Disharmonis Penghuni Pada Rumah Susun Sederhana Sewa (RuSuNaWa) Di Kota Tebing Tinggi

(1)

DISHARMONIS PENGHUNI PADA RUMAH SUSUN

SEDERHANA SEWA (RUSUNAWA)

DI KOTA TEBING TINGGI

SKRIPSI

Diajukan oleh:

ARIS PRASETYO

100901038

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(2)

ABSTRAK

Pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa (RuSuNaWa) yang dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum diperuntukkan dalam penyediaan hunian atau tempat tinggal layak huni dengan tarif sewa yang murah, bagi para keluarga berpenghasilan rendah agar bisa memperoleh hunian. Pengoperasian hunian RuSuNaWa itu sendiri telah berjalan dalam kurun waktu lima tahun. Selama dalam proses pengelolaan RuSuNaWa, pastinya para penghuni yang ada di rusunawa berasal dari berbagai macam latar belakang yang berbeda dan akhinya menetap menjadi satu tempat di RuSuNaWa. Pengelola dan penghuni selama berada di hunian RuSuNaWa tidak terlepas dari suatu interaksi sosial antar penghuni lainnya dan beberapa permasalahan yang ditimbulkan di lingkungan huniannya. Adanya tindakan-tindakan yang dilakukan para penghuni bersifat tidak sesuai dengan aturan yang berlaku di hunian tersebut. Kondisi disharmonis melekat pada para penghuni RuSuNaWa. Rumusan masalah dalam pnelitian ini adalah bagaimana ketidakharmonisan antar penghuni dan pengelola RuSuNaWa di Kota Tebing Tinggi. Manfaat penelitian ini diharapkan nantinya dapat menambah wawasan kajian ilmiah yang berkaitan dengan interaksi sosial sosial yang bersifat disharmonis serta memberikan manfaat untuk memahami permasalahan-permasalahan sosiologis yang muncul di masyarakat

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara mendalam, dan studi kepustakaan. Adapun yang menjadi unit analisa dan informan dalam penelitian ini adalah para penghuni dan pengelola rumah susun sederhana sewa (RuSuNaWa) Kota Tebing Tinggi. Interpretasi data dilakukan dengan menggunakan data-data yang didapat dari hasil observasi, wawancara mendalam, dan diinterpretasikan berdasarkan dukungan kajian pustaka sehingga dapat diambil suatu kesimpulan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa di hunian RuSuNaWa didiami oleh berbagai individu dengan latar belakang yang beragam mempengaruhi bagaimana cara para penghuni yang satu dengan yang lainnya saling berinteraksi. Interaksi sosial yang terjadi di hunian RuSuNaWa menghasilkan hubungan yang disharmonis, perlu diketahui bahwa sering terjadi konflik antar penghuni serta dengan pengelola RuSuNaWa itu sendiri. Konflik yang terjadi bisa dengan tetangga huniannya ataupun dalam satu blok hunian yang sama. Karakteristik dua unit blok hunian rusunawa juga saling berbeda, kecenderungan timbal balik antara hunian di blok a dan b terjadi, pada hunian blok a memiliki karakter para penghuni yang taat aturan, mempunyai sikap menghormati dengan para tetangga hunian serta memiliki kondisi lingkungan yang nyaman dan bersih. Hal sangat berbeda dialami oleh hunian yang berada di blok b memiliki karakter dimana para penghuninya sering terlibat dalam keributan, suka melanggar aturan yang telah ditetapkan, tidak jarang meraka para penghuni juga melawan pihak pengelola dalam hal pembayaran kewajiban mereka yang harusnya ditaati dan kesadaran akan menciptakan lingkungan hunian yang nyaman dan bersih pada hunian blok b tidak tercipta melainkan kesan negatif selalu ada melekat di hunian blok b. Pihak pengelola membandingkan kedua blok tersebut seperti siang dan malam.


(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT, atas segala limpahan rahmad dan hidayahn-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Disharmonis Penghuni Pada Rumah Susun Sederhana Sewa (RuSuNaWa) Di Kota Tebing Tinggi” disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Secara ringkas skripsi ini mendeskripsikan tentang bagaimana kondisi disharmonis yang dihadapi oleh para penghuni serta pengelola rumah susun sederhana sewa dalam kesehariannya menjalani aktivitas di hunian tersebut.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa dukungan dari berbagai pihak skripsi ini tidak akan terselesaikan. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dengan sepenuh hati, baik berupa ide, semangat, doa, bantuan moril maupun materil sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penghargaan yang tinggi dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada kedua orangtua tercinta Ayah saya Walimin dan Ibu saya Yuliani yang telah melahirkan dan membesarkan serta mendidik penulis dengan penuh kasih sayang dan kesabaran. Akhirnya inilah yang dapat saya berikan sebagai tanda ucapan terimakasih dan tanda bakti saya.

Dalam penulisan ini penulis menyampaikan penghargaan yang tulus dan ucapan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini kepada :


(4)

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara serta selaku dosen wali saya sejak tahun 2014.

2. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si, selaku ketua Departemen Sosiologi FISIP USU dan dosen pembimbing skripsi yang telah banyak mencurahkan waktu, tenaga, ide-ide dan pemikiran dalam membimbing penulis dari awal hingga penyelesaian penulisan skripsi ini.

3. Drs. Muba Simanihuruk, selaku Sekretaris Departemen Sosiologi FISIP USU dan dosen penguji skripsi yang telah bersedia menjadi penguji skripsi ini serta telah memberikan masukan-masukan dalam perbaikan skripsi ini. 4. Bapak Drs. Terang Kita Brahmana dan Ibu Dra. Rosmiani, M.A selaku

dosen wali penulis sejak tahun 2010 hingga 2015 yang telah memberi pelajaran dan arahan selama perkuliahan berlangsung hingga saat ini. 5. Segenap dosen, staff, dan seluruh pegawai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik, Universitas Sumatera Utara. Kak Fenni Khairifa dan Kak Betty yang telah cukup banyak membantu penulis selama masa perkuliahan dalam hal administrasi.

6. Bapak Walimin dan Ibu Yuliani yang saya sayangi, yang telah mencurahkan kasih sayangnya tiada terhingga dan tiada batasnya kepada saya, selalu memberikan doa dan nasehat, dan mendidik saya serta dukungan moril maupun materil kepada saya selama perkuliahan.

7. Saudara-saudara saya, Rahmad Hidayat dan Ardelia Nur Hasanah yang saya sayangi yang selalu memberikan doa dan semangat.


(5)

8. Sahabat-sahabat baik saya waktu SMA yang telah memberikan semangat suka maupun duka, Kiki, Hariz Handyka, Hendy, Danny, Yudi, Juvan, Fauzi.

9. Saudara-saudara dan sahabat-sahabat baik penulis yang senantiasa bekerja sama selama perkuliahan dan telah menjalani periode kepengurusan IMASI 2013-2014: Hilal (Sos 10), Aditya (Sos 10), Alaudin (Sos 10), Rahmadsyah (Sos10), Mulkan (Sos10), Fahmi (Sos10), Yoga (Sos 10) dan lainnya yang selalu memberi dukungan dan doanya.

10.Teman-teman PKL: Yamin (Sos 10), Johan (Sos 10), Tri Quari (Sos 10), Hening (Sos 10), Sempati (Sos 10), Hivo (Sos 10), Sonya (Sos 10), Natalia (Sos 10) dan yang lainnya yang telah memberi warna baru kepada saya selama perkuliahan dengan semua canda dan tawa yang ada.

11.Teman-teman Sosiologi 2010, Sugianto (Sos 10), Yuni (Sos 10), Rida (Sos 10), Yati (Sos 10), Syarifah (Sos 10), Dewi (Sos 10), Afriyani (Sos 10), Nurly (Sos 10), Feni (Sos 10), Ricky (Sos 10), Prayugo (Sos 10), Habib (Sos 10), Rifqi (Sos 10), Imam (Sos 10), Nurma (Sos 10).

12.Juliah Karolia Pinayungan (Sos 10) dan Septiana Putri Lubis (Sos 10), atas perhatian, dukungan, waktu, motivasi yang diberikan kepada penulis hingga penulis dapat menyelesaikan penelitian.

13.Bapak dan Ibu penghuni serta para pengelola hunian rusunawa yang telah memberikan informasi yang sangat dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini, serta atas waktu dan kesediaan yang telah diberikan kepada peneliti.


(6)

Penulis merasa bahwa dalam penulisan skripsi masih terdapat berbagai kekurangan dan keterbatasan, untuk itu penulis sangat mengharapkan masukan dan saran-saran yang sifatnya membangun demi perbaikan tulisan ini.

Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, harapan saya agar tulisan ini dapat berguna bagi pembacanya, dan akhir kata dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini.

Medan, Juni 2015 (Penulis)

ARIS PRASETYO NIM : 100901038


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 9

2.1 Interaksi Sosial ... 9

2.1.1 Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Dalam Interaksi Sosial ... 13

2.1.2 Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial ... 14

2.2 Konsep Prilaku Menyimpang Dalam Masyarakat ... 18

2.2.1 Teori Labeling (Pemberian Cap) ... 22

2.3 Habitus dan Lingkungan (habit and field) ... 23

2.4 Modernitas dan Identitas Pada Masyarakat Berisiko ... 28

2.5 Pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa ... 29


(8)

BAB III METODE PENELITIAN ... 36

3.1 Jenis Penelitian ... 36

3.2 Lokasi Penelitian ... 36

3.3 Unit Analisis dan Informan ... 37

3.3.1 Unit Analisis ... 37

3.3.2 Informan ... 37

3.3.3 Karakteristik Informan ... 38

3.4 Tehnik Pengumpulan Data ... 38

3.4.1 Teknik Pengumpulan Data Primer ... 38

3.4.2 Teknik Pengumpulan Data Sekunder ... 39

3.5 Interpretasi Data ... 40

3.6 Jadwal Kegiatan ... 40

3.7 Keterbatasan Penelitian ... 41

BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA ... 42

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 42

4.1.1 Keadaan Geografis Kelurahan ... 42

4.1.2 Luas Wilayah Kelurahan Menurut Penggunaanya ... 43

4.1.3 Sarana dan Prasarana Kelurahan ... 43

4.1.3.1 Sarana Kesehatan ... 43

4.1.3.2 Sarana Pendidikan ... 44

4.1.3.3 Sarana Peribadatan ... 44

4.1.3.4 Sarana Transportasi dan Komunikasi ... 45


(9)

4.1.3.6 Sarana Olahraga ... 46

4.1.4 Keadaan Penduduk di Tebing Tinggi ... 46

4.1.4.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin . 46 4.1.4.2Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan 47 4.1.4.3 Komposisi Penduduk RuSuNaWa Berdasarkan Suku Bangsa ... 47

4.1.4.4Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama ... 48

4.1.4.5Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 48

4.1.5 Ekonomi Masyarakat ... 49

4.1.5.1 Jumlah Pengangguran di Kelurahan Tebing Tinggi... 49

4.1.5.2 Kemiskinan di Kelurahan Tebing Tinggi ... 50

4.1.6 Deskripsi Hunian RuSuNaWa ... 51

4.1.6.1 Keadaan Geografis Hunian RuSuNaWa ... 51

4.1.6.2 Luas Wilayah RuSuNaWa Berdasarkan Penggunaan ... 52

4.1.7 Sarana di Hunian RuSuNaWa ... 52

4.1.8 Keadaan Penduduk di RuSuNaWa Kota Tebing Tinggi 53 4.1.8.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin . 53 4.1.8.2 Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama ... 53

4.1.8.3 Komposisi Penduduk RuSuNaWa Berdasarkan Etnis dan Suku Bangsa ... 54


(10)

Tingkat Pendidikan ... 54 4.1.8.5 Komposisi Penduduk RuSuNaWa Berdasarkan Jenis Pekerjaan ... 55

