Saat Menetas Rasio kelamin. Rasio kelamin jantan dengan betina dari telur yang mampu

76 persentase tidak berbeda jauh. Hal ini mengindikasikan bahwa pengelompokkan telur tetas yang berada diselang atas dan bawah lebih besar kemungkinannya untuk infertil. Namun demikian hasil ini masih perlu diuji tersendiri. Menurut Ducos et al. 1997 penyebab rendahnya fertilitas mandalung adalah adanya perbedaan fisik kromosome yaitu lengan yang tidak sama yang ditemukan pada kromosom kelamin Z. Pendapat ini diperkuat oleh Rouvier 1999 bahwa rendahnya fertilitas 71 diduga diakibatkan oleh tidak kompatibelnya pasangan ditingkat kromosom. Laporan Rouvier 1999 tersebut relatif tidak terpaut jauh dengan hasil yang didapat 70-75. Hasil yang lebih rendah dilaporkan oleh Cheng et al. 1999 terhadap telur tetas hasil silang Pekin dengan Tsaiya coklat, fertilitasnya sebesar 36.6 generasi awal dan meningkat menjadi 41.6 pada generasi ke-9. Artinya bahwa fertilitas dari kedua galur induk yang diuji masih menunjukkan penampilan baik, jika dilihat dari perbandingan hasil laporan sebelumnya. Telur yang berasal dari galur induk PA, tingkat keberhasilan untuk menetas sebesar 35.34 dari total telur yang ditetaskan. Tetapi apabila dilihat dari banyaknya telur yang fertil maka daya tetasnya adalah 47.67. Hasil dari galur induk PM yang diperoleh menunjukkan bahwa besarnya persentase telur yang menetas adalah 41.61 dari total telur yang ditetaskan atau daya tetasnya sebesar 59.64 dari telur fertil. Daya tetas ini cenderung memiliki rentang selisih yang kecil terhadap laporan Han et al. 1985 yaitu sebesar 55.2. Artinya bahwa prestasi daya tetas yang capai pada telur hasil silang antra galur induk dengan entog tidak lebih dari 60. Hasil di atas menunjukkan bahwa baik galur induk PM maupun PA masih memiliki kendala dalam fertilitas telur yang dibuahi dengan entog jantan. Namun demikian penampilan daya tetas dari galur induk PM lebih tinggi dibandingkan dengan galur induk PA.

