73
2. Pembentukan Mandalung
Penelitian ini dimaksudkan untuk menguji ke mampuan galur induk dalam menurunkan sifat pewarisan yang baik terhadap zuriatnya. Penggunaan pejantan
entog untuk disilangkan dengan galur induk, menambah informasi sifat produksi dan produktivitas mandalung sebagai salah satu itik pedaging yang memenuhi
harapan konsumen. Runutan pembahasan akan dimulai dari kondisi telur, fertilitas dan daya
tetas, rasio jantan betina, laju pertumbuhan bobot badan dan karkas. Meskipun masih banyak informasi yang belum terungkap, namun diharapkan hasil dari
pembahasan ini dapat digunakan sebagai acuan dasar untuk membangun sebuah pembibitan.
2.1. Kondisi Telur Tetas Calon Mandalung
Mengingat kedua galur induk memiliki bobot badan yang medium dan mampu menghasilkan produksi telur yang cukup baik, tetapi masih terdapat
kekurangan jika akan digunakan sebagai itik pedaging. Kelemahan utama adalah tipisnya jaringan otot dada, sebagaimana yang dilaporkan Tai 1999 bahwa bobot
potongan dada itik hasil silang dua bangsa maupun Pekin lebih rendah dari entog. Pembentukan mandalung diharapkan dapat memenuhi harapan yang berciri cepat
tumbuh, memiliki otot dada besar, paha panjang dan kadar lemak rendah. Peningkataan performans galur induk disamping menghasilkan produksi telur
yang tinggi untuk memberikan peluang banyaknya produksi DOD, juga memberikan kontribusi bagi besarnya bobot badan potong mandalung.
Warna telur baik yang dihasilkan dari itik dua galur induk, sama-sama memiliki warna telur hijau kebiruan. Hal ini membuktikan bahwa warna dominan
kerabang telur yang dibawa oleh gen G
+
diwariskan ke zuriatnya dari tetua itik liar Hutt, 1949. Pembuktian sifat pewarisan dapat ditunjukkan bahwa itik Pekin
memiliki kerabang telur putih sebagai gen resesif g, sedangkan menurut laporan Suparyanto 2003 itik Mojosari putih maupun Alabio Hetzel, 1985 memiliki
warna kerabang hijau kebiruan G
+
. Pola segregasi yang terjadi bahwa gen dominan itik lokal senantiasa menutup kehadiran gen resesif g dari Pekin,
meskipun pasangan alel zuriatnya adalah heterosigot.
74
Ukuran dan keseragaman telur tetas. Bobot dan indeks telur yang
digunakan untuk penetasan tidak dilakukan seleksi, jumlah telur tetas EPM adalah 632 butir dan EPM 781 butir. Tidak dilakukan seleksi dimaksudkan untuk
melihat seberapa besar kemampuan sesungguhnya kedua galur induk yang dievaluasi. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa besar dan bentuk telur dari
galur induk PA yang dibuahi oleh pejantan entog secara statistik terbukti berbeda nyata p0.01 dibandingkan dengan telur dari galur induk PM . Bobot telur tetas
untuk menghasilkan EPA nyata lebih tinggi dari EPM, namun indeks telur EPA nyata lebih kecil dari EPM.
Tingkat perbedaan ukuran telur dari dua galur induk masing-masing adalah bobot telur tetas EPA 81.12±0.17 g nyata p0.05 lebih tinggi dari EPM
75.40±0.21 g. Koefisien keragaman bobot telur tetas dari dua genotipe
menunjukkan bahwa telur EPA lebih seragam 5.93 dibandingkan dengan EPM 7.75. Jika dikelompokkan menurut tiga selang yang digunakan maka telur
tetas EPM memiliki batas atas lebih besar dari kisaran rataan ditambah satu standar deviasi yang lebih besar persentasenya yaitu 19.41 EPM dibanding
16.78 EPA. Demikian sebaliknya untuk selang bawah lebih kecil dari rataan dikurangi satu standar deviasi, telur EPA lebih besar persentasenya yaitu 18.34
sedangkan EPM 14.91. Hasil ini menunjukkan bahwa koefisien keragaman bobot dan keseragaman homogenitas telur tetas dari dua galur induk yang
dievaluasi adalah sama baiknya. Besarnya nilai indeks telur tetas EPM adalah 77.28±0.10 nyata p0.05
lebih tinggi dari indeks telur tetas EPA yaitu 76.43±0.12. Koefisien keragaman KK dari bentuk telur tetas yang dinyatakan dengan besarnya nilai indeks
menunjukkan nilai yang tidak berbeda, untuk telur tetas EPA adalah 4.52 sedangkan EPM adalah 4.28. Besarnya persentase indeks telur tetas yang berada
diselang atas adalah 15.61 EPM dan 14.03 EPA. Sedangkan untuk selang bawah masing-masing adalah 11.27 EPA dan 14.21 EPM. Indeks telur
yang dihasilkan oleh dua galur induk PM dan PM terbukti memiliki nilai rataan dan homoginitas bentuk yang baik. Oleh karena itu telur-telur tersebut masih
dalam kriteria yang baik sebagai telur tetas.
