BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sosial masyarakat perempuan sering dijadikan sebagai masyarakat kelas dua. Adanya sistem patriarkhi yang berlaku dalam masyarakat membuat perempuan
menjadi terpinggirkan oleh laki-laki. Sistem patriarkhi yang berkembang sekarang ini diartikan sebagai sebuah sistem pengambilan keputusan dalam kehidupan berpolitik, dimana
pendapat laki-lakilah yang diutamakan. Sistem budaya patriarkhi ini dulunya menempatkan laki-laki sebagai pencari nafkah sektor publik dan perempuan mengerjakan aktifitas rumah
tangga sektor domestik. Pembagian kerja ini menghasilkan penghargaan sosial yang berbeda, karena laki-laki sebagai pihak yang memperoleh uang dan mempunyai kekuatan
ekonomi sering kali menganggap perempuan hanya sebagai pendamping, bukan sebagai mitra yang sejajar. Hal inilah yang sering sekali menimbulkan ketidakmandirian pada
perempuan. Tidak berbeda dalam kehidupan masyarakat pada umumnya, perempuan masih
menjadi bagian yang tertinggal dari kaum laki-laki, perempuan masih menjadi objek di dalam masyarakat. Dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya selalu di dominasi oleh
laki-laki. Perempuan hanya dianggap sebagai instrument pendukung apabila dibutuhkan oleh laki-laki. Hal ini tentu saja berkaitan dengan budaya dalam masyarakat, di mana dalam
masyarakat tersebut terdapat sebuah konstruksi kesenjangan hak, status, fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan, dimana perempuan menjadi kelompok yang mengalami
subordinasi atas laki-laki. Dalam sistem yang lebih besar dan kompleks, hubungan antara laki-laki dan
perempuan dimanifestasikan dalam berbagai bentuk dan pola perilaku yang mencerminkan penerimaan dari pihak laki-laki atau perempuan terhadap kedudukan tiap-tiap jenis kelamin.
1
1
Sugihastuti dan Itsna Hadi. 2007. Gender Dan Inferioritas Perempuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 82
Proses ini dikuatkan oleh realitas dalam banyak kebudayaan bahwa posisi laki-laki berada lebih tinggi secara struktural dibandingkan dengan perempuan. Hal ini membuktikan bahwa
interaksi yang terjalin menuntut adanya satu jenis kelamin yang lebih unggul dibandingkan dengan yang lain. Pihak laki-laki merupakan pemenang, memiliki kekuasaan yang lebih besar
Universitas Sumatera Utara
dan peran yang lebih menentukan dalam berbagai proses sosial dibandingkan dengan perempuan, bahkan pada lingkup pergaulan sosial yang lebih luas seperti kelompok
masyarakat. Proses pengambilan keputusan dalam sebuah keluarga, dengan demikian, juga tidak terlepas dari kontrol kekuasaan laki-laki yang dianggap lebih berwenang.
Hal ini terus terjadi dan seolah-olah dilegalkan oleh konstruksi kebudayaan setempat. Proses yang berulang akhirnya banyak membentuk pandangan negatif tentang kaum
perempuan yang diantaranya meliputi fungsi, peran dan kedudukan mereka dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satunya ialah stereotip bahwa perempuan merupakan kaum yang lemah,
sedangkan kaum laki-laki ialah kaum yang kuat. Berdasarkan hal ini, perempuan memiliki kecenderungan yang kuat untuk bergantung kepada laki-laki. Sebaliknya, laki-laki memiliki
kekuasaaan untuk mengontrol perempuan dalam berbagai hal seperti reproduksi, seksualitas, sistem pembagian kerja dan sebagainya.
Ketika membahas masalah perempuan, satu konsep penting yang tidak boleh dilupakan adalah konsep gender. Hal ini menjadi masalah yang krusial karena stereotip yang
dibentuk oleh gender dalam aplikasinya memiliki kecenderungan menguntungkan jenis kelamin tertentu yakni laki-laki. Keuntungan tersebut dilihat dari berbagai bentuk tatanan
sosial dan budaya yang berlaku pada masyarakat yang menganut budaya patriarkhi. Perempuan, sebagai lawan jenis dari laki-laki, digambarkan dengan citra-citra tertentu yang
mengesankan inferioritas perempuan, baik dalam struktur sosial maupun budaya. Kesan-kesan inferioritas salah satunya dapat ditemukan dalam sistem pembagian
kerja yang menyangkut fungsi dan peran perempuan.
