Teori Konstruksi Realitas Sosial

2.1.2. Teori Konstruksi Realitas Sosial

Film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan memproyeksikannya ke dalam layar Irawanto, 1999 : 13 dalam Alex Sobur, 2004 : 127. Film adalah dokumen kehidupan sosial sebuah komunitas. Film mewakili realitas kelompok masyarakat pendukungnya itu. Baik realitas dalam bentuk imajinasi maupun realitas kelompok dalam arti sebenarnya. Film menunjukkan pada kita jejak-jejak yang ditinggalkan pada masa yang akan datang. Sehingga dalam perkembangannya film bukan lagi sekedar usaha menampilkan citra bergerak moving images namun juga telah diikuti oleh kepentingan tentang politik, kapitalisme, hak asasi manusia atau gaya hidup. Film juga sudah dianggap bisa mewakili citra atau identitas komunikasi tertentu. Bahkan bisa membentuk komunitas sendiri, komunikasi yang sifatnya universal. Meskipun demikian, film juga bukan tidak menimbulkan dampak negatif. Victor C. Mambor http:fsituskunci.tripod.comteksvictor1.html. Teori konstruksi realitas sosial diperkenalkan oleh Peter L. Berger, seorang sosiologi interpretatif. Bersama Thomas Luckman, ia menulis sebuah risalat teoritis utamanya, The Social Construction of Reality 1966. Menurut Berger, realitas sosial eksis dengan sendirinya dan dalam mode strukturalitas, dunia sosial secara obyektif memang ada, tapi maknanya berasal oleh hubungan subyektif individu dengan dunia obyektif Poloma, 2000 : 299. Tesis utama dari Berger adalah manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis dan plural secara terus-menerus. Masyarakat tidak lain adalah produk manusia, namun secara terus-menerus mempunyai aksi kembali terhadap penghasilannya. Sebaliknya, manusia adalah hasil atau produk dari masyarakat Eriyanto, 2002 : 13. Berger dan Luckman meringkas teori mereka dengan menyatakan realitas terbentuk secara sosial. Mereka mengakui realitas obyektif, dengan membatasi realitas sebagai kualitas yang berkaitan dengan fenomena yang kita anggap berada diluar kemampuan kita. Menurut Berger, kita semua mencari pengetahuan atau kepastian bahwa fenomena adalah riil adanya dan memiliki karakteristik yang khusus dalam kehidupan kita sehari-hari. Berger setuju dengan peryataan fenomologis bahwa terdapat realitas ganda dari pada hanya realitas tunggal. Berger bersama Garfinkel berpendapat bahwa ada realitas kehidupan sehari-hari yang diabaikan, yang sebenarnya merupakan realitas yang lebih penting. Realitas ini dianggap sebagai realitas yang teratur dan terpola, biasanya diterima begitu saja dan non-problematis, sebab dalam interaksi-interaksi yang terpola typified realitas sama-sama dimiliki dengan orang lain. Akan tetapi, bebeda dengan Garfinkel, Berger menegaskan bahwa realitas kehidupan sehari-hari memiliki dimensi-dimensi subyektif dan obyektif manusia merupakan instrumen dalam menciptakan realitas sosial yang obyektif melalui proses eksternalisasi yang mencerminkan realitas subyektif. Dalam model yang dialektis, Berger melihat masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk masyarakat Poloma, 2000:301. Bagi Berger, proses dialektis dalam konstruksi realitas sosial mempunyai tiga tahap : pertama eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan, ekspeksi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam Negara, mental maupun fisik. Kedua, obyektifikasi, yaitu hasil yang telah dicapai baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia. Hasil itu menghasilkan realitas obyektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai faktisitas yang berada diluar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Ketiga, Internalisasi yaitu penyerapan kembali dunia obyektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subyektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dunia yang telah terobyektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala internal bagi kesadaran melalui internalisasi, manusia menjadi hasil masyarakat Eriyanto, 2002 : 14. Dalam sejarah umat manusia, obyektifitas, internalisasi, dan eksternalisasi merupakan tiga proses yang berjalan terus. Proses ini, merupakan perubahan dialektis yang berjalan lambat, diluar sana tetap dunia sosial obyektif yang membentuk individu-individu; dalam arti manusia dalam produk dari masyarakatnya. Beberapa dari dunia sosial ini eksis dalam bentuk hukum- hukum yang mencerminkan norma-norma sosial. Aspek lain dari realitas obyektif bukan sebagai realitas yang langsung dapat diketahui, tapi bisa mempengaruhi nilai-nilai sosial. Realitas obyektif ini diinternalisir oleh anak- anak melalui proses sosialisasi dan disaat dewasa merekapun tetap menginternalisir situasi-situasi baru yang mereka temui dalam dunia sosialnya. Akan tetapi, manusia tidak seluruhnya ditentukan oleh lingkungan. Dengan kata lain, proses sosialisasi bukan merupakan suatu keberhasilan yang tuntas. Manusia memiliki peluang untuk mengekspresikan atau secara kolektif membentuk dunia sosial mereka. Eksternalisasi mengakibatkan terjadinya perubahan aturan sosial. Dengan demikian, masyarakat adalah produk manusia yang tidak hanya dibentuk oleh masyarakat, tapi secara sadar atau tidak telah mencoba mengubah masyarakat itu Poloma, 2000 : 316.

2.1.3. Perfilman Indonesia