38 homogen. Kondisi yang lebih seragam ini, sebagai akibat sistem seleksi pada
induk Alabio yang ketat dan terarah. Demikian sebaliknya, telur tetas PM karena induk Mojosari putih belum dilakukan seleksi maka keragaman variasi relatif
tinggi.
1.2. Daya Tetas dan Bobot Tetas
Kondisi telur tetas yang tidak dikelompokkan total bobot telur pada Tabel 3 di bawah merupakan cerminan sifat alami akan potensi reproduksi tetua yang
digunakan. Simulasi dengan pengelompokan berdasarkan bobot maupun indeks telur tetas dimaksudkan untuk mengetahui lebih detail pengaruh keseragaman
ukuran telur setelah dikelompokkan terhadap kemampuan fertilitas dan daya tetas dari setiap galur induk yang diuji.
Nilai persentase yang diperoleh pada telur yang infertil tak berembrio dari kedua calon galur induk menunjukkan hasil yang tidak berbeda, yaitu PA 7.8,
dan PM 7.5. Kondisi ini memberikan pengertian bahwa fertilitas telur tetas PM dan PA sebagai cerminan dari kemampuan itik lokal Mojosari putih dan
Alabio cukup fertil dan juga tidak ada masalah terhadap kesuburan pada pejantan Pekin. Pada kondisi yang demikian ini, pembentukan galur induk dengan
menyilangkan antara itik betina lokal dengan jantan Pekin memberikan harapan yang baik.
Besarnya angka fertilitas untuk PM adalah 92.5 dan PA adalah 92.2 ini sejalan dengan laporan Dupuy et al. 2002 bahwa persentase fertilitas itik Pekin
setelah 72 jam dalam inkubator, untuk strain A sebesar 97.4 tetapi strain B lebih rendah yaitu sebesar 78.4. Artinya bahwa perbedaan galur hasil silang PM dan
PA dengan galur Pekin telah menyebabkan terjadinya perbedaan tingkat fertilitas. Hasil di atas lebih tinggi dari laporan Brahmantiyo dan Prasetyo 2001
yaitu 79.2 untuk itik Alabio dan 75.0 untuk itik Mojosari maupun Tri- Yuwanta et al. 1999 antara 73.6 hingga 80.15 pada itik Turi yang
dikelompokkan menurut pola warna bulu. Pemahaman dari perbedaan hasil ini adalah telur tetas PM dan PA merupakan hasil silang dua galur yang memiliki
jarak genetik cukup jauh, sehingga dapat memunculkan sifat hybrid vigor efek hybrid vigor,
terutama pada sifat dengan h
2
rendah seperti fertilitas. Sementara
39 laporan sebelumnya sebagimana yang dikemukakan di atas dengan menggunakan
perkawinan antar galur murni, efek hybrid vigor-nya relatif kecil. Perkawinan dua galur yang berjarak genetik jauh sebagaimana yang terjadi
pada kedua tetua PM dan PA tampaknya dapat memaksimalkan munculnya efek hybrid vigor.
Pengaruh positif yang diperoleh adalah meningkatkannya kesuburan telur, sehingga telur yang bersifat infertil dapat lebih ditekan. Kejadian ini
memberikan penampilan fertilititas telur tetas PM dan PA yang lebih baik jika dibandingkan dengan galur murninya.
Fertilitas menurut kelompok bobot telur tetas PM dan PA. Besarnya
persentase telur infertil tak berembrio menurut selang pengelompokan bobot telur, maka telur tetas PM selang bawah memiliki persentase infertil yang lebih
besar dibanding dengan selang bobot telur lainnya. Demikian juga yang terjadi pada telur tetas PA, besarnya telur infertil pada kelompok selang bawah lebih
tinggi dari yang lainnya. Oleh sebab itu, pemilihan bobot telur yang akan dieramkan sebaiknya bagi telur PM bobotnya tidak boleh kurang dari 61.7 g
karena nilai rataan adalah 64.9±3.2 g, sedangkan untuk telur tetas PA bobot telur yang akan dieramkan tidak boleh kurang dari 67.8 g karena nilai rataan adalah
70.4±2.6 g. Kenyataan menunjukkan bahwa telur yang memiliki tunas berembrio
namun tidak mampu tumbuh dengan sempurna, lebih banyak ditemui pada bobot telur yang berada pada selang bawah dan atas Tabel 3. Lebih jauh dilaporkan
bahwa persentase embrio yang mati terbesar terjadi pada saat candling pertama. Artinya bahwa masa kritis bagi berkembangnya embrio dalam suatu proses
pengeraman terjadi pada kurun waktu candling pertama. Terlebih hasil tersebut ditunjang dengan pendapat Samosir 1983 bahwa kematian embrio pada candling
pertama dengan menggunakan sarang alas jerami 16.41 dan tanpa alas 19.08. Candling
kedua selang 7 hari setelah candling pertama tingkat kematian embrionya lebih rendah dari candling pertama. Sebagimana yang tampak pada
Tabel 3 di atas dengan tanpa ada pengelompokan total tingkat kematian embrio candling
kedua adalah PM 3.3 dan PA 2.9. Selang bawah dan atas pada telur tetas PM memiliki persentase kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan
40 selang tengahnya. Akan tetapi pada telur tetas PA, selang atas memiliki persentase
kematian embrio yang paling rendah dibanding dengan selang lainnya. Tabel 3. Kondisi telur tetas PM n=481 dan PA 550 selama proses penetasan
Telur tetas PM Telur tetas PA
Uraian Kondisi
Telur total
n=481 bawah
n=70 tengah
n=357 atas
n=54 total
n=550 bawah
n=80 tengah
n=392 atas
n=78 Rataan BT g
64.9 58.2
64.9 73.8
70.1 61.5
70.4 77.2
-------------------------------------- ------------------------------------- Telur kosong
Embrio mati - Candling
1 - Candling
2 - Candling
3 Tdk menetas
Menetas 7.5
19.0 11.8
3.9 4.3
13.3 59.2
13.9 33.4
13.9 5.6
13.9 11.1
41.7 6.7
17.4 11.5
3.4 2.5
14.3 61.6
3.7 20.4
11.1 5.6
3.7 9.3
66.7 7.8
28.9 20.9
2.9 5.1
0.2 63.2
12.5 28.8
17.5 3.8
7.5 58.8
7.1 27.1
20.0 2.8
4.3 0.2
65.6 6.4
37.2 28.2
2.6 6.4
56.4
Keterangan: BT = bobot telur Telur kosong adalah telur infertil
bawah adalah nilai selang yang lebih kecil dari
x
-std ; tengah adalah nilai selang diantara
x
±std ; atas adalah nilai selang yang lebih besar dari
x
+std
Kondisi yang tidak berbeda terjadi pada candling ke-3 umur pengeraman 21 hari kematian embrio secara total yaitu sebesar 3.6 PM dan 5.1 PA.
Pengaruh kelompok menunjukkan bahwa selang tengah memiliki tingkat kematian embrio yang lebih rendah dibanding selang bawah maupun atas. Hal ini
disebabkan telur yang kecil memiliki luas permukaan yang relatif lebih luas sehingga proses penguapan evaporasi akan lebih cepat. Akibatnya embrio yang
tumbuh akan mengalami evaporasi, dan cadangan makanan putih telur juga lebih mengeras. Tekanan laju evaporasi ini akan menyebabkan embrio cepat mati.
Hasil di atas mencerminkan rendahnya tingkat kematian pada candling ke-2 dan ke-3. Dengan demikian memperkuat bukti bahwa masa kritis telur yang
dieramkan hanya terjadi pada minggu awal. Kondisi tersebut sepaham dengan pendapat hasil laporan Samosir 1983 bahwa tingkat kematian embrio pada masa
candling ke-2 dan ke-3 lebih rendah. Lebih jauh Parkhurst dan Mountney 1988
menjelaskan bahwa tingkat kematian embrio dimulai pada hari kedua hingga ke empat setelah telur masuk inkubator. Kemudian disusul kematian pada hari ke-19
hingga ke-21. Hal ini telah membuktikan bahwa pada candling ketiga, kematian embrionya lebih tinggi dibandingkan dengan candling kedua.
