Analisis Yuridis Mengenai Pengadaan/Pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa Pasar VII Martubung Kecamatan Medan Labuhan

(1)

ANALISIS YURIDIS MENGENAI PENGADAAN/

PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN SEDERHANA SEWA

PASAR VII MARTUBUNG KECAMATAN MEDAN LABUHAN

T E S I S

Oleh

:

ADLIN BUDHIAWAN

057005001 / HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2 0 0 7


(2)

ANALISIS YURIDIS MENGENAI PENGADAAN/

PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN SEDERHANA SEWA

PASAR VII MARTUBUNG KECAMATAN MEDAN LABUHAN

T E S I S

Untuk memperoleh Gelar Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

:

ADLIN BUDHIAWAN

057005001 / HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2 0 0 7


(3)

Telah diuji pada

Tanggal 15 November 2007

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : 1. Prof. Dr. Bismar Nasution. SH, MH

Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

2.

Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS

3. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum


(4)

JURIDICAL ANALIZE OF SUPPLIYING/DEVELOPMENT OF RENT PLAIN APARTMENT OF MARTUBUNG PASAR VII

SUB ISRICT MEDAN LABUHAN

Adlin Budhiawan1 Bismar Nasution2 Muhammad Yamin3

Tan Kamello3

ABSTRACT

The growth of city populations is the main problem for demand of houses improvement. The main problem which is faced by the develop countries, including Indonesia is the problem of population settlement especially in big cities. The obstacle which is faced is the limitation of cities areas. One of alternatives to solve the house demand in cities which is limit is that by developing the occupied model vertically such us apartment building. For the middle to low economic level people, the Government built the rent plain apartment of Martubung with rent system. In renting the apartment, in the Law Number 16 Year 1985, it is not found the certainty about it, so that the regulation which is used for it is the agreement between the parties according to Article of 1338 Civil Law.

The research method is the normative legal study, the character of this research is explorative research, by using approach method of qualitative. The research located at Rent Plain Apartment of Martubung Sub District Medan Labuhan. Data resource was from secondary data from collecting it through document study of library research and field research, with data which was got through the interview from informants,

According to research result, can be seen that the supplying/development of rent plain apartment of Martubung had been doing fit with Law Number 16 Year 1985 about Apartment. The certainty of rent apartment pratically there are two kinds of rent house agreement, they are according to Civil Code and Government Regulation Number 55 Year 1981 about Relation of House Rent. The rent agreement of Martubung apartment bent over the Government Regulation Number 55 Year 1981 about Relation of House Rent.

1

Student of Past Graduate Studies, Faculty of Law, University of North Sumatera

2

Head of Past Graduate Studies, Faculty of Law, University of North Sumatera

3


(5)

In protecting the lessee’s right from developer/organizer, so for the lessee, law protection can be got by him through consumer protection institution, that is Consumer Dispute Settlement Committe (BPSK). Beside the law protection also can be got from administration law instruments, private law, or criminal law.

Key Word : Supplying/Development


(6)

ANALISIS YURIDIS MENGENAI PENGADAAN/ PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN SEDERHANA SEWA PASAR VII MARTUBUNG

KECAMATAN MEDAN LABUHAN

Adlin Budhiawan4 Bismar Nasution5 Muhammad Yamin6

Tan Kamello3

ABSTRAK

Pertumbuhan penduduk perkotaan merupakan permasalahan utama bagi peningkatan permintaan akan rumah. Permasalahan utama yang dihadapi oleh negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia adalah permasalahan pemukiman penduduk khususnya di kota-kota besar. Kendala yang dihadapi adalah terbatasnya lahan perkotaan. Salah satu alternatif untuk memecahkan kebutuhan rumah di perkotaan yang terbatas adalah dengan mengembangkan model hunian secara vertikal berupa bangunan rumah susun. Untuk masyarakat ekonomi menengah ke bawah, Pemerintah membangun rumah susun sederhana sewa Martubung dengan sistem sewa. Dalam pelaksanaan sewa menyewa rumah susun, di dalam UU No. 16 Tahun 1985 tidak ditemui ketentuan tentang itu, maka aturan yang mengikat pelaksanaan sewa menyewa yang dilakukan adalah perjanjian kedua belah pihak sesuai dengan Pasal 1338 KUH Perdata.

Penelitian tesis ini adalah penelitian hukum normatif, yang bersifat eksploratoris (explorative research), dengan menggunakan metode pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian berada di Rusunawa Martubung Kecamatan Medan Labuhan. Sumber data berasal dari data sekunder yaitu data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan didukung wawancara dengan para informan yang berhubungan dengan judul tesis. Metode pengumpulan data adalah dengan penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research).

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa pengadaan/pembangunan rumah susun sederhana sewa Martubung sudah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Mengenai ketentuan sewa-menyewa untuk rumah susun, dalam praktik ada 2 (dua) macam bentuk sewa-menyewa rumah perjanjian sewa-menyewa berdasarkan ketentuan KUH Perdata dan dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 1981 tentang Hubungan Sewa-Menyewa Perumahan. Perjanjian sewa-menyewa pada

4

Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara

5

Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

6


(7)

rusunawa Martubung lebih tunduk kepada Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 1981 tentang Hubungan Sewa-Menyewa Perumahan. Dalam melindungi hak penyewa dari pengembang/pengelola, maka bagi penyewa perlindungan hukum dapat diperolehnya melalui lembaga perlindungan konsumen melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Selain itu juga perlindungan hukum dapat melalui instrumen hukum administrasi, hukum perdata maupun instrumen hukum pidana.

Kata Kunci : Pengadaan/Pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa


(8)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim

Tiada kata pembuka yang paling pantas dikemukakan selain mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan taufik dan rahmat-Nya dengan memberikan kesehatan, kekuatan dan ketabahan sehingga Penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Juga disampaikan shalawat dan salam kepada junjungan Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabatnya, para tabi’in dan pengikutnya sampai akhir zaman.

Tesis ini diberi judul “Analisis Yuridis Mengenai Pengadaan/ Pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa Pasar VII Martubung Kecamatan Medan Labuhan”. Tesis ini diajukan guna memenuhi salah satu persyaratan yang harus dilengkapi dalam meraih gelar Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Dalam penyelesaian tesis ini, Penulis telah banyak memperoleh dorongan, pengarahan serta bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menghaturkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk mengikuti pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara beserta seluruh Asisten Direktur yang memberikan kesempatan dan kelancaran proses administrasi pendidikan.

3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan sekaligus Ketua Komisi Pembimbing yang telah mendidik dan memberikan ilmu pengetahuan yang sangat berguna bagi hari depan Penulis.


(9)

4. Ibu Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum dan sekaligus merupakan dosen penguji yang dengan sabar telah membantu dan mengarahkan penulis untuk kesempurnaan tesis ini.

5. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, dan Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS, selaku Komisi Pembimbing yang dengan penuh kesabaran dan keikhlasan memberikan bimbingan dan arahan kepada Penulis dalam penyusunan tesis ini.

6. Bapak Dr. Budiman Ginting, SH, MS, selaku Dosen Penguji yang telah memberikan masukan demi memperkaya penulisan tesis ini.

7. Bapak Prof. Alvi Syahrin, SH, MS, yang telah memberikan kesempatan dan jalan bagi Penulis untuk melanjutkan studi pada Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

8. Seluruh Guru Besar beserta dosen/staf pengajar pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya kepada Penulis.

9. Kepada pihak Perum Perumnas khususnya Bapak Oerip Sidik Tjipto Oesodo yang telah banyak membantu Penulis dalam penyusunan tesis ini.

10.Kepada rekan-rekan satu angkatan (Bang Faisal, Sangkot, Arif, Putri, Bibah, Lolo, Nunung, Nursiti, Kak Siti, Bu Mega, dan semuanya “Good Bless U”), beserta seluruh staf pegawai Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (bu Ganthi, kak Juli, Kak Fika, Kak Fitri, Bang Udin, Bang Herman, Kak Niar dan Kalian Semua “Thank U So May..”).

11.Kepada seluruh mujahidin-mujahidin dan kepada semuanya yang telah banyak membantu baik pada penyusunan tesis ini maupun yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian studi ini, yang tidak mungkin saya sebutkan satu-persatu.

Secara khusus Penulis haturkan ucapan terima kasih yang tiada terhingga dan kasih sayang penulis persembahkan kepada Ayahanda Ir. Sariadi dan Ibunda Dra. Hj.


(10)

Yusriah, Nst yang berkat dukungan, motivasi, kesabaran dan doa yang merupakan rahmat bagi Penulis dalam menyelesaikan studi dan tugas akhir ini.

Tidak lupa pula Penulis ucapkan terima kasih kepada keluarga kakakku, Siti Ayuna Sari, SH, adinda Prastuti Sari yang telah banyak memberikan motivasi dan doa hingga Penulis dapat menyelesaikan studi Magister ini.

Akhirnya Penulis mengharapkan tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan penulis berdoa semoga segala dukungan yang telah diberikan kepada Penulis dapat menjadi amal dan ibadah. Amin Ya Rabbal Alamin.

