karena sifat dan fungsinya harus digunakan dan dinikmati bersama dan tidak dapat dimiliki secara perseorangan.
Hak milik atas satuan rumah susun adalah hak milik atas satuan yang bersifat perorangan dan terpisah, yang meliputi:
1 Hak atas bagian bersama untuk bagian rumah susun yang dimiliki secara
terpisah untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuan-satuan rumah susun.
2 Hak atas benda-benda bersama yaitu benda yang bukan merupakan bagian
rumah susun, tetapi yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama.
3 Hak atas tanah bersama yaitu sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak
bersama secara tidak terpisah yang di atasnya berdiri tumah susun dan ditempatkan batasnya dalam persyaratan izin bangunan.
Semua hak-hak tersebut di datas merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan satuan yang bersangkutan. Hak-hak tersebut didasarkan atas luas
atau nilai satuan rumah susun yang bersangkutan pada waktu satuan tersebut diperoleh pemiliknya yang pertama.
3. Perjanjian Sewa Menyewa
Dalam Pasal 1548 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan bahwa “sewa-menyewa ialah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan
dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu
Adlin Budhiawan : Analisis Yuridis Mengenai PengadaanPembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa Pasar VII Martubung Kecamatan Medan Labuhan.
USU e-Repository © 2008.
barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga yang oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya”.
M. Yahya Harahap menyebutkan bahwa ”Sewa-menyewa huur en verhuur adalah ”persetujuan antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Pihak
yang menyewakan atau pemilik menyerahkan barang yang hendak di sewa kepada pihak penyewa untuk dinikmati sepenuhnya volledige genot”.
28
Dari rumusan pengertian diatas dapat dilihat, bahwa sewa-menyewa merupakan:
a. Suatu persetujuan antara pihak yang menyewakan pada umumnya pemilik
barang dengan pihak penyewa. b.
Pihak yang menyewa menyerahkan sesuatu barang kepada si penyewa untuk sepenuhnya dinikmati volledige genot.
c. Penikmatan berlangsung untuk suatu jangka waktu tertentu dengan
pembayaran sejumlah harga sewa yang tertentu.
29
Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam membuat perjanjian adalah sebagai berikut:
a. Adanya kata sepakat, dalam arti bahwa perjanjian tersebut dibuat secara
musyawarah oleh kedua belah pihak, tanpa adanya paksaan dari salah satu pihak;
b. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, yaitu bahwa yang
membuat perjanjian tersebut sudah dewasa dan tidak dalam sakit ingatan;
c. Suatu hal yang diperjanjikan harus jelas, yaitu rumah yang yang
dijadikan obyek sewa-menyewa tersebut harus jelas lokasinya, bentuk, luasnya dan sebagainya;
d. Perjanjian tersebut harus halal, yaitu isi perjanjian tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kesusilaan.
28
M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung : Alumni, 1986, hal. 220
29
Ibid
Adlin Budhiawan : Analisis Yuridis Mengenai PengadaanPembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa Pasar VII Martubung Kecamatan Medan Labuhan.
USU e-Repository © 2008.
Keempat unsur diatas digolongkan kedalam 2 dua bagian, yakni unsur pokok yang menyangkut subyek pihak yang mengadakan perjanjian atau syarat yang
mesti melekat pada diri orang yang membuat perjanjian, biasa disebut unsur subyektif. Dan yang kedua unsur pokok yang berhubungan langsung dengan obyek
perjanjian atau syarat yang harus terdapat pada obyek perjanjian, biasa disebut unsur obyektif.
30
Unsur subyektif ini mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan
perjanjian. Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan dan pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan, dan kausa dari obyek yang berupa prestasi
yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut harus sesuatu yang tidak terlarang atau diperkenankan menurut hukum.
31
Jika tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan
kebatalan baik dalam bentuk dibatalkan jika tidak terpenuhinya salah satu unsur subyektif, maupun batal demi hukum dalam hal tidak terpenuhinya unsur obyektif.