2.2. Saat Menetas Rasio kelamin. Rasio kelamin jantan dengan betina dari telur yang mampu

menetas menunjukkan adanya ketidak seimbangan, kondisi ini sejalan sebagaimana yang telah dilaporkan terdahulu Hardjosworo et al., 2001. Hasil 77 yang diperoleh menunjukkan bahwa terdapat konsistensi rasio kelamin 2:1 untuk anak jantan dan betina, baik yang terjadi pada genotipe EPM, EPA maupun hasil gabungan dari kedua genotipe tersebut. Hasil rasio jenis kelamin ini ternyata lebih rendah dari laporan Gvarhayu et al. 1985 yang melaporkan imbangan betina dengan jantan hasil penetasan telur mandalung adalah 1:2.5. Dengan kata lain bahwa peluang jantan relatif lebih besar jumlahnya dibanding dengan betina merupakan fenomena yang ditampilkan oleh mandalung. Kemungkinan hal ini terjadi diakibatkan oleh adanya faktor letal pada kromosom kelamin w. Perlu diketahui bahwa perhitungan rasio jantan dan betina dilakukan terhadap seluruh ternak total DOD tanpa ada seleksi, baik dalam kondisi anak sehat dan lincah, maupun terhadap anak yang lemah. Seleksi dilakukan hanya pada DOD yang diambil sebagai sampel penelitian. Bagi telur yang tidak netas meskipun telah memiliki embrio yang komplit, tidak termasuk dalam perhitungan tersebut di atas. 10 20 30 40 50 60 70 Rasio 1 2 3 Genotipa Pada Gambar 14 genotipe mandalung dibedakan menjadi 3 yaitu 1 untuk EPM, 2 untuk EPA dan 3 untuk gabungan EPM dan EPA. Menurut jenis kelamin tampak bahwa tingkat perbedaan proporsi antar galur adalah sempit. Besarnya proporsi betina 1 33.18, betina 2 33.58 dan betina 3 33.40, sehingga tingkat perbedaan sebesar 0.18-0.40. Adapun untuk jenis kelamin jantan besarnya proporsi adalah jantan 1 EPM adalah 66.82, jantan 2 EPA adalah 66.42 dan jantan 3 gabungan adalah 66.60, sehingga selisihnya berkisar antara 0.12-0.40. Hasil tersebut menunjukkan bahwa DOD mandalung Gambar 14. Rasio jantan • dan • betina pada saat penetasan Mandalung EPM 1, EPA 2 dan gabungan keduanya 3 78 betina berada pada rataan angka 33 dan jantan 66 baik antar genotipe maupun penggabungan dua dua genotipe yang ada. Hasil uji bagi kedua galur induk yang tetap konsisten menghasilkan jumlah anak jantan dua kali lebih banyak dari anak betina pada setiap periode penetasan, mengindikasikan bahwa galur induk PM maupun PA yang diuji sangat baik untuk dikembangkan sebagai galur induk. Galur induk manapun juga yang akan dikembangkan, jika dilihat dari proporsi kelamin tidak akan berpengaruh proporsinya. Jika dirunut ke belakang, khususnya pada kondisi fertilitas Tabel 15 menunjukkan bahwa banyaknya telur konsong infertil yang berkisar antara 25- 30 maka ada indikasi kuat bahwa telur yang tidak kompatibel dalam pembuahan adalah telur-telur yang kromosom kelamin betina. Meskipun tidak semua akan mengalami sterilisasi dalam proses pembuahan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Bitgood dan Shoffner 1993 bahwa kromosom 2 pada entog adalah acrocentric sedangkan pada itik kromosom Z-nya adalah subacrocentric. Bobot tetas. Bobot badan saat menetas tanpa membedakan jenis kelamin, tampak bahwa mandalung genotipe EPM memiliki bobot tetas yang nyata p0.01 lebih rendah 46.15±4.39 g dari mandalung EPA 49.99±4.11g dengan jumlah pengamatan sebanyak 120 bagi DOD mandalung EPM dan 137 DOD mandalung EPA. Hasil ini tidak jauh berbeda dari laporan Hanh et al. 1995 sebesar 47.8 g. Bobot tetas yang lebih besar pada EPA diduga kuat diakibatkan oleh besarnya telur tetas galur induk PA yang lebih tinggi dibandingkan dengan PM. Menurut jenis kelamin dari masing-masing genotipe, ternyata bobot tetas DOD jantan dengan betina EPM secara statistik tidak berbeda nyata p0.05. Nilai rataan bobot tetas EPM jantan 46.25±4.48 g n=59 ekor dan betina 46.05±4.34 g n=61 ekor. Berbeda dengan mandalung EPA, bobot tetas jantan secara statistik berbeda nyata p0.05 lebih tinggi dibandingkan dengan betina. Besarnya selisih rataan bobot tetas jantan dengan betina adalah ± 2 g, dengan rincian DOD jantan bobot tetasnya adalah 51.08±4.22 g n= 61 ekor sedangkan betina sebesar 49.11±3.82 g n=76 ekor. 79 Mortalitas. Hasil pengamatan menunjukkan tingkat kematian mandalung genotipe EPA yang relatif lebih tinggi 12.41, terutama pada minggu pertama dan kedua setelah netas. Sedangkan kematian anak mandalung EPM sebesar 11.27, juga banyak terjadi pada minggu pertama. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tingkat kematian dari dua genotipe EPM dan EPA memiliki selisih yang sempit yaitu ± 1 dengan masa kritis pada minggu pertama. Secara rinci tingkat kematian anak mandalung EPM pada minggu pertama mortalitasnya sebesar 40, sedangkan untuk EPA adalah 47.06 masing-masing dari total kematian. Kematian anak pada masa kritis lebih banyak diakibatkan oleh adanya faktor predator terutama tikus. Hasil di atas, tingkat kematian termasuk tinggi mengingat Hardjosworo et al. 2001 mendapatkan tingkat kematian sebesar 2.8 hingga umur 12 minggu dan kematian tersebut dilaporkan bukan karena penyakit. Perbedaan hasil tersebut sangat kontras dan perlu upaya perbaikan untuk menanggulangi ancaman predator. Tingkat kematian terbesar kedua dari anak mandalung terjadi pada umur 5 minggu bagi mandalung genotipe EPM, sedangkan mandalung EPA kematian terjadi pada umur 4 minggu. Kematian ini diduga bukan diakibatkan oleh suhu lingkungan yang ada. Mengingat Reiter dan Bessei 1999 melaporkan bahwa temperatur lingkungan hingga mencapai 30 C tidak memberikan pengaruh yang nyata bagi pertumbuhan bobot badan, dan ternak belum terganggu akibat suhu lingkungan tersebut. Kematian yang terjadi pada umur 4 hingga 5 minggu diduga diakibatkan oleh adanya penyakit atau akibat tingginya kanibalisme sesama ternak. Beberapa kasus menunjukkan adanya kecenderungan penyakit “snot” dengan gejala klinis keluar lendir dihidung, bulu berdiri kusam, ternak banyak tidur. Disamping itu juga ditemukan pada ternak yang memiliki kondisi fisik lemah, merupakan sasaran yang baik untuk kanibalisme. Besarnya mortalitas menunjukkan bahwa keduanya memiliki tingkat kematian yang tidak jauh berbeda, hal ini lebih banyak dipengaruhi oleh manajemen kandang. Dengan demikian kedua galur induk yang dievaluasi menunjukkan potensi yang sama baiknya untuk menghasilkan mandalung. Guna 80 menghindari tingginya angka kematian maka dapat dilakukan perbaikan sistem manajemen. Mandalung yang mengalami tingkat kanibalisme tinggi dapat ditekan dengan melakukan beak trimmed sebagaimana yang dilaporkan Rauch 1995.

2.3. Segregasi Warna Bulu Mandalung