Medan, November 2007 Penulis,


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ……….………... vii

DAFTAR SINGKATAN ... ix

BAB I : PENDAHULUAN ………... 1

A. Latar Belakang ……….. 1

B. Rumusan Permasalahan ..……….. 8

C. Tujuan Penelitian ……….. 9

D. Manfat Penelitian ………. 9

E. Keaslian Penelitian ………... 10

F. Kerangka Teori dan Konsepsional ………... 10

G. Metode Penelitian ………. 33

H. Sistematika Penulisan ... 37

BAB II : PENGADAAN/PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN SEDERHANA SEWA MARTUBUNG DILAKSANAKAN MENURUT KETENTUAN UU NO. 16 TAHUN 1985 ... 37

A. Pengadaan Rumah Susun Sederhana Sewa Martubung ……. 37

B. Penyediaan Tanah untuk Rumah Susun ... 55

C. Syarat-Syarat yang Harus Dipenuhi Dalam Pembangunan Rumah Susun ... 69


(12)

E. Ketentuan-Ketentuan di Rumah Susun Sederhana Sewa

Martubung ... 93

BAB III : ANALISIS KETENTUAN SEWA-MENYEWA RUMAH SUSUN DILIHAT DARI KUH PERDATA ... 96

A. Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah Menurut KUH Perdata ... 96 B. Perjanjian Sewa-Menyewa Rumah Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 1981 tentang Hubungan Sewa-Menyewa Perumahan ... 115

C. Perjanjian Sewa-Menyewa di Rusunawa Martubung ... 120

BAB IV : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK PENYEWA DALAM PERJANJIAN SEWA-MENYEWA RUSUNAWA MARTUBUNG ... 133

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 144

A. Kesimpulan ... 144

B. Saran ... 145


(13)

DAFTAR SINGKATAN

BPN : Badan Pertanahan Nasional

BUMN : Badan Usaha Milik Negara

DAS : Daerah Aliran Sungai

HGB : Hak Guna Bangunan

HM : Hak Milik

HP : Hak Pakai

HPL : Hak Pengelolaan

ILH : Ijin Layak Huni

Jo : Junto

KB : Koefisien Bagian Bersama

KDB : Koefisien Dasar Bangunan

KIM : Kawasan Industri Medan

KLB : Koefisien Lantai Bangunan

KUH Perdata : Kitab Undang-undang Hukum Perdata

KUP : Kantor Urusan Perumahan

Menpera : Kementerian Perumahan Rakyat

Permendagri : Peraturan Menteri Dalam Negeri

Perum Perumnas : Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional

PP : Peraturan Pemerintah

RT : Rukun Tetangga

RTRW : Rencana Tata Ruang Wilayah

Rusun : Rumah susun

Rusuna : Rumah susun sederhana

Rusunawa : Rumah susun sederhana sewa

RW : Rukun Warga

SDM : Sumber Daya Manusia

SIP : Surat Izin Perumahan

SPS : Surat Perjanjian Sewa

UU : Undang-undang


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

“Pertumbuhan penduduk perkotaan merupakan permasalahan utama bagi peningkatan permintaan akan rumah. Pada tahun 1900 + 13,6 % dari jumlah penduduk dunia bermukim di perkotaan. Pada tahun 1980-an angka tersebut meningkat menjadi + 41,3 %. Diperkirakan pada akhir abad ke 20 angka ini meningkat menjadi + 51 %”.7 “Berdasarkan data dari Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, pertumbuhan penduduk perkotaan di Indonesia mencapai 4,2% pada periode tahun 1990-2000”.8 Konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan penduduk tersebut adalah meningkatnya kebutuhan pelayanan akan prasarana dan sarana kota termasuk kebutuhan perumahan yang layak bagi penduduk.

Permasalahan utama yang dihadapi oleh negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia adalah permasalahan pemukiman penduduk. Dalam hal ini kendala yang dihadapi adalah terbatasnya lahan perkotaan sehingga pemerintah dituntut untuk dapat memanfaatkan lahan secara efisien dengan meningkatkan intensitas penggunaannya. Tuntutan akan penggunaan lahan perkotaan cenderung semakin meningkat seiring diterapkannya otonomi daerah. Hal ini terjadi karena di satu sisi Pemerintah perlu memanfaatkan sumber daya lahan yang ada untuk meningkatkan pendapatan daerah, di sisi lain adanya tuntutan masyarakat yang

7

Hermayulis, “Pengadaan Rumah untuk Masyarakat di Perkotaan dan Keberadaan Rumah Susun di Indonesia”, http://www.alunand.com, diakses 1 Oktober 2007

8

Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, “Perencanaan dan Pengelolaan Rumah Susun Sederhana”, http://www.pu.go.id.pdf, diakses 3 Maret 2007


(15)

semakin kritis dalam mendapatkan pelayanan dan kenyamanan lingkungan termasuk sarana sosial, taman dan ruang terbuka hijau.

Pengadaan perumahan di perkotaan dalam jumlah besar bagi masyarakat berpenghasilan rendah di negara-negara berkembang merupakan persoalan yang cukup kompleks dan menghadapi banyak kendala. Menurut Bambang Panudju dalam bukunya yang berjudul ”Pengadaan Perumahan Kota dengan Peran Serta Masyarakat Berpenghasilan Rendah”, yang dikutip oleh R. Lisa Suryani dan Amy Marisa, kendala-kendala tersebut secara garis besar adalah sebagai berikut:

1. Kendala Pembiayaan

Hampir seluruh negara berkembang memiliki kemampuan ekonomi nasional yang rendah atau sangat rendah. Sebagian besar anggaran biaya pemerintah yang tersedia untuk pembangunan dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan yang menunjang perbaikan ekonomi seperti industri, pertanian, pengadaan infrastruktur, pendidikan, dan sebagainya. Anggaran pemerintah untuk pengadaan perumahan menempati prioritas yang rendah, dengan jumlah kecil. Selain itu pendapatan sebagian besar penduduk di negara-negara berkembang begitu rendah, sehingga setelah dipakai untuk membayar makanan, pakaian, keperluan sehari-hari dan lain-lain, hanya sedikit sekali yang tersisa untuk keperluan rumah. Sementara itu harga rumah terus meningkat sehingga pendapatan penduduk semakin jauh di bawah harga rumah yang termurah sekalipun. 2. Kendala Ketersediaan dan Harga Lahan

Lahan untuk perumahan semakin sulit didapat dan semakin mahal, di luar jangkauan sebagian besar anggota masyarakat. Meskipun kebutuhan lahan sangat mendesak, terutama untuk pengadaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, usaha-usaha positif dari pihak pemerintah di negara-negara berkembang untuk mengatasi masalah tersebut belum terlihat nyata. Mereka cenderung menolak kenyataan bahwa masyarakat berpenghasilan rendah memerlukan lahan untuk perumahan dalam kota dan mengusahakan lahan untuk kepentingan mereka.

3. Kendala Ketersediaan Prasarana untuk Perumahan

Ketersediaan prasarana untuk perumahan seperti jaringan air minum, pembuangan air limbah, pembuangan sampah dan transportasi yang


(16)

merupakan persyaratan penting bagi pembangunan perumahan. Kurangnya pengembangan prasarana, terutama jalan dan air merupakan salah satu penyebab utama sulitnya pengadaan lahan untuk perumahan di daerah perkotaan.

4. Kendala Bahan Bangunan dan Peraturan Bangunan

Banyak negara berkembang belum mampu memproduksi bahan-bahan bangunan tertentu seperti semen, paku, seng gelombang, dan lain-lain. Barang-barang tersebut masih perlu diimpor dari luar negeri, sehingga harganya berada di luar jangkauan sebagian besar anggota masyarakat. Selain itu, banyak standar dan peraturan-peraturan bangunan nasional di negara-negara berkembang yang meniru negara-negara maju seperti Inggris, Jerman, atau Amerika Serikat yang tidak sesuai dan terlalu tinggi standarnya bagi masyarakat negara-negara berkembang. Kedua hal tersebut menyebabkan pengadaan rumah bagi atau oleh masyarakat berpenghasilan rendah sulit untuk dilaksanakan.9

Dalam Seminar Arsitektur yang diadakan di Yogyakarta, Soenarno berpendapat bahwa :

Jumlah dan proporsi penduduk yang tinggal di daerah perkotaan yang semakin lama semakin bertambah, mengakibatkan ketersediaan lahan dan penataan ruang untuk perumahan dan permukiman dirasakan semakin berkurang. Semakin banyaknya jumlah penduduk kota mengakibatkan semakin menurunnya daya dukung prasarana dan sarana dasar (PSD) permukiman serta fasilitas kota lainnya, terlebih lagi dengan pola pertumbuhan kota yang tidak terkendali. Kondisi ini mengakibatkan harga tanah yang mahal sehingga penduduk perkotaan yang tergolong masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) semakin tidak mampu menjangkau harga rumah di perkotaan. Kemampuan ekonomi masyarakat perkotaan secara umum masih tergolong masyarakat berpendapatan rendah (MBR), yaitu sebesar 65% (enam puluh lima persen).10

Perkotaan dengan kompleksitas permasalahan yang ada ditambah laju urbanisasi yang mencapai 4,4% per tahun membuat kebutuhan perumahan di

9

R. Lisa Suryani dan Amy Marisa, “Aspek-Aspek yang Mempengaruhi Masalah Permukiman di Perkotaan”, www.usu.ac.id , diakses 3 Maret 2005

10

Soenarno, Peran Pemerintah Dalam Mewujudkan Hunian Vertikal Yang Ideal Bagi

Masyarakat Berpenghasilan Rendah, makalah disampaikan pada Seminar Nasional Arsitektur Fakultas


(17)

perkotaan semakin meningkat, sementara itu ketersediaan lahan menjadi semakin langka, sebagaimana juga terjadi di kota Medan. Kelangkaan ini menyebabkan semakin mahalnya harga lahan di pusat kota, sehingga mendorong masyarakat berpenghasilan menengah bawah tinggal di kawasan pinggiran kota yang jauh dari tempat kerja. Kondisi ini menyebabkan meningkatkan biaya transportasi, waktu tempuh, dan pada akhirnya akan menurunkan mobilitas dan produktivitas masyarakat. Sedangkan sebagian masyarakat kota Medan tinggal di kawasan yang tidak jauh dari pusat aktivitas ekonomi, sehingga menyebabkan ketidakteraturan tata ruang kota dan dapat menumbuhkan kawasan kumuh baru.

Untuk mendekatkan kembali masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah ke pusat aktifitas kesehariannya dan mencegah tumbuhnya kawasan kumuh di perkotaan, maka direncanakan suatu pembangunan hunian secara vertikal, berupa Rumah Susun (Rusun). Dengan pembangunan rumah susun di pusat-pusat kota, dengan intensitas bangunan tinggi, diharapkan dapat mendorong pemanfaatan lahan dan penyediaan rumah yang lebih efisien dan efektif.

Keberadaan rumah susun di Indonesia diatur dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Menurut undang-undang ini pembangunan rumah susun ditujukan untuk masyarakat golongan ekonomi lemah dan sebagai tempat tinggal (Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 1985). Pembangunan rusun bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan rusun layak huni dan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah di kawasan perkotaan dengan penduduk di atas 1,5 juta jiwa, sehingga akan berdampak pada:


(18)

2. Peningkatan kualitas hidup masyarakat berpenghasilan menengah-bawah dan pencegahan tumbuhnya kawasan kumuh perkotaan;

3. Peningkatan efisiensi prasarana, sarana dan utilitas perkotaan; 4. Peningkatan produktivitas masyarakat dan daya saing kota;

5. Peningkatan pemenuhan kebutuhan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan menengah-bawah;

6. Peningkatan penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi.11

Pembangunan rumah susun dimaksudkan untuk menyediakan hunian yang layak bagi orang dan badan hukum. Oleh karena itu, perumahan tersebut harus memenuhi standar sebagai hunian yang memenuhi syarat baik dari segi kesehatan, kenyamanan dan keasrian dari rumah tersebut. Pembangunan rumah susun merupakan pemenuhan atas kebutuhan papan (tempat tinggal) khususnya bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 5 UU No. 16 Tahun 1985 yang menyatakan bahwa Rumah susun dibangun sesuai dengan tingkat keperluan dan kemampuan masyarakat terutama masyarakat yang berpenghasilan rendah. Pembangunannya dapat dilaksanakan/diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara atau Daerah, Koperasi dan Badan Usaha Milik Swasta yang bergerak dalam bidang itu, serta swadaya masyarakat.

Sejalan dengan ketentuan Pasal 5 di atas, rumah susun dapat dibangun di atas tanah milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atas tanah negara atau Hak Pengelolaan. Penyelenggara pembangunan yang membangun rumah di atas tanah yang dikuasai dengan Hak Pengelolaan wajib menyelesaikan status Hak Guna

11

Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, “Perencanaan dan Pengelolaan Rumah Susun Sederhana”, http://www.pu.go.id.pdf, diakses 3 Maret 2007


(19)

Bangunan di atas Hak Pengelolaan tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum menjual satuan rumah susun yang bersangkutan.12

Hak Pengelolaan merupakan hal yang tidak dikenal dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria,13 yang lahir dan berkembang sesuai dengan terjadinya perkembangan suatu daerah.14 Secara yuridis formal pengaturan tentang Hak Pengelolaan diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah untuk Keperluan Perusahaan dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1977 tentang Tata Cara Permohonan dan Penyelesaian Pemberian Hak atas Tanah, Bagian-Bagian Tanah Hak Pengelolaan serta Pendaftarannya.

”Rumah susun sederhana identik dengan kemiskinan sehingga walau bagaimanapun pengadaan rumah susun untuk golongan masyarakat ini selalu terbentur pada keterbatasan, baik pada dana yang dimiliki pemerintah maupun pada daya beli masyarakat yang berpenghasilan rendah yang serba kekurangan”.15 Dalam upaya menyediakan perumahan bagi masyarakat menengah ke bawah di kota Medan, maka Pemerintah membangun rumah susun sederhana sewa Martubung dengan sistem sewa.

12

Indonesia, Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 1985, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3318, Pasal 7 ayat (1) dan (2)

13

Indonesia, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 1960

14

Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal. 148

15

Irwan Gunawan, ”Kiat Pembangunan Rumah Susun Sederhana di Kota Metropolitan”,

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0410/14/Properti.htm, dipublikasikan 14 Oktober 2004, diakses 16


(20)

menyewa salah satu aspek penting dari dunia perumahan. Sewa-menyewa menjadi penting sebab tidak semua warga mampu membeli rumah secara tunai, atau bahkan membeli rumah dengan cara kredit. Sebagian masyarakat hanya bisa menghuni rumah, melalui cara sewa. Instrumen sewa ini perlu dipahami benar, baik oleh penyewa maupun yang menyewakan rumah, karena pelaksanaannya memerlukan alas hukum yang tegas dan kuat. ”Lemahnya landasan hukum sewa, atau tidak konkretnya isi perjanjian sewa, selalu berujung pada perselisihan atau masalah hukum yang rumit di kemudian hari”.16

Pengaturan tentang sewa menyewa rumah termasuk ke dalam pengaturan tentang sewa menyewa pada umumnya yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya disingkat dengan KUH Perdata). Perjanjian sewa menyewa merupakan salah satu bentuk perwujudan dari adanya suatu perjanjian dua belah pihak atau lebih. Suatu perjanjian yang dibuat adalah sah dan akan mempunyai kekuatan hukum apabila memenuhi syarat-syarat syahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata bahwa syarat sahnya suatu perjanjian apabila terpenuhinya kesepakatan dari mereka yang mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, adanya hak tertentu, dan sebab suatu yang halal. Para pihak yang terikat kepada perjanjian sewa menyewa diikat oleh kesepakatan yang telah dicapai di dalam perjanjian sewa menyewa yang dibuat. Untuk sahnya suatu perjanjian sewa menyewa yang dibuat tentunya tidak terlepas

16

Didi Syamsuddin, “Jangan Pernah Remehkan Landasan Hukum Sewa-Menyewa”,

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0211/19/ekonomi/jang31.htm, dipublikasikan tanggal 19 Nopember


(21)

dari harus terpenuhinya syarat-syarat sahnya perjanjian yang diatur di dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

Dalam pelaksanaan sewa menyewa rumah susun, di dalam UU No. 16 Tahun 1985 tidak ditemui ketentuan tentang itu, maka aturan yang mengikat pelaksanaan sewa menyewa yang dilakukan adalah perjanjian kedua belah pihak sesuai dengan Pasal 1338 KUH Perdata. Ketentuan yang berlaku untuk pelaksanaan sewa-menyewa adalah ketentuan umum yang berkaitan dengan sewa sewa-menyewa sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 1548 sampai dengan 1600 KUH Perdata.

B. Perumusan Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang perlu dibahas adalah sebagai berikut:

1. Apakah pengadaan/pembangunan rumah susun sederhana sewa Martubung sudah dilaksanakan menurut ketentuan UU No. 16 Tahun 1985 ?

2. Bagaimana ketentuan sewa-menyewa di rumah susun ?

3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pihak penyewa dalam perjanjian sewa-menyewa di rusunawa Martubung ?

C. Tujuan Penelitian

Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengadaan/pembangunan rumah susun sederhana sewa Martubung sudah dilaksanakan menurut ketentuan UU No. 16 Tahun 1985.


(22)

2. Untuk menganalisis ketentuan sewa-menyewa rumah susun.

3. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap pihak penyewa dalam perjanjian sewa-menyewa di rusunawa Martubung.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang didapat dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Secara teoretis hasil penelitian ini merupakan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum khususnya bidang hukum perumahan serta menambah khasanah perpustakaan.

2. Secara praktis penelitian ini diharapkan akan menambah pengetahuan masyarakat, praktisi, peneliti, dosen dan mahasiswa tentang pengadaan rumah susun sederhana sewa, bentuk perjanjian sewa-menyewa rumah susun, dan bentuk perlindungan hukum penyewa atau konsumen perumahan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan khususnya pada Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara belum ada penelitian yang menyangkut masalah “Analisis Yuridis Mengenai Pengadaan / Pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa Pasar VII Martubung Kecamatan Medan Labuhan”. Dengan demikian penelitian ini betul asli baik dari segi substansi maupun dari segi permasalahan sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.


(23)

F. Kerangka Teori dan Konsepsional

1. Pengertian dan Pengaturan Rumah Susun

Meningkatnya arus urbanisasi yang terjadi secara terus menerus khususnya dari masyarakat yang berpenghasilan rendah, kesulitan dalam mendapatkan lahan perumahan yang murah di perkotaan, telah mendorong pembangunan rumah susun sebagai salah satu model penyediaan perumahan di kota-kota besar.

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, salah satu alternatif untuk memecahkan kebutuhan rumah di perkotaan yang terbatas adalah dengan mengembangkan model hunian secara vertikal berupa bangunan rumah susun. Untuk kelompok masyarakat berpendapatan tinggi rumah susun disediakan dalam bentuk rumah susun mewah (flat/kondominium) sedangkan untuk kelompok masyarakat berpendapatan menengah dan rendah adalah rumah susun sederhana (rusuna).

Kondominium merupakan istilah yang dikenal dalam sistem hukum negara Italia. Kondominium terdiri atas 2 (dua) suku kata ”con” yang berarti bersama-sama dan ”dominium” berarti pemilikan. Di negara Inggris dan Amerika menggunakan istilah Joint Property sedangkan di Singapura dan Australia mempergunakan Strata Title. Banyaknya istilah yang dipergunakan kalangan masyarakat di Indonesia seperti apartemen, flat, kondominium, rumah susun (rusun) akan semakin membingungkan awam.17

Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun berbunyi:

17

Pepep Lukman Subaya, “Penerapan Prosedur Pembangunan dan Permukiman Yang Berwawasan Lingkungan Oleh Pengembang di Kotamadya Medan”, Tesis, (Medan : PSL PPs-USU, 1997), hal. 14


(24)

Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.

Rusuna adalah:

Bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. 18 Sejalan dengan perubahan dan perkembangan keadaan, maka rumah susun juga mengalami perubahan pengertian seperti terjadi dalam praktik adalah:

Suatu pemilikan bangunan yang terdiri atas bagian-bagian yang masing-masing merupakan satu kesatuan yang dapat digunakan dan dihuni secara terpisah serta dimiliki secara individual berikut bagian-bagian lain dari bangunan itu dan tanah yang merupakan tempat berdirinya bangunan (gedung) itu yang karena fungsinya digunakan bersama, dimiliki secara bersama-sama oleh pemilik bagian yang dimiliki secara individual tersebut.19

Sebagai suatu bahan banding kajian tentang rumah susun dan menambah wawasan tentang hal itu, bagian yang berlapis-lapis (Strata Scheme), menurut hukum di negara bagian New South Wales di Australia sebagaimana disebutkan oleh Arie Sukanti H yang dikutip oleh Imam Kuswahyono yang menentukan sebagai berikut:

A strata scheme is legally recognized arrangement whereby a building and the land upon which it is erected is subdivided into lots or lots and common property, the lots (or units as they are commonly called) having separate title, the transfer of which is not inherently restricted, the common property

18

http://www.pu.go.id/litbang/puskim/Advis-Teknik/Modul/Rusuna.pdf, ”Perencanaan dan

Pengelolaan Rumah Susun Sederhana”, diakses 3 Maret 2007, hal. 4

19


(25)

being used by the occupiers of the lots but owned by a body corporate as an agent for the owners of the lots in specified proportions. The definitions is much wider in that it encompasses not only the manner of subdivision, but also the allocations of units entitlements among the lost and more importantly, the rights and the obligations that exist from time to time between the owners of the lots (or proprietors), other person who have an interest in a lot (e.g. mortgages), the occupiers of the lots and the body corporate.20

(Secara bebas dapat diartikan: Suatu bangunan yang bertingkat menurut hukum dikenal pengaturan dengan mana suatu bangunan dan daratan atas mana bangunan tersebut terbagi-bagi kedalam bagian-bagian bangunan atau bagian-bagian dan milik umum, bagian-bagian tersebut (atau unit-unit sebagaimana lazimnya disebut) mempunyai hak yang terpisah, perpindahan yang sifatnya tidak terbatas, hak milik umum yang digunakan oleh orang yang bertempat tinggal di bagian-bagian bangunan tetapi dimiliki oleh sebuah badan hukum sebagai sebuah agen bagi pemilik dari bagian-bagian di bagian tertentu. Defenisi tersebut terlalu luas yang meliputi tidak hanya cabangnya, tetapi juga alokasi hak-hak dari unit-unit tersebut di antara yang hilang dan lebih penting lagi, hak-hak dan obligasi-obligasi yang tetap ada dari waktu ke waktu antara pemilik bagian bangunan (atau pemilik), orang lain yang mempunyai ketertarikan pada bagian-bagian bangunan (misalnya gadai), orang yang menempati bagian-bagian bangunan dan badan hukum).

Pembangunan rumah susun ditujukan untuk tempat hunian, khususnya bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Namun demikian, pembangunan rumah susun harus dapat mewujudkan pemukiman yang lengkap dan fungsional, sehingga diperlukan adanya bangunan gedung bertingkat lainnya untuk keperluan bukan hunian yang terutama berguna bagi pengembangan kehidupan masyarakat ekonomi lemah.

Rumah susun apabila ditinjau dari sudut penggunaannya dapat dibagi menjadi 3 (tiga) golongan sebagai berikut:

20


(26)

1. Rumah susun hunian yaitu rumah susun yang seluruhnya berfungsi sebagai tempat tinggal;

2. Rumah susun bukan hunian yaitu rumah susun yang seluruhnya berfungsi sebagai tempat usaha dan atau kegiatan sosial.

3. Rumah susun campuran yaitu rumah susun yang sebagian berfungsi tempat tinggal dan sebagian berfungsi sebagai tempat usaha.

Sejauh ini penyediaan rumah susun mewah dipercayakan kepada pihak swasta, sedangkan rumah susun sederhana disediakan oleh pemerintah melalui Perum Perumnas. Rusun mewah bisa dihuni dengan cara memiliki atau sewa. Pada awalnya rusuna dapat dihuni secara milik ataupun sewa, tetapi kemudian pemerintah menetapkan kebijakan bahwa rusuna di perkotaan hanya dapat dihuni dengan cara sewa sehingga disebut rumah susun sederhana sewa (rusunawa).

Rusunawa merupakan bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat disewa secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama.21

Dalam menyelenggarakan pembangunan rumah susun sederhana sewa di perkotaan, Pemerintah telah menyiapkan perangkat perundang-undangan sebagai berikut:

1. Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.

21

http://www.pu.go.id/litbang/puskim/Advis-Teknik/Modul/Rusuna.pdf, ”Perencanaan dan Pengelolaan Rumah Susun Sederhana”, diakses 3 Maret 2007, hal. 4


(27)

2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. 3. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun.

5. Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 1990 tentang Peremajaan Permukiman Kumuh yang berada di atas tanah Negara.

6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;

7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;

8. Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2005 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;

9. Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2005 tentang Perubahan Ketiga Atas Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;

10.Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006 tentang Perubahan Keempat Atas Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;

11.Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2006 tentang Perubahan Kelima Atas Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;


(28)

12.Peraturan Presiden Nomor 85 Tahun 2006 tentang Perubahan Keenam Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.22

13.Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1336/KMK.04/89 tentang Pemberian Keringanan Pajak Bumi dan Bangunan yang Terhutang atas Unit Hunian Rumah Susun yang dibangun/ditiadakan.

14.Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1992 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Daerah tentang Rumah Susun.

15.Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 60/PRT/92 tentang Persyaratan Teknis Pembangunan Rumah Susun.

16.Keputusan Menteri Perumahan dan Permukiman Nomor 10/KPTS/Mi 1999 tentang Kebijaksanaan dan Strategi Pembangunan Rumah Susun.

17.Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1989 tentang Bentuk dan Tata Cara Pengisian dan Pendataan Akte Pemisahan Rumah Susun. 18.Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1989 tentang

Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Akte Tanah serta Sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun;

19.Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Medan Nomor ll Tahun 1991 tentang Rumah Susun di Kotamadya Medan;

22

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 85 Tahun 2006 Tentang Perubahan Keenam Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, (Jakarta, CV. Eko Jaya, 2006).


(29)

20.Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Medan No.593.61/1097/SK/90 tentang Peraturan Pelaksanaan Rumah Susun di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan.

Sebagai landasan hukum pembangunan rumah susun adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun yang dalam pertimbangannya menyebutkan :

a. Bahwa untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan meningkatkan taraf hidup rakyat, khususnya dalam usaha pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok akan perumahan sebagaimana diamanatkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, diperlukan peningkatan usaha-usaha penyediaan perumahan yang layak, dengan harga yang dapat dijangkau oleh daya beli rakyat terutama golongan masyarakat yang mempunyai penghasilan rendah.

b. Bahwa dalam rangka peningkatan daya guna dan hasil guna tanah bagi pembangunan perumahan dan untuk lebih meningkatkan kualitas lingkungan pemukiman terutama di daerah-daerah yang berpenduduk padat tetapi hanya tersedia lahan tanah yang terbatas, dirasakan perlu untuk membangun perumahan dengan sistem lebih dari satu lantai yang dibagi atas bagian-bagian bersama dan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki secara terpisah untuk dihuni, dengan memperhatikan faktor sosial budaya yang hidup dalam masyarakat.

Dari pertimbangan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tersebut di atas dapat diketahui bahwa tujuan pembangunan rumah susun adalah diantaranya untuk pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok akan perumahan dan dalam rangka


(30)

meningkatkan kualitas lingkungan permukiman di daerah-daerah berpenduduk padat tetapi hanya tersedia tanah yang terbatas.

2. Sejarah Pembangunan Rumah Susun di Indonesia23

Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, secara tegas menetapkan ketentuan-ketentuan pokok kebijaksanaan perumahan di Indonesia. Ketentuan-ketentuan pokok tersebut adalah:

1) Dalam Pelita III akan ditingkatkan pembangunan perumahan rakyat, khususnya rumah-rumah dengan harga yang dapat dijangkau oleh rakyat banyak.

2) Untuk program pembangunan perumahan perlu dikembangkan suatu sistem yang lebih terarah dan terpadu yang berkaitan dengan tata guna tanah perkotaan dan pedesaan, pembiayaan, perluasan kesempatan kerja, kesehatan lingkungan, produksi bahan bangunan lokal dan keserasian pembangunan daerah serta lingkungan pemukiman pada umumnya.

3) Suatu sistem dan lembaga pembiayaan yang lebih efektif dan dapat mendorong terhimpunnya modal untuk pembangunan perumahan seperti yang telah dimulai dalam Pelita II perlu lebih dikembangkan lagi sehingga memungkinkan pembangunan perumahan dalam jumlah yang besar dengan harga yang dapat dijangkau oleh rakyat banyak.

4) Penyuluhan mengenai teknik pembangunan perumahan serta pemugaran perumahan desa perlu ditingkatkan agar semakin banyak rakyat mendiami rumah yang sehat dalam lingkungan yang sehat pula.

23

Hermayulis, “Pengadaan Rumah untuk Masyarakat di Perkotaan dan Keberadaan Rumah Susun di Indonesia”, http://www.alunand.com, diakses 1 Oktober 2007


(31)

5) Penyediaan air bersih perlu ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan yang terus meningkat.

Keterbatasan tanah dan jarak yang harus ditempuh oleh seseorang untuk sampai ke tempat bekerja menyebabkan orang memilih alternatif yang lebih dapat mendukung kehidupannya. Penghasilan dari pekerjaan bagi golongan yang berpenghasilan rendah dan mendiami rumah di lingkungan yang tidak sehat, merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Keadaan ini menimbulkan kegelisahan, terutama bagi kalangan pemerhati lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat.

Keterbatasan luas tanah dan kemampuan masyarakat untuk memiliki tanah menyebabkan diperlukan intervensi teknologi untuk penyediaan rumah yang tidak membutuhkan tanah yang luas dan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Untuk itu Indonesia memilih alternatif membangun rumah susun. Pada mulanya pembangunan rumah susun di Indonesia didasari oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1974 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1977 dan terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 10 Tahun 1983. Semua peraturan tersebut, dirasakan tidak dapat memenuhi tuntutan tentang pengaturan yang seharusnya ada, karena ketiga ketentuan tersebut hanya mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan tanah bersama sebagai tempat dimana rumah susun tersebut dibangun. Ketentuan tersebut tidak mengatur mengenai hal-hal yang berkaitan dengan: tanda bukti pemilikan bangunan unit satuan rumah susun; hubungan hukum antara unit satuan rumah susun dengan bagian atau benda


(32)

bersama; dan hubungan antara sesama penghuni rumah susun, hubungan antara penghuni dengan pengelola dan lain-lain sebagainya.

Pengaturan secara khusus dan lebih rinci tentang keberadaan dan akibat hukum yang timbul dengan adanya pembangunan rumah susun sangat dibutuhkan, terutama pada rumah susun yang diselenggarakan dengan tujuan timbulnya hak milik individu atas unit-unit rumah susun. Status pemilik akan menimbulkan beberapa permasalahan hukum yang memerlukan pengaturan secara jelas terhadap hal-hal yang menyangkut subyek dan obyek hukum rumah susun tersebut. Pada tahun 1985 Indonesia memberlakukan UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Undang-undang ini memuat 3 (tiga) konsep yang dikembangkan dalam pembangunan rumah susun, yaitu:

1) Tata ruang dan pembangunan perkotaan. Konsep ini memperkenalkan “intervensi” teknologi untuk mengatasi permasalahan keterbatasan dan harga tanah yang tinggi dengan mewujudkan efektifitas dan efisiensi penggunaan tanah. Dengan demikian akan terwujud pendayagunaan tanah secara optimal dan dapat menampung serta mendukung kepadatan penduduk yang tinggi. 2) Pembangunan hukum. Pembangunan rumah susun menyebabkan timbulnya

bentuk subyek dan obyek hukum baru. Subyek hukum baru adalah munculnya Perhimpunan Penghuni Rumah Susun sebagai subyek hukum, sedangkan dari obyek timbulnya hak kebendaan baru yaitu: satuan rumah susun yang dapat dimiliki secara perseorangan dan pemilikan bersama atas benda, bagian dan tanah. Pada cara pemilikan rumah susun mulai diakui keberadaan lembaga fidusia.


(33)

3) Pembangunan Ekonomi dan Kegiatan usaha. Pembangunan rumah susun memberikan kemungkinan bagi pengembang untuk menggunakan fasilitas kredit konstruksi dari perbankan. Bagi konsumen untuk memiliki rumah susun terbuka kesempatan untuk memanfaatkan fasilitas kredit dengan menggunakan lembaga hipotik dan fidusia.

Bila dilihat dari ketersediaan tanah, maka upaya memenuhi kebutuhan perumahan masyarakat melalui pembangunan rumah susun merupakan upaya yang strategis, namun hal ini belum memperlihatkan hasil seperti yang diharapkan. Kendala yang dihadapi dalam memasyarakatkan rumah susun atau menggiring masyarakat untuk tinggal di rumah susun antara lain adalah kendala budaya masyarakat.

Masyarakat lebih menyukai rumah tidak susun bila dibandingkan dengan rumah susun, karena berbagai alasan, antara lain adalah karena kehidupan penduduk perkotaan Indonesia masih banyak yang bersifat semi pedesaan. Mereka lebih menyukai halaman, baik untuk bercocok tanam, memelihara ternak, atau untuk tempat bermain bagi anak-anak. Mereka juga masih senang berkumpul dengan kerabat dan teman-temannya, seperti mengadakan arisan dan berbagai upacara atau selamatan di rumah dan halaman merupakan tambahan ruangan yang dapat menampung sebagian kegiatan yang tidak tertampung di dalam rumah. Untuk itu mereka membutuhkan pekarangan atau halaman di luar rumah, yang tidak akan ditemui di rumah susun.

Di samping itu juga disebabkan karena mereka lebih menyukai kebebasan. Mereka tidak suka terlalu terikat dengan berbagai peraturan yang diberlakukan


(34)

untuk menjaga ketenteraman, kenyamanan, privacy dan kebersihan penghuni di lingkungan di rumah susun. Hal ini lain yang tidak kalah pentingnya yang menyebabkan kurangnya minat masyarakat Indonesia terhadap rumah susun adalah karena kebiasaan masyarakat Indonesia yang suka merubah-rubah bentuk rumah, seperti untuk menjadikan lebih besar. Hal ini tidak mungkin dilaksanakan di rumah susun.

Suatu hal yang kiranya perlu dikaji dalam pemasyarakatan rumah susun, yang merupakan hal yang lebih prinsipil dan menyebabkan masyarakat kurang menyenangi rumah susun adalah latar belakang sejarah kehidupan masyarakat Indonesia itu sendiri. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat agraris, dimana tanah bagi mereka merupakan faktor produksi utama, dan merupakan unsur yang harus ada dan dimiliki dalam kehidupan mereka, sehingga suatu saat dapat diwariskan kepada generasi pelanjut keturunannya. Sedangkan pada rumah susun mereka hanya akan memiliki bangunan, dan mereka masih menyangsikan keberadaan haknya atas bangunan tertentu.

Mengantisipasi kesangsian masyarakat dan dalam rangka memasyarakatkan rumah susun, maka pemerintah memberlakukan UU No.16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Dengan diberlakukannya undang-undang ini diharapkan dapat memberikan jaminan hukum bagi pemilikan rumah susun, dan dapat mendorong minat masyarakat untuk menempati rumah susun. Dengan meningkatnya minat masyarakat untuk tinggal di rumah susun, maka permasalahan tanah terutama tanah pertanian yang semakin berkurang karena dialihgunakan menjadi bangunan rumah dapat ditekan. Sehingga akan dapat mengurangi kesangsian akan tidak


(35)

terpenuhinya kebutuhan pangan masyarakat dengan laju pertumbuhan yang demikian cepat.

Adapun yang merupakan tujuan utama dilaksanakan pembangunan rumah susun sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 18 Tahun 1985 adalah:

1) Untuk memenuhi kebutuhan perumahan yang layak bagi rakyat, terutama golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah yang menjamin kepastian hukum dalam pemanfaatannya.

2) Meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah di daerah perkotaan dengan memperlihatkan kelestarian sumber daya alam dan menciptakan lingkungan pemukiman yang lengkap, serasi dan seimbang.

Hubungan antara unit satuan rumah susun dengan tanah tempat bangunan rumah susun itu didirikan diatur dalam UU No. 16 Tahun 1985. Pasal 7 ayat (1) UU No. 16 Tahun 1985 menyatakan bahwa rumah susun hanya dapat dibangun di atas tanah hak milik, hak guna bangunan, hak pakai atas tanah negara atau hak pengelolaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Keterkaitan antara unit satuan rumah susun yang dimiliki secara individual dan terpisah dengan bagian atau benda yang secara struktural tidak terlepas dengan blok rumah susun, sehingga secara fungsional harus digunakan secara bersama oleh para penghuni dan karenanya tidak dapat dimiliki secara individual. Hubungan hukum antara subyek hak individu dengan hak bersama yang tidak dapat dipisahkan menunjukkan adanya hubungan yang tidak terpisahkan antara satu sama lainnya.


(36)

Subyek hukum tidak dapat memiliki salah satu diantaranya. Apabila dilakukan pelepasan hak individu secara otomatis hak bersamanya juga dilepaskan.24

Sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal dan vertikal yang terbagi dalam satuan-satuan yang masing-masing jelas batas-batasnya, ukuran dan luasnya, dan dapat dimiliki dan dihuni secara terpisah. Selain satuan-satuan yang penggunaannya terpisah, ada bagian bersama dari bangunan tersebut, dan benda bersama, serta tanah bersama yang di atasnya didirikan rumah susun. Bangunan tersebut karena sifat dan fungsinya harus digunakan dan dinikmati bersama dan tidak dapat dimiliki secara perseorangan.

Rumah susun merupakan bangunan gedung bertingkat yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal dan vertikal yang terbagi dalam satuan-satuan yang masing-masing jelas batas-batasnya, ukuran dan luasnya, dan dapat dimiliki dan dihuni secara terpisah. Selain satuan-satuan yang penggunaannya terpisah, ada ”bagian bersama”25 dari bangunan tersebut, dan ”benda bersama”26, serta ”tanah bersama”27 yang di atasnya didirikan rumah susun. Bangunan tersebut

24

Ridwan A. Halim, Op cit, hal. 272

25

Indonesia, Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 1985, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3318, Pasal 1 angka 4, Bagian bersama adalah bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuan-satuan rumah susun.

26

Indonesia, Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 1985, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3318, Pasal 1angka 5, Benda bersama adalah benda yang bukan merupakan bagian rumah susun, tetapi yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama.

27

Indonesia, Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 1985, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3318, Pasal 1angka 6, Tanah bersama adalah sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah yang di atasnya berdiri rumah susun dan ditetapkan batasnya dalam persyaratan izin bangunan.


(37)

karena sifat dan fungsinya harus digunakan dan dinikmati bersama dan tidak dapat dimiliki secara perseorangan.

Hak milik atas satuan rumah susun adalah hak milik atas satuan yang bersifat perorangan dan terpisah, yang meliputi:

1) Hak atas bagian bersama untuk bagian rumah susun yang dimiliki secara terpisah untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuan-satuan rumah susun.

2) Hak atas benda-benda bersama yaitu benda yang bukan merupakan bagian rumah susun, tetapi yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama.

3) Hak atas tanah bersama yaitu sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah yang di atasnya berdiri tumah susun dan ditempatkan batasnya dalam persyaratan izin bangunan.

Semua hak-hak tersebut di datas merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan satuan yang bersangkutan. Hak-hak tersebut didasarkan atas luas atau nilai satuan rumah susun yang bersangkutan pada waktu satuan tersebut diperoleh pemiliknya yang pertama.

3. Perjanjian Sewa Menyewa

Dalam Pasal 1548 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan bahwa “sewa-menyewa ialah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu


(38)

barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga yang oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya”.

M. Yahya Harahap menyebutkan bahwa ”Sewa-menyewa (huur en verhuur) adalah ”persetujuan antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan atau pemilik menyerahkan barang yang hendak di sewa kepada pihak penyewa untuk "dinikmati" sepenuhnya (volledige genot)”.28

Dari rumusan pengertian diatas dapat dilihat, bahwa sewa-menyewa merupakan:

a. Suatu persetujuan antara pihak yang menyewakan (pada umumnya pemilik barang) dengan pihak penyewa.

b. Pihak yang menyewa menyerahkan sesuatu barang kepada si penyewa untuk sepenuhnya dinikmati (volledige genot).

c. Penikmatan berlangsung untuk suatu jangka waktu tertentu dengan pembayaran sejumlah harga sewa yang tertentu.29

Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam membuat perjanjian adalah sebagai berikut:

a. Adanya kata sepakat, dalam arti bahwa perjanjian tersebut dibuat secara musyawarah oleh kedua belah pihak, tanpa adanya paksaan dari salah satu pihak;

b. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, yaitu bahwa yang membuat perjanjian tersebut sudah dewasa dan tidak dalam sakit ingatan;

c. Suatu hal yang diperjanjikan harus jelas, yaitu rumah yang yang dijadikan obyek sewa-menyewa tersebut harus jelas lokasinya, bentuk, luasnya dan sebagainya;

d. Perjanjian tersebut harus halal, yaitu isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kesusilaan.

28

M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung : Alumni, 1986), hal. 220

29


(39)

Keempat unsur diatas digolongkan kedalam 2 dua bagian, yakni unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian atau syarat yang mesti melekat pada diri orang yang membuat perjanjian, biasa disebut unsur subyektif. Dan yang kedua unsur pokok yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian atau syarat yang harus terdapat pada obyek perjanjian, biasa disebut unsur obyektif.30

Unsur subyektif ini mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan dan pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan, dan kausa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut harus sesuatu yang tidak terlarang atau diperkenankan menurut hukum.31

Jika tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan baik dalam bentuk dibatalkan (jika tidak terpenuhinya salah satu unsur subyektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur obyektif).

Dalam hal tidak terpenuhinya syarat obyektif maka perjanjian tersebut ”batal demi hukum”, artinya dari semula perjanjian tidak ada dan tidak pernah ada suatu perikatan. Dengan demikian tiada dasar untuk saling menuntut di muka Hakim jika terjadi sengketa. Perjanjian yang tidak mengandung sesuatu hal yang tertentu dapat dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu tidak dapat dilaksanakan karena tidak

30

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, I, Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian, (Jakarta: P.T Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 93

31


(40)

terang apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak. Lalu perjanjian yang isinya tidak halal, jelas bahwa perjanjian tersebut tidak boleh dilaksanakan karena melanggar hukum atau kesusilaan.

Dalam hal suatu syarat subyektif tidak dipenuhi, maka perjanjian bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas. Jadi perjanjian yang telah dibuat masih bersifat mengikat sebelum tidak dibatalkan oleh Hakim atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi.

Dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata dinyatakan bahwa “Semua perjanjian (persetujuan) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Hal ini berarti bahwa perjanjian itu bersifat “mengikat” seperti halnya dengan suatu Undang-undang.

Menurut J. Satrio :

Kata-kata “secara sah” dalam pasal 1338 KUH Perdata berarti memenuhi semua syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian, sedangkan kata “berlaku sebagai undang-undang” berarti mengikat para pihak yang membuat perjanjan sebagaimana undang-undang mengikat orang terhadap siapa undang-undang berlaku. Dengan demikian para pihak, dengan membuat perjanjian, seakan-akan menetapkan undang-undang bagi mereka sendiri.32 Konsekuensi yuridis dari Pasal 1338 ayat (1) ini diantaranya adalah “perjanjian yang telah disepakati dan disetujui oleh para pihak harus dilaksanakan oleh para pihak sebagaimana telah dikehendaki oleh mereka”,33 dan “setiap orang

32

J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 142

33


(41)

yang memperjanjikan sesuatu mendapat jaminan bahwa apa yang ditetapkan dalam suatu perjanjian itu tidak akan dikurangi, atau larangan untuk mengurangi sedikit pun pengikatan suatu kontrak atau perjanjian”.34

Sewa-menyewa seperti halnya dengan jual-beli dan perjanjian-perjanjian lain pada umumnya, adalah suatu perjanjian konsensuil. Artinya, perjanjian tersebut sah dan mengikat pada detik tercapainya sepakat mengenai unsur-unsur pokoknya, yaitu barang dan harga.35 Kewajiban pihak yang satu adalah menyerahkan barangnya untuk dinikmati oleh pihak yang lain, sedangkan kewajiban pihak yang terakhir ini adalah membayar "harga sewa". Jadi barang itu diserahkan tidak untuk dimiliki, tetapi hanya untuk dipakai, dinikmati kegunaannya. Dengan demikian penyerahan tadi hanya bersifat menyerahkan kekuasaan atas barang yang di sewa itu. Kalau seorang diserahi barang untuk dipakainya, tanpa kewajiban membayar sesuatu apa, maka yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam-pakai. Jika si pemakai barang itu diwajibkan membayar maka bukan lagi pinjam-pakai yang terjadi, tetapi sewa-menyewa.

Disebutkannya "waktu tertentu" dalam uraian Pasal 1548 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menimbulkan pertanyaan tentang apakah maksudnya itu, sebab dalam sewa-menyewa tidak perlu disebutkan untuk berapa lama barang itu disewanya, asal sudah disetujui berapa harga sewanya untuk satu hari, satu bulan atau satu tahun. ”Ada yang menafsirkan bahwa maksudnya tidaklah lain adalah mengemukakan bahwa pembuat undang-undang memang memikirkan pada

34

R. Subekti, I, Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung : Alumni, 1981), hal.64.

35


(42)

perjanjian sewa-menyewa di mana waktu-sewa ditentukan (misalnya untuk sepuluh bulan, untuk lima tahun dan sebagainya)”.36

Hal ini diatur dalam Pasal 1579 KUH Perdata, yang berbunyi: "Pihak yang menyewakan tidak dapat menghentikan sewanya dengan menyatakan hendak memakai sendiri barangnya yang disewakan, kecuali jika telah diperjanjikan sebaliknya."

Menurut Subekti bahwa :

Pasal ini ditujukan juga hanya dapat dipakai terhadap perjanjian sewa-menyewa dengan waktu tertentu. Dan juga sudah selayaknya bahwa seorang yang sudah menyewakan barangnya misalnya untuk sepuluh tahun, tidak boleh menghentikan sewanya kalau waktu tersebut belum lewat, dengan dalih bahwa ia hendak memakai sendiri barangnya yang disewakan itu. Sebaliknya, kalau seorang menyewakan barangnya tanpa ditetapkannya suatu waktu tertentu, maka tentu ia berhak untuk menghentikan sewa itu setiap waktu manakala ia mengindahkan cara-cara dan jangka waktu yang diperlukan untuk pemberitahuan tentang pengakhiran sewa menurut kebiasaan setempat.37

Namun demikian peraturan tentang sewa-menyewa yang terkandung dalam bab ketujuh dari Buku III KUH Perdata berlaku untuk segala jenis sewa-menyewa, untuk semua jenis barang, baik yang tidak bergerak maupun yang bergerak, yang menggunakan waktu tertentu ataupun tidak menggunakan waktu tertentu, “karena waktu tertentu itu bukannya suatu ciri yang khas untuk perjanjian sewa-menyew

jika berupa barang bukan jual beli tetapi tukar-menukar, tetapi dalam

a”.38

Menurut Subekti “Apabila dalam jual beli, harga harus berupa uang karena

36

Ibid, hal 88

37

Ibid

38


(43)

menyewa tidak menjadi halangan apabila harga sewa itu berupa barang atau jasa”.39 Perbedaan pokok antara jual beli dengan sewa-menyewa menurut M. Yahya Harahap terletak pada masalah:

a. Pada sewa-menyewa hak menikmati barang yang disewakan kepada si penyewa hanya terbatas pada “suatu jangka waktu tertentu” saja, sesuai dengan lamanya jangka waktu yang ditentukan dalam persetujuan;

b. Pada jual-beli di samping hak pembeli untuk menikmati sepenuhnya tanpa jangka waktu tertentu, sekaligus terhadap barang yang dibeli telah terjadi penyerahan hak milik kepada pembeli;

c. Tujuan pembayaran sejumlah uang dalam sewa-menyewa hanya sebagai “imbalan atas hak penikmatan” benda yang disewakan;

d. Sedangkan pada jual beli, tujuan pembayaran harga barang oleh pembeli tidak lain untuk “pemilikan” barang yang dibeli.40

Selanjutnya M. Yahya Harahap mengatakan:

Maksud diadakannya sewa-menyewa adalah “penikmatan” atas suatu barang dengan jalan membayar sewa untuk suatu jangka waktu tertentu. Penikmatan inilah sebagai salah satu unsur yang ditekankan pada Pasal 1548 KUH Perdata. “Penikmatan” ini tidak terbatas sifatnya. Seluruh kenikmatan yang dapat diperoleh dari barang yang disewa harus “diperuntukkan” bagi si penyewa. Akan tetapi penikmatan atas seluruh barang yang disewakan tidak akan menimbulkan persoalan, jika si penyewa menguasai seluruh bahagian barang. Masalah penikmatan akan timbul apabila si penyewa hanya menyewa atas sebagian barang saja. Misalnya hanya menyewa bagian paviliun sebuah rumah. Maka dalam hal ini si penyewa hanya berhak menikmati bagian yang disewanya saja, sesuai dengan yang diidentifikasi dalam perjanjian sewa-menyewa.41

Menurut Pasal 1553 KUH Perdata, dalam sewa-menyewa resiko terhadap barang yang disewakan dipikul oleh si pemilik barang, yaitu pihak yang

39

Ibid

40

M. Yahya Harahap, Op cit, hal. 221

41


(44)

menyewakan. “Resiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan adanya suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak”.42

Mengenai resiko dalam sewa-menyewa tidak ditegaskan dalam Pasal 1553 KUH Perdata sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1460 KUH Perdata yang menggunakan istilah “pertanggungan” yang berarti resiko. Akan tetapi peraturan mengenai resiko dalam sewa-menyewa dapat disimpulkan dari Pasal 1553 KUH Perdata yang menentukan bahwa ”Apabila barang yang disewakan itu musnah karena sesuatu hal yang terjadi di luar kesalahan salah satu pihak, maka perjanjian sewa-menyewa gugur demi hukum”. “Dari kata “gugur demi hukum” dapat diartikan bahwa masing-masing pihak sudah tidak dapat menuntut apapun dari pihak lainnya, yang berarti kerugian akibat musnahnya barang yang dipersewakan harus dipikul sepenuhnya oleh pihak yang menyewakan”.43

Selain ketentuan-ketentuan di atas, ketentuan-ketentuan lain dalam membahas tentang sewa-menyewa rumah adalah Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 1963 tentang Hubungan Sewa Menyewa Perumahan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 1981 yang menyatakan bahwa hubungan sewa menyewa ditimbulkan oleh :

a. Adanya persetujuan antara pemilik dan penyewa;

b. Adanya Surat Izin Perumahan (SIP) mengenai penggunaan perumahan yang masih dikuasai oleh Kepala Daerah.