4.2 Profil Informan ... 56 4.3 Kondisi Sosial di Hunian RuSuNaWa Kota Tebing Tinggi . 69 4.3.1Kehidupan di RuSuNaWa dan Hunian Sebelumnya ... 70 4.3.2Masyarakat Luar Memberi Label Adanya

Keberadaan RuSuNaWa ... 72 4.3.3 Rasa Aman Dan Nyaman Yang Diperoleh Penghuni .. 76 4.4 RuSuNaWa Blok A dan Blok B ... 80 4.4.1 Satu Tempat Hunian RuSuNaWa Berbeda Kondisi .... 80 4.4.2 Hubungan Keterikatan Di Antara Para Penghuni

Dalam Kesehariannya ... 88 4.5 Interaksi Sosial Yang Terjalin di RuSuNaWa ... 92

4.5.1 Proses Interaksi Dengan Para Penghuni Bersifat

Disharmonis ... 93 4.5.2 Interaksi Penghuni Dengan Pengelola RuSuNaWa

Bersifat Disharmonis ... 99 4.5.3 Kegiatan Sosial Yang Dilakukan Penghuni RuSuNaWa 107 4.6 Bentuk Interaksi Yang Mempererat Hubungan Di Antara

Para Penghuni ... 111 4.6.1 Kesadaran Pentingnya Kerjasama Bersifat Sukarela ... 111 4.6.2 Toleransi Oleh Para Penghuni RuSuNaWa ... 118 4.6.3 Penyelesaian Konflik Dengan Cara Akomodasi ... 121


(11)

4.7 Bentuk Interaksi Yang Merusak Hubungan Diantara

Para Penghuni ... 124

4.7.1 Persaingan Antar Penghuni ... 124

4.7.2 Kontravensi Dalam Mencapai Tujuan ... 126

4.7.3 Pertentangan Antar Penghuni RuSuNaWa ... 127

4.7 Faktor Hambatan Dalam Interaksi Sosial Sesama Penghuni RuSuNaWa ... 128

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 131

5.1 Kesimpulan ... 131

5.2 Saran ... 133

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Batas Wilayah Kota Tebing Tinggi ... 1

Tabel 1.2 Presentase Perseberan Penduduk Kota Tebing Tinggi ... 2

Tabel 3.1 Jadwal Kegiatan ... 40

Tabel 4.1 Sarana Kesehatan Kelurahan Tebing Tinggi ... 44

Tabel 4.2 Sarana Pendidikan Kelurahan Tebing Tinggi ... 44

Tabel 4.3Sarana Peribadatan Kelurahan Tebing Tinggi ... 45

Tabel 4.4 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 46

Tabel 4.5 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan ... 47

Tabel 4.6 Komposisi Penduduk Berdasarkan Etnis dan Suku Bangsa ... 48

Tabel 4.7 Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama ... 48

Tabel 4.8 Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 49

Tabel 4.9 Jumlah Pengangguran Kelurahan Tebing Tinggi... 50

Tabel 4.10 Jumlah Keluarga Miskin Kelurahan Tebing Tinggi ... 50

Tabel 4.11 Sarana di Hunian RuSuNaWa ... 52

Tabel 4.12 Jumlah Penduduk RuSuNaWa Berdasarkan Jenis Kelamin ... 53

Tabel 4.13 Komposisi Penduduk RuSuNaWa Berdasarkan Agama ... 53

Tabel 4.14 Komposisi Penduduk RuSuNaWa Berdasarkan Etnis dan Suku Bangsa ... 54

Tabel 4.15 Tingkat Pendidikan Penduduk RuSuNaWa Tebing Tinggi ... 55 Tabel 4.16 Komposisi Penduduk RuSuNaWa Berdasarkan Jenis Pekerjaan 55


(13)

ABSTRAK

Pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa (RuSuNaWa) yang dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum diperuntukkan dalam penyediaan hunian atau tempat tinggal layak huni dengan tarif sewa yang murah, bagi para keluarga berpenghasilan rendah agar bisa memperoleh hunian. Pengoperasian hunian RuSuNaWa itu sendiri telah berjalan dalam kurun waktu lima tahun. Selama dalam proses pengelolaan RuSuNaWa, pastinya para penghuni yang ada di rusunawa berasal dari berbagai macam latar belakang yang berbeda dan akhinya menetap menjadi satu tempat di RuSuNaWa. Pengelola dan penghuni selama berada di hunian RuSuNaWa tidak terlepas dari suatu interaksi sosial antar penghuni lainnya dan beberapa permasalahan yang ditimbulkan di lingkungan huniannya. Adanya tindakan-tindakan yang dilakukan para penghuni bersifat tidak sesuai dengan aturan yang berlaku di hunian tersebut. Kondisi disharmonis melekat pada para penghuni RuSuNaWa. Rumusan masalah dalam pnelitian ini adalah bagaimana ketidakharmonisan antar penghuni dan pengelola RuSuNaWa di Kota Tebing Tinggi. Manfaat penelitian ini diharapkan nantinya dapat menambah wawasan kajian ilmiah yang berkaitan dengan interaksi sosial sosial yang bersifat disharmonis serta memberikan manfaat untuk memahami permasalahan-permasalahan sosiologis yang muncul di masyarakat

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara mendalam, dan studi kepustakaan. Adapun yang menjadi unit analisa dan informan dalam penelitian ini adalah para penghuni dan pengelola rumah susun sederhana sewa (RuSuNaWa) Kota Tebing Tinggi. Interpretasi data dilakukan dengan menggunakan data-data yang didapat dari hasil observasi, wawancara mendalam, dan diinterpretasikan berdasarkan dukungan kajian pustaka sehingga dapat diambil suatu kesimpulan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa di hunian RuSuNaWa didiami oleh berbagai individu dengan latar belakang yang beragam mempengaruhi bagaimana cara para penghuni yang satu dengan yang lainnya saling berinteraksi. Interaksi sosial yang terjadi di hunian RuSuNaWa menghasilkan hubungan yang disharmonis, perlu diketahui bahwa sering terjadi konflik antar penghuni serta dengan pengelola RuSuNaWa itu sendiri. Konflik yang terjadi bisa dengan tetangga huniannya ataupun dalam satu blok hunian yang sama. Karakteristik dua unit blok hunian rusunawa juga saling berbeda, kecenderungan timbal balik antara hunian di blok a dan b terjadi, pada hunian blok a memiliki karakter para penghuni yang taat aturan, mempunyai sikap menghormati dengan para tetangga hunian serta memiliki kondisi lingkungan yang nyaman dan bersih. Hal sangat berbeda dialami oleh hunian yang berada di blok b memiliki karakter dimana para penghuninya sering terlibat dalam keributan, suka melanggar aturan yang telah ditetapkan, tidak jarang meraka para penghuni juga melawan pihak pengelola dalam hal pembayaran kewajiban mereka yang harusnya ditaati dan kesadaran akan menciptakan lingkungan hunian yang nyaman dan bersih pada hunian blok b tidak tercipta melainkan kesan negatif selalu ada melekat di hunian blok b. Pihak pengelola membandingkan kedua blok tersebut seperti siang dan malam.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kota Tebing Tinggi adalah adalah satu dari tujuh kota yang ada di Provinsi Sumatera Utara, yang berjarak sekitar 78 kilometer dari Kota Medan. Kota Tebing Tinggi terletak pada 3°19’-3°21’ LU dan 98°11’-98°21’ BT. Kota Tebing Tinggi terdiri dari 5 kecamatan dan 35 kelurahan dengan luas wilayah 38.438 km2. Kecamatan Padang Hilir merupakan kecamatan yang terluas dengan luas 11.441 km2 atau 29,76% dari luas Kota Tebing Tinggi. Batas wilaya

Tabel 1.1 Batas Wilayah Kota Tebing Tinggi

Bagian Wilayah

Sebelah Utara PTPN III Kebun Rambutan, Kabupaten Serdang Bedagai

Sebelah Timur PT. Socfindo Kebun Tanah Besih, Kabupaten Serdang Bedagai Sebelah Selatan PTPN IV Kebun Pabatu , Kabupaten Serdang Bedagai

Sebelah Barat PTPN III Kebun G

unung Pamela Bandar Bejambu , Kabupaten Serdang Bedagai Sumber: Data BPS Kota Tebing Tinggi 2012

Berdasarkan Data BPS Kota Tebing Tinggi, pada pertengahan tahun 2011 jumlah penduduk Kota Tebing Tinggi sebanyak 146.606 jiwa dengan jumlah rumah tangga sebanyak 35.232 rumah tangga. Dengan luas wilayah Kota Tebing Tinggi yang hanya 38.438 km2, tingkat kepadatan penduduk kota Tebing Tinggi mencapai 3,81 jiwa/km2. Presentase persebaran penduduk di Kota Tebing Tinggi:


(15)

Tabel 1.2 Presentase Perseberan Penduduk Kota Tebing Tinggi

Wilayah Penduduk (jiwa) Presentase (%)

Kecamatan Bajenis 33.411,50 jiwa 22,79%

Kecamatan Rambutan 31.798,84 jiwa 21,69%

Kecamatan Padang Hilir 30.318,12 jiwa 20,68%

Kecamatan Padang Hulu 26.975,50 jiwa 18,40%

Kecamatan Tebing Tinggi Kota 24.102,02 jiwa 16,44%

Jumlah penduduk 146.606 jiwa 100%

Sumber: Data BPS Kota Tebing Tinggi 2011

Di tahun 2011 di Kota Tebing Tinggi terdapat 36.171 keluarga yang terdiri dari 313 Keluarga Pra Sejahtera dan 35.858 Keluarga Sejahtera. Keluarga Sejahtera terdiri dari 7.301 Keluarga Sejahtera I, 11.993 Keluarga Sejatera II, dan 14.192 Keluarga Sejahtera III, dan 2.372 Keluarga Sejahtera III+. Hal ini mengindikasikan bahwa ada 0,86% keluarga di Kota Tebing Tinggi yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasar secara minimal seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pengajaran dan agama sedangkan untuk keluarga yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimal ada 99,13%. Di tahun 2008 terdapat 23.070 penduduk miskin, di tahun 2009 terdapat 25.030 penduduk miskin, dan tahun 2010 18.900 jiwa.

Wilayah perkotaan dengan kompleksitas segala permasalahan yang ada, seperti halnya jumlah penduduk yang mendiami wilayah perkotaan semakin bertambah seiring waktu. Secara umum masyarakat berlomba-lomba untuk datang ke wilayah perkotaan untuk memperoleh suatu profesi pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Anggapan mendasar bahwa di wilayah kota masyarakat bisa mudah mendapatkan pekerjan yang layak, tidak jarang banyak masyarakat yang harus melakukan urbanisasi ke wilayah kota. Efek secara panjang dari fenomena


(16)

urbanisasi ini yaitu berlebihnya jumlah penduduk yang mendiami suatu wilayah tertentu sehingga menciptakan suatu permasalahan baru di masa mendatang.

Dengan luas wilayah lahan yang terbatas serta wilayah yang dijadikan sentral kegiatan perekonomian menciptakan suatu kelangkaan suatu lahan yang membuat harga lahan manjadi melambung tinggi. Harga lahan yang tinggi akan menjadikan masyarakat merasa sulit untuk memperolehnya dikarenakan tidak semua warga masyarakat memiliki perekonomian yang memadai. Selain langka dan mahalnya harga lahan/tanah di wilayah kota untuk pembangunan perumahan, beberapa permasalahan mendasar berupa: beban biaya yang tinggi dalam pengurusan proses perizinan (izin pemanfaatan ruang, lokasi, sertifikasi tanah dan mendirikan bangunan), beban pajak, keterbatasan sarana prasarana dan utilitas (PSU). Perlu diingat bahwa kebutuhan mendasar manusia memiliki tiga aspek yaitu: pangan, sandang dan papan. Kebutuhan dasar tersebut harus dipenuhi bagi setiap manusia dan terlepas dari kebutuhan yang lainnya setelah kebutuhan dasar terpenuhi terlebih dahulu.

Kecenderungan yang ada saat ini bahwa di wilayah kota memiliki permukiman kumuh (Slum Area) yang biasanya berada pada daerah aliran sungai (DAS), jalur rel kereta api, dan lainnya. Hal tersebut diakibatkan oleh ketidakmampuan masyarakat untuk memiliki hunian berupa rumah yang memiliki harga yang relatif tinggi, sehingga masyarakat menengah kebawah (miskin) tidak sanggup memenuhi kebutuhan papan yang layak huni. Dengan adanya kawasan kumuh menciptakan kondisi yang tidak nyaman, kesemrawutan dan jauh dari nilai keindahan serta akan menciptakan suatu lingkungan yang rawan akan tindakan


(17)

kejahatan. Terlebih lagi bahwa pendirian bangunan tanpa izin dari pihak terkait merupakan contoh dari tindakan melanggar hukum.

Pemerintah dalam hal ini berperan mensejahterakan masyarakat, berupaya memberikan program terbaik untuk menyelesaikan suatu masalah. Salah satunya yaitu memenuhi kebutuhan dasar setiap individu yaitu pemenuhan kebutuhan papan yaitu hunian (rumah). Untuk mendekatkan kembali masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah ke pusat aktivitas kesehariannya dan mencegah tumbuhnya kawasan kumuh (Slum Area) di perkotaan, maka direncanakan suatu pembangunan hunian secara vertikal berupa rumah susun

(Flat). Dengan intensitas bangunan tinggi, diharapkan dapat mendorong pemanfaatan lahan lebih efisien dan efektif.

Pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa (RUSUNAWA) ini dapat mempercepat pemenuhan kebutuhan rumah layak huni yang terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), peningkatan efisiensi penggunaan tanah sesuai peruntukan tata ruang, serta meningkatkan daya tampung, mobilitas, produktivitas, dan daya saing kota. Salah satunya pembangunan RUSUNAWA di Kota Tebing Tinggi yang beralamat lengkap pada Jl. Syech Beringin, Kelurahan Tebing Tinggi, Kecamatan Padang Hilir. Sejak tahun 2010 RUSUNAWA tersebut telah beroperasi dan ditujukan untuk ditempati oleh masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sebanyak 192 kepala keluarga. Bangunan terdiri dari 2 blok dan 5 lantai. Tipe RUSUNAWA adalah tipe 24 yang terdiri dari 1 kamar, ruang tamu, kamar mandi, dapur, dan balkon (tempat jemuran).


(18)

Berdasarkan keadaan nyata dilapangan, bahwa saat ini rumah susun sederhana sewa (RUSUNAWA) yang semula bisa dihuni oleh 192 kepala keluarga sekarang kondisinya hanya bisa dihuni sebanyak 172 kepala keluarga. Hal ini disebabkan sekitar 20 kamar hunian mengalami kerusakan akibat dari kesalahan penggunaan. Penghuni RUSUNAWA tidak memperdulikan kondisi lingkungan huniannya, minim akan perawatan. Hal ini bisa dilihat dari lingkungan hunian yang tampak kumuh, kotor dan tidak nyaman. Disisi lain juga penghuni memiliki budaya sosial yang terkesan individualis, tidak peduli dengan sekitar dan kurang harmonis antar penghuni yang mendiami lingkungan hunian tersebut.

RUSUNAWA dihuni oleh masyarakat yang memiliki berbagai karakter latar belakang pendidikan, kebudayaan, agama, etnis, ras yang berbeda sehingga akan memaksa penghuni yang mendiami tempat tersebut untuk menjaga jarak dengan penghuni lainnya. pada akhirnya sangat mempengaruhi proses interaksi yang terjalin antar pengelola maupun antar penghuni. Penghuni yang ada sebelumnya tidak saling mengenal sehingga pada saat telah mendiami hunian itu, mereka belum bisa saling percaya sepenuhnya kepada individu lain. Desain hunian bangunan yang minim serta berorientasi pada konsep pembangunan secara vertikal ditujukan untuk dapat menampung secara maksimal seluruh penghuni yang ada, sehingga terbangun suatu hubungan lahiriah diantara para penghuninya karena mereka tinggal di tempat yang sama. Hubungan yang terjalin merupakan konsekuensi logis dari persinggungan yang tidak sengaja. Tradisi tegur sapa, senda gurau, serta kerja sama sangat lah minim karena pada dasarnya individu di sibukkan pada aktivitas pekerjaan di luar. Dengan latar belakang penghuni merupakan masyarakat yang berada pada golongan menengah ke bawah


(19)

yaitu miskin sehingga adanya suatu kecenderungan sikap tidak peduli pada lingkungan tempat tinggalnya, mereka hanya berpikir pada pemenuhan kebutuhan hidup mereka sendiri. Sikap individu lebih dominan terjadi pada masyarakat yang tinggal di hunian ini.

Penyediaan ruang terbuka untuk dapat digunakan bersama oleh penghuni, seperti ruang pertemuan dan taman bermain merupakan suatu konsep untuk memberikan ruang interaksi bagi penghuninya dengan mengadakan berbagai kegiatan yang menunjang dalam proses berinteraksi. Setiap penghuni yang mendiami tempat tersebut berperan serta dalam segala kegiatan yang positif untuk kawasan daerah tempat tinggalnya seperti menjaga hubungan yang baik antara penghuni dan pengelola, hubungan antar penghuni yang ada serta menjaga segala fasilitas sarana dan prasarana yang telah menunjang di RUSUNAWA.

Kondisi bangunan RuSuNaWa yang kotak menjulang ke atas serta rumah berdekatan memberikan berbagai kemungkinan dalam proses interaksi sosial yang diwujudkan dalam sikap-sikap asosiatif maupun disosiatif baik dengan sesama penghuni maupun dengan pengelola RuSuNaWa. Interaksi sosial terjalin di semua lapisan masyarakat dan tidak ada manusia yang tidak berinteraksi dengan orang lain, tetapi pada kenyataannya interaksi yang terjalin pada masyarakat perkotaan lebih cenderung individual dan hal tersebut sedikit banyak juga berpengaruh pada penghuni RUSUNAWA yang kehidupannya sudah mengikuti perkembangan perkotaan.


(20)

Berangkat dari kondisi latar belakang seperti yang telah diuraikan, peneliti tertarik melakukan kajian sosiologis untuk dijadikan sebuah skripsi dengan judul “Disharmonis Antar Penghuni Pada Rumah Susun Sederhana Sewa (RUSUNAWA) di Kota Tebing Tinggi”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dan latar belakang di atas, maka peneliti membuat rumusan masalah berdasarkan fokus penelitian. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana ketidakharmonisan antar penghuni Rumah Susun Sederhana Sewa (RUSUNAWA) di Kota Tebing Tinggi ?

2. Bagaimana ketidakharmonisan antar penghuni dan pengelola Rumah Susun Sederhana Sewa (RUSUNAWA) di Kota Tebing Tinggi ?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui ketidakharmonisan antar penghuni Rumah Susun Sederhana Sewa (RUSUNAWA) di Kota Tebing Tinggi.

2. Untuk mengetahui ketidakharmonisan antar penghuni dan pengelola Rumah Susun Sederhana Sewa (RUSUNAWA) di Kota Tebing Tinggi.


(21)

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan nantinya dapat menambah wawasan kajian ilmiah yang berkaitan dengan interaksi sosial sosial antar penghuni rumah susun sederhana sewa (RUSUNAWA) di Kota Tebing Tinggi serta dapat memberikan data pendukung bagi kajian ilmu pengetahuan sosial khususnya dalam sosiologi perkotaan.

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat untuk memahami permasalahan-permasalahan sosiologis yang muncul di masyarakat dan diharapkan menjadi referensi penunjang bagi instansi-instansi terkait perihal pengambilan kebijakan oleh pemerintah dalam penanganan masalah yang timbul sebagai dampak dari perkembangan kota.


(22)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Interaksi Sosial

Dalam kehidupan bersama, antar individu satu dengan individu lainnya terjadi hubungan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Melalui hubungan itu individu ingin menyampaikan maksud, tujuan dan keinginannya masing-masing. Gillin & Gillin (1954:489) interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis, menyangkut hubungan antara individu, antara kelompok maupun antara individu dengan kelompok. Interaksi terjadi apabila seorang individu melakukan tindakan, sehingga menimbulkan reaksi dari individu-individu yang lain, karena itu interaksi terjadi dalam suatu kehidupan sosial.

Hubungan-hubungan sosial itu pada awalnya merupakan proses penyesuaian nilai-nilai sosial dalam kehidupan sosial, kemudian meningkat menjadi semacam pergaulan yang tidak hanya sekedar pertemuan secara fisik, melainkan merupakan pergaulan yang ditandai adanya saling mengerti tentang maksud dan tujuan masing-masing pihak yang terjadi dalam hubungan sosial tersebut.

Di dalam kehidupan bermasyarakat, setiap individu terikat dalam struktur-struktur sosial yang ada dalam masyarakatnya. Setiap struktur-struktur sosial mengatur kedudukan masing-masing individu dalam kaitannya kedudukan-kedudukan dari individu yang lain yang secara keseluruhan memperhatikan corak-corak tertentu yang berada dari struktur sosial yang lain.


(23)

Kebutuhan individu akan individu lain mendorong dirinya untuk belajar pola-pola, rencana-rencana dan strategi untuk bergaul dengan individu yang lain. Individu pun mulai belajar memainkan peranan sesuai dengan status yang diakui oleh lingkungan sosialnya. Status dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu status yang diperoleh dengan sendirinya (ascribed status) dan status yang diperoleh dengan kerja keras atau diusahakan (achieved status). Status otomatis

(ascribed status) merupakan status yang diterima individu secara otomatis sejak individu itu dilahirkan, hal ini bisasanya terjadi karena kedudukan orang tuanya sebagai orang yang terpandang atau bangsawan. Status disengaja (achieved status) merupakan status yang dicapai individu melalui usaha-usaha yang disengaja, hal ini tampak dalam usaha pencapaian cita-cita atau profesi sebagai guru, dokter dan banyak lainnya (Sunarto:2000).

Sebagai mahluk sosial manusia membutuhkan individu lain ntuk memenuhi segala kebutuhannya, dari sinilah terbentuk kelompok-kelompok yaitu suatu kehidupan bersama individu dalam suatu ikatan, dimana dalam suatu ikatan tersebut terdapat interaksi sosial dan ikatan organisasi antar masing-masing anggotanya (Soekanto,2001:128). Dalam proses sosial, interaksi sosial merupakan sarana dalam melakukan hubungan dengan lingkungan sekitarnya.

Ciri-ciri hubungan sosial pada masyarakat khususnya masyarakat kota memiliki hubungan sosial yang longgar, hal ini karena kota merupakan pemukiman yang relatif besar, padat dan permanen, dihuni oleh orang-orang yang heterogen kedudukan sosialnya, selain hubungan sosial yang longgar ciri-ciri hubungan sosial yang lain adalah solidaritas organik (rasa bersatu atas dasar


(24)

kontrak atau perjanjian), pembagian kerja komplek, dan sanksi sosial berdasarkan hukum.

Dalam hal ini interaksi menurut pendapat Young (Gunawan, 2000:31) adalah kontak timbal balik antara dua orang atau lebih. Sedangkan menurut psikologi tingkahlaku (Behavioristic Psychology), interaksi sosial berisikan saling perangsangan dan pereaksian antara kedua belah pihak individu.

Hubungan sosial masyarakat juga tidak terlepas dari corak hubungan kerjasama, hubungan persaingan, dan corak hubungan konflik. Ketiga corak hubungan itu akan mewarnai kehidupan masyarakat kota yang cenderung tidak saling mengenal satu dengan yang lain karena kepentingan-kepentingan yang berbeda.