2
2
Ibid, hlm.83
Terdapat pemahaman yang menyatakan bahwa perempuan tidak hanya berperan sebagai istri, ibu dan ibu rumah tangga
bagi keluarga, tetapi juga secara sosial dan budaya dalam lingkup yang lebih luas. Akan tetapi, ketika peran-peran bagi anggota keluarga secara dominan dikuasai oleh laki-laki,
perempuan tidak memiliki peran yang signifikan dalam menjalankan suatu fungsi tertentu karena sudah ditangani oleh laki-laki. Salah satunya ialah peran perempuan yang tidak
berjalan dalam menjalankan fungsi sosial sebagai bagian dari sebuah komunitas masyarakat. Perempuan membutuhkan aktualisasi diri dalam masyarakat maupun organisasi, bukan
sebagai individu yang menjalankan fungsinya dalam lingkup rumah tangga saja. Akan tetapi, lebih dari itu perempuan memerlukan sarana dalam pergaulan sosial dengan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Beberapa permasalahan yang membuat gender menjadi permasalahan sosial, diantaranya adalah: perempuan tidak berkembang karena sebagian masyarakat beranggapan
bahwa perempuan harus bekerja di rumah, perempuan tidak mendapat pendidikan seperti laki-laki karena dianggap tidak perlu, perempuan sangat tergantung pada laki-laki, laki-laki
tidak peduli dengan pekerjaan rumah tangga, dan lain sebagainya yang membuat terjadinya kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Pada realitanya posisi superordinasi selalu diisi
oleh kaum laki-laki. Perempuan selalu berada di bawah laki-laki dalam kondisi dan situasi tertentu hingga membuat perempuan hanya menjadi kelompok yang dipandang lemah dan
selalu menjadi kelompok subordinasi dalam kesenjangan kelas sosial. Membicarakan keterlibatan perempuan dalam organisasi tentu menimbulkan
pertanyaan sejak kapan perempuan terlibat di dalam organisasi? Pada zaman penjajahan Belanda telah lahir seorang pejuang perempuan, yaitu R.A Kartini 1879-1904. Beliau
adalah pelopor dan pendahulu perjuangan untuk pendidikan perempuan dan persamaan hak perempuan. Kartini berpendapat bahwa bila perempuan ingin maju dan mandiri, maka
perempuan harus mendapat pendidikan. Kartinilah yang membangun pola pikir kemajuan, dengan cara menggugah kesadaran orang-orang sejamannya, bahwa kaum perempuan harus
sekolah, tidak hanya di sekolah rendah namun harus dapat meneruskan ke sekolah yang lebih tinggi. Gagasan Kartini kemudian diikuti oleh beberapa tokoh perempuan lainnya. Pada tahun
1904 Dewi Sartika mendirikan sekolah-sekolah untuk perempuan di Bandung. Keterlibatan Dewi Sartika mendirikan sekolah tersebut merupakan cerminan bahwa perempuan telah
mampu mengorganisir, sehingga sekolah tersebut dapat berdiri. Organisasi yang bersifat formal muncul pada tahun 1912 yang bernama Putri Mardika
di Jakarta. Organisasi ini berdiri untuk memperjuangkan pendidikan untuk perempuan, mendorong perempuan agar tampil di depan umum, membuang rasa takut dan mengangkat
perempuan ke kedudukan yang sama seperti laki-laki.
3
Keterlibatan perempuan di dalam organisasi umumnya juga tidak berbeda jauh dengan keadaan dalam masyarakat umum. Perempuan tidak banyak mengambil posisi khusus
seperti ketua organisasi, baik itu di dalam organisasi mahasiswa maupun dalam organisasi Dengan berdirinya organisasi
perempuan sesungguhnya telah cukup menyatakan bahwa perempuan tidak asing lagi dalam kehidupan berorganisasi.
3
Dra. Mazdalifah MSi. 2011. “Perempuan Dan Organisasi”. http:mazdalifahjalil.wordpress.com20111204perempuan- dan-organisasi diakses tanggal 20 September 2013 pukul 10.42 Wib
Universitas Sumatera Utara
politik. Kebanyakan perempuan menjadi sekretaris maupun bendahara. Kedudukan yang seperti ini memang dianggap sebagai milik perempuan karena dikatakan sangat identik
dengan ketelitian. Perempuan dianggap mampu dalam melakukan hal tersebut. Sebelumnya perempuan hanya dianggap sebagai pelengkap di dalam organisasi, di
mana perempuan tidak menempati posisi strategis di dalam organisasi. Saat ini masih banyak terdapat keengganan pada diri perempuan untuk terlibat penuh di dalam organisasi. Banyak
hal yang membuat kondisi seperti ini terjadi, salah satunya seperti yang telah dijelaskan sebelumnya adalah adanya anggapan masyarakat bahwa perempuan harus bekerja di rumah
saja, sehingga membuat perempuan tidak mempunyai peluang yang besar untuk berpartisipasi di dalam organisasi.