Dalam hal tidak terpenuhinya syarat obyektif maka perjanjian tersebut ”batal demi hukum”, artinya dari semula perjanjian tidak ada dan tidak pernah ada suatu
perikatan. Dengan demikian tiada dasar untuk saling menuntut di muka Hakim jika terjadi sengketa. Perjanjian yang tidak mengandung sesuatu hal yang tertentu dapat
dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu tidak dapat dilaksanakan karena tidak
30
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, I, Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian, Jakarta: P.T Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 93
31
Ibid, hal. 94
Adlin Budhiawan : Analisis Yuridis Mengenai PengadaanPembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa Pasar VII Martubung Kecamatan Medan Labuhan.
USU e-Repository © 2008.
terang apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak. Lalu perjanjian yang isinya tidak halal, jelas bahwa perjanjian tersebut tidak boleh dilaksanakan karena
melanggar hukum atau kesusilaan. Dalam hal suatu syarat subyektif tidak dipenuhi, maka perjanjian bukan batal
demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan adalah pihak yang
tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas. Jadi perjanjian yang telah dibuat masih bersifat mengikat sebelum tidak dibatalkan oleh
Hakim atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi. Dalam Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dinyatakan
bahwa “Semua perjanjian persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Hal ini berarti bahwa perjanjian itu
bersifat “mengikat” seperti halnya dengan suatu Undang-undang. Menurut J. Satrio :
Kata-kata “secara sah” dalam pasal 1338 KUH Perdata berarti memenuhi semua syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian, sedangkan kata “berlaku
sebagai undang-undang” berarti mengikat para pihak yang membuat perjanjan sebagaimana undang-undang mengikat orang terhadap siapa
undang-undang berlaku. Dengan demikian para pihak, dengan membuat perjanjian, seakan-akan menetapkan undang-undang bagi mereka sendiri.
32
Konsekuensi yuridis dari Pasal 1338 ayat 1 ini diantaranya adalah “perjanjian yang telah disepakati dan disetujui oleh para pihak harus dilaksanakan
oleh para pihak sebagaimana telah dikehendaki oleh mereka”,
33
dan “setiap orang
32
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2001, hal. 142
33
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, I, Op Cit, hal 59.
Adlin Budhiawan : Analisis Yuridis Mengenai PengadaanPembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa Pasar VII Martubung Kecamatan Medan Labuhan.
USU e-Repository © 2008.
yang memperjanjikan sesuatu mendapat jaminan bahwa apa yang ditetapkan dalam suatu perjanjian itu tidak akan dikurangi, atau larangan untuk mengurangi sedikit pun
pengikatan suatu kontrak atau perjanjian”.
34
Sewa-menyewa seperti halnya dengan jual-beli dan perjanjian-perjanjian lain pada umumnya, adalah suatu perjanjian konsensuil. Artinya, perjanjian tersebut sah
dan mengikat pada detik tercapainya sepakat mengenai unsur-unsur pokoknya, yaitu barang dan harga.
35
Kewajiban pihak yang satu adalah menyerahkan barangnya untuk dinikmati oleh pihak yang lain, sedangkan kewajiban pihak yang terakhir ini
adalah membayar harga sewa. Jadi barang itu diserahkan tidak untuk dimiliki, tetapi hanya untuk dipakai, dinikmati kegunaannya. Dengan demikian penyerahan
tadi hanya bersifat menyerahkan kekuasaan atas barang yang di sewa itu. Kalau seorang diserahi barang untuk dipakainya, tanpa kewajiban membayar sesuatu apa,
maka yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam-pakai. Jika si pemakai barang itu diwajibkan membayar maka bukan lagi pinjam-pakai yang terjadi, tetapi sewa-
menyewa. Disebutkannya waktu tertentu dalam uraian Pasal 1548 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata menimbulkan pertanyaan tentang apakah maksudnya itu, sebab dalam sewa-menyewa tidak perlu disebutkan untuk berapa lama barang itu
disewanya, asal sudah disetujui berapa harga sewanya untuk satu hari, satu bulan atau satu tahun. ”Ada yang menafsirkan bahwa maksudnya tidaklah lain adalah