75
Fertilitas. Sebagaimana diketahui bahwa hasil silang itik dengan entog
dicirikan sebagai ternak steril, akibat tidak kompatibel pasangan barunya ditingkat kromosom membawa beberapa masalah. Faktor pembatas yang banyak dilaporkan
sebelumnya Hu et al., 1997 ; Rouvier, 1999 adalah berpengaruh kesuburan telur yang dibuahi, dalam hal ini adalah fertilisasi dan daya tetas. Hal ini juga
dikeluhkan oleh Cheng et al. 2002 yang menyatakan bahwa hasil silang antara itik betina yang di kawin suntik inseminasi buatanIB menggunakan poll semen
dari pejantan entog masih menunjukkan laju fertilisasi yang rendah, terutama pada hari ke-7 setelah telur dimasukkan ke mesin tetas.
Hasil penetasan Tabel 15 sebanyak 632 butir telur tetas EPM, tingkat fertilitasnya diperoleh sebesar 69.78. Sementara tingkat fertilitas yang agak
tinggi ditampilkan oleh telur tetas EPA sebesar 74.14 dari 781 butir telur yang ditetaskan. Ternyata angka ini jauh lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh Hanh et
al. 1995 dengan tingkat fertilisasi sebesar 36.80, tetapi relatif tidak berbeda
dengan laporan Rouvier 1999 bahwa fertilitas Mandlung yang didapat sebesar 71.
Tabel 15. Tingkat kegagalan dan keberhasilan dalam penetasan telur itik untuk menghasilkan mandalung
Uraian N
Kosong C1
C2 C3
TN Netas
Genotipe EPM Hatch 1
Hatch 2 Hatch 3
Hatch 4 Total
199 146
126 161
632 21
29 59
82
191 21
18 8
8 55
16 5
5 5
31 5
19 27
7 58
13 11
5 5
34 123
64 22
54 263
Total 100
30.22 8.70
4.91 9.18
5.38 41.61
Genotipe EPA Hatch 1
Hatch 2 Hatch 3
Hatch 4 Total
206 191
190 194
781 56
42 49
55
202 36
37 28
22
123 16
11 9
16 52
23 24
21 8
76 12
10 18
12 52
63 67
65 81
276 Total
100 25.86
15.75 6.66 9.73
6.66 35.34
Keterangan : C = candling TN = tidak netas embrio hidup hingga C3
Keterkaitan pengelompokkan bobot dan indeks telur terhadap tingkat fertilitas menunjukkan bahwa telur yang berada dikisaran nilai rataan besarnya
76 persentase tidak berbeda jauh. Hal ini mengindikasikan bahwa pengelompokkan
telur tetas yang berada diselang atas dan bawah lebih besar kemungkinannya untuk infertil. Namun demikian hasil ini masih perlu diuji tersendiri.
Menurut Ducos et al. 1997 penyebab rendahnya fertilitas mandalung adalah adanya perbedaan fisik kromosome yaitu lengan yang tidak sama yang
ditemukan pada kromosom kelamin Z. Pendapat ini diperkuat oleh Rouvier 1999 bahwa rendahnya fertilitas 71 diduga diakibatkan oleh tidak
kompatibelnya pasangan ditingkat kromosom. Laporan Rouvier 1999 tersebut relatif tidak terpaut jauh dengan hasil yang didapat 70-75. Hasil yang lebih
rendah dilaporkan oleh Cheng et al. 1999 terhadap telur tetas hasil silang Pekin dengan Tsaiya coklat, fertilitasnya sebesar 36.6 generasi awal dan meningkat
menjadi 41.6 pada generasi ke-9. Artinya bahwa fertilitas dari kedua galur induk yang diuji masih menunjukkan penampilan baik, jika dilihat dari perbandingan
hasil laporan sebelumnya. Telur yang berasal dari galur induk PA, tingkat keberhasilan untuk menetas
sebesar 35.34 dari total telur yang ditetaskan. Tetapi apabila dilihat dari banyaknya telur yang fertil maka daya tetasnya adalah 47.67. Hasil dari galur
induk PM yang diperoleh menunjukkan bahwa besarnya persentase telur yang menetas adalah 41.61 dari total telur yang ditetaskan atau daya tetasnya sebesar
59.64 dari telur fertil. Daya tetas ini cenderung memiliki rentang selisih yang kecil terhadap laporan Han et al. 1985 yaitu sebesar 55.2. Artinya bahwa
prestasi daya tetas yang capai pada telur hasil silang antra galur induk dengan entog tidak lebih dari 60.
Hasil di atas menunjukkan bahwa baik galur induk PM maupun PA masih memiliki kendala dalam fertilitas telur yang dibuahi dengan entog jantan. Namun
demikian penampilan daya tetas dari galur induk PM lebih tinggi dibandingkan dengan galur induk PA.
2.2. Saat Menetas Rasio kelamin. Rasio kelamin jantan dengan betina dari telur yang mampu