yang dijajah oleh imperialisme laki-laki. Karena dijajah seperti itulah kebudayaan perempuan menjadi tertindas. Perempuan harus menyatu sebagai
perempuan supaya kebudayaannya bisa terbebas. Perempuan harus bangga atas budayanya seperti emosi, intuisi, cinta, hubungan pribadi, dan lain-lain
Holidin dan Soenyono, 2004:79.
2.1.5.3.1. Feminis Radikal-Kultural
Jauh dari percaya bahwa perempuan yang terbebaskan harus menunjukkan sifat dan perilaku, baik maskulin maupun feminin, Alice Echlols
menyatakan, dalam feminis radikal-kultural mengungkapkan salah satu pandangan bahwa adalah lebih baik menjadi perempuan feminin, dari pada
menjadi laki-laki maskulin. Karena itu, perempuan tidak seharusnya mencoba untuk menjadi seperti laki-laki. Sebaliknya, perempuan harusnya
mencoba untuk menjadi lebih seperti perempuan, dan menekankan nilai-nilai dan sifat-sifat, yang secara kultural, dihubungkan terhadap perempuan ”saling
kebergantungan, komunitas, hubungan, berbagi, emosi, tubuh, kepercayaan, ketiadaan hirarki, alam, imanensi, proses, berbagi, kesukariaan, perdamaian,
dan kehidupan”, dan meninggalkan penekanan atas nilai-nilai dan sifat-sifat yang secara kultural dihubungkan terhadap laki-laki ”independensi, otonomi,
intelek, kemauan, kehati-hatian, hirarki, dominasi, kebudayaan, transendensi, produk, askestisme, perang, dan kematian”. Meskipun begitu, Echols dan
Acoff mengakui, bahwa tidak semua feminis radikal-kultural percaya bahwa perbedaan perempuan-laki-laki berakar pada alam. Beberapa diantara mereka,
menurut Echols, berpendapat bahwa perbedaan seks gender mengalir bukan
semata-mata jika memang demikian dari biologi, melainkan juga dari ”sosialisasi” atau dari sejarah keseluruhan menjadi perempuan di dalam
masyarakat yang patriarkal Tong, 1998:71. Salah satu pandangan feminis radikal-kultural yang lainnya adalah seperti
diungkapkan oleh Marlyn French, beliau mengatribusikan perbedaan laki-laki dan perempuan lebih kepada biologi nature alam, dari pada kepada
sosialisasi nurture pengasuhan. Jika mungkin memberikan pembenaran atas dominasi laki-laki terhadap perempuan, maka mungkin pula memberikan
pembenaran atas segala dan setiap bentuk dominasi. ”Stratifikasi laki-laki yang di atas perempuan, pada gilirannya
mengarahkan kepada stratifikasi kelas : yang elit menguasai orang-orang yang dipandang sebagai ”lebih dekat ke alam”, liar, barbar, dan serupa
binatang”
French menyimpulkan bahwa manusia awal hidup dalam harmoni dengan alam. Dalam hasrat laki-laki untuk menguasai kombinasi “perempuan alam”
lahirlah patriarkhi, sebagai suatu sistem hierarki yang menghargai apa yang disebut sebagai power-over Tong, 1998:79-81. Karena ketidaksukaannya
yang sangat jelas atas nilai-nilai maskulin power-over, French mengklaim bahwa seorang manusia yang androgini, harus menyeimbangkan diri bukan
antara pleasure with dengan power-over, melainkan antara pleasure with dengan versi yang sudah difeminiskan dari power-over, yang dilebelinya
sebagai power-to. French menekankan bahwa baik bagi manusia untuk mempunyai kuasa, dan juga kenikmatan di dalam hidup mereka, asalkan kuasa
yang muncul bukan sebagai hasrat untuk menghancurkan power-over, tetapi lebih sebagai hasrat untuk mencipta power-to Tong, 1993:83.
Pada feminisme radikal-kultural, konsep yang diambil dan digunakan untuk meneliti antara lain :
1. Perempuan sebagai feminis menolak adanya sistem masyarakat patriarkhi
dimana, laki-laki lebih berkuasa dan mendominasi atas perempuan. 2.
Perempuan sebagai feminis menyadari bahwa perempuan tidak ditakdirkan untuk menjadi pasif, seperti juga laki-laki tidak ditakdirkan
untuk menjadi aktif, dan kemudian mengembangkan kombinasi apapun dari sifat-sifat feminin dan maskulin yang paling baik merefleksikan
kepribadian unik mereka masing-masing. 3.
Perempuan sebagai feminis dapat memutuskan siapa, bagaimana, kapan dan dimana akan menjadi ibu atau menjalankan fungsi ibu.
4. Feminis merekonstruksi perempuan dengan menolak apa yang tampaknya
merupakan aspek ”baik” dari femininitas, dan juga menolak aspek yang sudah jelas-jelas ”buruk” karena semua itu merupakan ”konstruksi yang
dibuat laki-laki”. 5.
Perempuan sebagai feminis menjaga karakter femininnya dari tambahan- tambahan sifat maskulin Tong, 1998.
2.1.5.4. Feminisme Sosialis