mengemukakan bahwa pembuat undang-undang memang memikirkan pada
34
R. Subekti, I, Pembinaan Hukum Nasional, Bandung : Alumni, 1981, hal.64.
35
R. Subekti, II, Hukum Perjanjian, Jakarta : PT. Intermasa, 1976, hal. 87
Adlin Budhiawan : Analisis Yuridis Mengenai PengadaanPembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa Pasar VII Martubung Kecamatan Medan Labuhan.
USU e-Repository © 2008.
perjanjian sewa-menyewa di mana waktu-sewa ditentukan misalnya untuk sepuluh bulan, untuk lima tahun dan sebagainya”.
36
Hal ini diatur dalam Pasal 1579 KUH Perdata, yang berbunyi: Pihak yang menyewakan tidak dapat menghentikan sewanya dengan menyatakan hendak
memakai sendiri barangnya yang disewakan, kecuali jika telah diperjanjikan sebaliknya.
Menurut Subekti bahwa : Pasal ini ditujukan juga hanya dapat dipakai terhadap perjanjian sewa-
menyewa dengan waktu tertentu. Dan juga sudah selayaknya bahwa seorang yang sudah menyewakan barangnya misalnya untuk sepuluh tahun, tidak
boleh menghentikan sewanya kalau waktu tersebut belum lewat, dengan dalih bahwa ia hendak memakai sendiri barangnya yang disewakan itu.
Sebaliknya, kalau seorang menyewakan barangnya tanpa ditetapkannya suatu waktu tertentu, maka tentu ia berhak untuk menghentikan sewa itu setiap
waktu manakala ia mengindahkan cara-cara dan jangka waktu yang diperlukan untuk pemberitahuan tentang pengakhiran sewa menurut
kebiasaan setempat.
37
Namun demikian peraturan tentang sewa-menyewa yang terkandung dalam bab ketujuh dari Buku III KUH Perdata berlaku untuk segala jenis sewa-menyewa,
untuk semua jenis barang, baik yang tidak bergerak maupun yang bergerak, yang menggunakan waktu tertentu ataupun tidak menggunakan waktu tertentu, “karena
waktu tertentu itu bukannya suatu ciri yang khas untuk perjanjian sewa- menyew
jika berupa barang bukan jual beli tetapi tukar-menukar, tetapi dalam sewa- a”.
38
Menurut Subekti “Apabila dalam jual beli, harga harus berupa uang karena
36
Ibid, hal 88
37
Ibid
38
Ibid
Adlin Budhiawan : Analisis Yuridis Mengenai PengadaanPembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa Pasar VII Martubung Kecamatan Medan Labuhan.
USU e-Repository © 2008.
menyewa tidak menjadi halangan apabila harga sewa itu berupa barang atau jasa”.
39
Perbedaan pokok antara jual beli dengan sewa-menyewa menurut M. Yahya Harahap terletak pada masalah:
a. Pada sewa-menyewa hak menikmati barang yang disewakan kepada si
penyewa hanya terbatas pada “suatu jangka waktu tertentu” saja, sesuai dengan lamanya jangka waktu yang ditentukan dalam persetujuan;
b. Pada jual-beli di samping hak pembeli untuk menikmati sepenuhnya
tanpa jangka waktu tertentu, sekaligus terhadap barang yang dibeli telah terjadi penyerahan hak milik kepada pembeli;
c. Tujuan pembayaran sejumlah uang dalam sewa-menyewa hanya sebagai
“imbalan atas hak penikmatan” benda yang disewakan; d.
Sedangkan pada jual beli, tujuan pembayaran harga barang oleh pembeli tidak lain untuk “pemilikan” barang yang dibeli.
