Pencegahan Sekunder Karakteristik Penderita Demam Tifoid Rawat Inap Di Rumah Sakit Tentara TK-IV 01.07.01 Pematangsiantar Tahun 2008

d. Memberantas lalat dengan menghilangkan tempat berkembang biak mereka dengan sistem pengumpulan dan pembuangan sampah yang baik. e. Menerapkan standar kebersihan pada waktu menyiapkan dan menangani makanan. f. Melakukan pasteurisasi terhadap susu dan produk susu. 30

2.8.2. Pencegahan Sekunder

Ditujukan untuk menghentikan perkembangan penyakit atau cedera menuju suatu perkembangan ke arah kerusakan atau ketidakmampuan. 31 Pencegahan sekunder merupakan upaya mencegah demam tifoid yang diberikan kepada mereka yang menderita atau dianggap menderita suspek, yang meliputi diagnosis dini dan pengobatan yang tepat untuk mencegah meluasnya penyakit. 29

a. Diagnosis Dini

a.1. Gejala Klinis Gejala-gejala demam tifoid yang muncul bervariasi, tergantung pada beratnya penyakit, lamanya sakit, dan adekuatnya obat yang diminum. Gambaran penyakit bervariasi dan penyakit ringan yang tidak terdiagnosis, sampai gambaran penyakit khas dengan komplikasi dan kematian. 2 Pada minggu pertama biasanya hanya memberikan gejala seperti pada umumnya penyakit akut lainnya, seperti demam, mual, muntah, nyeri kepala, pusing, pening, diare atau konstipasi, nyeri otot, nafsu makan kuranganoreksia, serta perasaan tidak enak di perut. Pada minggu pertama ini suhu tubuh mengalami peningkatan yang nyata. 2,22 Rani N. F. Nainggolan : Karakteristik Penderita Demam Tifoid Rawat Inap Di Rumah Sakit Tentara TK-IV 01.07.01 Pematangsiantar Tahun 2008, 2010. Pada minggu kedua, kuman dari peredaran darah masuk lagi kembali ke usus. Membuat luka pada usus yang kalau melanjut nantinya akan menyebabkan perforasi yang fatal akibatnya. Lidah penderita khas dimana bagian tengahnya kotor coated tongue, tepi dan ujungnya merah tetapi jarang disertai tremor. 2,17 Pada pemeriksaan lain akan dijumpai terjadinya pembesaran hati hepatomegali, lien splenomegali serta peristaltik usus yang meningkat meteorismus. Jika tidak terawat secara baik maka penderita dapat mengalami gangguan mental dan kesadarannya. Pada akhir minggu kedua kuman-kuman akan masuk ke dalam organ-organ lainnya, yang memungkinkan kuman dapat keluar bersama air kencingurine. Pada minggu ketiga adalah minggu penyembuhanrelapsi atau masa convalescent. Jika terawat dengan baik maka panasnya akan turun, tetapi jika tidak terawat maka disini dapat terjadi perforasi usus dan pasien dapat meninggal. Pada minggu ketiga inilah yang sering membuat keluarga penderita terlena, karena berpikir penderita demam tifoid telah sembuh, akan tetapi yang terjadi kemunduran kesehatan pasien. Maka perawatan pada minggu ketiga ini harus lebih intensif. 2 a.2. Pemeriksaan Laboratorium a.2.1 Pemeriksaan Bakteriologis Dapat dilakukan pembiakan dari berbagai bahan, yaitu darah, sumsum tulang belakang, cairan empedu, feses, urine, dan rose spot. Pemeriksaan biakan dipengaruhi oleh waktu saat pengambilan dan jenis bahan, pengobatan sebelumnya, serta teknik pemeriksaan. Hasil biakan darah yang negatif belum menyingkirkan diagnosa demam tifoid. 23 Rani N. F. Nainggolan : Karakteristik Penderita Demam Tifoid Rawat Inap Di Rumah Sakit Tentara TK-IV 01.07.01 Pematangsiantar Tahun 2008, 2010. Biakan darah dilakukan pada masa 7-10 hari pertama akan memberikan hasil positif 80. Hasil biakan sumsum tulang memberikan hasil positif jauh lebih tinggi dari biakan darah tepi, meskipun sudah mendapat antibiotik beberapa hari. Biakan cairan empedu biasanya digunakan untuk mencari carrier. Biakan feses akan lebih sering memberikan hasil positif pada minggu ketiga. Biakan feses yang positif dengan gejala klinis yang khas demam tifoid, dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosa. Biakan urine dapat digunakan sebagai deteksi carrier a.2.2. Pemeriksaan Darah Tepi Diagnosis demam tifoid melalui pemeriksaan darah tepi akan mendapatkan gambaran leucopenia, limfositosis relative dan aneosinofilia pada permulaan sakit. Di samping itu, pada pemeriksaan ini kemungkinan terdapat anemia dan trombositopenia ringan. Pemeriksaan darah tepi ini sederhana, mudah dikerjakan di laboratorium yang sederhana, akan tetapi berguna untuk membantu diagnosis. 16 a.2.3. Pemeriksaan Widal Uji Widal merupakan uji aglutinasi antara antigen dan antibodi aglutinin. Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella terdapat dalam serum pasien demam tifoid, juga pada orang yang pernah ketularan salmonella dan para orang yang pernah divaksinasi terhadap demam tifoid. 23 Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum pasien yang disangka menderita demam tifoid. Rani N. F. Nainggolan : Karakteristik Penderita Demam Tifoid Rawat Inap Di Rumah Sakit Tentara TK-IV 01.07.01 Pematangsiantar Tahun 2008, 2010. Akibat infeksi Salmonella typhi, pasien membuat antibodi aglutinin, yaitu: Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O berasal dari tubuh kuman, Aglutinin H, karena rangsangan antigen H berasal dari flagela kuman, Aglutinin Vi, karena rangsangan antigen Vi berasal dari simpai kuman. Untuk membuat diagosis yang diperlukan ialah titer zat anti terhadap antigen O. Titer yang bernilai 1200 atau lebih dan atau menunjukkan kenaikan yang progresif digunakan untuk membuat diagnosis. Titer tersebut mencapai puncaknya bersamaan dengan penyembuhan penderita. Titer terhadap antigen H tidak diperlukan untuk diagnosis, karena dapat tetap tinggi setelah mendapat imunisasi atau bila penderita telah lama sembuh. 17 Pemeriksaan Widal harus dilakukan minimal 2 kali dan jika kenaikan titer lebih dari 4 kali dalam 1 minggu, maka demam tifoid dianggap positif. 32 Faktor-faktor yang mempengaruhi uji widal : 23 i. Faktor-faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu: Keadaan umum, saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit, pengobatan dini dengan antibiotik, penyakit-penyakit tertentu, obat-obat imunosupresif atau kortikosteroid, vaksinasi dengan kotipa atau tipa, infeksi klinis atau subklinis oleh salmonella sebelumnya, reaksi anamnestik. ii. Faktor-faktor teknis, yaitu : Aglutinasi silang, konsentrasi suspensi antigen, strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen. Rani N. F. Nainggolan : Karakteristik Penderita Demam Tifoid Rawat Inap Di Rumah Sakit Tentara TK-IV 01.07.01 Pematangsiantar Tahun 2008, 2010.