Telur yang tidak menetas bagi calon galur induk PM dan PA adalah telur yang berada pada selang tengah. Hasil ini memberikan pengertian bahwa dengan
41 pengelompokan bobot telur sebesar satu standar deviasi belum mampu
memberikan pengaruh yang dapat menekan besarnya persentase telur yang tidak menetas. Oleh karena itu seleksi sebesar satu standar deviasi masih dianggap
kurang ketat, jika dikaitkan dengan hasil yang didapat di atas. Terjadi fenomena bahwa telur yang kecil berada pada selang bawah
memiliki persentase tidak menetas yang lebih tinggi dibanding dengan telur pada selang atas. Hal ini disebabkan oleh karena telur kecil mengalami kesulitan dalam
proses pemecahan kerabang telur. Telur dengan bobot kecil memiliki luas permukaan relatif yang lebih lebar, kemungkinan mengakibatkan proses
pemanasan pada mesin pengeram yang utamanya ditujukan untuk menghangatkan embrio agar diperoleh pertumbuhan yang cepat, ternyata terlalu panas sehingga
mempercepat proses evaporasi cairan telur dan kondisi embrio menjadi lemah hingga mati.
Peranan keseragam bobot dan bentuk telur tetas merupakan dua faktor penting yang perlu diperhatikan dalam memilih telur untuk ditetaskan. Apalagi
telur yang akan ditetaskan tersebut nantinya akan digunakan untuk galur induk, maka seleksi terhadap homogenitas merupakan persyaratan yang mutlak untuk
dilakukan. Efek positif dari pengelompokan bobot telur tetas untuk mendapatkan homogenitas adalah adanya keseragaman bobot tetas DOD, sehingga diharapkan
akan menghasilkan sifat pertumbuhan yang seragam.
Karakteristik telur yang menetas menurut selang kelompok. Hasil uji
antar galur menunjukkan bahwa peubah bobot telur, bobot tetas dan proporsi antara bobot tetas terhadap bobot telur pada anak itik calon galur induk PA nyata
p0.05 lebih tinggi dibandingkan dengan PM. Pengelompokan bobot telur menurut selang satu standar deviasi menunjukkan adanya perbedaan yang nyata
p0.05 dari semua parameter yang diukur, kecuali nilai proporsi yang berada pada selang bawah.
Bobot tetas itik calon galur induk PA nyata P0.05 lebih tinggi dari PM, hal ini diakibatkan oleh pengaruh bobot telur PA yang nyata lebih besar dari bobot
telur PM. Analisis statistik di dalam galur menunjukkan bahwa anak itik calon galur induk PM yang berasal dari kelompok selang bawah hingga atas
42 memberikan bobot tetas yang semakin meningkat seiring dengan meningkatnya
bobot telur tetas menurut selang yang digunakan. Namun demikian pola ini tidak terjadi pada anak itik calon galur induk PA. Bobot telur PA yang berada pada
selang tengah memiliki bobot tetas yang paling rendah, kemudian diikuti selang bawah dan terberat pada selang atas Tabel 4.