Dominannya laki-laki daripada perempuan dalam hal jabatan struktural organisasi seringkali menyebabkan kurangnya keaktifan serta mobilitas yang sangat rendah bagi
perempuan dalam menjalankan kegiatan organisasi. Hal inilah yang menyebabkan dalam sebuah organisasi tertentu dibentuk badan khusus yang memposisikan perempuan pada posisi
yang khusus. Salah satu organisasi yang memiliki badan khusus dalam bidang keperempuanan adalah Himpunan Mahasiswa Islam. Himpunan Mahasiswa Islam adalah
sebuah organisasi yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal 5 Februari 1947, atas prakarsa Lafran Pane beserta 14 orang mahasiswa Sekolah Tinggi Islam Yogyakarta. Himpunan
Mahasiswa Islam yang selanjutnya akan disingkat HMI adalah sebuah organisasi mahasiswa yang berfungsi sebagai organisasi kader dan berperan sebagai organisasi perjuangan.
4
Secara hierarki kepemimpinan tertinggi HMI berada di tangan Pengurus Besar HMI PB HMI. Dalam melaksanakan aktifitasnya, PB dibantu oleh Badko Badan Koordinasi.
Badko HMI yang dibentuk tahun 1963 mengkoordinir beberapa cabang, minimal mengkordinasikan cabang-cabang di satu provinsi.
Dikatakan sebagai organisasi kader karena keanggotaan HMI adalah sepanjang menjadi mahasiswa, sehingga ada batasan ruang dan waktu. Sebagai organisasi kader maka HMI
harus bersifat mandiri, independen di tengah pluralisme umat dan kebhinekaan bangsa. Hal ini diperlukan untuk dapat menjadi perekat kebhinekaan kebebasan berpikir untuk mencari
formula yang terbaik di segala bidang, yang bermanfaat bagi seluruh masyarakat.
5
4
Konstitusi HMI hasil Kongres ke XXVII Depok tahun 2010
5
Solichin. 2010. HMI Candradimuka Mahasiswa. Jakarta: Sinergi Persadatama Foundation. hlm.7
Salah satu Badko HMI yang telah
Universitas Sumatera Utara
dibentuk adalah Badko HMI Sumatera Utara Sumut. Tugas umum dari Badko HMI Sumut adalah membantu PB HMI dalam mengkoordinir cabang-cabang yang ada di wilayah Sumut.
Dalam organisasi HMI ini terdapat sebuah lembaga semi otonom yang menempatkan kader-kader perempuannya pada posisi khusus. Lembaga semi otonom tersebut dinamakan
Korps HMI Wati atau disingkat dengan Kohati. Kohati ini dibentuk sebagai wadah untuk memfasilitasi kader-kader perempuan yang ada di HMI agar kontribusinya terhadap
organisasi lebih besar. Selain itu Kohati dibentuk agar kader-kader perempuan di dalam organisasi tidak merasa terpinggirkan keberadaannya oleh kader laki-laki yang jumlahnya
lebih banyak daripada kader perempuan tersebut. Hal ini terlihat dari jabatan stuktural yang ada di HMI didominasi oleh kader laki-laki, seperti jabatan ketua umum dan sekretaris
jendral yang belum pernah diduduki oleh kader perempuannya. Kohati sebagai badan khusus yang berfungsi dan bekerja di bidang kewanitaan adalah
aparat HMI yang tidak terpisahkan. Kohati dibentuk di semua jenjang organisasi, sejak dari Kohati PB hingga Kohati komisariat. Lembaga Kohati tersebut merupakan lembaga khusus
yang diisi oleh kader-kader permpuan HMI. Kohati sebagai salah satu badan khusus yang ada di HMI memiliki bidang kerja yang sangat khusus dan visioner, yakni keperempuanan.
Kohati sebagai sebuah lembaga keperempuanan yang ada di Himpunan Mahasiswa Islam tentulah juga memiliki peran penting dalam pergerakan perempuan di Indonesia. Sejak
didirikannya pada tanggal 17 September 1966, peranannya dirasakan bukan hanya di lingkungan internal organisasi, namun pula masyarakat secara keseluruhan.
Dalam lembaga Kohati ini perempuan mendapatkan posisi khusus hingga dapat mengekspresikan minat dan bakat mereka tanpa adanya dominasi dari kader laki-laki. Kohati
menyelenggarakan berbagai usaha yang dapat mendorong peningkatan peranan perempuan dalam wadah-wadah kerjasama organisasi perempuan. Kohati juga melaksanakan kegiatan-
kegiatan yang dapat meningkatkan kualitas HMI Wati sesuai dengan tingkat perkembangan perempuan khususnya dalam masyarakat umum.
Hal tersebutlah yang membuat penulis ingin meneliti lebih jauh tentang bagaimana peran perempuan di dalam sebuah organisasi. Karena dengan adanya lembaga ini diharapkan
perempuan tidak lagi berada pada posisi nomor dua dalam masyarakat. Hingga dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas perempuan mampu memposisikan diri sejajar dengan
laki-laki.
Universitas Sumatera Utara
B. Perumusan Masalah