42

R. Subekti, II, Op cit, hal. 56

43


(45)

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah tersebut, maka dalam prakteknya terjadi 2 (dua) macam bentuk sewa-menyewa rumah yaitu sewa-menyewa rumah milik perseroangan dan sewa-menyewa rumah yang dikuasai oleh Kepala Daerah. Untuk sewa-menyewa rumah milik perseorangan dapat dilakukan dengan adanya persetujuan antara pemilik dengan penyewa sedangkan perumahan yang dikuasai oleh Kepala Daerah memerlukan adanya Surat Izin Perumahan yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Urusan Perumahan (KUP).

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan dan tujuan penelitian yang telah disebutkan di atas, maka jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yakni dengan melakukan analisis terhadap permasalahan dalam penelitian melalui pendekatan asas-asas hukum serta mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Penelitian hukum normatif menurut Ronald Dworkin disebut juga dengan “penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it is decided by the judge

trough judicial process)”.44

44

Pendapat Ronald Dworkin, sebagaimana dikutip dari Bismar Nasution, Metode Penelitian


(46)

Sedangkan sifat penelitian ini adalah penelitian yang bersifat 0 yaitu suatu penelitian yang dilakukan untuk memperoleh keterangan, penjelasan dan data mengenai hal-hal yang belum diketahui.

Pendekatan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Dalam hal ini penelitian dilakukan dengan tujuan untuk membatasi kerangka studi kepada suatu analisis terhadap hukum dan peraturan yang berkaitan dengan pengadaan/pembangunan rumah susun sewa.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di lokasi Rumah Susun Sederhana Sewa Pasar VII Martubung Kecamatan Medan Labuhan.

3. Sumber Data

Data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data sekunder. Data sekunder adalah data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan. Jadi, dalam penelitian ini adalah bahan dasar penelitian hukum normatif yang dari sudut kekuatan mengikatnya dibedakan atas tiga bagian yakni hukum primer, hukum sekunder dan hukum tertier, yaitu:

a.Bahan hukum primer adalah hukum yang mengikat dari sudut norma dasar, peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan. Dalam penelitian ini bahan hukum primernya yaitu Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, Undang-Undang No. 4 Tahun 1992

Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, 18 Februari 2003, hal. 1.


(47)

tentang Perumahan dan Pemukiman, Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

b.Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berupa buku, hasil-hasil penelitian dan atau karya ilmiah dari kalangan hukum tentang sewa-menyewa perumahan dan rumah susun, serta data dan arsip dari pihak Perum Perumnas.

c.Bahan hukum tertier adalah bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Disamping itu data juga dikumpulkan melalui wawancara dengan informan yang dipilih yaitu:

1.Manager Bagian Produksi Perum. Perumnas Medan 2.General Super Intendent PT. Pembangunan Perumahan

4. Alat Pengumpulan Data

Dalam melakukan penelitian ini, metode pengumpulan datanya adalah dengan penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field

research). Dalam penelitian ini penelitian kepustakaan (library research) bertujuan

untuk menghimpun data-data yang berasal dari buku-buku, peraturan perundang-undangan, jurnal ilmiah, maupun majalah-majalah yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

Sedangkan penelitian lapangan (field research) dimaksudkan untuk mengadakan wawancara dengan informan yang berhubungan dengan materi


(48)

penelitian ini. Dalam melakukan penelitian lapangan ini digunakan metode wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (depth interview) secara langsung kepada para informan yaitu Manager Bagian Produksi Perum Perumnas Regional I Medan, Staf Biro Hukum Perum Perumnas Regional I dan General Super Intendent PT. Pembangunan Perumahan.

5. Analisis Data

Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.45

Analisis data dilakukan setelah diadakan terlebih dahulu pemeriksaan, pengelompokan, pengolahan dan dievaluasi sehingga diketahui validitasnya, lalu dianalisis secara kualitatif dengan mempelajari seluruh jawaban kemudian diolah dengan menggunakan metode induktif dan deduktif dan terakhir dilakukan pembahasan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Dengan demikian kegiatan analisis ini diharapkan akan dapat menghasilkan kesimpulan dengan permasalahan dan tujuan penelitian yang benar dan akurat serta dapat dipresentasekan dalam bentuk deskriptif.

H. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Bab I adalah pendahuluan yang terdiri dari latar belakang diadakannya penelitian

ini, kemudian rumusan permasalahan yaitu apakah pengadaan/pembangunan rumah susun


(49)

sederhana sewa Martubung sudah dilaksanakan menurut ketentuan UU No. 16 Tahun 1985, bagaimana ketentuan sewa-menyewa di rumah susun, dan bagaimana perlindungan hukum terhadap pihak penyewa dalam perjanjian sewa-menyewa rusunawa Martubung. Selanjutnya diikuti dengan tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian. Kemudian diikuti dengan kerangka teori dan konsepsional yang terdiri dari pengertian rumah susun, pengaturan rumah susun, penyediaan tanah untuk rumah susun dan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pembangunan rumah susun. Selanjutnya yang terakhir dari bab ini adalah metode penelitian yang terdiri dari spesifikasi penelitian, lokasi penelitian, sumber data, alat pengumpulan data dan analisis data.

Bab II memberikan penjelasan pengadaan Rumah Susun Sederhana Sewa

Martubung, penyediaan tanah untuk rumah susun, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pembangunan rumah susun, penghuni rumah susun sederhana sewa Martubung, dan ketentuan-ketentuan di rusunawa Martubung.

Bab III memberikan analisis mengenai ketentuan perjanjian sewa-menyewa

rumah dilihat dari sudut KUH Perdata yang terdiri dari perjanjian sewa-menyewa rumah menurut KUH Perdata, perjanjian sewa-menyewa rumah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 1981 tentang Hubungan Sewa-Menyewa Perumahan serta perjanjian sewa-menyewa di rusunawa Martubung.

Bab IV memberikan penjelasan tentang perlindungan hukum terhadap pihak

penyewa dalam perjanjian sewa-menyewa di rusunawa Martubung.

Bab V merupakan kesimpulan dan saran dari hasil penelitian ini yang terdiri


(50)

pembahasan dalam penelitian ini, dan saran yang merupakan sumbang saran penulis atas penelitian ini.


(51)

BAB II

PENGADAAN/PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN SEDERHANA

SEWA MARTUBUNG DILAKSANAKAN MENURUT KETENTUAN

UU NO. 16 TAHUN 1985

A. Pengadaan Rumah Susun Sederhana Sewa Martubung

Berawal dari adanya perumahan yang kurang layak tinggal serta kekumuhan yang merajalela di sekitar wilayah perkotaan, maka proyek pembangunan rumah susun diprioritaskan untuk rakyat dengan ekonomi kecil. Oleh karena itu, biaya sewa serta fasilitas yang dipenuhipun mungkin dibuat sesederhana mungkin. Meski demikian, tidak menutup kemungkinan suatu rusun dibangun untuk kalangan menengah ke atas, tentunya juga diimbangi dengan fasilitas-fasilitas yang representatif.

Menurut Zulfi Syarief, Kepala Dinas Penataan Ruang dan Pemukiman Propinsi Sumatera Utara, terdapat beberapa hal yang menjadi latar belakang pembangunan rumah susun di Propinsi Sumatera Utara yaitu:

a. Pesatnya tuntutan tempat tinggal di perkotaan akibat pertumbuhan penduduk perkotaan berdasarkan sensus penduduk 2000, relatif tinggi yaitu 4,2% per tahun (1990-2000) atau secara nasional bertambah 800.000 (delapan ratus ribu) rumah tangga baru yang membutuhkan rumah, sedangkan di Propinsi Sumatera Utara kurang lebih 30.000 (tiga puluh ribu) rumah tangga.


(52)

b. Permintaan rumah existing (backlog) pada tahun 2000 secara nasional adalah sebesar 4.338.864 unit rumah, sedangkan di Propinsi Sumatera Utara kurang lebih 450.000 (empat ratus lima puluh ribu) unit rumah.

c. Tingkat kepadatan penduduk di kota metro dan besar yang semakin meningkat (Mebidang, Pematang Siantar, Tanjung Balai, Sibolga, Padang Sidempuan dll). d. Semakin terbatasnya serta meningkatnya nilai lahan di perkotaan.

e. Terdapat potensi pasar penghunian di kawasan pusat kota, kawasan transportasi, kawasan industri dan kawasan perguruan tinggi.

f. Kemampuan ekonomi masyarakat perkotaan secara umum masih relatif rendah (berdasarkan hasil studi pasar perumahan/homi project kurang lebih 65% masyarakat perkotaan/kota berpenghasilan kurang dari Rp. 1,3 juta per bulan. g. Pembangunan sektor perumahan dan permukiman akan berdampak positif

terhadap sektor ekonomi riil (± 200 jenis UKM akan bergerak).