Hasil perbandingan antar genotipe menunjukkan bahwa nilai proporsi yang didapat adalah berbeda nyata p0.05. Lebih jauh dapat dilaporkan bahwa nilai
proporsi dari galur PA secara statistik nyata p0.05 lebih tinggi dibandingkan dengan galur PM. Besarnya nilai proporsi pada galur PA tidak terlepas dari
besarnya telur tetas dan tingginya bobot tetas yang dihasilkan oleh genotipe PA. Disini tampak adanya pengaruh dari pengelompokan bobot telur saat ditetaskan
dapat mengakibatkan berubahnya nilai proporsi. Tabel 4. Karakteristik telur yang menetas menjadi anak itik genotipe PM dan PA
menurut kelompok selang
PM n=284 butir PA n=348 butir
Uraian Bawah
Tengah Atas
Bawah Tengah
Atas Bobot telur g
Bobot tetas g Proporsi
60.0±0.2
a
36.8±0.5
a
62.5±0.8 64.8±0.2
a
39.6±0.3
a
61.1±0.4
a
72.8±2.8
a
45.0±3.3
a
61.8±4.5
a
62.2±0.4
b
44.3±0.2
b
64.7±1.0 70.5±0.2
b
41.5±0.2
b
62.8±0.3
b
77.4±2.7
b
47.5±4.1
b
61.5±5.9
b
Keterangan: Proporsi = bobot
tetasbobot telur x 100
Superskrip berbeda pada baris dan selang yang sama berbeda nyata p0.05 bawah adalah nilai selang yang lebih kecil dari
X
-std ; tengah adalah nilai selang diantara
x
±std ; atas adalah nilai selang yang lebih besar dari
x
+std
Hal yang menarik dari pengelompokan telur tetas tersebut bahwa DOD calon galur induk PA maupun PM Tabel 4 adanya fenomena dengan naiknya
nilai proporsi akan diikuti turun-nya selang pengelompokan yang digunakan. Kondisi ini memberi gambaran bahwa bobot telur pada selang bawah tidak selalu
menghasilkan bobot tetas yang rendah. Penyebab munculnya fenomena ini sebagai akibat dari proporsi antara albumen dengan yolk sebagaimana dilaporkan
Wasburn 1993 dan juga adanya kemungkinan akibat ketebalan kerabang telur Parkhurst dan Mountney, 1988. Lebih jauh dijelaskan bahwa bobot telur yang
sama tetapi ketebalan kerabang yang berbeda dapat menyebabkan perbedaan besarnya kandungan isi telur.
43
Karakteristik telur yang menghasilkan anak. Ketiga peubah yang
digunakan yaitu bobot telur, bobot tetas dan nilai proporsi dari calon galur induk PA lebih tinggi dibandingkan dengan PM. Keterkaitan bobot telur terhadap bobot
tetas tampak dari hasil ini, yaitu telur yang memiliki bobot tetas tinggi pada PA menghasilkan bobot tetas yang tinggi pula.
Perbedaan di dalam galur menunjukkan bahwa anak betina memiliki bobot tetas, bobot telur, bentuk indeks telur dan proporsi telur yang menetas tidak
berbeda nyata p0.05 dengan anak jantan Tabel 5, baik bagi calon galur induk PA mapun PM.
Hasil bobot tetas anak betina dibanding dengan jantan yaitu 44.5 g PA betina vs 43.6 g PA jantan dan 40.5 g PM betina vs 39.7 g PM jantan.
Tingginya bobot tetas tidak lepas dari rataan bobot telur tetasnya. Jadi jelas bahwa penyebab utama terjadinya perbedaan bobot tetas adalah bobot telur tetasnya.
Tabel 5. Karakteristik telur yang menetas menjadi anak itik genotipe PM dan PA menurut jenis kelamin anak
Anak Betina n=284 Anak Jantan n=348
Parameter Rataan± SE
Min Maks Rataan±SE
Min Maks
Telur tetas PM : Bobot telur g
Bobot tetas g Proporsi
65.37±0.38
a
40.54±0.35
a
62.05±0.43
a
55.00 32.00
47.70 79.78
52.00 77.63
65.35±0.43
a
39.74±0.37
a
60.82±0.41
a
54.37 31.00
46.89 80.23
52.00 78.51
Telur tetas PA: Bobot telur g
Bobot tetas g Proporsi
70.62±0.37
a
44.53±0.31
a
63.13±0.38
a
56.48 32.00
40.89 91.95
55.00 80.55
69.79±0.37
a
43.56±0.29
b
62.50±0.35
a
45.50 33.00
47.83 80.30
51.00 92.31
Keterangan: Proporsi = tetasbobot telur x 100 Superskrip yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata p0.05
Fenomena di atas dapat dipahami mengingat Isguzar dan Pingel 2003 melaporkan adanya korelasi positif bertambahnya nilai parameter bebas secara
proporsional akan diikuti dengan bertambahnya nilai parameter tak bebas antara bobot telur yang ditetaskan dengan bobot tetas DOD. Korelasi tersebut sesuai
dengan kondisi hasil penelitian ini, karena bobot telur yang menghasilkan anak betina lebih tinggi dari bobot telur yang menghasilkan anak jantan. Oleh sebab itu
perlu dilakukan penelitian lanjutan dalam rangka pengembangan galur induk terhadap pengamatan bobot tetas jantan dan betina.