40
Selanjutnya M. Yahya Harahap mengatakan: Maksud diadakannya sewa-menyewa adalah “penikmatan” atas suatu barang
dengan jalan membayar sewa untuk suatu jangka waktu tertentu. Penikmatan inilah sebagai salah satu unsur yang ditekankan pada Pasal 1548 KUH
Perdata. “Penikmatan” ini tidak terbatas sifatnya. Seluruh kenikmatan yang dapat diperoleh dari barang yang disewa harus “diperuntukkan” bagi si
penyewa. Akan tetapi penikmatan atas seluruh barang yang disewakan tidak akan menimbulkan persoalan, jika si penyewa menguasai seluruh bahagian
barang. Masalah penikmatan akan timbul apabila si penyewa hanya menyewa atas sebagian barang saja. Misalnya hanya menyewa bagian
paviliun sebuah rumah. Maka dalam hal ini si penyewa hanya berhak menikmati bagian yang disewanya saja, sesuai dengan yang diidentifikasi
dalam perjanjian sewa-menyewa.
41
Menurut Pasal 1553 KUH Perdata, dalam sewa-menyewa resiko terhadap barang yang disewakan dipikul oleh si pemilik barang, yaitu pihak yang
39
Ibid
40
M. Yahya Harahap, Op cit, hal. 221
41
Ibid
Adlin Budhiawan : Analisis Yuridis Mengenai PengadaanPembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa Pasar VII Martubung Kecamatan Medan Labuhan.
USU e-Repository © 2008.
menyewakan. “Resiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan adanya suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak”.
42
Mengenai resiko dalam sewa-menyewa tidak ditegaskan dalam Pasal 1553 KUH Perdata sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1460 KUH Perdata yang
menggunakan istilah “pertanggungan” yang berarti resiko. Akan tetapi peraturan mengenai resiko dalam sewa-menyewa dapat disimpulkan dari Pasal 1553 KUH
Perdata yang menentukan bahwa ”Apabila barang yang disewakan itu musnah karena sesuatu hal yang terjadi di luar kesalahan salah satu pihak, maka perjanjian
sewa-menyewa gugur demi hukum”. “Dari kata “gugur demi hukum” dapat diartikan bahwa masing-masing pihak sudah tidak dapat menuntut apapun dari pihak
lainnya, yang berarti kerugian akibat musnahnya barang yang dipersewakan harus dipikul sepenuhnya oleh pihak yang menyewakan”.
43
Selain ketentuan-ketentuan di atas, ketentuan-ketentuan lain dalam membahas tentang sewa-menyewa rumah adalah Pasal 4 ayat 2 Peraturan
Pemerintah Nomor 49 Tahun 1963 tentang Hubungan Sewa Menyewa Perumahan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55
Tahun 1981 yang menyatakan bahwa hubungan sewa menyewa ditimbulkan oleh :
a. Adanya persetujuan antara pemilik dan penyewa;
b. Adanya Surat Izin Perumahan SIP mengenai penggunaan perumahan yang
masih dikuasai oleh Kepala Daerah.
42
R. Subekti, II, Op cit, hal. 56
43
Ibid, hal. 89
Adlin Budhiawan : Analisis Yuridis Mengenai PengadaanPembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa Pasar VII Martubung Kecamatan Medan Labuhan.
USU e-Repository © 2008.
Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat 2 Peraturan Pemerintah tersebut, maka dalam prakteknya terjadi 2 dua macam bentuk sewa-menyewa rumah
yaitu sewa-menyewa rumah milik perseroangan dan sewa-menyewa rumah yang dikuasai oleh Kepala Daerah. Untuk sewa-menyewa rumah milik perseorangan
dapat dilakukan dengan adanya persetujuan antara pemilik dengan penyewa sedangkan perumahan yang dikuasai oleh Kepala Daerah memerlukan adanya
Surat Izin Perumahan yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Urusan Perumahan KUP.
G. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian