemasaran produk.

Dalam hubungannya dengan sesuatu yang dibiayai, biaya dapat dikelompokkan menjadi dua golongan yaitu : 1) Biaya langsung (direct cost),

adalah biaya yang terjadi yang penyebab satu-satunya adalah karena adanya sesuatu yang dibiayai. Biaya produksi langsung terdiri dari biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja langsung; 2) Biaya tidak langsung (indirect cost), adalah biaya

yang terjadi tidak hanya disebabkan oleh sesuatu yang dibiayai. Biaya tidak langsung dalam hubungannya dengan produk disebut dengan istilah biaya pabrik tidak langsung atau biaya overhead pabrik (factory overhead costs).

Daljono (2004:15), mengklasifikasikan biaya berdasarkan hubungannya dengan produk, waktu pengakuan, volume produksi dan sebagainya. Klasifikasi biaya menurut hubungannya dengan produk, dapat dibedakan menjadi dua yaitu biaya pabrikasi (product cost) dan biaya komersial.

Biaya pabrikasi (product cost) sering disebut sebagai biaya produksi atau

biaya pabrik, terdiri dari : 1. Biaya bahan

Biaya bahan adalah nilai atau besarnya upah yang terkandung dalam bahan yang digunakan untuk proses produksi. Biaya bahan dibedakan menjadi :

a. Biaya bahan baku (direct material) Bahan baku adalah bahan

mentah yang digunakan untuk memproduksi barang jadi, yang secara fisik dapat diidentifikasi pada barang jadi.


(37)

19

b. Biaya bahan penolong (indirect material) Yang termasuk dalam

bahan penolong adalah bahan-bahan yang digunakan untuk menyelesaikan suatu produk, tetapi pemakaiannya relatif kecil atau pemakaiannya sangat rumit untuk dikenali di produk jadi.

2. Biaya tenaga kerja

Biaya tenaga kerja merupakan gaji atau upah karyawan bagian produksi. Biaya ini dibedakan menjadi :

a. Biaya tenaga kerja langsung

Biaya tenaga kerja langsung adalah gaji atau upah tenaga kerja yang dipekerjakan untuk memproses bahan menjadi barang jadi. b. Biaya tenaga kerja tidak langsung

Biaya tenaga kerja tidak langsung merupakan gaji atau upah tenaga kerja bagian produksi yang tidak terlibat secara langsung dalam proses pengerjaan bahan menjadi produk jadi.

3. Biaya overhead pabrik

Biaya overhead pabrik (factory overhead cost) adalah biaya yang timbul

dalam proses produksi selain yang termasuk dalam biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja langsung. Yang termasuk dalam biaya overhead pabrik adalah : biaya pemakaian supplies pabrik, biaya pemakaian minyak pelumas, biaya penyusutan bagian produksi, biaya pemeliharaan atau perawatan bagian produksi, biaya listrik bagian produksi, biaya asuransi bagian produksi, biaya pengawasan, dan sebagainya.


(38)

20

Gabungan antara biaya bahan dengan biaya tenaga kerja, disebut biaya utama (prime cost), sedangkan gabungan antara biaya tenaga kerja dengan biaya

overhead pabrik disebut biaya konversi (conversion cost).

Sedangkan yang termasuk dalam biaya komersial yaitu biaya pemasaran dan biaya administrasi dan umum. Biaya pemasaran merupakan biaya-biaya yang terjadi dengan tujuan untuk memasarkan produk. Biaya pemasaran terjadi sejak produk selesai diproses hingga produk tersebut terjual. Biaya administrasi dan umum merupakan beban yang dikeluarkan dalam rangka mengatur dan mengendalikan organisasi.

Daljono (2004:16) juga mengklasifikasikan biaya menurut waktu pengakuan (timing of recogition) dapat dibedakan menjadi dua yaitu : 1) Product

cost (biaya produk), adalah biaya yang terjadi dalam rangka membuat produk.

Biaya ini sifatnya melekat pada produk, karena melekat pada produk maka product cost disebut juga inventorial cost; 2) Period cost (biaya periode), adalah

biaya yang terjadi dalam satu periode yang tidak ada kaitannya dengan pembuatan produk. Biaya periode sifatnya tidak melekat pada produk dan akan dipertemukan dengan pendapatan untuk menghitung laba rugi pada periode yang bersangkutan.

Klasifikasi biaya dikaitkan dengan volume produksi dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu :

a. Biaya variabel (variabel cost), adalah biaya yang bila dikaitkan dengan

volume (pemacu timbulnya biaya) secara per unit akan selalu tetap (tidak berubah jumlahnya), meskipun volume produksi berubah-ubah, akan tetapi secara total biaya tersebut jumlahnya akan berubah sesuai dengan proporsi


(39)

21

perubahan aktivitas. Total biaya variabel akan bertambah apabila volume produksi bertambah;

b. Biaya tetap (fixed cost), adalah biaya yang secara total, biaya tersebut tidak

berubah jumlahnya meskipun aktivitas atau jumlah produksi berubah. Jumlah biaya tiap unit akan menurun jika aktivitasnya meningkat;

c. Biaya semi variabel, merupakan campuran antara biaya variabel dengan biaya tetap. Biaya semi variabel memiliki sifat meskipun tidak ada aktivitas, biaya ini tetap ada dan totalnya akan berubah jika aktivitas juga berubah.

Untuk membantu perencanaan dan pengambilan keputusan manajemen, Blocher dkk (2000:92) mengelompokkan biaya menjadi :

1. Biaya relevan

Konsep biaya relevan muncul dalam situasi dimana pengambilan keputusan harus memilih diantara dua atau lebih pilihan.

2. Biaya diferensial

Biaya diferensial merupakan biaya yang berbeda untuk setiap pilihan keputusan dan oleh karena itu merupakan biaya yang relevan untuk pengambilan kepuitusan, jika biaya tersebut merupakan biaya yang belum terjadi.

3. Opportunity cost

Opportunity cost merupakan manfaat yang hilang karena suatu alternatif

atau pilihan yang dipilih mendapat manfaat dari pilihan atau alternatif lainnya.


(40)

22

4. Sunk cost

Sunk cost merupakan biaya yang telah terjadi atau telah ditetapkan pada

waktu yang lalu, dan oleh karena itu merupakan biaya yang tidak relevan.

2.8. Elemen Biaya Produksi dalam Penentuan Harga Pokok Produksi

Dalam penentuan harga pokok produksi, biaya-biaya yang berpengaruh dalam proses produksi perlu diklasifikasikan dengan benar dan jelas (Muhadi dan Siswanto, 2001:10). Dalam penelitian ini menggunakan penggolongan biaya berdasarkan fungsi pokoknya dalam perusahaan, yang meliputi :

2.8.1. Biaya bahan baku

Biaya bahan baku menurut Muhadi dan Siswanto (2001:10) adalah bahan yang digunakan untuk menghasilkan barang jadi dan secara fisik menjadi bagian dari barang jadi tersebut. Misalnya, pemakaian bahan berupa kulit, benang, paku, lem, dan cat perusahaan sepatu.

Bahan baku merupakan bahan yang membentuk bagian menyeluruh produk jadi. Biaya bahan baku adalah harga perolehan dari bahan baku yang dipakai di dalam pengolahan produk (Supriyono, 1999:20). Bahan baku yang diolah dalam perusahaan manufaktur dapat diperoleh dari pembelian lokal, impor atau dari pengolahan sendiri. Sebelum perusahaan melakukan proses produksi pada umumnya terlebih dahulu menetapkan jumlah kebutuhan bahan baku yang akan digunakan.

Supriyono (1999:419) menyebutkan tujuan dalam penentuan harga pokok bahan yang dipakai adalah untuk penentuan harga pokok bahan dan harga pokok


(41)

23

persediaan bahan dengan lebih adil dan teliti, serta sebagai pengendalian atau pengawasan atas bahan.

Menurut Mulyadi (2000:309), metode yang digunakan untuk menentukan harga bahan baku yang dipakai dalam produksi yaitu :

1) Metode Identifikasi Khusus (Specific Identification Method).

2) Metode Masuk Pertama Keluar Pertama (FIFO).

3) Metode Masuk Terakhir Keluar Pertama (LIFO).

4) Metode Rata-Rata Bergerak (Moving Average Method

5) Metode Biaya Standar.

6) Metode Rata-rata harga pokok bahan baku pada akhir bulan.

Supriyono (1999:419) menyebutkan bahwa faktor yang menentukan harga pokok bahan yang dipakai adalah dengan metode akuntansi persediaan dan metode aliran harga pokok bahan. Dalam metode akuntansi persediaan, menyelenggarakan pencatatan persediaan bahan menggunakan metode akuntansi persediaan yaitu : 1) Metode persediaan phisik. Metode ini hanya dapat digunakan oleh perusahaan yang relatif kecil dan mengumpulkan harga pokok produk berdasar proses, dimana phisik persediaan bahan masih memungkinkan diawasi secara langsung oleh manajemen perusahaan; 2) Metode persediaan abadi atau terus-menerus. Metode ini umumnya dipakai oleh perusahaan yang relatif besar, baik yang menggunakan metode harga pokok pesanan maupun proses, sehingga manajemen tidak dapat secara langsung mengadakan pengawasan terhadap persediaan bahan, oleh karena itu diperlukan adanya sistem pengawasan internal atas bahan.


(42)

24

Menurut Supriyono (1999:520), dalam metode aliran harga pokok bahan, aliran harga pokok bahan yang dipakai dibedakan menjadi beberapa metode yaitu:

1) Metode identifikasi khusus;

2) Metode pertama masuk, pertama keluar (FIFO); 3) Metode rata-rata. Metode;

4) Metode terakhir masuk, pertama keluar (LIFO); 5) Metode harga pokok standar;

6) Metode persediaan dasar (base stock method);

7) Metode harga beli terakhir (HBT);

8) Metode masuk kemudian, pertama keluar (MKPK).

Soemita (1982:71), mengemukakan bahwa dalam penetapan pemakaian bahan baku terdapat dua metode yaitu penetapan langsung dan penetapan tidak langsung. Penetapan langsung dilakukan dengan jalan : mencatat terus-menerus banyaknya bahan-bahan yang masuk dalam proses produksi kemudian menghitung secara berkala persediaan bahan-bahan, sehingga dengan memperhatikan bahan-bahan yang diterima selama periode itu dapat ditetapkan pemakaian bahan-bahan untuk tiap periode. Sedangkan dalam penetapan tidak langsung didasarkan pada barang-barang yang sudah selesai.

2.8.2. Biaya tenaga kerja

Biaya tenaga kerja langsung (upah langsung) menurut Muhadi dan Siswanto (2001:10) adalah biaya yang dibayarkan kepada tenaga kerja langsung. Istilah tenaga kerja langsung digunakan untuk menunjuk tenaga kerja (karyawan) yang terlibat langsung dalam proses pengolahan bahan langsung atau bahan baku


(43)

25

menjadi barang jadi. Misalnya, upah yang dibayarkan kepada karyawan bagian pemotongan atau bagian perakitan atau bagian pencatatan pada perrusahaan mebel.

Tenaga kerja merupakan usaha fisik atau mental yang dikeluarkan karyawan untuk mengolah produk. Biaya tenaga kerja adalah harga yang dibebankan untuk penggunaan tenaga kerja manusia tersebut.

Menurut Horngren (1992:29), biaya tenaga kerja untuk fungsi produksi dibagi kedalam dua bagian yaitu :

1. Biaya tenaga kerja langsung

Biaya tenaga kerja langsung yaitu upah semua tenaga kerja yang dapat diidentifikasi secara ekonomis terhadap produksi barang jadi.

2. Biaya tenaga kerja tidak langsung

Biaya produksi tidak langsung adalah mencakup semua upah tenaga kerja pabrik yang tidak langsung berhubungan dengan pengerjaan produk. Adikoesoemah (1982:178), menetapkan besarnya upah untuk pekerjaan yang telah dilakukan dalam memproduksi barang berdasarkan sistem upah yang dibagi menjadi dua yaitu upah menurut waktu dan upah menurut prestasi. Upah menurut waktu, yaitu cara penetapan upah dimana waktu kerja dari buruh merupakan ukuran untuk menetapkan besarnya upah, jadi tidak tergantung dari banyaknya prestasi yang telah dihasilkan oleh buruh selama waktu kerjanya. Sedangkan upah menurut prestasi, yaitu cara penetapan upah dimana hasil prestasi kerja dari buruh merupakan ukuran untuk menetapkan besarnya upah, jadi tidak tergantung dari lamanya waktu kerja.


(44)

26

2.8.3. Biaya produksi tidak langsung

Biaya overhead pabrik atau biaya produksi tidak langsung menurut Muhadi dan Siswanto (2001:10) merupakan biayaa produksi selain biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja langsung. Contoh biaya overhead pabrik antara lain: bahan tak langsung (misalnya: minyak pelumas, bahan bakar, dan bahan pembersih), reparasi dan pemeliharaan mesin, pemeliharaan gedung, biaya listrik, biaya penyusutan mesin, dan lain-lain.

Biaya produksi tidak langsung atau dikenal dengan istilah biaya overhead pabrik adalah biaya-biaya yang timbul dalam proses pengolahan, yang tidak dapat digolongkan dalam biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja langsung (Sugiri, 2002:265).

Daljono (2004:41), membebankan biaya overhead pabrik ke harga pokok produksi dilakukan dengan cara :

1. Actual costing

Pembebanan biaya overhead pabrik menurut actual costing yaitu

membebankan seluruh biaya overhead pabrik yang terjadi pada suatu periode, ke seluruh produk yang diproduksi pada periode tersebut. biaya overhead pabrik yang dibebankan ke produk sebesar biaya yang sesungguhnya terjadi. Penggunaan actual costing pada metode harga

pokok pesanan mengalami kesulitan. Hal ini dikarenakan tidak semua biaya overhead pabrik dapat segera diketahui dan diperhitungkan.


(45)

27

2. Normal costing

Pembebanan biaya overhead pabrik menurut normal costing yaitu

membebankan biaya overhead pabrik yang ditentukan dengan cara taksiran, yaitu dengan membuat tarip yang ditentukan dimuka. Penentuan besarnya tarip dilakukan dengan memperhitungkan taksiran biaya overhead pabrik untuk satu periode dibagi dengan taksiran atau target produksi untuk periode tersebut.

Apabila pembebanan biaya overhead pabrik ke produk berdasarkan biaya overhead pabrik yang sesungguhnya terjadi, maka akan mengakibatkan harga pokok per unit dari periode ke periode akan berubah-ubah. Perubahan tersebut dapat diakibatkan dari: perubahan tingkat produksi tiap periode, perubahan tingkat efisiensi produksi, biaya overhead pabrik yang terjadi secara sporadik, menyebar tidak merata selama satu tahun, serta biaya overhead pabrik yang terjadi pada waktu-waktu tertentu (Daljono,2004:154).

Menurut Mulyadi (2000:206), biaya produksi yang termasuk dalam biaya overhead pabrik dikelompokkan menjadi beberapa golongan yaitu : 1) Biaya bahan penolong, adalah biaya bahan yang tidak menjadi bagian produk jadi, meskipun menjadi bagian produk jadi tetapi nilainya relatif kecil bila dibandingkan dengan harga pokok produksi tersebut; 2) Biaya reparasi dan pemeliharaan, berupa biaya suku cadang (sparepart), biaya bahan habis pakai dan

harga perolehan jasa dari pihak luar perusahaan untuk keperluan perbaikan dan pemeliharaan emplasemen, perumahan, bangunan pabrik, mesin-mesin dan equipmen, kendaraan, perkakas laboratorium dan aktiva tetap lain yang digunakan


(46)

28

untuk keperluan pabrik; 3) Biaya tenaga kerja tidak langsung, yaitu biaya tenaga kerja pabrik yang upahnya tidak dapat diperhitungkan secara langsung kepada produk atau pesanan tertentu; 4) Biaya yang timbul sebagai akibat penilaian terhadap aktiva tetap, antara lain biaya-biaya depresiasi emplasemen pabrik, bangunan pabrik, mesin dan equipmen, perkakas laboratorium, alat kerja dan aktiva tetap lain yang digunakan di pabrik; 5) Biaya yang timbul sebagai akibat berlalunya waktu, antara lain adalah biaya-biaya asuransi gedung dan emplasemen, asuransi mesin dan equipmen, asuransi kendaraan, asuransi kecelakaan karyawan dan biaya amortisasi kerugian trial-run; 6) Biaya overhead pabrik lain yang secara langsung memerlukan pengeluaran yang tunai, seperti biaya reparasi yang diserahkan kepada pihak luar perusahaan, biaya listrik PLN dan sebagainya.

2.9. Metode Penentuan Harga Pokok Produksi

Menurut Mulyadi (2002:18) metode penentuan harga pokok produksi adalah cara memperhitungkan unsur-unsur biaya ke dalam harga pokok produksi. Dalam memperhitungkan unsur biaya ini, terdapat dua pendekatan yaitu Full

Costing dan Variable Costing.

Daljono (2011:363) mengatakan bahwa perhitungan atau penentuan Harga Pokok Produksi, dapat dilakukan dengan full costing maupun variable costing.

Full Costing sering disebut dengan absorption costing atau conventional costing,

sedangkan variable costing sering disebut dengan direct costing atau marginal


(47)

29

2.9.1. Full costing

Mulyadi (2002:18) menjelaskan bahwa Full costing merupakan metode

penentuan harga pokok produksi yang memperhitungkan semua unsur biaya produksi ke dalam harga pokok produksi, yang terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik baik yang berperilaku variabel maupun tetap.

Dengan demikian harga pokok produksi menurut metode full costing

sebagai berikut :

Biaya bahan baku xxx Biaya tenaga kerja langsung xxx Biaya overhead pabrik variabel xxx Biaya overhead pabrik tetap xxx + Harga pokok produksi xxx

Dengan demikian harga pokok produk yang dihitung dengan pendekatan full costing terdiri dari unsur harga pokok produksi (biaya bahan baku, biaya

tenaga kerja langsung, biaya overhead pabrik variabel dan biaya overhead pabrik tetap) ditambah dengan biaya non produksi (biaya pemasaran, biaya administrasi dan umum). Perhitungan harga pokok produksi dan harga pokok produk dapat dilihat pada Gambar 2 (Mulyadi, 2002:19)


(48)

30

Biaya Bahan Baku Prime +

cost Biaya

Tenaga Kerja Harga

Pokok Total + = produksi harga pokok Biaya Biaya overhead produk konversi Pabrik tetap =

+ +

Biaya Biaya overhead Adm & Pabrik variabel Umum + Biaya Biaya Komersial Pemasaran

Gambar 2. Harga Pokok Produksi dan Total Harga Pokok Produk Sumber: (Mulyadi, 2002:19)

2.9.2. Variabel costing

Mulyadi (2002:20) menjelaskan bahwa Variabel costing merupakan

metode penentuan harga pokok produksi yang hanya memperhitungkan biaya produksi yang berperilaku variabel ke dalam harga pokok produksi, yang terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik variabel. Dengan demikian harga pokok produksi menurut metode variabel

costing terdiri dari unsur biaya produksi berikut ini :

Biaya bahan baku xxx Biaya tenaga kerja langsung xxx Biaya overhead pabrik variabel xxx + Harga pokok produksi xxx


(49)

31

Harga pokok produk yang dihitung dengan pendekatan variable costing terdiri dari unsur harga pokok produksi variabel (biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, dan biaya overhead pabrik variabel) ditambah dengan biaya nonproduksi variabel (biaya pemasaran variabel dan biaya administrasi dean umum variabel) dan biaya tetap (biaya overhead pabrik tetap, biaya pemasaran tetap, biaya administrasi dan umum tetap). Harga pokok produksi dan harga pokok produk dengan pendekatan variabel costing dapat dilihat pada Gambar 3.

Biaya Bahan Baku

+ Harga Pokok Biaya produksi

Tenaga Kerja =

+

+

Biaya overhead Biaya Total Pabrik variabel Adm. & Umum = harga

Variabel pokok + produk Biaya Pemasaran Variabel + Biaya overhead pabrik tetap +

Biaya Biaya Adm & Periode Umum

Tetap +

Biaya

Pemasaran tetap

Gambar 3. Harga Pokok Produksi dan Total Harga Pokok Produk Sumber: (Mulyadi, 2002:20)


(50)

32

Variable Costing memisahkan biaya menjadi biaya produksi variable dan

tetap, dan juga memisahkan biaya non produksi menjadi variable dan tetap. Agar memudahkan dalam pengelompokkan, maka perlu dibuat rekening biaya yang sesuai dengan pola perilakunya, yaitu menjadi biaya variable dan biaya tetap. Sedangkan untuk biaya yang termasuk semi variable, pada akhir periode harus dibuat analisis untuk membedakan berapa yang termasuk variable dan berapa yang termasuk biaya tetap (Daljono, 2011:378).

Kelebihan dari kedua metode ini adalah mudah diterapkan, mudah diaudit dan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku secara umum. Sistem ini tidak

banyak menggunakan cost drivers (pemicu biaya) dalam mengalokasikan biaya

overhead, sehingga hal ini memudahkan bagi manajemen perusahaan dan auditor untuk malakukan perhitungan dan proses audit. Selain itu sistem ini telah lama diterapkan sehingga tidak terlalu sulit untuk mengadakan penyesuaian terhadap sistem ini.

Kelemahan dari kedua metode ini adalah secara potensial mendistorsi biaya produk. Hal ini terjadi karena biaya dialokasikan secara tidak langsung kepada produk dengan menggunakan suatu dasar yang tidak sempurna dengan konsumsi sumberdaya sesungguhnya. Total komponen biaya overhead dalam suatu biaya produk senantiasa terus meningkat, dimana pada saat persentase biaya overhead semakin besar maka distorsi biaya juga semakin besar (Mulyadi, 2005:17).


(51)

33

2.10. Penelitian Terdahulu

Subagyo (2006), yang meneliti tentang Penentuan Harga Pokok Produksi Teh di PT. Perkebunan Tambi Kabupaten Wonosobo, menyimpulkan bahwa PT Tambi dalam menentukan harga pokok produksi dengan cara semua biaya yang dikeluarkan diperlakukan sebagai biaya produksi, baik biaya kebun, biaya pabrik maupun biaya kantor. Penggolongan biaya produksinya telah sesuai dengan teori yang ada yaitu terdiri dari biaya bahan, biaya tenaga kerja dan biaya overhead produksi. PT Tambi menggunakan metode full costing di dalam penentuan harga

pokok produksinya. Hal ini sesuai dengan teori, dimana harga pokok produksi dihitung dengan menjumlahkan seluruh biaya produksi yang terjadi dalam periode tertentu.

Harga pokok produksi yang dihitung PT Tambi dimana biaya non produksi dimasukkan ke dalam perhitungan dengan harga pokok produksi yang tidak memasukkan unsur biaya non produksi, menghasilkan selisih biaya yang cukup signifikan yang akan berpengaruh terhadap penetapan harga jual. Hal tersebut merupakan suatu kebijakan perusahaan dengan tujuan untuk menutupi biaya yang dikeluarkan dan sebagai cadangan jika perusahaan mengalami kerugian.

Yulianti (2007) yang berjudul Penetapan Harga Pokok dan Zona Fleksibilitas Harga Meises Cokelat, studi kasus pada PT G di Bandung, Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan untuk mengenalisis penetapan harga pokok produksi meises pada perusahaan dan menganlisis kisaran harga berapa yang dapat diterima konsumen, serta menganlisis rentang harga optimum dari sisi PT G dan pelanggannya terhadap meises cokelat 818 Biru di Bandung.


(52)

34

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa perhitungan harga pokok produk meises cokelat 818 Biru dengan menggunakan metode full costing periode

tahun 2006 lebih tinggi dari pada harga pokok produk dengan metode PT G disebabkan karena metode full costing mengakumulasikan seluruh biaya tetap dan

biaya variabel. Analisis sensitivitas harga terhadap harga meises cokelat grade G

atau meises cokelat 818 Biru yang dilakukan terhadap pelanggan dengan jumlah pembelian kurang dari 60 dus per pesanan yaitu harga ideal meises cokelat 818 Biru per dus (12,5 kg) sebesar Rp 83.000 sampai dengan Rp 84.000. zona flesibilitas terhadap pelanggan dengan jumlah pembelian kurang dari 60 dus per pesanan berkisar Rp 81.671 sampai dengan Rp 86.000.

Kusumawardhani (2008), dengan judul Analisis Penetapan Harga Pokok Produksi Bibit Krisan pada PT. Inggu Laut Abadi Kabupaten Cianjur, Jawa Barat yang bertujuan untuk mengindentifikasi kebijakan perusahaan dalam penetapan harga pokok produksi, menganalisis metode penetapan harga pokok produksi, serta merumuskan alternatif metode penetapan harga pokok produksi bagi perusahaan.

Hasil penelitian menjelaskan bahwa PT. Inggu laut Abadi Kabupaten Cianjur, Jawa Barat hanya didasarkan pada biaya aktual yang dikeluarkan perusahaan dalam periode berjalan (satu bulan), mulai dari kegiatan pembuatan media ½ Murashige and Skoog (MS) sebagai bahan baku dalam kultur jaringan

sampai pemanenan bibit krisan yang sudah terbakar. Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan, memperlihatkan adanya perbedaan harga pokok antara metode perusahaan dengan perhitungan harga pokok metode full costing


(53)

35

maupun variable costing, baik sebelum maupun sesudah kenaikan harga bahan

kimia makro dan mikro. Metode variable costing dapat menghemat sebesar Rp

62.297 per bibitnya, sedangkan metode full costing justru menghasilkan harga

pokok yang lebih besar dibanding metode perusahaan, yaitu sebesar Rp 10.878 per bibitnya. Metode penetapan yang tepat adalah metode variable costing karena

akan menyebabkan harga jual yang rendah pula sehingga diharapkan sesuai dengan daya beli petani yang umumnya rendah.

Roslinawati (2007), dengan judul Analisi Penetapan Harga Pokok Produksi Benih Padi Pada PT.Sang Hyang Seri RM 1 Sukamandi, Subang, Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui metode harga pokok produksi yang diterapkan oleh PT. Sang Hyang Seri RM 1 Sukamandi Subang, menetapkan metode perhitungan harga pokok produksi benih padi yang tepat pada PT. sang Hyang Seri RM 1 Sukamandi, Subang.

Hasil penelitian menjelaskan bahwa perhitungan harga pokok produksi dengan menggunakan metode full costing menghasilkan harga pokok produksi

yang berada dibawah harga pokok produksi metode perusahaan dan di atas harga pokok produksi dengan menggunkan metode variable costing, sehingga dianggap

paling tepat karena berada di tengah-tengah, artinya tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu rendah. Oleh karena itu metode yang dapat direkomendasikan kepada perusahaan yaitu metode full costing.


(54)

36

2.11. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran pada penelitian mengenai penetapan harga pokok produksi bibit tanaman rambutan pada Kebun Bibit Ragunan, Jakarta Selatan. Di awali dengan adanya tujuan sosial dari perusahaan yang ingin mempertahankan harga jual bibit tanaman rambutan yang dapat dijangkau semua kalangan, dengan keuntungan yang layak dan tidak merugikan perusahaan. Tetapi terdapat masalah yang sangat berpengaruh yaitu tidak adanya metode harga pokok produksi bibit tanaman rambutan yang tepat sehingga tidak ada acuan mengenai harga jual. Semua biaya yang dikeluarkan tidak diperhitungkkan dengan baik dan untuk harga jual hanya mengikuti harga jual pesaingnya. Sehingga diperlukan metode-metode yang tepat untuk perhitungan biaya produksi. Permasalahan dapat dianalisis dengan mengawali identifikasi kebijakan perusahaan dalam penetapan biaya produksi, perlu diketahui sebelumnnya komponen-komponen yang termasuk dalam biaya produksi.

Setelah melakukan identifikasi kebijakan perusahaan dalam penetapan biaya produksi dan komponen-komponen biaya didalamnya, maka akan dicari penetapan harga pokok produksi dengan menggunakan metode full costing dan

variabel costing. Kemudian hasil analisis dengan kedua metode ini akan dipilih

yang paling tepat dengan memperoleh harga pokok produksi yang sesuai dan dengan pertimbangan tidak akan merugiakan perusahaan, sehingga diharapkan dapat sesuai dengan daya beli semua kalangan. Selanjutnya dapat ditetapkan harga pokok produksi (HPP) yang tepat bagi perusahaan untuk kemudian digunakan


(55)

37

dalam acuan harga jual perbibit yang diproduksi. Untuk lebih jelasnya bagan kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 4 sebagai berikut.

Gambar 4. Bagan Kerangka Pemikiran Operasional

Kebun Bibit Ragunan, Jakarta Selatan

Identifikasi Kebijakan Perusahaan dalam Penetapan Biaya Produksi

Biaya Bahan Baku

Biaya Tenaga Kerja Langsung

Biaya Overhead Pabrik (BOP)

Analisis Penetapan Harga Pokok Produksi (HPP) dengan metode:

Metode Harga Pokok Produksi (HPP) yang Tepat

Full Costing Variable


(56)

38

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kebun Bibit Ragunan, Jakarta Selatan. Pemilihan lokasi ini dilakukan secara sengaja (purposive), pemilihan ini

didasarkan atas dasar rekomendasi dari karyawan Kebun Bibit BBI Jakarta Barat, dengan pertimbangan bahwa Kebun Bibit cabang Ragunan tepatnya di Jakarta Selatan merupakan kebun dibawah Balai Benih Induk terbesar kedua setelah cilangkap, dan di Kebun Bibit Ragunan Jakarta Selatan merupakan penyedia bibit rambutan yang masih memiliki sumber induk sendiri. Adapun waktu pengambilan data ini dilaksanakan pada bulan Februari – April 2011.

3.2. Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya, diambil dan dicatat pertama kalinya (Marzuky, 1997:55). Data primer didapat melalui pengamatan langsung dan wawancara langsung dengan pihak perusahaan, serta data-data atau dokumen-dokumen perusahaan.

Sedangkan data sekunder yaitu data yang diusahakan sendiri pengumpulannya oleh peneliti (Marzuky, 1997:56). Data sekunder melangkapi data primer dan diperoleh dari literatur-literatur berupa buku teks, skripsi, maupun literatur lainnya yang dianggap relevan dengan penelitian ini.


(57)

39

3.3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Wawancara

Wawancara yang dilakukan oleh peneliti dimaksudkan untuk mendapatkan informasi mengenai biaya-biaya apa saja yang dikeluarkan untuk memproduksi bibit tanaman rambutan, bahan-bahan apa saja yang dibutuhakan dalam memproduksi bibit tanaman rambutan, peralatan apa saja yang dibutuhkan untuk memproduksi bibit tanaman rambutan, dan gambaran umum tentang perusahaan.

2. Observasi

Observasi dilakukan melalui pengamatan langsung terhadap kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan proses produksi serta informasi-informasi lain yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Variabel-variabel yang akan diamati adalah kegiatan atau aktivitas yang berlangsung pada saat proses produksi.

3. Studi Pustaka

Studi pustaka yang dilakukan mengacu pada literatur-literatur yang dianggap relevan dengan penelitain ini.


(58)

40

3.4. Analisis Data

Analisis data yang digunakan adalah analisis data kuantitatif dan analisis data kualitatif.

3.4.1. Analisis Kualitatif

Data kualitatif dianalisis secara deskriptif untuk menggambarkan hasil yang didapat dari wawancara dan observasi.

3.4.2. Analisis Kuantitatif

Metode yang digunakan untuk menetapkan harga pokok produksi pada penelitian ini adalah metode full costing, dan variable costing. Penggunaan kedua

metode ini bertujuan untuk membandingkan harga pokok produksi mana yang akan memberikan harga pokok produksi per unit terendah. Pemilihan harga pokok produksi ini didasarkan pada tujuan sosial pemilik, yaitu harga jual yang dapat dijangkau semua kalangan. Metode yang menghasilkan harga pokok produksi per unit dan sesuai dengan kondisi perusahaan akan dipilih sebagai metode harga pokok produksi bagi perusahaan. Harga pokok produksi yang sesuai dengan kondisi perusahaan dipilih dengan mempertimbangkan keuntungan bagi perusahaan dan harga jual yang layak untuk konsumen. Sehingga diharapkan akan menarik konsumen.

Data yang diperoleh diolah secara manual dengan menggunakan kalkulator dan program komputer Ms. Excel.


(59)

41

3.4.2.1.Penetapan Harga Pokok Produksi dengan Metode Full Costing

Metode Full Costing yaitu metode penentuan harga pokok produksi yang

memperhitungkan semua unsur biaya produksi, yang terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, dan biaya overhead pabrik, baik yang bersifat variable maupun tetap (Mulyadi, 2000:18).

Harga pokok produksi menurut metode Full Costing terdiri dari:

Biaya bahan baku Rp. XXX Biaya tenaga kerja langsung Rp. XXX Biaya overhead pabrik tetap Rp. XXX Biaya overhead pabrik variabel Rp. XXX + Harga pokok produksi Rp. XXX Harga Pokok Produksi (Rp)

Harga pokok produksi per unit =

Total Produksi (Unit)

3.4.2.2.Penetapan Harga Pokok Produksi dengan Metode Variable Costing Metode variable costing yaitu metode penentuan harga pokok produksi

yang hanya membebankan biaya produksi yang berprilaku variabel saja kedalam harga pokok produksi, yang terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik variabel (Mulyadi, 2000:21). Biaya penuh merupakan total biaya variabel (biaya bahan baku, biaya tenaga kerja, biaya overhead pabrik variabel, biaya administrasi dan umum variabel, biaya pemasaran variabel) ditambah dengan total biaya tetap (biaya overhead pabrik tetap, biaya administrasi dan umum tetap, biaya pemasaran tetap). Biaya overhead pabrik yang


(60)

42

diperhitungkan ke dalam harga pokok produksi yaitu biaya overhead pabrik variabel yang sesungguhnya terjadi.

Harga pokok produksi menurut metode variabel costing terdiri dari:

Biaya bahan baku Rp. XXX Biaya tenaga kerja langsung Rp. XXX Biaya overhead pabrik variabel Rp. XXX + Harga pokok produksi Rp. XXX Harga Pokok Produksi (Rp) Harga pokok produksi per unit =

Total Produksi (Unit)

3.4.2.3. Perbandingan Metode Penetapan Harga Pokok Produksi

Berdasarkan hasil analisis harga pokok produksi untuk setiap metode yang digunakan, akan dibandingkan besarnya selisih harga pokok produksi yang timbul dan metode mana yang tidak merugikan perusahaan. Hasil analisis perbandingan perhitungan tersebut akan digunakan dalam penetapan harga pokok produksi yang tepat bagi perusahaan. Metode yang menghasilkan harga pokok produksi per unit terendah dengan biaya produksi yang paling minimum dan tidak merugikan perusahaan dalam penggunaannya akan direkomendasikan untuk digunakan perusahaan sebagai alat penetapan harga pokok produksinya.


(61)

43

3.5. Definisi Operasional

1. Biaya bahan baku merupakan biaya yang digunakan untuk menghasilkan bibit seperti benih rambutan, sekam kering, pupuk kandang, polybag,

plastik pengikat, pucuk entris, athonik, dhitane M-45, gandasil D, dan gandasil B dimasukkan ke dalam biaya bahan baku, sesuai dengan sistem produksi perusahaan yang berproduksi dengan metode proses.

2. Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting, betapapun tingginya teknologi dan modernnya peralatan produksi yang dimiliki, kegiatan produksi tidak akan dapat berjalan bila tidak ditunjang oleh tenaga kerja yang memadai. Tenaga kerja merupakan usaha fisik atau mental yang dikeluarkan karyawan untuk mengolah produk. Biaya tenaga kerja langsung adalah harga yang dibebankan untuk penggunaan tenaga kerja manusia tersebut. Yang termasuk biaya tenaga kerja langsung yaitu gaji karyawan bagian kebun yang dipekerjakan untuk memproses bahan menjadi barang jadi.

3. Biaya overhead pabrik (BOP) atau dikenal dengan biaya produksi tidak langsung. Yang termasuk Biaya overhead pabrik yaitu biaya penyusutan peralatan, biaya listrik, dan telepon.

4. Total produksi didasarkan pada total produksi normal pada Kebun Bibit Ragunan yaitu sebesar 2000 bibit per produksi.


(62)

BAB IV

GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

4.1. Profil Perusahaan

UPT Balai Benih Induk Kelautan dan Pertanian merupakan instansi Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Kehutanan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta yang memiliki areal lahan seluas 1.064.795 m2. Berdiri sejak tanggal 20 Agustus 2002 yang diresmikan oleh Gubernur Provinsi DKI Jakarta. Sebelumnya bernama Balai Benih Induk Tanaman Pangan Hortikultura yang berdiri sejak tanggal 14 Februari 1977. Berdasarkan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 113 Tahun 2002 Tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja UPT di lingkup Dinas Pertanian dan Kehutanan Provinsi DKI Jakarta. Balai Benih Induk Pertanian dan Kehutanan Provinsi DKI Jakarta mempunyai tugas melaksanakan usaha-usaha untuk mendapatkan bibit/benih unggul tanaman pangan, hortikultura dan kehutanan yang akan disebarluaskan kepada masyarakat dengan menerapkan peningkatan teknologi.

4.2. Visi dan Misi UPT Balai Benih Induk

Visi UPT Balai Benih Induk adalah " Unggul dan terdepan sebagai

penyedia benih/bibit unggul dan bermutu serta kawasan wisata agro terkemuka di

Indonesia"

UPT Balai Benih Induk mempunyai misi sebagai berikut : 1. Menyusun program dan rencana kegiatan operasional 2. Produksi benih/bibit unggul dan bermutu


(63)

45

3. Penerapan dan peningkatan teknologi pertanian dan kehutanan di Kebun-kebun

4. Pengujian adaptasi teknologi budidaya, pengelolaan benih dan perlakuan pasca panen produksi benih/bibit

5. Pengadaan pohon induk sebagai bahan baku maupun untuk koleksi 6. Penyediaan sarana studi, latihan dan penyuluhan bagi masyarakat 7. Penyediaan sarana informasi dan pelayanan benih/bibit kepada

masyarakat

8. Pelaksanaan kegiatan ketatausahaan

4.3. Sejarah Organisasi Dinas Pertanian DKI Jakarta

Dinas pertanian DKI Jakarta berada di bawah tanggung jawab gubernur DKI Jakarta. Didirikan atas dasar Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta nomor 1b.12/1/1968 tanggal 8 Januari 1968. Kemudian disempurnakan dengan Surat Keputusan Gubernur KDH DKI Jakarta nomor B.VII/5456/A/I/1974 tanggal 16 November 1974 dan Perda DKI Jakarta nomor 5 tahun 1981, yang bertujuan meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat bidang pertanian di wilayah DKI Jakarta.


(64)

46

Berdasarkan Perda DKI Jakarta nomor 5 tahun 1981, maka kedudukan, tugas dan fungsi Dinas Pertanian sebagai berikut:

1. Dinas Pertanian adalah unsur pelaksana Pemerintah Daerah di bidang pertanian.

2. Dinas Pertanian dipimpin oleh seorang kepala dinas yang berada di bawah tanggung jawab Gubernur DKI Jakarta.

3. Dinas Pertanian dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh Dinas Koordinatif Administratif Sekretaris Wilayah.

4. Tugas popok Dinas Pertanian adalah memberi bimbingan, penyuluhan dan pembinaan dalam rangka usaha pertanian produktif.

4.4. Sejarah Kebun Bibit Ragunan Jakarta

Kebun Bibit Ragunan Jakarta merupakan salah satu kebun yang dimiliki Balai Benih Induk Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta yang bertanggung jawab kepada Gubernur DKI Jakarta. Pada saat berdirinya Dinas Pertanian DKI Jakarta pada tahun 1975, didirikan pula Pusat Pengembangan Unit Hortikultura (P3UH) yang merupakan cikal bakal Balai Benih Induk Tanaman Pangan dan Hortikultura (BBITPH) atau sekarang lebih dikenal dengan nama Balai benih Induk Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta, yang juga mendirikan kebun-kebun dinas, salah satunya adalah kebun-kebun Bibit Ragunan Jakarta.

P3UH mengembangkan kegiatan percontohan bagi masyarakat. Berdasarkan Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta No.5 tahun 1981 yang dituangkan dalam surat keputusan Gubernur Kepala Daerah Ibukota Jakarta


(65)

47

No.631/1983, P3UH diganti Pusat Pengembangan Pertanian (PusP2) memiliki fungsi dalam penyediaan bibit, pengembangan teknologi pembibitan, pascapanen dan pelaksanaan kegiatan percontohan.

Berdasarkan dikeluarkan Surat Keputusan Direktorat jendral pertanian Tanaman Pangan No.I.45.82.C tentang Balai Benih Induk Padi, Palawija dan hortikultura, maka PusP2 diubah menjadi Balai Benih Induk Tanaman Pangan dan Hortikultura (BBITPH), ditetapkan dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta No.281/1977, yang mengacu pada peraturan Daerah No.7 Tahun 1995 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pertanian DKI Jakarta. Pada saat ini lebih dikenal Balai Benih Induk (BBI) Dinas Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 113 tahun 2002, Balai Benih Induk (BBI) Dinas Pertanian Pertanian dan Kehutanan DKI Jakarta memiliki instalasi Balai Benih Induk, yaitu kebun-kebun Dinas salah satunya adalah kebun bibit Ragunan Jakarta yang merupakan pendukung pelaksanaan tugas-tugas Balai Benih Induk Pertanian dan Kehutanan Jakarta dan sebagai kebun percontohan yang akan menghasilkan benih dan bibit tanaman buah yang terjamin mutunya dan memperoleh sertifikasi.

4.4.1. Tugas dan Fungsi Kebun Bibit UPT BBI Ragunan DKI Jakarta

Berdasarkan tujuan dibentuknya, Kebun Bibit UPT BBI Ragunan DKI Jakarta mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:

a. Menyelenggarakan usaha-usaha untuk mendapatkan benih/bibit tanaman pangan dan hortikultura yang unggul dan bermutu untuk disebarkan kepada masyarakat.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)