Pengadaan rumah susun di Indonesia untuk pertama kali dilakukan oleh Pemerintah diperuntukkan bagi masyarakat golongan ekonomi lemah, seperti yang diamanatkan di dalam Pasal 3 UU No. 16 tahun 1985, yang menyatakan bahwa:

Pembangunan rumah susun bertujuan untuk:

(1) a. Memenuhi kebutuhan perumahan yang layak bagi rakyat, terutama golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, yang menjamin kepastian hukum dalam pemanfaatannya;

b. Meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah di daerah perkotaan dengan memperhatikan kelestarian sumber daya alam dan menciptakan lingkungan pemukiman yang lengkap, serasi dan seimbang.

(2)Memenuhi kebutuhan untuk kepentingan lainnya yang berguna bagi kehidupan masyarakat, dengan tetap mengutamakan ketentuan ayat (1) huruf a.


(53)

Dana pembangunan rumah susun sederhana sewa Martubung ini berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara, oleh karena itu pengadaan pembangunan rumah susun sederhana sewa ini tunduk kepada Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Akan tetapi Keppres ini telah beberapa kali mengalami perubahan, yaitu melalui : a. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2004 tentang

Perubahan Atas Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;

b. Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2005 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;

c. Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2005 tentang Perubahan Ketiga Atas Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;

d. Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006 tentang Perubahan Keempat Atas Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;

e. Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2006 tentang Perubahan Kelima Atas Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;


(54)

f. Peraturan Presiden Nomor 85 Tahun 2006 tentang Perubahan Keenam Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.46

Dalam Pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa pengadaan barang/jasa pemerintah adalah kegiatan pengadaan barang/jasa yang dibiayai dengan APBN/APBD, baik yang dilaksanakan secara swakelola maupun penyedia barang/jasa. Dalam penjelasan umum Keppres No. 80 Tahun 2003, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan dilaksanakan secara swakelola adalah:

a. Dilaksanakan sendiri secara langsung oleh instansi penanggung jawab anggaran;

b. Institusi pemerintah penerima kuasa dari penanggung jawab anggaran, misalnya: perguruan tinggi negara atau lembaga penelitian/ilmiah pemerintah;

c. Kelompok masyarakat penerima hibah dari penanggung jawab anggaran.

Sesuai dengan Pasal 3 Keppres No. 80 Tahun 2003 bahwa pengadaan barang/jasa wajib menerapkan prinsip-prinsip sebagai berikut:

a. Efisien, yaitu pengadaan barang/jasa harus diusahakan dengan menggunakan dana dan daya yang terbatas untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam waktu sesingkat-singkatnya dan dapat dipertanggungjawabkan;

b. Efektif, yaitu pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan yang telah ditetapkan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya sesuai dengan sasaran yang ditetapkan;

c. Terbuka dan bersaing, yaitu pengadaan barang/jasa harus terbuka bagi penyedia

46

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 85 Tahun 2006 Tentang Perubahan Keenam Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, (Jakarta, CV. Eko Jaya, 2006).


(1)

dapat melalui instrumen hukum administrasi, hukum perdata maupun instrumen hukum pidana.

B. Saran

Dilihat dari hasil penelitian di atas, terjadi dualisme dalam hukum perjanjian sewa-menyewa perumahan yaitu yang diatur dalam KUH Perdata dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 1981 tentang Hubungan Sewa-Menyewa Perumahan. Untuk itu disarankan agar dibuat satu peraturan perundang-undangan yang mengatur ketentuan sewa-menyewa perumahan sehingga ada unifikasi hukum dalam bidang sewa-menyewa perumahan sehingga tercipta kepastian dan perlindungan hukum bagi para pihak.

Disarankan agar perjanjian sewa-menyewa rusunawa Martubung ini ditentukan hak dan kewajiban masing-masing pihak, baik pihak pengembang/pengelola dan pihak penyewa, sehingga perjanjian tersebut tidak hanya menentukan kewajiban-kewajiban penyewa semata akan tetapi juga kewajiban dan tanggung jawab pihak pengembang/pengelola.


(2)

DAFTAR KEPUSTAKAAN

A. Buku-Buku

Adiwinata, Saleh. Hukum Adat. Bandung : Alumni. 1981.

Badrulzaman, Mariam Darus dkk. Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. 2001.

Basrah. Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Tentang Sewa-Menyewa dan Pembahasan Kasus. Medan : FH USU. 1978.

Basuki, Sunario. “Masalah Hukum Pembangunan Rumah Susun”, Jurnal Hukum dan Pembangunan, No. 12, 1994.

Flora, Henny Saida. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Perumahan, Jurnal Compendium. Vol. I Juni 2005. Medan : Magister Kenotariatan, USU. 2005. Halim, A. Ridwan. Hukum Perdata Dalam Tanya Jawab. Jakarta : Ghalia Indonesia.

1984.

Hamzah, Andi., Suandra, I Wayan., Manalu, B.A. Dasar-dasar Hukum Perumahan, Jakarta : Rineka Cipta, 2006.

Harahap, M. Yahya. Segi-segi Hukum Perjanjian. Bandung : Alumni, 1986.

.II. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993.

Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah. Jakarta : Djambatan. 2006.

Kuswahyono, Imam Hukum Rumah Susun Suatu Bekal Pengantar Pemahaman. Malang : Bayu Media. 2004.

Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya. 2002. Muhammad, Abdul Kadir. Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangann.

Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. 1991.


(3)

Muljadi, Kartini dan Widjaja, Gunawan. I. Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Jakarta. P.T RajaGrafindo Persada. 2004.

.II. Perikatan Pada Umumnya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2003. Perum Perumnas. Buku Panduan Penghuni Rusunawa. Medan :Perum Perumnas. 2007. . Profil Perusahaan Perum Perumnas Regional I. Medan: Perum Perumnas.

2007

PT. Pembangunan Perumahan. Juklak Rumah Susun Sederhana Sewa Martubung Medan. Medan : 2006.

Satrio, J. Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2001.

Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta : PT. Grasindo. 2000. Soenarno, “Peran Pemerintah Dalam Mewujudkan Hunian Vertikal Yang Ideal Bagi

Masyarakat Berpenghasilan Rendah”, makalah disampaikan pada Seminar Nasional Arsitektur Fakultas Teknik UGM, Yogyakarta : Fakultas Teknik UGM. 2004.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press, 1986. Shofie,Yusuf. Perlindungan Konsume., Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. 2000.

Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen. Hukum Perdata, Hukum Perutangan. Yogyakarta : Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 1980.

Subaya, Pepep Lukman. “Penerapan Prosedur Pembangunan dan Permukiman Yang Berwawasan Lingkungan Oleh Pengembang di Kotamadya Medan”, Tesis. Medan : PSL PPs-USU. 1997.

Subekti, R. I. Pembinaan Hukum Nasional. Bandung : Alumni. 1981. . II. Hukum Perjanjian, Jakarta : PT. Intermasa, 1976. Supriadi. Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika. 2007

Syahrin, Alvi. Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Permukiman Berkelanjutan. Medan : Pustaka Bangsa Press. 2003.


(4)

B. Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Diterjemahkan oleh R. Subekti, Cetakan ke-25. Jakarta: Pradnya Paramita. 1992.

Indonesia, Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 1985, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3318.

Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2006 tentang Perubahan Kelima Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Perubahan Keempat Atas Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2005 tentang Perubahan Ketiga Atas Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2005 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 Tentang Rumah Susun,

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1988, Tambahan Lembaran Negara 3372.

Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 1981 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 1963 Tentang Hubungan Sewa-Menyewa Perumahan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3208.

Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah.

Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 85 Tahun 2006 tentang Perubahan Keenam Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.


(5)

Indonesia, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Dan Hak Pengelolaan.

Indonesia, Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 7 Tahun 1996 tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing.

Indonesia, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 1 Tahun 1994 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Indonesia, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1987 tentang Penyediaan dan Pemberian Hak Atas Tanah Untuk Keperluan Perusahaan Pembangunan Perumahan.

Indonesia, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah Untuk Keperluan Perusahaan.

Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Surat Edaran Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 110-2871 tanggal 8 Oktober 1996 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing.

C. Internet

Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, “Perencanaan dan Pengalolaan Rumah Susun Sederhana”, http://www.pu.go.id.pdf, diakses 3 Maret 2007. Gunawan, Irwan. ”Kiat Pembangunan Rumah Susun Sederhana di Kota Metropolitan”,

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0410/14/ Properti.htm, dipublikasikan 14 Oktober 2004, diakses 16 April 2007.

Hermayulis. “Pengadaan Rumah untuk Masyarakat di Perkotaan dan Keberadaan Rumah Susun di Indonesia”. http://www.alunand.com, diakses tanggal 1 Oktober 2007


(6)

http://organisasi.org, “Pengertian dan Penjelasan Sewa Menyewa Dari Sisi Islam Definisi, Hukum, dan Contoh Kegiatan Sewa Menyewa Dasar”, dipublikasikan 2006, diakses tanggal 12 Juli 2007.

http://www.semarang.go.id, Standar Pelayanan Minimal Dinas Tata Kota dan Permukiman Kota Semarang, di akses tanggal 8 Juli 2007

http://dinasperumahan.jakarta.go.id/index.php?option=com_content&task=

section&id=5&Itemid=36, “Pengosongan Rumah”, dipublikasikan tanggal 14 Oktober 2005, diakses tanggal 14 Agustus 2007

Pusat Data dan Informasi Publik, ”Penanganan Rumah Susun Sederhana Sewa BelumOptimal”,

http://www.kimpraswil.go.id/index.asp/link=humas/news/2003/ppwl7031.htm l dipublikasikan 11 Juli 2003, diakses 16 April 2007.

Suryani, R. Lisa., dan Amy Marisa, Aspek-Aspek yang Mempengaruhi Masalah Permukiman di Perkotaan, www.usu.ac.id, diakses 3 Maret 2005.

Syamsuddin, Didi. “Jangan Pernah Remehkan Landasan Hukum Sewa-Menyewa”

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0211/19/ekonomi/jang31.htm,