44
Korelasi ukuran telur tetas. Nilai hubungan keeratan dimaksudkan untuk
memberikan petunjuk awal bahwa sebaiknya telur tetas untuk mengasilkan DOD yang baik harus memiliki bentuk dan ukuran telur yang baik. Sebagai galur induk,
pemilihan bentuk dan ukuran telur tetas yang seragam harus dilakukan dengan selektif.
Secara keseluruhan uji antar galur, terbukti adanya hubungan keeratan korelasi yang kuat antara bobot telur dengan parameter lain yang diamati.
Namun demikian terdapat pengecualian hubungan keeratan yang tidak nyata antara parameter lebar telur terhadap bobot telur pada genotipe PA. Hasil yang
disajikan Tabel 6, dapat dilaporkan bahwa semua korelasi yang dihasilkan menunjukkan adanya hubungan positif antara bobot telur terhadap panjang telur,
lebar telur dan bobot tetas. Maksudnya bahwa setiap terjadi perubahan satuan unit peubah bebas akan diikuti dengan berubahnya satuan unit peubah tak bebas secara
proporsional. Tabel 6. Korelasi antara bobot telur dengan panjang telur, lebar telur dan bobot
tetas pada genotipe PM dan PA Telur tetas PM
Telur tetas PA Bobot Telur Panjang
Lebar B. Tetas Panjang
Lebar B. Tetas
Keseluruhan Anak Betina
Anak Jantan 0.410
0.370 0.613
0.675 0.631
0.715 0.640
0.598 0.689
0.216 0.261
0.171 0.193
0.127
TN
0.257 0.582
0.537 0.621
Keterangan superskrip TN = tidak nyata p0.05
Hubungan bobot telur dengan lebar telur tetas PA dan PM pada anak jantan memiliki nilai korelasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak betina
maupun secara keseluruhannya total. Demikian sebaliknya, anak betina nilai korelasi bobot telur dengan lebar telur lebih rendah dari nilai keseluruhan maupun
anak jantan. Hasil ini menunjukkan bahwa setiap terjadi penambahan lebar bobot telur tetas tampaknya akan diikuti dengan peningkatan ukuran bobot telur tetas,
kecuali untuk anak betina PA. Berubahnya bobot telur akan mengakibatkan berubahnya secara positif dan juga secara linier terhadap panjang telur dan bobot
tetasnya. Nilai hubungan keeratan antara bobot telur terhadap bobot tetas berkisar 0.5
sampai dengan 0.6. Tingkat hubungan yang bersifat positif antara panjang telur
45 terhadap bobot telur berkisaran antara 0.3 sampai dengan 0.6 untuk telur PM dan
0.1 hingga 0.2 untuk PA. Seleksi terhadap bobot telur memiliki korelasi yang cukup tinggi terhadap
bobot tetas anak itik yang didapat. Demikian halnya dengan panjang dan lebar telur yang dapat dikonotasikan sebagai bentuk telur memiliki hubungan keeratan
yang nyata. Keadaan ini membuktikan bahwa apa yang telah dilakukan oleh peternak tradisional dengan pemilihan berdasarkan besar dan bentuk telur yang
baik ternyata menghasilkan DOD yang baik pula. Kriteria DOD yang baik jika kondisi anak itik tersebut mimiliki bobot tetas baik, sehat, lincah, tidak cacat dan
cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya.
1.3. Pola Warna Bulu Dewasa Galur Induk PM dan PA