Individu hanya mempunyai hubungan sosial dengan individu-individu tertentu karena individu tersebut mempunyai kepentingan yang sama. Dalam kehidupan sosial yang terkecil, seorang individu berhubungan sosial antara warga penghuni rumah susun sederhana sewa di mana ia berada pada lingkungan sosial tersebut. Pada tingkat berikutnya, hubungan sosial diperluas menjadi hubungan bertetangga yang tinggal berdekatan dengan ruangnya ataupun bersebrangan dengan bangunan yang dihuni. Hubungan bertetangga di kota tidak seintim hubungan sosial pada masyarakat desa yang cenderung saling mengenal satu dengan yang lain, serta mempunyai rasa bersatu yang biasanya dikuatkan dengan sentimen-sentimen kelompok. Dalam hal ini, hubungan sosial bertetangga diartikan sebagai kesatuan tempat tinggal yang menempati suatu wilayah tertentu yang batas-batasnya ditentukan luasnya jaringan sosial di lingkungan tempat tinggal yang berdekatan yang dalam hal ini ialah hunian rumah susun sederhana


(25)

sewa. Pola-pola hubungan (interaksi) sosial yang teratur dapat terbentuk apabila ada tata kelakuan atau perilaku dan hubungan yang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat. Sistem itu merupakan pranata sosial yang didalamnya terdapat nilai-nilai dan norma-norma yang dipedomani serta ada lembaga sosial yang mengurus pemenuhan kebutuhan masyarakat sehingga interaksi sosial dalam masyarakat dapat berjalan secara teratur. Menurut Bales dan Homans dalam Santoso (2004:10), pada hakekatnya manusia memiliki sifat yang dapat digolongkan ke dalam :

a. Manusia sebagai makhluk individual, b. Manusia sebagai makhluk sosial, dan c. Manusia sebagai makhluk berkebutuhan.

Menurut Kimbal Young dan Raymond dalam Soekanto (1970:192) mengatakan bahwa interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena itu tanpa interaksi sosial tak akan mungkin ada kehidupan bersama. Bertemunya orang perorang secara badaniah belaka tidak akan menghasilkan pergaulan hidup dalam suatu kelompok sosial. Pergaulan hidup semacam itu baru akan terjadi apabila orang-orang, perorangan atau kelompok-kelompok manusia bekerjasama, saling berbicara dan seterusnya untuk mencapai suatu tujuan bersama, mengadakan persaingan, pertikaian dan lain sebagainya.

Selanjutnya dalam penelitian skripsi ini yang dimaksud dengan interaksi sosial adalah suatu proses hubungan sosial yang dinamis baik dilakukan oleh perorangan maupun kelompok manusia sehingga terjadi hubungan yang timbal balik antara individu atau kelompok yang satu dengan yang lain agar terjadi perubahan di dalam lingkungan masyarakat.


(26)

2.1.1 Faktor-Faktor yang Berpengaruh dalam Interaksi Sosial

Dalam interaksi sosial terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi tersebut, yaitu faktor yang menentukan berhasil atau tidaknya interaksi tersebut (Santoso, 2004:12). Faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi sosial sebagai berikut:

a. Situasi sosial, memberi bentuk tingkah laku terhadap individu yang berada dalam situasi tersebut. Misalnya, apabila berinteraksi dengan individu lainnya yang sedang dalam keadaan berduka, pola interaksi yang dilakukan apabila dalam keadaan yang riang atau gembira, dalam hal ini tampak pada tingkah laku individu yang harus dapat menyesuaikan diri terhadap situasi yang dihadapi,

b. Kekuasaan norma-norma kelompok, sangat berpengaruh terhadap terjadinya interaksi sosial antar individu. Misalnya, individu yang menaati norma-norma yang ada dalam setiap berinteraksi individu tersebut tak akan pernah berbuat suatu kekacauan, berbeda dengan individu yang tidak menaati norma-norma yang berlaku, individu itu pasti akan menimbulkan kekacauan dalam kehidupan sosialnya, dan kekuasaan norma itu berlaku untuk semua individu dalam kehidupan sosialnya.

c. Tujuan pribadi masing-masing individu. Misalnya setiap individu tentunya punya tujuan yang dicapai dalam berinteraksi, seseorang penghuni melaporkan suatu permasalahan huniannya kepada pihak pengolala dengan tujuan agar masalah cepat teratasi.

d. Setiap individu berinteraksi sesuai dengan kedudukan dan kondisinya yang bersifat sementara. Pada dasarnya status atau kedudukan yang dimiliki


(27)

oleh setiap individu adalah bersifat sementara, misalnya seorang warga yang biasa berinteraksi dengan ketua RT, maka dalam hubungan itu terlihat adanya jarak antara seorang yang tidak memiliki kedudukan yang menghormati orang yang memiliki kedudukan dalam kelompok sosialnya. e. Ada penafsiran situasi, dimana setiap situasi mengandung arti bagi setiap

individu sehingga mempengaruhi individu untuk melihat dan menafsirkan situasi tersebut. Misalnya, apabila ada teman yang terlihat murung atau suntuk, individu lain harus bisa membaca situasi yang sedang dihadapainya, dan tidak seharusnya individu lain tersebut terlihat bahagia dan cerita dihadapannya. Bagaimanapun individu harus bisa menyesuaikan diri dengan keadaan dengan keadaan yang sedang dihadapi dan berusaha untuk membantu menafsirkan situasi yang tak diharapkan menjadi situasi yang diharapkan.

2.1.2 Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial

Interaksi sosial adalah bentuk utama dari proses sosial, yaitu pengaruh timbal-balik antara berbagai bidang kehidupan bersama. Menurut Soekanto (2001:76-107) interaksi sosial merupakan bentuk yang tampak apabila orang saling mengadakan hubungan, baik secara individu maupun secara kelompok. Bentuk interaksi sosial memiliki dua jenis yaitu: interaksi sosial yang bersifat asosiatif dan interaksi sosial yang bersifat disosiatif.

Interaksi sosial asosiatif merupakan hubungan yang bersifat positif, artinya hubungan ini dapat mempererat atau memperkuat jalinan atau solidaritas kelompok sedangkan interaksi sosial disosiatif merupakan hubungan yang bersifat


(28)

negatif, artinya hubungan ini dapat merenggangkan atau menggoyahkan jalinan atau solidaritas kelompok yang telah terbangun. Adapun bentuk-bentuk interaksi sosial yang sifatnya asosiatif meliputi: kerja sama (cooperation), akomodasi (accomodation), asimilasi (assimilition), dan akulturasi (acculturation). Bentuk interaksi yang sifatnya disosiatif meliputi: persaingan (competition), kontravensi (contravention) dan pertentangan (conflict)).

Beberapa bentuk interaksi sosial asosiatif meliputi : 1. Kerjasama (cooperation)

Kerjasama adalah suatu usaha bersama antar individu atau kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Kerjasama timbul apabila seseorang menyadari memiliki kepentingan dan tujuan yang sama, serta menyadari bahwa hal tersebut bermanfaat bagi dirinya atau orang lain. Kerja sama timbul karena orientasi individu terhadap kelompoknya (in group) dan orientasi individu terhadap kelompok lainnya (out group).

2. Akomodasi (accomodation)

Istilah akomodasi dipergunakan dalam dua arti yaitu untuk menunjuk pada suatu keadaan dan untuk menunjuk pada suatu proses (Young dan Raymond, 1959:146). Akomodasi yang menunjuk pada suatu keadaan, berarti adanya suatu keseimbangan (equilibrium) dalam interaksi antara orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Sebagai suatu proses, akomodasi menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan yaitu usaha-usaha untuk mencapai kesetabilan.


(29)

3. Asimilasi (Assimilition)

Asimilasi merupakan bentuk proses sosial yang ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan di antara orang-orang atau kelompok manusia. Mereka tidak lagi merasa sebagai kelompok yang berbeda sebab mereka lebih mengutamakan kepentingan dan tujuan yang akan dicapai bersama. Bila kedua kelompok masyarakat telah mengadakan asimilasi, batas antara kedua kelompok masyarakat itu dapat hilang dan keduanya berbaur menjadi satu kelompok.

4. Akulturasi (acculturation)

Akulturasi adalah proses sosial yang timbul apabila terjadi percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling memengaruhi. Dalam akulturasi, sebagian menyerap secara selektif sedikit atau banyak unsur kebudayaan asing itu, sebagian berusaha menolak pengaruh itu.

Beberapa bentuk interaksi sosial disosiatif meliputi :

1. Persaingan (competition)

Persaingan adalah suatu perjuangan (struggle) dari pihak-pihak untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Suatu ciri dari persaingan adalah perjuangan menyingkirkan pihak lawan itu dilakukan secara damai atau secara fair Play, artinya selalu menjunjung tinggi batas-batas yang diharuskan. Persaingan dapat terjadi dalam segala bidang kehidupan, misalnya bidang ekonomi, bidang kekuasaan, bidang percintaan, dan sebagainya. Persaingan dalam mana meliputi


(30)

beberapa pihak yang melakukan persaingan, pihak-pihak yang berkompetisi (bersaing) disebut saingan (rivalry) Taneko (1990:121).

2. Kontravensi (contravention)

Kontravensi berasal dari kata Latin, conta dan venire, yang berarti menghalangi atau menantang. Dalam kontravensi dikandung usaha untuk merintangi pihak lain mencapai tujuan. Yang diutamakan dalam kontravensi adalah menggagalkan tercapainya tujuan pihak lain. Hal ini didasari oleh rasa tidak senang karena keberhasilan pihak lain yang dirasakan merugikan, walaupun demikian tidak terdapat maksud untuk menghancurkan pihak lain. Narwoko dan Suyanto (2010:70).

3. Pertentangan atau Pertikaian (conflict)

Konflik adalah suatu proses sosial yang berlangsung dengan melibatkan orang-orang atau kelompok-kelompok yang saling menantang dengan ancaman kekerasan (Narwoko dan Suyanto, 2010:68). Konflik terjadi karena adanya perbedaan pendapat, perasaan individu, kebudayaan, kepentingan, baik kepentingan individu maupun kelompok, dan terjadi perubahan-perubahan sosial yang cepat yang menimbulkan disorganisasi sosial. Perbedaan-perbedaan ini akan memuncak menjadi pertentangan karena keinginan-keinginan individu tidak dapat diakomodasikan.

Berbagai macam bentuk interaksi ini sering terjadi dalam lingkungan masyarakat, sehingga di dalam berinteraksi terdapat kerjasama, persaingan


(31)

ataupun pertikaian. Dengan demikian aktivitas sosial itu terjadi karena adanya aktivitas dari individu dalam hubungannya dengan individu yang lain.

2.2 Konsep Perilaku Menyimpangan Dalam Masyarakat

Fenomena perilaku menyimpang dalam kehidupan bermasyarakat memang menarik untuk dibicarakan. Perilaku menyimpang itu adalah perilaku dari para warga masyarakat yang dianggap tidak sesuai dengan kebiasaan, tata aturan atau norma sosial yang berlaku. Secara sederhana kita memang dapat mengatakan, bahwa seseorang berperilaku menyimpang apabila menurut anggapan sebagian besar masyarakat (minimal disuatu kelompok atau komunitas tertentu) perilaku atau tindakan tersebut diluar kebiasaan, adat istiadat, aturan, nilai-nilai atau norma sosial yang berlaku.(Narwoko, 2010:98)

Tindakan menyimpang yang dilakukan orang-orang tidak selalu berupa tindak kejahatan besar, seperti merampok, korupsi, menganiaya atau membunuh. Melainkan bisa pula cuma berupa tindakan pelanggaran kecil-kecilan, semacam berkelahi dengan teman, suka meludah disembarang tempat, makan dengan tangan kiri dan sebagainya.

Secara umum yang digolongkan sebagai perilaku menyimpang antara lain adalah :

1. Tindakan nonconform yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai atau norma-norma yang ada. Contohnya, membuang sampah tidak pada tempatnya, warga RuSuNaWa yang menempati hunian dilantai atas membuang sampah sembarangan ke lantai bawah tempat dimana penghuni lain tinggal.


(32)

2. Tindakan anti sosial atau asosial yaitu tindakan yang melawan kebiasaan masyarakat atau kepentingan umum. Bentuknya seperti menarik diri dari pergaulan sekitar lingkungan warga RuSuNaWa.

3. Tindakan-tindakan kriminal yaitu tindakan yang nyata-nyata telah melanggar aturan-aturan hukum tertulis dan mengancam jiwa atau keselamatan orang lain. Contohnya, pencurian yang terjadi di lingkungan hunian RuSuNaWa.

Meskipun secara nyata kita dapat menyebtkan berbagai bentuk perilaku menyimpang, namun mendefenisiskan arti perilaku menyimpang itu sendiri merupakan hal yang sulit karena kesepakatan umum tentang itu berbeda-beda diantara berbagai kelompok masyarakat. Hal lain yang menyebabkan perilaku menyimpang bersifat relatif adalah karena perilaku menyimpang itu juga dianggap seperti gaya hidup, kebiasaan-kebiasaan, fashion ayau mode yang dapat berubah dari zaman ke zaman. Pada masa lalu jika ada lelaki atau perempuan yang memasuki usia 25 tahun tetapi belum bersedia menikah dianggap sebagai jejaka atau perawan tua yang dapat membawa aib keluarga. Tetapi, pada masa kini usia 25 tahun adalah masa yang menyenangkan untuk kuliah, berteman, mengeksplorasi kehidupan dan mengembangkan karir.

Kualitas tindakan menyimpang yang dilakukan seorang dapat dikategorikan berdasarkan rangkaian pengalamannya dalam melakukan tindakan tersebut. Jenis penyimpangan semacam itu disebut dengan primary deviance

(penyimpangan primer). Penyimpangan jenis ini dialami oleh seseorang mana kala ia belum memiliki konsep sebagai penyimpangan atau tidak menyadari jika perilakunya menyimpang. Bentuk penyimpangan primer ini biasanya dialami oleh


(33)

seseorang yang tidak menyadari bahwa perilakunya dapat menjurus kearah penyimpangan yang lebih berat. Penyimpangan yang lebih berat akan terjadi apabila seseorang sudah sampai pada tahap secondary deviance (penyimpangan sekunder). Suatu tindakan menyimpang yang berkembang ketika perilaku dari si penyimpang itu mendapat penguatan (reinforcement) melalui keterlibatannya dengan orang atau kelompok yang juga menyimpang.

Tindakan menyimpang, baik primer maupun sekunder, tidak terjadi begitu saja tapi berkembang melalui suatu periode waktu dan juga sebagai hasil dari serangkaian tahapan interaksi yang melibatkan interpretasi tentang kesempatan untuk bertindak menyimpang. Pemahaman tentang bagaimana seseorang atau sekelompok orang dapat berperilaku menyimpang dapat dipelajari dari berbagai perspektif teoritis, paling tidak ada dua perspektif yang digunakan untuk memahami sebab-sebab dan latar belakang seseorang atau kelompok orang berperilaku menyimpang. Pertama adalah perspektif individualistik dan yang kedua adalah teori-teori sosiologi.

Teori individualistik berusaha mencari penjelasan tentang munculny tindakan menyimpang melalui kondisi yang secara unik mempengaruhi individu. Teori individualistik sebagian besar berdasarkan pada proses-proses yang sifatnya individual dan mengabaikan proses sosialisasi atau belajar tentang norma-norma sosial yang meyimpang. Perspektif ini juga mengabaikan faktor-faktor kelompok atau budaya yang dapat melatarbelakangi tindakan menyimpang pada seseorang. Rumpun teori-teori individualistik itu, antara lain adalah :

1. Penjelasan biologis.


(34)

3. Penjelasan psikoanalisis 4. Penjelasan psikologis

Berbeda dengan halnya dengan teori individualistik, teori-teori yang berperspektif sosiologis tentang penyimpangan berupaya menggali kondisi-kondisi sosial yang mendasari penyimpangan. Berapa hal yang dianggap bersifat sosiologis dalam memahami tindakan menyimpang, misalnya proses penyimpangan yang ditetapkan oleh masyarakat, bagaimana faktor-faktor kelompok dan subkultur berpengaruh terhadap terjadinya perilaku menyimpang pada seseorang dan reaksi-reaksi apa yang diberikan oleh masyarakat pada orang-orang yang dianggap menyimpang dari norma-norma sosialnya.

Secara umum ada dua tipe penjelasan dalam perspektif sosiologis tentang penyimpangan, yaitu struktural dan prosesual. Pada penjelasan yang bersifat struktural adaah sejumlah asumsi yang mendasarinya. Pertama, penyimpangan dihubungkan dengan kondisi-kondisi strukturak tertentu dalam masyarakat. Kedua, menjelaskan penyimpangan sebagai suatu proses epidemiologi, yaitu suatu kondisi dimana distribusi atau penyebaran penyimpangan dapat terjadi dalam waktu dan tempat tertentu, atau dari suatu kelompok ke kelompok lain. Ketiga, menjelaskan bentuk-bentuk tertentu dari penyimpangan sebagai suatu fenomena yang terjadi diberbagai strata sosial, baik dikelas bawah maupun dikelas atas.

Sedangkan pada penjelasan yang bersifat prosesual didasarkan pada : 1. Gambaran tentang proses individu sampai pada tindakan atau perilakunya

yang menyimpang.

2. Penjelasan tentang sebab-sebab terjadinya tindakan menyimpang yang spesifik (disebut sebagai penjelasan bersifat etiologi).


(35)

3. Penjelasan tentang bagaimana orang-orang tertentu sampai melakukan tindakan menyimpang.

2.2.1 Teori Labeling (Pemberian Cap)

Teori labeling menjelaskan penyimpangan terutama ketika perilaku itu sudah sampai pada tahap penyimpangan sekunder (secondary deviance). Definisi menyimpang dari kaum reaktivis didasarkan pula dari teori labeling ini. Dalam penjelasannya teori labeling juga menggunakan pendekatan interaksionisme yang tertarik pada konsekuensi-konsekuensi dari interaksi antara si penyimpang dan masyarakat biasa (Konvensional). (Narwoko, 2010:114)

Menurut para ahli teori labeling, mendefinisikan penyimpangan merupakan suatu yang bersifat relatif dan bahkan mungkin juga membingungkan. Karena untuk memahami apa yang dimaksud sebagai suatu tindakan menyimpang harus diuji melalui reaksi orang lain. Oleh karena itu Becker, salah seorang pencetus teori labeling (dalam Clinard & Meier, 1989:92) mendefinisikan penyimpangan sebagai “suatu konsekuensi dari penerapan aturan-aturan dan sanksi oleh orang lain kepada seorang pelanggar”. Dimensi penting dari penyimpangan adalah pada adanya reaksi masyarakat, bukan pada kualiatas dari tindakan itu sendiri. Atau dengan kata lain, penyimpangan tidak ditetapkan berdasarkan norma, tetapi melalui reaksi atau sanksi dari penonton sosialnya.

Konsekuensi dari pemberian label tersebut, terutama oleh aparat atau alat-alat negara (polisi, jaksa, hakim) mungkin akan berakibat serius pada tindakan penyimpangan yang lebih lanjut. Inilah yang membedakan bentuk penyimpangan primer (primary deviance) dengan penyimpangan sekunder (secondary deviance),


(36)

dimana cap menyimpang menghasilkan suatu peran sosial yang menyimpang juga. Artinya dengan adanya cap yang dilekatkan pada diri seseorang maka ia (yang telah diberi cap) cenderung mengembangkan konsep diri yang menyimpang (disebut juga sebagai proses reorganisasi psikologis) dan kemungkinan berakibat pada suatu karier yang menyimpang. Proses terjadinya penyimpangan sekunder membutuhkan waktu yang panjang dan tidak kentara.

2.3 Habitus dan Lingkungan (habit and field)

Habitus adalah “struktur mental atau kognitif” yang digunakan aktor untuk menghadapi kehidupan sosial. Aktor dibekali serangkaian skema atau pola yang diinternalisasikan yang mereka gunakan untuk merasakan, memahami, menyadari, dan menilai dunia sosial. Melalui pola-pola itulah aktor memproduksi tindakan mereka dan juga menilainya. Secara dialektika habitus adalah produk internalisasi dunia sosial. Kita sebenarnya dapat membayangkan habitus sebagai struktur sosial yang diinternalisasikan yang diwujudkan. Habitus mencerminkan pembagian objek dalam struktur kelas seperti menurut umur, jenis kelamin, kelompok, dan kelas sosial. Habitus diperoleh dari akibat lamanya posisi dalam kehidupan sosial diduduki. Jadi habitus akan berbeda-beda, tergantung pada wujud posisi seseorang dalam kehidupan sosial. Karena tidak setiap orang sama kebiasaannya, orang yang menduduki posisi yang sama dalam kehidupan sosial cenderung mempunyai kebiasaan yang sama. Dalam pengertian ini habitus dapat pula menjadi fenomena kolektif. Habitus memungkinkan orang memahami dunia sosial, tetapi dengan adanya banyak habitus berarti kehidupan sosial dan strukturnya tak dapat


(37)

dipaksakan seragam kepada seluruh aktor. (George Ritzer & Douglas J. Goodman, 2010: 522)

Habitus sering dipahami sebagai hasil keterampilan yang menjadi tindakan praktis yang tidak selalu harus disadari dan kemudian diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah, serta berkembang dalam suatu lingkungan sosial tertentu. Habitus sangat menentukan keberhasilan persaingan di arena sosial. Habitus merupakan hasil keterampilan yag menjadi tindakan praktis (tidak harus selalu disadari) yang kemudian diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang keliahatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu. Konsep habitus menunjukkan bahwa keterampilan seseorang dalam menjawab tantangan dikondisikan oleh lingkungannya dan dipengaruhi oleh rutinitas tindakannya (Haryatmoko, 2010 : 164)

Tindakanlah yang mengantarai habitus dan kehidupan sosial. Di satu pihak, habitus diciptakan melalui praktik (tindakan); di pihak lain, habitus adalah hasil tindakan yang diciptakan kehidupan sosial. Bourdieu mengungkapkan fungsi perantara tindakan ketika ia mendefinisikan habitus sebagai sistem yang tertata dan menata kecenderungan yang ditimbulkan oleh tindakan dan terus-menerus tertuju pada fungsi praktis. Sementara tindakan cenderung membentuk habitus, pada gilirannya berfungsi sebagai penyatu dan menghasilkan praktik/tindakan.

Menurut Bourdieu (Ritzer, 2010 : 524) habitus semata-mata mengusulkan apa yang sebaiknya dipikirkan orang dan apa yang sebaiknya mereka pilih untuk dilakukan. Dalam menentukan pilihan, aktor menggunakan pertimbangan mendalam berdasarkan kesadaran, meski pembuatan keputusan ini mencerminkan berperannya habitus. Habitus menyediakan prinsip-prinsip yang dengan prinsip


(38)

itu aktor membuat pilihan dan memilih strategi yang akan digunakan dalam kehidupan sosial. Seperti dinyatakan Bourdieu dan Wacquant, “orang tidaklah bodoh”. Namun, orang juga tak rasional sepenuhnya (Bourdieu dengan pernyataannya ini melecehkan teori pilihan rasional). Aktor bertindak menurut cara yang masuk akal (reasonable). Mereka mempunyai perasaan dalam bertindak, ada logikanya untuk apa orang bertindak, dan itulah logika tindakan.

Habitus berfungsi di bawah tingkat kesadaran dan bahasa, di luar jangkauan pengamatan dan pengendalian oleh kemauan. Meski kita tak menyadari habitus dan cara bekerjanya, namun ia mewujudkan dirinya sendiri dalam aktivitas kita yang sangat praktis seperti cara kita makan, berbicara, bahkan dalam cara berteman. Kebiasaan atau habitus ini berperan sebagai struktur, tetapi orang tidak memberikan tanggapan terhadapnya atau terhadap struktur eksternal yang mempengaruhi secara mekanis. Jadi, dalam pendekatan Bourdieu kita menghindari keekstreman sesuatu yang baru yang tak teramalkan dan determinisme total.

Lingkungan (field) menurut Bourdieu lebih bersifat relasional ketimbang struktural. Lingkungan adalah jaringan hubungan antarposisi objektif di dalamnya. Keberadaan hubungan ini terlepas dari kesadaran dan kemauan individu. Lingkungan bukanlah interaksi atau ikatan lingkungan bukanlah intersubjektif antara individu. Penghuni posisi mungkin agen individual atau lembaga, dan penghuni posisi ini dikendalikan oleh struktur lingkungan. Bourdieu melihat lingkungan sebagai sebuah arena pertarungan: “lingkungan adalah juga lingkungan perjuangan”. Struktur lingkunganlah yang menyiapkan dan membimbing strategi yang digunakan penghuni posisi tertentu (secara individual


(39)

dan kolektif) yang mencoba melindungi atau meningkatkan posisi mereka untuk memaksakan prinsip perjenjangan sosial yang paling menguntungkan bagi produk mereka sendiri. Bourdieu menyusun tiga langkah proses untuk menganalisis lingkungan. Langah pertama, menggambarkan keutamaan lingkungan kekuasaan (politik) untuk menemukan hubungan setiap khusus dengan lingkungan politik. Langkah kedua menggambarkan struktur objektif hubungan antar berbagai posisi di dalam lingkungan tertentu. Ketiga, analisis harus mencoba menentukan ciri-ciri kebiasaan agen yang menempati berbagai tipe posisi di dalam lingkungan. (George Ritzer & Douglas J. Goodman, 2010: 524-525)

Penghuni posisi dalam lingkungan menggunakan berbagai strategi. Gagasan ini sekali lagi menunjukkan bahwa, menurut Bourdieu, aktor mempunyai derajat kebebasan tertentu: “Habitus tak meniadakan peluang untuk membuat perhitungan strategis di pihak agen. Tetapi, strategi tak mengacu pada “tujuan dan rencana untuk mengejar tujuan yang sudah diperhitungkan tetapi mengacu pada perkembangan aktif garis tindakan yang diarahkan secara objektif yang menaati aturan dan membentuk pola yang koheren dan secara sosial dapat dipahami, meskipun tak mengikuti aturan yang ditetapkan secara sadar atau tertuju pada tujuan yang diterapkan sebelumnya oleh seorang penyusun strategi. Melalui strategi itulah penghuni posisi itu berupaya secara individual atau kolektif melindungi atau meningkatkan posisi mereka dan berupaya memaksakan prinsip perjenjangan yang paling menguntungkan terhadap produk mereka sendiri. Strategi agen tergantung pada posisi mereka dalam lingkungan.

Habitus yang mantap hanya terbentuk, hanya berfungsi dan hanya sah dalam sebuah lingkungan, dalam hubungannya dengan suatu lingkungan. Habitus


(40)

itu sendiri adalah “lingkungan dari kekuatan yang ada”, sebuah situasi dinamis di mana kekuatannya hanya terjelma dalam hubungan dengan kecenderungan tertentu. Inilah yang menyebabkan mengapa habitus yang sama mendapat makna dan nilai yang berlawanan dalam lingkungan yang berlainan, dalam konfigurasi yang berbeda atau dalam sektor yang berlawanan dari lingkungan yang sama. (George Ritzer & Douglas J. Goodman, 2010: 528)

Habitus juga merupakan kerangka penafsiran untuk memahami dan menilai realita, sekaligus juga penghasil praktek-praktek kehidupan yang membentuk dan menyesuaikan diri dengan struktur-struktur obyektif. Dua hal ini sama sekali tidak bisa dipisahkan. Kepribadian seseorang didasarkan pada habitusnya. Pembentukan dan berfungsinya habitus dapat dibayangkan sebagai sebuah lingkaran, yang tidak diketahui ujung pangkalnya. Di satu sisi, habitus sangat memperhitungkan hasil dari keteraturan perilaku manusia, disisi lain, perkembangan dan lahirnya habitus menyandarkan dirinya pada improvisasi struktur maupun aturan yang sudah ada. Dengan demikian, di dalam habitus, ada dua gerak timbal balik, yakni pertama adalah struktur obyektif yang dibatinkan, kedua adalah gerakan subyektif, seperti persepsi orang, evaluasi, yang menyingkapkan hasil dari pembatinan. Dalam konteks inilah proses sosialisasi dapat lebih jelas dipahami. Habitus disini mengandaikan seluruh proses pembatinan, dimana dengan cara itu, setiap individu membuka dan melatih diri dalam hubungan-hubungan sosial, nilai-nilai serta keyakinan masyarakat dimana dia hidup.


(41)

2.4 Modernitas dan Identitas Pada Masyarakat Beresiko

Transformasi dalam identitas diri dan globalisasi adalah dua kutub dialektika kondisi lokal dan global modernitas. Perubahan aspek keintiman kehidupan pribadi berkaitan langsung dengan kemapanan hubungan sosial yang paling luas cakupannya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, “diri” dan “masyarakat” saling berkaitan dalam lingkungan global. (Giddens dalam Ritzer & Goodman, 2010: 559)

Giddens mendefinisikan dunia modern sebagai dunia refleksif dan ia menyatakan, “refleksivitas modernitas meluas hingga ke inti diri, kedirian menjadi sebuah proyek refleksif. Artinya, diri menjadi sesuatu yang direfleksikan, diubah, dan dibentuk. Tak hanya individu bertanggung jawab untuk menciptakan dan memelihara kedirian, tetapi tanggung jawab ini pun berlanjut dan mencangkup semuanya. Diri adalah produk dari eksplorasi dan produk dari perkembangan hubungan sosial yang intim. Dalam kehidupan modern, bahkan tubuh “tertarik ke dalam organisasi refleksif kehidupan sosial”.

Giddens menyatakan, modernitas adalah kultur beresiko. Ini bukan berarti bahwa kehidupan sosial kini lebih berbahaya daripada dahulu; bagi kebanyakan orang, itu bukan masalah. Konsep resiko menjadi masalah mendasar baik cara menempatkan aktor biasa maupun aktor yang berkemampuan spesialis-teknis dalam organisasi kehidupan sosial. Modernitas mengurangi risiko menyeluruh bidang dan gaya hidup tertentu, tetapi pada waktu bersamaan memperkenalkan parameter risiko baru yang sebagian besar atau seluruhnya tidak dikenal di era sebelumnya. Ulrich Beck menyatakan masyarakat baru atau yang baru muncul ini modernitas refleksif. Sebuah proses individualisasi yang kini terjadi, yakni


(42)

agen-agen semakin bebas dari paksaan struktural dan karenanya semakin mampu menciptakan secara refleksif diri mereka sendiri dan masyarakat di mana mereka hidup. Sebagai contoh, daripada ditentukan oleh situasi kelas mereka, aktor berperan kurang lebih berdasarkan atas kemauan mereka sendiri. Dengan menyerahkan pada diri mereka sendiri, orang terpaksa menjadi refleksif. Pentingnya refleksitas dalam hubungan sosial dicontohkan Beck seperti berikut: “Bentuk baru hubungan sosial dan jaringan sosial kini tergantung pada pilihan orang secara individual; ikatan sosial pun makin refleksif, dengan demikian ikatan sosial itu dibentuk, dipelihara, dan terus-menerus diperbaharui oleh individu. (Ritzer & Goodman, 2010: 561-562)

2.5 Pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa (RUSUNAWA)

Dalam bukunya “The descent of Man” Darwin (Eko, 2004:55) menyatakan bahwa untuk melindungi diri terhadap panas matahari, kera menggunakan untaian jerami di atas kepalanya. Sedang pada malam hari, mereka membuat dataran sebagai alas tempat tidur untuk kemudian menutupi dirinya dengan daun pandanus. Konon itulah awal dari lahirnya pakaian dan rumah dalam bentuknya yang paling sederhana.

Membangun rumah masih tetap merupakan kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh pribadi, keluarga atau masyarakat. Setiap lingkungan pemukiman berkembang sesuai pola kehidupan masyarakatnya dengan karakter dan identitas masing-masing. Pada masa sekarang ini, yang ditandai dengan ledakan penduduk dan derasnya arus urbanisasi, pembangunan perumahan merupakan suatu kegiatan industri yang kompleks. Masalah yang timbul manakala rumah dianggap sekedar


(43)

komoditi, sebagai produk akhir barang jadi. Aspek-aspek sosial budaya, kesejahteraan ekonomi, tata nilai dan perilaku manusianya lepas dari pengamatan.

Tantangan paling besar yang harus dihadapi dalam bidang perumahan di indonesia sekarang ini, bagaimana mengatasi masalah perumahan masyarakat miskin terutama di kota-kota besar yang merupakan mayoritas pusat ativitas. Tuntutan akan kebutuhan pengadaan rumah sangat besar dan selalu meningkat, sedangkan lingkungan hunian yang ada dinilai kurang manusiawi. Tambahan pula kemampuan ekonomi mereka terbatas, sulit untuk bisa mengangkat sendiri tanpa bantuan pihak lain. Selama ini perumahan/rumah, sebetulnya tidaklah betul-betul murah dan tidak menjangkau masyarakat lapisan bawah. Kenyataan menunjukkan bahwa bagi kebanyakan rakyat miskin, rumah termasuk dalam daftar prioritas rendah sesudah lapangan kerja, pangan, sandang dan kesehatan.

Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, yang berfungsi dalam mendukung terselenggaranya pendidikan, keluarga, persemaian budaya, peningkatan kualitas generasi yang akan datang dan berjati diri. Salah satu permasalahan utama pertumbuhan penduduk perkotaan adalah peningkatan permintaan akan rumah. Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun pedesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni. Sedangkan permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan. (Undang Undang No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman)


(44)

Permasalahan utama yang dihadapi oleh negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia adalah permasalahan permukiman penduduk khususnya di kota-kota besar. Kendala yang dihadapi adalah terbatasnya lahan perkotaan. Salah satu alternatif untuk memecahkan kebutuhan rumah di perkotaan yang terbatas adalah dengan mengembangkan model hunian secara vertikal berupa bangunan rumah susun. Untuk masyarakat ekonomi menengah ke bawah, Pemerintah membangun rumah susun sederhana dengan sistem sewa. Untuk memenuhi kebutuhan pokok akan rumah tinggal yang sangat meningkat, khususnya pada daerah-daerah perkotaan dan daerah-daerah industri, Pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa (RuSuNaWa) menjadi alternatif dalam memenuhi kebutuhan tempat tinggal.

Rumah susun sederhana sewa (RUSUNAWA) adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama serta status penguasaannya dengan sistem sewa.

Berdasarkan Undang Undang No 20 Pasal 3 tahun 2011, Penyelenggaraan rumah susun bertujuan untuk:

a. Menjamin terwujudnya rumah susun yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan serta menciptakan permukiman yang terpadu guna membangun ketahanan ekonomi, sosial, dan budaya.


(45)

b. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan ruang dan tanah, serta menyediakan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan dalam menciptakan kawasan permukiman yang lengkap serta serasi dan seimbang dengan memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

c. Mengurangi luasan dan mencegah timbulnya perumahan dan permukiman kumuh.

d. Mengarahkan pengembangan kawasan perkotaan yang serasi, seimbang, efisien, dan produktif;

e. Memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi yang menunjang kehidupan penghuni dan masyarakat dengan tetap mengutamakan tujuan pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman yang layak, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR)

f. Memberdayakan para pemangku kepentingan di bidang pembangunan rumah susun.

g. Menjamin terpenuhinya kebutuhan rumah susun yang layak dan terjangkau, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dalam lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan dalam suatu sistem tata kelola perumahan dan permukiman yang terpadu.

h. Memberikan kepastian hukum dalam penyediaan, kepenghunian, pengelolaan, dan kepemilikan rumah susun.


(46)

2.5 Definisi Konsep 2.5.1 Interaksi Sosial

Bentuk-bentuk dalam proses terjadinya interaksi. Interaksi sosial juga dapat dinamakan proses sosial, interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan suatu hubungan antara dua atau lebih individu manusia yang saling mempengaruhi, mengubah ataupun memperbaiki kelakuan individu satu dengan individu lainnya. Dengan demikian antar individu tersebut terjadi hubungan timbal balik. Pola interaksi yang diteliti pada ruang lingkup lokasi hunian RuSuNaWa akan mengetahui bagaimana dalam kesehariannya para penghuni melakukan interaksi sosial ke penghuni lainnya untuk menyesuaikan dirinya dari masalah-masalah yang timbul.

2.5.2 Disharmonis

Suatu bentuk tidak terjadinya keselarasan secara keseluruhan yang dianggap mempunyai nilai negatif dengan beberapa penilaian. Dalam hal ini disharmonis yang dimaksud keadaan atau kondisi dimana para penghuni yang tinggal di RuSuNaWa merasakan tidak bahagianya menempati hunian tersebut dikarenakan beberapa masalah di lingkungan hunian tersebut meliputi terajadinya permasalahan dengan penghuni lainnya dan pengelola RuSuNaWa.


(47)

2.5.3 Penghuni

Individu ataupun kelompok manusia yang mendiami suatu tempat hunian tertentu, dalam hal ini yaitu rumah susun sederhana sewa (RUSUNAWA) dengan status kepemilikan sewa. Penghuni mensepakati aturan-aturan yang diberlakukan pihak pengelola hunian tersebut.

2.5.4 Rumah Susun sederhana Sewa (RUSUNAWA)

Bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama serta status penguasaannya dengan sistem sewa. RuSuNaWa ditujukan untuk kalangan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). RuSuNaWa pada penelitian ini dijadikan tempat lokasi penetian untuk skripsi ini.

2.5.5 Perilaku Sosial

Perilaku sosial adalah perilaku yang relatif menetap yang diperlihatkan oleh individu di dalam berinteraksi dengan orang lain. Orang yang berperilakunya mencerminkan keberhasilan dalam proses sosialisasinya dikatakan sebagai orang yang sosial, sedangkan orang yang perilakunya tidak mencerminkan proses sosialisasi tersebut disebut non sosial. Yang termasuk ke dalam perilaku non sosial adalah perilaku a-sosial dan anti sosial. Seseorang yang berperilaku a-sosial tidak mengetahui apa yang yang dituntut


(48)

oleh kelompok sosial, sehingga berperilaku yang tidak memenuhi tuntutan sosial. Mereka akan mengisolasi diri atau menghabiskan waktunya untuk menyendiri. Sedangkan yang berperilaku anti sosial mereka mengetahui

hal-hal yang dituntut kelompok tetapi karena sikap permusuhannya, mereka

melawan norma kelompok tersebut.

2.5.6 Problem Sosial

Suatu problem atau masalah yang menyangkut persoalan sosial, sebab problem ini berkaitan erat dengan hubungan antar manusia. Problem sosial merupakan gejala-gejala yang mengganggu kelanggengan integritas hubungan sosial di dalam masyarakat (Setiadi, Elly M.,Usman Kolip.2010:925). Hal ini perlu diamati bagaimana keadaan yang terjadi pada lokasi hunian RuSuNaWa akan menciptakan suatu kondisi tertentu mempengaruhi segala aktivitas di lingkungan hunian.

2.5.7 Sikap Apatis Masyarakat

Suatu sikap yang mencerminkan suatu perilaku tidak peduli, acuh tidak acuh, masa bodoh terhadap suatu hal penting serta merasa bahwa dirinya tidak bertanggung jawab atas suatu hal. Hal demikian akan menciptakan suatu permasalahan di kemudian hari, individu seharusnya lebih tanggap terhadap permasalah di sekitar lingkungannya. Keadaan yang serupa bisa terjadi di hunian RuSuNaWa, dalam kesehariannya penghuni tidak memperdulikan barang yang ditujukan untuk kepemilikan bersama akibatnya sering terjadi masalah dalam pengelolaan RuSuNaWa.


(49)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian sosial dengan format deskriptif bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi, berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat sebagai objek penelitian (Bungin, 2007: 68). Sedangkan pendekatan kualitatif bertujuan untuk memahami secara lebih mendalam permasalahan yang diteliti sehingga diharapkan dapat memberikan masukan gambaran yang lebih mendalam tentang gejala-gejala dan gambaran yang akan diteliti ( Narbuko dan Acmadi, 2004 : 44 ). Penelitian dengan pendekatan kualitatif diartikan sebagai penelitian yang menghasilkan data, tulisan, dan tingkah laku yang didapat dan apa yang diamati dan juga untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian. Penelitian pendekatan kualitatif yang akan dilakukan adalah menggambarkan bagaimana disharmonis penghuni pada rumah susun sederhana sewa (RuSuNaWa) di Kota Tebing Tinggi.

3.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Tebing Tinggi yang beralamat Jalan Syech Beringin, Kelurahan Tebing Tinggi, Kecamatan Padang Hilir. Lokasi ini dipilih karena terdapat kawasan hunian rumah susun sederhana sewa (RuSuNaWa) yang dihuni oleh kepala keluarga dengan sistem sewa dan tempat


(50)

terdekat peneliti berdomisili, sehingga memudahkan peneliti untuk mengakses data yang dibutuhkan serta meninjau lokasi penelitian secara langsung. Pada hunian RuSuNaWa yang terdiri dari dari 2 blok yaitu blok a dan blok b, memiliki karakteristik yang berbeda.

3.3 Unit Analisis dan Informan 3.3.1 Unit Analisis

Salah satu ciri karakteristik dari penelitian sosial adalah menggunakan apa yang disebut dengan ” Unit of Analysis ” ada sejumlah unit analisis yang lazim digunakan pada kebanyakan penelitian sosial individu ( Danandjaja, 2005:31 ). Dalam penelitian ini, yang menjadi unit analisisnya atau objek kajiannya adalah penghuni rumah susun sederhana sewa (RuSuNaWa) dalam hal ini juga termasuk pengelola hunian yang beralamat di Jl. Syech Beringin, Kelurahan Tebing Tinggi, Kecamatan Padang Hilir, Kota Tebing Tinggi.

3.3.2 Informan

Informan adalah orang-orang yang menjadi sumber informasi dalam melakukan penelitian. Informan penelitian adalah subjek yang memahami informasi objek penelitian sebagai pelaku maupun orang lain yang memahami objek penelitian (Bungin, 2007:76). Adapun yang menjadi informan yaitu:

1. Para penghuni Rumah Susun Sederhana Sewa (RuSuNaWa) di Kota Tebing Tinggi


(51)

2. Pihak pengelola hunian Rumah Susun Sederhana Sewa (RuSuNaWa) Kota Tebing Tinggi

3.3.3 Karakteristik Informan

1. Mempunyai hubungan informasi mengenai kondisi hunian RuSuNaWa.

2. Minimal sudah tinggal di RuSuNaWa Kota Tebing Tinggi selama 6 bulan.

3. Hidup membaur/bertetangga dengan penghuni RuSuNaWa lainnya.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

3.4.1 Teknik Pengumpulan Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari sumber informan yang ditemukan di lapangan. Adapun langkah-langkah dalam pengumpulan data primer ini adalah dengan cara:

a. Observasi

Kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan panca indera mata sebagai alat bantu utamanya selain panca indera lainnya seperti telinga, penciuman, mulut dan kulit. Kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja panca indera mata serta dibantu panca indera lainnya. Metode observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan (Bungin, 2007:115). Dalam teknik observasi, peneliti dapat mengetahui dengan cara melihat langsung serta


(52)

ikut berpartisipasi bagaimana dalam kesehariannya penghuni rumah susun sederhana sewa saling berinteraksi.

b. Wawancara Mendalam

Salah satu elemen penting dalam proses penelitian, yaitu mengadakan tanya jawab langsung dengan informan di lokasi penelitian. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara mendalam (in-deph interview). Wawancara bertujuan untuk mendapatkan informasi (data), memperoleh keterangan, pendapat secara lisan dari informan dengan berbicara dengan orang tersebut. Agar wawancara lebih terarah maka digunakan instrumen berupa pedoman wawancara (interview guide) yakni urutan-urutan daftar pertanyaan sebagai acuan bagi peneliti untuk memperoleh data yang diperlukan. Peneliti nantinya mewawancarai informan yang dijadikan subjek penelitian guna mengetahui perilaku sosial dan interaksi sosial penghuni rumah susun sederhana sewa.

3.4.2 Teknik Pengumpulan Data Sekunder

Data yang diperoleh dari pihak lain yang secara tidak langsung oleh peneliti dari subjek penelitiannya (Azwar, 2010:91). Sumber informasi dari data sekunder dapat diperoleh dari penelitian kepustakaan, arsip-arsip, koran, majalah, jurnal, bahan-bahan dari internet yang dianggap penting dan berhubungan dengan masalah yang diteliti.


(53)

3.5 Interpretasi Data

Menganalisis data menunjuk pada kegiatan mengorganisasikan data ke dalam susunan-susunan tertentu dalam rangka penginterpretasian data (Faisal 2007:34). Analisis data ditandai dengan pengolahan dan penafsiran data yang diperoleh dari setiap informasi baik pengamatan, wawancara atau catatan lapangan lainnya yang kemudian ditelaah dan dipelajari. Pada tahap selanjutnya adalah penyusunan data dalam satuan-satuan yang kemudian dikategorikan. Kategori tersebut berkaitan satu sama lain dan diinterpretasikan secara kualitatif. Interpretasi data merupakan proses pengolahan data dimulai dari tahap mengedit data sesuai dengan pokok permasalahan yang diteliti kemudian diolah secara deskriptif berdasarkan apa yang terjadi di lapangan.

3.6 Jadwal Kegiatan

No Kegiatan Bulan Ke

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 Pra Observasi

2 ACC Judul

3 Penyusunan Proposal Penelitian 4 Seminar Proposal Penelitian

5 Revisi Proposal Penelitian

6 Penelitian Ke Lapangan

7 Pengumpulan Data dan Analisis

8 Bimbingan / Penulisan Laporan Akhir


(54)

3.7 Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menyadari masih terdapat keterbatasan-keterbatasan dalam penelitian. Untuk itu bagi para akademisi yang menggunakan hasil penelitian ini sebagai dasar kajian ilmiah maupun bagi praktisi yang menggunakan hasil penelitian ini sebagai dasar pengambilan keputusan diharapkan memperhatikan keterbatasan peneliti dalam penelitian ini yaitu:

1) Penelitian ini hanya membahas disharmonis penghuni pada RuSuNaWa Kota Tebing Tinggi. Padahal masih banyak hal-hal lain yang berhubungan dengan penelitian ini misalnya aspek sosial ekonomi budaya penghuni yang tinggal di RuSuNaWa dan sebagainya.

2) Ruang waktu dalam penelitian ini hanya sekitar empat bulan untuk pencarian data di lapangan dengan observasi lapangan dan wawancara dengan para informan. Penelitian ini sebaiknya dilakukan dalam waktu yang relatif lebih lama supaya data-data lapangan dapat terkumpul lebih mendalam lagi.


(55)

BAB IV

DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian 4.1.1 Keadaan Geografis Kelurahan

Wilayah Kelurahan Tebing Tinggi, Kecamatan Padang Hilir, Kota Tebing Tinggi berada pada bagian timur Kota Tebing Tinggi serta berada di ketinggian 20 meter di atas permukaan laut (mdpl). Secara umum wilayah Kelurahan Tebing Tinggi berada pada dataran yang cukup tinggi dan tidak rawan banjir. Keadaan iklim di kelurahan Tebing Tinggi yaitu curah hujan berkisar pada 30 mm dan suhu berkisar pada 24-32ºC. Kelurahan Tebing Tinggi memiliki jarak empat puluh meter ke ibukota kecamatan, empat kilometer ke ibukota kotamadya, dan memiliki jarak delapan puluh delapan kilometer ke ibukota provinsi.

Adapun susunan pemerintahan Kelurahan Tebing Tinggi pada tahun 2014 adalah sebagai berikut:

Lurah : Aguslin Nasution

Sekretaris : Azanul Akbar Lubis

Kepala urusan Pemerintahan : Yurlisna

Kepala urusan Pelayanan Publik : Kanaria Silagan

Kepala urusan Trantib : Sulastri Marlina Siahaan

Kepala urusan Pemberdayaan Masyarakat : Pinta Sitinjak

Kelurahan Sei Agul secara administratif terdiri dari 7 Lingkungan yaitu: Lingkungan I, Lingkungan II, Lingkungan III, Lingkungan IV, Lingkungan V, Lingkungan VI dan Lingkungan VII.


(56)

Adapun batasan wilayahnya adalah :

a. Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Damar Sari

b. Sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Bagelen dan Kabupaten Serdang Bedagai

c. Sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Rambung dan Kelurahan Deblot Sundoro

d. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Serdang Bedagai

4.1.2 Luas Wilayah Kelurahan Menurut Penggunaanya

Adapun penyebaran luas wilayah Kelurahan Tebing Tinggi, Kecamatan Padang Hilir, Kota Tebing Tinggi menurut penggunaannya adalah wilayah pemukiman seluas 1,5038 Km2, pemakaman umum 0,10 Km2, pekarangan 1,27 Km2 , perkantoran 0,20 Km2 , Prasarana Umum Lainnya 0,50 Km2 .

4.1.3 Sarana dan Prasarana Kelurahan 4.1.3.1 Sarana Kesehatan

Pemenuhan kebutuhan kesehatan di Kelurahan Tebing Tinggi dilengkapi oleh beberapa prasarana kesehatan. Adapun prasarana kesehatan yang terdapat di Kelurahan Tebing Tinggi yaitu sebanyak 9 prasarana kesehatan yang terdiri dari posyandu, puskeskel, puskesmas pembantu, poliklinik/balai pengobatan. Untuk mendukung pemenuhan kebutuhan ini maka sarana kesehatan tersebut didukung beberapa tenaga medis seperti bidan sebanyak tujuh orang dan dokter dua orang. Secara terperinci dapat dilihat pada tabel berikut :


(57)

Tabel 4.1 Sarana Kesehatan Kelurahan Tebing Tinggi

No Sarana Jumlah Presentasi (%)

1 Posyandu 4 44,4

2 Puskeskel 1 11,1

3 Puskesmas Pembantu 1 11,1

4 Poliklinik/Balai Pengobatan 3 33,3

Total 9 100%

Sumber : Profil Kelurahan Tebing Tinggi 2012

4.1.3.2 Sarana Pendidikan

Kelurahan Tebing Tinggi memiliki 13 unit sarana pendidikan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan masyarakat Kelurahan Tebing Tinggi yaitu sarana pendidikan formal. Sarana pendidikan formal yang tersedia di kelurahan ini sebanyak lima sekolah yaitu terdiri dari Taman Pendidikan Alquran (TPA), Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan juga terdapat sebuah perpustakaan. Secara terperinci dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut :

Tabel 4.2 Sarana Pendidikan Formal Kelurahan Tebing Tinggi

No Sarana Jumlah Presentasi (%)

1 TPA 1 7,7%

2 TK 3 23,1%

3 SD 5 38,5%

4 SMP 1 7,7%

5 SMA 2 15,3%

6 Perpustakaan Kelurahan 1 7,7%

Total 13 100%

Sumber : Profil Kelurahan Tebing Tinggi 2012

4.1.3.3 Sarana Peribadatan

Kelurahan Tebing Tinggi memiliki sarana peribadatan untuk memenuhi kebutuhan rohaniah masyarakat Kelurahan Tebing Tinggi sebanyak 16 unit yaitu


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

1) Para penghuni RuSuNaWa Kota Tebing Tinggi mempunyai alasan

tersendiri untuk bertempat tinggal di RuSuNaWa, alasan yang paling

utama yaitu karena adanya keringanan biaya sewa di RuSuNaWa berlaku

berdasarkan tingkatan lantai pada hunian tersebut.

2) Penghuni dalam berinteraksi di RuSuNaWa tidak terlalu dekat dengan

penghuni lainnya, dan cenderung belum mengenali penghuni satu dan

yang lainnya. Hal itu dikarenakan di RuSuNaWa interaksi sosial di

lingkungan sosial hunian tersebut penghuni hanya mengalami

persinggungan logis kedekatan tempat tinggal yang tidak membentuk

keterikatan penghuni satu dengan yang lainnya.

3) Penghuni RuSuNaWa membatasi dirinya untuk tidak dekat dengan

tetangga huniannya, tujuannya yaitu mereka tidak ingin terjebak dalam

suatu permasalahan kehidupan bertetangga di hunian RuSuNaWa.

Penghuni lebih suka membatasi interaksi sosialnya kepada penghuni lain.

Bertemunya para penghuni RuSuNaWa juga jarang terjadi mengingat

penghuni banyak mengahabiskan waktu bekerja di luar lingkungan

RuSuNaWa untuk memenuhi segala kebutuhan hidup.

4) Tanggapan dari orang-orang yang berada di luar hunian RuSuNaWa sering

mengatakan bahwasannya tidak baik bertempat tinggal di RuSuNaWa.


(2)

karena selama ini berita yang tersebar di luar kesannya selalu negatif

contohnya saja sering terjadi keributan, kejahatan serta nuansa kumuh

melekat di hunian RuSuNaWa.

5) Hubungan yang terjadi di RuSuNaWa tidak selamanya berjalan harmonis,

kenyataannya beberapa kali terdapat masalah terjadi konflik diantara para

penghuni maupun penghuni dengan pengelola sehingga menciptakan suatu

keadaan disharmonis. Kepentingan individu paling diutamakan dari pada

kepentingan umum di RuSuNaWa.

6) Kondisi penghuni yang berada di Blok A dan Blok B memiliki perbedaan

yang berarti, pada Blok A mempunyai sifat yang tertib, rapi sehingga bisa

merasa nyaman dan harmonis hubungan sosial penghuninya sedangkan

pada Blok B mempunyai sifat tidak peduli dengan kondisi lingkungan

sekitarnya, hubungan dengan penghuni lainnya di Blok B sering terjadi

permasalahan keributan.

7) Pada hunian yang berada di blok b, penghuninya memiliki karakter

solidaritas akan suatu kepentingan tertentu yaitu mereka bersatu

memberikan perlawanan kepada pihak pengelola apabila merasa diri si

penghuni merasa terancam statusnya di RuSuNaWa. Padahal hal tersebut

tidak akan terjadi apabila dari para penghuni selalu taat pada aturan yang


(3)

5.2 SARAN

1) Perlu adanya kembali kepala lingkungan yang khusus menangani para

penghuni di hunian RuSuNaWa, artinya dengan adanya kepala lingkungan

maka penduduk yang tinggal di RuSuNaWa mendapatkan perhatian dari

kepling serta mudah untuk memperoleh informasi dari pihak kelurahan.

Peran kepling bagi penghuni RuSuNaWa juga untuk bisa menyampaikan

informasi yang terjadi di hunian RuSuNaWa untuk disampaikan pada

lurah.

2) Penghuni RuSuNaWa diharapkan bisa berinteraksi dan menentukan

prilaku sosial di lingkungannya untuk dapat terjadinya keseimbangan

dalam kehidupan sosial, sehingga bisa mencapai kondisi kehidupan yang

harmonis. Hal tersebut adalah keinginan masyarakat dan pemerintah.

3) Dibutuhkannya suatu wadah kegiatan sebagai sarana pemersatu para

penghuni yang berada di RuSuNaWa dengan keikutsertaan secara, aktif

pengelola dan penghuni untuk terus tidak bosan selalu menghimbaukan

untuk ikut serta dalam segala hal kegiatan yang bertujuan untuk

kepentingan bersama di hunian RuSuNaWa.

4) Pemerintah setempat yaitu PEMKO Tebing Tinggi harus memperbaiki

hunian RuSuNaWa agar kelihatan indah serta bisa berfungsi kembali

fasilitas-fasilitas yang selama ini dalam kondisi rusak. Hal lain yaitu

pemerintah daerah bisa menindak para penghuni yang melakukan

pelanggaran dengan berkordinasi dengan pamong praja untuk melakukan


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. 2007. Psikologi Sosial. Jakarta: Rineke Cipta

Azwar, Syaifuddin. 2010. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Budihardjo, Eko. 2004. Arsitektur dan Kota di Indonesia. Bandung: PT Alumni Bungin, H. Burhan. 2007. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada

Bungin, H. Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Prenada Media Group Bungin, H. Burhan. 2007. Sosiologi Komunikasi Teori Paradigma dan Diskursus

Teknologi Komunikasi di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Danandjaja. 2005. Metode Penelitian Sosial. Medan: USU Press

Faisal, Sanafiah. 2007. Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Gunawan, Ary H., 2000. Sosiologi Pendidikan: Suatu Analisis Sosial Tentang Pelbagai Problem Pendidikan. Jakarta: Rhineka Cipta.

Haryatmoko. 2010. Dominasi Penuh Muslihat Akar Kekerasan Dan Deskriminasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Narbuko & Acmadi. 2004. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara

Narwoko, J. Dw., Bagong Suyanto. 2010. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana

Ritzer, George. 2010. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: P.T Raja Grafindo Persada

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2010. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Taneko, Soelaiman. 1990. Struktur dan Proses Sosial. Jakarta: Rajawali

Taufik Abdullah & A. C. Van Der Leeden. 1986. Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Santoso, Imam.(Scott, John) 2011. Sosiologi The Key Concepts. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada


(5)

Setiadi, Elly M., Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial Teori Aplikasi dan Pmecahannya. Jakarta: Kencana

Soekanto, Soerjono. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sunarto,Kamanto. 2000. Pengantar Sosiologi Edisi Kedua. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Syani, Abdul. 2007. Sosiologi Skematika, Teori, Dan Terapan. Jakarta : PT Bumi Aksara.

Sumber lain :

Undang Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun Undang Undang Republik Indonesia No 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan

kawasan Permukiman

Amanda, Ariesta. 2013. Interaksi Sosial Masyarakat Rumah Susun Sederhana Sewa (RUSUNAWA) di Sleman Yogyakarta. Yogyakarta. Jurnal Volume 3 Nomor 3 Tahun 2013.

diakses 20 September 2014 Pukul 14:25

Hartatik., Purwanita Setijanti dan Sri Nastiti NE. 2010. Peningkatan Kualitas Hidup Penghuni di RuSuNaWa Urip Sumoharjo pasca-Redevelopment. Jurnal. Institut Teknologi Surabaya diakses 6 Desember 2013 Pukul 15:45 WIB

Hijriwati, Siti As’adah., Siti Zulaekhah. Implementasi Pencanangan Kebijakan Kawasan Bebas Kumuh Melalui Hunian Model RUSUNAWA (Rumah Susun Sederhana Sewa) di Kota Pekalongan. Jurnal. Universitas Pekalonga Desember 2013 Pukul 21:35 WIB


(6)

Nur, Luthfita Rosyidah. Arena Produksi Kultural: Sebuah Kajian Sosiologi Budaya

________________,2013.Berita Resmi Statistik BPS Profil kemiskinan di

Indonesia Maret 2013 diakses 1 Desember 2013 pukul 17:45 WIB

________________, Efektivitas dan Kualitas Pembangunan Rumah Susun

Sederhana Sewa (RUSUNAWA). Tulisanhukum/Infokum/Tematik diakses 8 Desember 2013 Pukul 09:15 WIB

________________, 2011. Kajian Implementasi Rusun dan RuSuNaWa yang Sesuai dengan Karakter Masyarakat Perkotaan di Sumatera Utara. Medan: BALITBANG Provinsi Sumatera Utara

pukul 10:13)

_______________, 2012. Tebing Tinggi Dalam Angka 2012. Tebing Tinggi: BPS Kota Tebing Tinggi dan BPPD Kota Tebing Tinggi