a.2.4. Pemeriksaan Elisa Enzyme Linked Immunosorbent Assay

Metode ELISA yang digunakan untuk diagnosis penyakit demam tifoid memakai fase padat yang dilapisi dengan sediaan Protein Membran Luar PML Salmonella typhi sebagai antigen. Serum penderita yang diduga mengandung antibodi Salmonell typhi dimasukkan ke dalam cekungan dan diinkubasikan sehingga terjadi ikatan kompleks antigen antibodi. Pemeriksaan ini mendeteksi antibodi lebih cepat daripada kultur darah. Penderita yang secara klinik didiagnosis sebagai demam tifoid yang memberikan hasil positif palsu, dengan metode ini memberikan hasil positif. Hal ini disebabkan karena penderita kemungkinan besar telah terinfeksi oleh Salmonell typhi, tetapi organisme tidak dapat tumbuh pada spesimen darah. Oleh karena itu, ELISA sebagai metode deteksi dengan menggunakan PML Salmonell typhi tampaknya merupakan salah satu pemeriksaan yang berguna dalam menegakkan diagnosis demam tifoid pada daerah endemis. ELISA dapat digunakan bersama-sama kultur darah untuk mendapatkan diagnosis dini demam tifoid terutama pada penderita yang mendapat pengobatan sebelum pengambilan spesimen darah, yang mungkin memberikan hasil pemeriksaan kultur darah negatif. 33

b. Pengobatan Penyakit Demam Tifoid

Pengobatan demam tifoid terdiri atas 3 bagian, yaitu perawatan, diet dan obat. b.1 Perawatan Penderita demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi dan pengobatan. Penderita harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk Rani N. F. Nainggolan : Karakteristik Penderita Demam Tifoid Rawat Inap Di Rumah Sakit Tentara TK-IV 01.07.01 Pematangsiantar Tahun 2008, 2010. mencegah terjadinya komplikasi pedarahan usus atau perforasi usus. Mobilisasi penderita dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Penderita dengan kesadaran yang menurun, posisi tubuhnya harus diubah- ubah pada waktu-waktu tertentu untuk meghindari komplikasi pneumonia hipostatik atau dekubitus. Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan. 23 b.2. Diet Makanan yang diberi kepada penderita demam tifoid harus mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi protein. Bahan makanan tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas. Susu 2 kali satu gelas sehari perlu diberikan. Jenis makanan untuk penderita dengan kesadaran menurun ialah makanan cair yang dapat diberikan melalui pipa lambung. Bila anak sadar dan nafsu makan baik, maka dapat diberikan makanan lunak dengan lauk pauk yang dicincang. 16,34 Pemberian jenis makanan yang lembek seperti bubur saring, bubur kasar bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus, karena perlukaan pada usus memerlukan istirahat. 2,23 b.3. Obat-obatan Demam tifoid merupakan penyakit infeksi dengan angka kematian yang tinggi sebelum adanya obat-obatan antimikroba 10-15, tetapi sejak adanya obat antimikroba maka angka kematian menurun secara drastis 1-4. 2 Obat-obat antimikroba yang sering digunakan antara lain ialah kloramfenikol, tiamfenikol, kotrimoksazol, ampisilin dan amoksisilin, fluorokinolon. Rani N. F. Nainggolan : Karakteristik Penderita Demam Tifoid Rawat Inap Di Rumah Sakit Tentara TK-IV 01.07.01 Pematangsiantar Tahun 2008, 2010. Pengobatan pada penderita demam tifoid biasanya diberikan kloramfenikol atau kotrimoksazol. Di Indonesia kloramfenikol merupakan obat pilihan untuk penyakit demam tifoid. Obat ini sangat efektif untuk segera menurunkan demam. Demam berlebihan menyebabkan penderita harus dirawat dan diberikan cairan Infus. 23

2.8.3. Pencegahan Tersier